Sabtu, 05 November 2016

Menggalakkan Budaya Membaca dan Menulis Sebagai Langkah Awal Membangun Intelektualitas

Banyak dari kita tahu dan sering berucap bahwa perintah membaca adalah ayat pertama yang diturunkan Tuhan untuk ummat Islam melalui Rasulullah SAW. sebagai sebuah budaya yang harusnya tetap kita pegang teguh sampai generasi seterusnya. Namun apakah banyak dari kita yang sudah melakoninya atau menggerakkan budaya membaca tersebut sebagai salah salah satu langkah tanggap untuk membangun peradaban intelektualitas bangsa kita. Jika merujuk catatan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO 2012) yang merilis bahwa indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 yang artinya pada setiap 1000 orang hanya ada 1 orang yang punya minat membaca (Kompas : Membaca Sebagai Jendela Melihat Dunia). Dari data tersebut bisa dikatakan betapa terpuruknya peradaban intelektualitas kita, seolah tidak mau tahu lebih luas akan pentingnya wawasan melalui membaca.
Jika melihat kondisi peserta didik kita sekarang ini, rata-rata lebih tertarik dengan yang berbau elektronik dari pada buku. Kondisi ini juga diperparah dengan sajian tontonan mereka sehari-hari yang lebih tertarik dengan Visual dari pada berimajinasi dengan bahan bacaan. Bahkan di beberapa daerah terpencil yang penulis pernah kunjungi, siswa-siswa setingkat SD/MI sepulang sekolah karena tidak ada kegiatan yang lebih bermanfaat yang bisa disajikan untuk mereka, bermain kartu lebih menarik untuk mengisi waktu yang cukup banyak seandainya diadakan program-program kreatif bagi mereka. Semisal kami waktu kecil dahulu sepulang sekolah biasanya masih maraknya permainan-permainan tradisional yang menjadi kegiatan pengisi waktu luang, dan itu cukup bermanfaat dan menyenangkan pula sebagai ajang adu kemahiran akan suatu hal dalam permainan tersebut.
Sangat berbeda sekali dengan generasi sekarang, jangankan untuk memprogramkan budaya membaca, permainan tradisional pun banyak yang tidak tahu, padahal di dalam permainan tradisional itu banyak terkandung nilai-nilai solidaritas, kekompakan tim, uji ketangkasan dan lainnya. Ini menjadi sebuah permasalahan mengikisnya semangat mempertahankan budaya-budaya tradisional kita yang semakin tergerus arus zaman seiring berkembangnya teknologi. Jika dahulu kami sangat menikmati ketika ada majalah rutin anak sekolah berjudul Asyik yang berisi konten budaya, pendidikan, sejarah, bahkan kesehatan pun ada sebagai stimulus untuk merangsang minat baca, generasi sekarang justru lebih menikmati ketika mereka disuguhkan peralatan-peralatan elektronik yang lebih modern, namun semangat untuk membaca tetap juga rendah.

Membaca Sebagai Sebuah Budaya Intelektualitas

Permasalahan rendahnya minat baca kita bisa jadi sebuah permasalahan komplek yang menuntut berbagai pihak turut serta untuk pemecahannya. Banyak hal yang dilakukan untuk menggalakkan budaya membaca namun dampak besar yang ingin dihasilkan belum signifikan dan terkesan mengalami banyak kendala, terutama dalam hal distribusi bahan bacaan. Salah satu contohnya perpustakaan keliling, dan itupun hanya menjangkau sekolah-sekolah dengan akses jalan yang mulus, sangat jarang kita temui mobil perpustakaan keliling berhasil menjangkau sekolah-sekolah swasta di pelosok yang akses jalannya belum baik. Mobil perpustakaan keliling terkesan kurang efektif karena waktu cukup terbatas untuk peserta didik yang ingin menikmati bahan bacaan lebih banyak, terkecuali mereka mengizinkan peminjaman buku secara berkala dan pengembalian yang terjadwal pula.
Selain itu  ada pula gerakan-gerakan atau komunitas baca lainnya yang ikut andil untuk membudayakan membaca. Sekarang sedang menemukan geliatnya untuk berkembang secara massif dan sudah semestinya mendapat perhatian dari pemerintah. Seperti  Klub Baca Perempuan, gerakan untuk membudayakan minat baca dan semangat belajar anak-anak daerah terpencil di Kabupaten Lombok Utara yang digagas dengan kepedulian akan pendidikan anak-anak di daerah terpencil tersebut. Klub baca perempuan tersebut sempat mendapat sorotan dari Kick Andy yang bertajuk Kick Andy Roadshow Goes to Lombok beberapa tahun lalu.
Ada pula Gelora Education Center yang berlokasi di Lombok Timur, di sebuah desa pedalaman lereng utara Gunung Rinjani. Gelora Education Center inipun memfokuskan untuk pembinaan pendidikan untuk anak-anak kurang mampu, pembinaan penguasaan bahasa Asing untuk remaja, serta pembinaan mental untuk berpikir maju dalam menghadapi tantangan global ke depannya. Begitu juga halnya dengan Komunitas Rumah Belajar dan Taman Baca KOMPAK (Komunitas Pemuda Kreatif) yang penulis pernah gagas di kampung terpencil kami untuk membina semangat belajar generasi muda, serta membudayakan membaca sebagai pembelajaran kedua di samping pendidikan formal yang didapatkan di sekolah/Madrasah.
Bahkan masih banyak lagi komunitas-komunitas lainnya yang mempunyai tujuan yang sama untuk membudayakan membaca dan semangat belajar. Semisal Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara, Studio Manajemen di Sumbawa, Kelompok Cinta Baca (KCB) Mataram, Galang Anak Semesta (GAGAS), Jage Kestare Foundation, namun kendala karena berada di daerah terpencil inilah belum begitu banyak dikenal bahkan cenderung tidak banyak yang tahu bahwa gerakan baik ini semestinya mendapat sorotan dan dukungan dari berbagai pihak jika kepedulian untuk generasi selanjutnya masih ada dalam diri kita.
Sebagaimana Pergub (Peraturan Gubernur) yang pernah digulirkan tentang habitus membaca sastra untuk peserta didik, maka Komunitas-komunitas Taman baca atau perpustakaan masyarakat seperti ini cukup baik untuk dikembangkan di setiap desa sebagai langkah awal untuk membangun semangat intelektualitas masyarakat kita agar berwawasan luas dengan membaca. Sehingga peserta didik kita sepulang sekolah bisa melakukan hal yang lebih bermanfaat dengan dialihkan waktu luangnya untuk membaca buku di taman baca, atau diprogramkan kegiatan-kegiatan yang lebih produktif dengan memanfaatkan pemuda-pemudi terdidik di desa untuk berkontribusi membina generasi muda bangsa ini.
Lalu terkait kendala sulitnya distribusi bahan bacaan ke daerah terpencil inilah yang menjadi tantangan bersama untuk pemecahannya. Seperti halnya beberapa waktu lalu Pusat Perbukuan dan Perpustakaan Nasional pernah menginformasikan melalui media online bahwa mereka menerima proposal permohonan buku untuk taman bacaan, atau perpustakaan-perpustakaan masyarakat agar meratanya peningkatan minat baca. Namun lagi-lagi di informasi yang dirilis tersebut mereka hanya menyediakan buku, untuk biaya distribusi/biaya kirim dibebankan ke masing-masing lembaga/komunitas baca yang mengajukan. Jelas saja dalam hal ini komunitas-komunitas tersebut akan berpikir dua kali ketika akan mengajukan permohonan buku, sebab biaya kirim untuk itu mesti membutuhkan dana yang cukup besar, sementara komunitas/Taman Baca tersebut rata-rata didirikan dengan semangat sosial, bukan lembaga profit yang mempunyai banyak dana.
Solusi untuk distribusi tersebut bisa diambil langkah konkret peran serta pemerintah daerah yang akan mendanai pendistribusiannya ke kantor Dinas Pendidikan atau Perpustakaan Daerah tiap provinsi/kabupaten, nantinya pihak-pihak lembaga/komunitas yang mengajukan permohonan pengadaan buku tersebut yang akan mengambil ke kantor Dinas Pendidikan atau Perpustakaan daerah masing-masing.
Peran serta perpustakaan daerah sebagai lembaga yang bernaung di bawah pemerintah daerah juga seharusnya lebih produktif untuk membina Taman Baca bagi masyarakat atau perpustakaan untuk lembaga-lembaga pendidikan. Masih banyak lembaga pendidikan kita di wilayah NTB yang belum memiliki perpustakaan dan bagaimana bisa untuk mendistribusikan bahan bacaan sementara tempat untuk penyimpanan buku tersebut tidak ada. Untuk itu jika tidak memungkinkan untuk perpustakaan lembaga pendidikan Formal, maka lembaga-lembaga Nonformal inilah sebagai wadah sekundernya yang akan berperan untuk membina generasi muda kita. Di samping taman baca, bisa juga diprogramkan kegiatan-kegiatan edukatif bagi peserta didik kita sebagai tambahan untuk membangun semangat intelektualitas mereka, seperti Menulis Inspiratif, Bimbingan Belajar, Pembinaan mental dan spiritual melalui kegiatan keagamaan, menonton film inspiratif, Rumah berkarya untuk kerajinan tangan dan lainnya.
Bahkan program Abano (Angka Buta Aksara menjadi Nol) bisa juga mengambil peran untuk dikoordinasikan dengan program-program komunitas atau Taman Baca tersebut sebagai pusat pembelajarannya.

Kurikulum Berkarya Melalui Tulisan

Di samping membudayakan membaca, budaya menulis untuk mengembangkan ide merupakan salah satu point untuk meningkatkan daya saing SDM kita. Bisa kita lihat tugas-tugas akhir mahasiswa yang begitu tebal namun ternyata isinya lebih banyak teori dan basa-basi yang dicopy-paste dari tugas akhir sebelumnya, dan itu terus berlanjut ke generasi setelahnya. Sebab karya ilmiah sebagai tugas akhir mahasiswa hanya dijadikan syarat untuk kelulusan bukan dimaksudkan untuk benar-benar menggali ide kreatif mahasiswa dalam mengembangkan pemikiran atas ilmu yang sudah didapatkan.
Jika saja perguruan tinggi kita ingin benar-benar produktif atas ide mahasiswa dalam karya ilmiah tugas akhirnya, maka tidak perlu menilai dari seberapa banyak teori yang dikutip, namun hasil dari penelitian ilmiah itulah yang menjadi fokus pengembangan ilmu pengetahuan yang bernilai sebagai bentuk sumbangsih atas intelektualitas mahasiswanya.
Kendala yang kita hadapi saat ini bukan hanya masalah kompetensi menulis yang masih rendah, terlebih juga minat untuk menulis. Bisa kita lihat dari kurikulum pembelajaran bahasa yang dimulai dari bangku SLTP walaupun ada tercantum Menulis sebagai standar kompetensi yang harus dikuasai, namun praktik untuk menulis itu pun jarang sekali diadakan. Maka tak heran ketika mengerjakan tugas-tugas yang menuntut untuk berpikir/mengembangkan ide, peserta didik kita lebih cenderung mencari di Internet, bahkan yang lebih parahnya langsung copy-paste. Sebagaimana halnya tulisan di kompas.com (22-02-2016) yang menuliskan " faktanya pelajar Indonesia keteter dalam Academic Writing", ini menunjukkan bahwa kompetensi menulis juga perlu mendapatkan perhatian secara baik di kurikulum pendidikan kita. Sebab dengan pembiasaan menulis untuk mengembangkan ide berpikir yang dimulai sejak dini akan berprogres besar untuk intervensi selanjutnya ketika peserta didik melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Untuk itu, membudayakan menulis dengan menuntut peserta didik untuk berkarya bisa dimulai sejak mereka di tingkat SLTP, pembiasaan menulis bisa dimulai dari hal paling sederhana seperti Majalah Dinding (Mading), atau penugasan-penugasan berkarya yang membutuhkan penjelasan melalui tulisan, baik dari hasil pengamatan ataupun penelitian tingkat lanjut atas suatu hal. Ketika sudah terbiasa dengan penuangan ide melalui tulisan sejak SLTP, maka level penilaian atas karya tulis mereka ketika di jenjang SLTA bisa dinaikkan, bukan hanya tentang bagaimana mereka mengkonstruksi ide dalam tulisannya, tetapi juga teori yang mereka jadikan acuan atas penelitian dalam karya tulis mereka. Memasuki jenjang perguruan tinggi, sudah saatnya juga dalam seleksi penerimaan Mahasiswa baru, kampus melakukan seleksi dalam bentuk tulisan yang dibuat calon mahasiswa, sebagai bentuk pengukuran tingkat kreatifitas mereka dalam mengembangkan ide pada hal apa yang akan dipelajari ketika memasuki kampus yang mereka tuju.
Dengan demikian tidak lagi terdengar statemen bahwa orang yang mempelajari bahasa lebih produktif dalam hal tulis-menulis, dan itu bukan lagi alibi bagi peserta didik yang mempelajari disiplin ilmu lainnya untuk tidak produktif berkarya. Karena ketika mindset mereka sudah tertanam bahwa menulis lebih bisa dilakukan oleh orang bahasa, maka itu semacam sugesti bagi mereka untuk menjadi legitimasi mencari aman atas diri mereka. "Tidak mengapa walaupun tidak punya karya, karena kami bukan orang bahasa yang tahu konsep menulis", pernyataan semacam inilah yang penulis sering dengar sebagai tameng beberapa kawan yang mengaku tidak bisa produktif menulis. Padahal rata-rata ide mereka ketika menggunakan bahasa verbal cukup baik jika dikembangkan juga dalam tulisan yang bisa dibaca oleh banyak orang.
solusi realistis untuk terwujudnya budaya membaca dan menulis ini lebih mengarah pada meratanya distribusi bahan bacaan untuk peserta didik ataupun masyarakat kita. Dengan bahan bacaan yang memadai, wawasan untuk dikembangkan menjadi tulisan pun semakin baik. Di samping itu dengan meratanya bahan bacaan berkualitas di semua daerah tidak ada lagi kesenjangan antara sekolah di kota dan pedalaman. Lalu terkait kurikulum pendidikan kita dalam hal berkarya, kita tidak akan tahu sejauh mana kompetensi peserta didik kita selama kita tidak mencoba memberikan mereka sedikit tantangan untuk berkarya melalui tulisan, dan jika tidak dimulai dari sekarang, maka sama halnya kita terlalu membiarkan peserta didik dalam zona nyaman yang melenakan mereka terkungkung dalam kemalasan untuk berkarya.

4 komentar:

  1. ini tugas kuliah ya mas Baim?
    *peace love gaul*

    BalasHapus
  2. Ini dari tugas kuliah s1 ya im? Ntap.

    BalasHapus
  3. Komen Rena sama Fauzan ngeri2 majasnya.
    Hahaha

    BalasHapus
  4. Itu tulisan ngaco aja gan, hahah

    Terimakasih udah berkunjung..haha

    BalasHapus

Jalan Sunyi Si Pendidik

sumber :digaleri.com Baim Lc*  Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal ya...