Rabu, 30 Desember 2015
Gerakan Perpustakan Anak Nusantara : Mengabdi Dari Hati Untuk Indonesia Berbudaya
Salah satu staf Pengajar Di UGM yang pernah mendapat kesempatan untuk belajar di daratan Eropa pernah bercerita kepada kami, bahwa orang-orang Barat itu hebat dalam segala hal bukan karena mereka lebih pintar dari segi intelektualitas, akan tetapi mereka lebih rajin dalam segala hal, salah satunya lebih diporsir waktunya untuk membaca. Dengan kebiasaan membaca secara tidak langsung wawasan dan ide kreatif itu lebih mudah dikembangkan karena referensi yang pernah mereka telan cukup banyak.
Membaca merupakan proses vital dalam membangun intelektualitas dan pengembangan wawasan kita, maka sudah seharusnya perintah membaca yang diturunkan Tuhan sebagai ayat pertama dalam Al Qur'an kita jadikan sebagai intervensi untuk meningkatkan hal tersebut, dengan membaca kita mengetahui hal-hal baru dalam kehidupan yang dapat memperluas wawasan, di samping itu membaca merupakan proses menuntut ilmu secara autodidak melalui buku.
Beranjak dari keprihatinan kurangnya minat baca generasi muda kita, membuat salah seorang kawan (Imam Arifa'illah) tergerak untuk membentuk sebuah gerakan perubahan demi terwujudnya generasi muda yang peka terhadap minat baca. Alumni Pendidikan Geografi Universitas Negeri Malang ini pun mulai menggagas sebuah gerakan yang dinamakan "Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara" (GPAN) yang pertama kali bergerak di bidang penyedia bahan bacaan untuk anak-anak desa dan memberikan bimbingan belajar yang dimulai di Lamongan, Malang tempat tinggal kawan tersebut. Buku-buku yang disediakan oleh Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara berasal dari sumbangan kawan-kawannya yang peduli akan gerakan perubahan untuk generasi muda kita, di samping sebagai penyedia bahan bacaan untuk membudayakan Membaca, GPAN Malang ini pun mulai membentuk Tim dengan beberapa program yang dicanangkan, seperti bimbingan belajar intensif untuk anak-anak desa di Lamongan, Perpustakaan desa, Kunjungan ke beberapa daerah terpencil untuk berbagi inspirasi dan lain-lainnya.
Untuk melebarkan sayap perjuangan dan Pengabdian melalui Gerakan Perpustakan Anak Nusantara ini, sang penggagas mulai membidik ke kota besar yang terkenal dengan Kota pendidikan, Yogyakarta. Sang Penggagas yang juga sebagai penerima Beasiswa Magister dari LPDP dan sedang menjalani Program pengayaan dari penyedia Beasiswa di UGM, mulai membangun koordinasi dengan mengajak penerima beasiswa (Awardee) lainnya agar ikut terlibat dalam pengabdian ini. Maka dibentuklah "Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara Regional Yogyakarta" dengan berorientasi pada semangat pengabdian untuk bersama-sama membangun intelektualitas generasi bangsa, sederhananya untuk membudayakan Membaca melalui program-program yang akan digagas lebih lanjut.
GPAN Regional Yogyakarta ini masih dalam tahap merangkak, dan sangat membutuhkan dukungan bagi yang ingin ikut terlibat dalam gerakan pengabdian ini. GPAN Regional Yogyakarta ini membuka kesempatan seluas-luasnya bagi semua pihak yang mempunyai komitmen dan keikhlasan untuk mengabdi membangun bangsa, beberapa divisi yang telah disepakati masih membutuhkan Tim yang bersedia untuk ambil peran dalam pengabdian ini. GPAN di samping sebagai wadah pengabdian juga sebagai wadah silaturahmi untuk membahas Tips-tips meraih Beasiswa, karena rata-rata anggota yang terlibat di dalamnya merupakan Awardee/penerima beasiswa seperti Bidik Misi dan LPDP. Selain itu juga sebagai wadah untuk berbagi Inspirasi agar semakin banyak menularkan motivasi dan semangat untuk mengabdi, walaupun itu melalui hal sederhana namun bermanfaat, sekalipun itu hanya untuk diri sendiri, lebih-lebih bermanfaat untuk orang lain.
Untuk itu bagi yang ingin berkontribusi dalam pengabdian ini dapat mengajukan diri melalui borang Rekrutmen yang disediakan atau menghubungi kontak di bawah ini.
Salam Pengabdian, untuk Indonesia lebih mendunia.
Borang Rekrutmen : goo.gl/VSlOmh
email : gpanregionaljogja@gmail.com
Instagram : @gpanjogja
Facebook : Gpan Jogja
CP/WA : 085733438854 (Imam)
085853329449 (Retno)
Jumat, 18 Desember 2015
Kejujuran, Modal Sosial Yang Sangat Berharga Saat Ini
Selepas shalat Ashar di Masjid samping RS. Sardjito UGM, di
halaman masjid terlihat seorang bapak tua bertopi hampir menutupi sebagian
mukanya, duduk dengan beberapa tumpuk keset di depannya. Salah seorang Jamaah
yang baru selesai shalat menghampirinya, menanyakan harga keset tersebut.
Jamaah itu rupanya jadi membeli sebuah keset dari bapak Tua tadi. Ketika akan
membayar, jamaah tadi mengeluarkan lembaran 50 ribuan dari dompetnya.
" Ini bayarnya pak". Ucap jamaah tadi sambil
menyodorkan ke tangan bapak tua tersebut.
" Kembali pak ya?". Jawab bapak tua itu seolah
ragu untuk mengambil uang tersebut dan membuat saya kebingungan kenapa dia
bertanya seperti itu kepada pembeli. Lantas dijawab oleh jamaah tadi dengan
mengiyakan saja.
"Tadi Lima Puluhan itu pak, oh ya ada plastiknya tidak
pak untuk bungkusnya?". Jamaah (pembeli) tersebut meminta plastik, namun
sepertinya tidak didengar oleh bapak tua tadi. Dia sibuk meraba kantong bajunya
untuk mengambil kembalian untuk pembeli. Tak sengaja dari kantong baju sebelah
kiri dia mengeluarkan lembaran 100 ribuan.
" Itu 100 ribuan pak". jamaah tadi mengingatkan,
barulah saya sadar ternyata bapak tua penjual keset tersebut tidak bisa
melihat. Uang tersebut kembali dimasukkan ke dalam kantong sebelah kiri
bajunya, lalu kembali meraba kantong baju sebelah kanan. Ketika bapak tua tadi
mengeluarkan lembaran dari kantong bajunya, sang pembeli yang menyebutkan
nominal uang yang diraba tersebut. Dan itu berulang hampir sampai 5 kali,
barulah sang pembeli mendapatkan uang yang pas untuk kembaliannya. Harga 1
keset yang dijual 10 ribu saja.
Sungguh perjuangan yang luar biasa bagi bapak Tua dengan
langkah meraba-raba, namun masih sanggup berjuang mencari nafkah dengan
berjualan keset. Dia sama sekali tidak khawatir akan salah memberi uang
kembalian kepada pembeli, karena sangat percaya bahwa rizki Tuhan terhampar
luas bagi yang berusaha. Rizki itu pun dicari melalui berjualan keset oleh
bapak Tua tersebut, karena dia yakin itu yang mampu dia lakukan. Istiqomahnya
walaupun tidak terlalu banyak untung menjadikan saya seolah merasa kecil,
lemah, tidak ada artinya dibanding bapak tadi. Begitu keras perjuangan seorang
laki-laki untuk keluarganya, meski dalam keadaan seperti itu, tanggung jawab
yang dia emban memintanya untuk terjun ke jalanan dengan Setumpuk keset yang
dia jinjing.
Setelah meletakkan dagangannya di tangga masjid, dia pun
meraba-raba kembali tembok masjid menuju tempat Wudhu. Sepertinya dia sudah
mengenal area masjid tersebut, Beruntungnya juga salah seorang jamaah yang baru
selesai wudhu menuntunnya ke tempat wudhu dan membukakannya kran air. Sungguh
pelajaran yang luar biasa sore ini.
Sekembali dari Masjid, di tengah perjalanan menuju Kos salah
seorang teman, kami menemukan sepeda tergeletak dengan beberapa bungkusan
plastik putih. Sementara kami berhenti memperhatikan sepeda tergeletak
tersebut, Ada bapak-bapak menghampiri sambil berucap " Kalau mau ambil dek",
kami masih terdiam. Bapak tersebut membangunkan sepedanya yang tergeletak,
sementara kami membantu mengangkat bungkusan besar tersebut ke atas sepeda,
isinya ternyata Rambutan. Ada satu bungkusan yang sobek dan banyak terjatuh
isinya, salah seorang teman mengangkatnya ke keranjang sepeda sementara isinya
yang tergeletak diminta kami untuk mengambilnya saja. Bapak tadi menawarkan
lagi agar kami mengambil Rambutan dari plastik yang telah diangkat sebagai
tambahan. Namun kami mengatakan sudah cukup, karena memang rambutan yang
tergeletak di jalan tadi sudah cukup banyak, jika diperkirakan hampir mencapai
2 kiloan.
Niat saya untuk dapat mencicipi Rambutan akhirnya tercapai
juga, karena setiap berangkat ke kampus biasanya hanya bisa melihat Rambutan
yang memerah menggoda tersebut di halaman rumah warga. Bahkan ketika selesai
makan siang tadi kami melintasi rumah warga yang buah rambutannya cukup lebat
dan dahannya sudah lewat dari halamannya, menjulur ke jalanan. Kalau di
kampung, jika ada Pepohonan yang dahannya menjulur ke luar jalan melewati
halaman Rumah pemiliknya, berarti buah di dahan yang menjulur ke Jalanan
tersebut bisa diambil oleh umum, dan pemiliknya tidak boleh memarahi orang yang
mengambil (seharusnya).
Selalu ada pelajaran berharga di tiap kesempatan, bukankah
orang yang berpikir itu selalu bisa melihat sesuatu dari sisi kebaikan, dan
itulah sebaik-baik prasangka yang akan mendatangkan kebaikan pula, baik yang
akan didapatkan secara langsung atau ditangguhkan dan akan kita dapatkan tanpa
disangka-sangka. Marilah tetap menebar kebaikan sekecil apapun itu.
Tepung Paleng, Kue Brownies Zaman Dulu di Kampung.
Di sela-sela istirahat jam pertama pengayaan di UGM, Peserta
biasanya ramai memadati sekitar Dispenser yang hanya 1 disediakan di antara 3
kelas pengayaan tersebut. Jam istirahat pertama diselingi dengan minum kopi
atau teh yang juga disediakan pengelola pengayaan, maka tak heran di antara
sekian banyak peserta yang membutuhkan air panas untuk membuat kopi atau teh
ada yang tidak kebagian dan harus menunggu supaya air yang di dispenser
tersebut panas dulu. Secara tidak sengaja salah seorang kawan dari sulawesi
yang tidak mendapat air panas untuk membuat kopi, padahal gula dan kopi sudah
diisi pada gelas, akhirnya berinisiatif untuk menambahkan sedikit air ke dalam
gelasnya lalu mengaduk gula dan kopi tersebut menjadi adonan dan berwarna
coklat seperti kue brownies.
Melihat adonan kopi dan gula tersebut imajinasi saya
melayang ke waktu kecil (sekitar tahun 1996), masa-masa indah kami menunggu
adonan kopi tersebut menjadi senikmat brownies yang dinikmati anak-anak masa
sekarang. Kebiasaan minum kopi di kampung, entah itu bagi pekerja kantoran,
petani, buruh dan lainnya mengharuskan ibu rumah tangga menyediakan kopi di
rumah masing-masing jika sewaktu-waktu ada pula keluarga yang bertamu. Waktu
dulu, Menyajikan segelas kopi lebih sederhana dari pada menyajikan teh, karena
membuat teh harus menggunakan penyaring dengan daun teh yang telah diiris
kecil-kecil di atasnya, lalu dituangkan air panas, tidak seperti sekarang yang
sudah beredar teh celup, atau teh cair.
Ibu-ibu rumah tangga yng menyediakan kopi hitam bubuk,
biasanya mengolah sendiri biji kopi yang dibeli, walaupun di kampung saya
masyarakatnya rata-rata penikmat kopi, jarang yang berinisiatif untuk menanam
pohon kopi di sekitar pekarangan, di sawah atau ladang mereka. Proses membuat
kopi hitam bubuk ini melalui beberapa tahapan, biji kopi terlebih dahulu
dijemur sehingga keringnya benar-benar merata. Selain biji kopi, campuran untuk
membuat kopi bubuk hitam ala kampung saya yaitu beras dan irisan kelapa. Beras
direndam terlebih dahulu supaya menjadi lembek, perbandingan beras dan kopi
diperkirakan secukupnya saja. Jika biji kopi setengah kilo, maka berasnya
seperempat kilo, atau seperempat kilo beras dalam istilah orang kampung disebut
" Sekobokan", diukur dengan nampan seukuran lebar telapak tangan.
setelah beras yang direndam dirasa tidak terlalu keras,
barulah ditiriskan dan dicampur dengan biji kopi dan irisan kelapa sebagai pengharum,
Campuran tersebut siap untuk digoreng, tidak menggunakan minyak goreng dan
harus menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat. Pengaduknya berbentuk
sendok dari kayu dan bagian adukannya dari batok kelapa. Proses menggoreng kopi
ini membutuhkan waktu sekitar 30-40 menit dan membutuhkan ketelitian agar semua
bahan campuran tadi matangnya merata ditandai dengan kehitamannya dan mulai
menebarkan semerbak khas bau kopi. Setelah itu didinginkan terlebih dahulu
supaya kadar campurannya menyatu.
Proses selanjutnya yaitu menumbuk campuran yang telah
digoreng tadi menggunakan Lisong (wadah dari kayu berbentuk lonjong di bagian
tengahnya terdapt ruang untuk menumbuk), karena memang dulu belum ada mesin
penggiling seperti sekarang. Lisong itulah sebagai penggiling untuk berbagai
keperluan waktu dulu, seperti menumbuk beras supaya menjadi tepung, menumbuk
bumbu masakan dalam jumlah besar pada acara hajatan (Begawe). Pada proses
penumbukan campuran kopi yang telah digoreng inilah wangi khas kopi mulai menebar,
mengundang kami yang masih kecil biasanya berkumpul mengelilingi lisong
tersebut dan secara bergantian menumbuk campuran tadi, walau hanya sekedar
tumbukan 2 atau 3 kali.
Pada proses penumbukan untuk mendapatkan bubuk kopi hitam
harus benar-benar lembut, sehingga kopi
yang dihasilkan ketika diseduh (dibuat) tidak banyak ampas yang mengapung. Lalu
Yang kami tunggu dari proses penumbukan kopi tersebut, biasanya di dasar lisong
kayu ada kerak sisa tumbukan yang masih melekat dan tidak sehalus bubuk kopi yang
telah dikorek. Kerak sisa tumbukan itulah oleh orang Sasak dinamakan Tepung
Paleng, berasal dari kata "tepung" yaitu "tepung/sesuatu yang
sudah dihaluskan" dan " Paleng" yang secara gramatikal makna
yaitu "pingsan". Jadi Tepung paleng secara keseluruhan maknanya bukan
tepung yang pingsan, tetap sisa dari tumbukan kopi tadi.
Selanjutnya kerak sisa tersebut diungkit terlebih dahulu
dari dasar lisong, walupun berbentuk lembut tetapi karena berada dibawah
sehingga mengendap dan hampir padat. Sisa kerak atau tepung paleng ini dicampur
dengan gula pasir lalu diaduk seperti membuat adonan kue, bentuknya persis
seperti kue brownies yang kita temukan sekarang, bedanya brownies dari biji
coklat sedangkan tepung paleng dari biji kopi. Barulah dibagikan kepada anak-anak
kecil yang mengelilingi lisong tadi walaupun sama-sama sedikit yang penting
harus semua kebagian. Makanan khas seperti itu jarang kami nikmati karena tidak
setiap hari ada warga yang menumbuk kopi. Masa-masa itu mengingatkan betapa
nilai kekeluargaan masih sangat erat digenggam, karena biasanya setelah kopi
bubuk didapatkan, warga yang menumbuk kopi tadi membagikan hasil tumbukan tadi
walau hanya segelas bubuk kopi hitam kepada tetangganya.
Sekarang tidak ada lagi kita temukan orang yang menumbuk kopi,
karena mesin penggiling yang cukup banyak beredar dan dijadikan usaha
penggilingan. Rata-rata warga juga lebih memilih menggunakan mesin penggiling
agar bubuk kopi cepat jadi, di samping itu tidak semua memiliki lisong. Artinya
jika akan menumbuk kopi mereka harus meminjam pada tetangga yang punya. Bahkan
sekarang lisong kayu entah ke mana perginya, dahulu di rumah masih tersimpan
satu, namun karena sering terkena hujan akhirnya mulai retak dan dalamnya tidak
cukup bersih, lalu berakhir menjadi kayu bakar. Warga yang mengadakan hajatan
mulanya menumbuk bumbu menggunakan lisong kini beralih ke mesin penggiling,
Blender, hasilnya memang lebih lembut serta lebih cepat.
Jika menilik dari segi aroma, memang kopi hasil tumbukan
jauh lebih beraroma dari pada hasil gilingan. Tingkat penyusutan bahan campuran
kopi ketika digiling juga lebih besar dari pada ditumbuk. Namun kepraktisan
menggunakan mesin penggiling tidak bisa lagi dibantah, padahal bagi penikmat
kopi, menumbuk menggunakan lisong secara tidak langsung berolahraga. Pantas
saja orang-orang dulu sehat-sehat karena semua dilakukan mengunakan kemampuan
mereka, tanpa campur tangan mesin.
Setidaknya kenangan indah itu pernah kami alami, masa-masa
di mana kopi menjadi minuman praktis yang orang-orang tua kami selalu nikmati.
Bahkan saat sarapan, waktu kecil kopi bisa menjadi kuah untuk nasi, walaupun
terasa manis, lidah kecil kami cukup menikmatinya. Satu lagi hal yang selalu
kami nantikan, ketika ada acara hajatan (begawe) selalu disediakan makanan
khas, Renggi yang terbuat dari ketan dibentuk menjadi bulatan lalu dijemur,
setelah kering barulah digoreng. Makanan khas ini bisa dikatakan tidak pisah
dari kopi ketika ada acara begawe. Nikmatnya juga ketika renggi dicelupkan ke
kopi menambah ciri khas kopi sajian kopi sebagai tradisi orang begawe.
Sekarang hal tersebut jarang kita temukan, dan hanya menjadi
cerita untuk generasi selanjutnya. Namun Kopi adalah bagian dari tradisi yang
tak kan pudar dan terus dinikmati secara berkelanjutan.
Senin, 30 November 2015
Keikhlasan Rutinitas
Saat
masih MTs. , malam Jumat biasanya mengaji di rumah, karena Mushalla dipakai
oleh jamaah Muslimah untuk pembacaan Hizib (Hiziban). Dari kebiasaan yang sudah
lazim di kampung, mengaji malam jumat diawali dengan membaca surat Ya siin,
begitu juga saya yang sering improvisasi bunyi bacaan sebaik mungkin kala itu.
Selesai surat Ya siin kadang saya lanjutkan dengan menghapal ayat-ayat pendek
atau terkadang dicukupkan dan mulai membaca buku yang lain. Namun berbeda
dengan kakak perempuan saya yang selesai membaca Ya siin dilanjutkan dengan
membaca surat yang bunyi akhir tiap ayatnya seperti berirama sama. Saya hanya
menyimak dan mencoba memahami maknanya sebatas Ilmu nahwu dan Bahasa Arab yang
sudah saya dapatkan sejak MI.
Lalu
kakak saya menjelaskan, dia membaca surat Al Kahfi setiap malam Jumat, bahwa
nilai bacaan untuk satu surat tersebut Pahalanya sampai Jumat yang akan datang,
itu berdasarkan Ilmu yang telah dia dapatkan dari Pengajian-pengajian Halaqah
di Pondok Pesantren. Semenjak itu saya mulai tertarik membaca surat Al Kahfi
setelah Ya Siin, tentu saja karena tertarik dengan besar balasan yang kita
dapatkan walaupun itu hal abstrak yang kita tidak tahu sampai atau tidaknya bacaan
kita. Memang, melakukan suatu kebaikan
hanya karena mengharap balasan, belakangan saya tahu bisa juga dicap bukan
sebuah keikhlasan. Namun kala itu saya tertarik untuk terus menjadikan
rutinitas membaca surat Al Kahfi pada malam Jumat, saya akui sebagai ibadah untuk mengharap
balasan pahala sampai satu minggu ke depan.
Jika
kita berpikir kalkulasi nilai pahala, itu akan sangat membingungkan bagaimana
menghitung untuk nilai bacaan sampai satu minggu ke depan. Saya pun tidak
mencoba mencari jawaban bagaimana menghitung pahala satu minggu ke depan
tersebut, namun tetap menjalani rutinitas untuk membaca surat tersebut tetap
setiap malam jumat. Begitu juga sampai memasuki bangku kuliah, di tengah
kesibukan saya sebagai mahasiswa yang tinggal di kampus dan kadang mengikuti
kajian malam Jumat di beberapa Masjid, tak jarang membuat saya tidak dapat
membaca surat Al Kahfi pada malamnya usai Maghrib, sebagai gantinya saya
membacanya sesusai shubuh bahkan menyempatkan pada pada waktu dhuha atau
sebelum khutbah di mulai ketika mengikuti shalat Jumat.
Ternyata
Al Marhum bapak juga menjadikan amalan bacaan surat Al Kahfi sebagai wirid
setiap malam Jumat, saya tahu itu ketika malam Jumat pada Ramadhan beberapa
tahun lalu beliau terdengar melantunkan bacaannya sehabis tarawih. Setelah
beberapa tahun mengintensifkan mengaji surat Al Kahfi setiap malam Jumat,
ketika tidak sempat atau bahkan lupa mengaji seakan ada yang kurang dan terasa
sekali perbedaannya antara Jumat ketika membaca surat Al Kahfi pada malamnya
dengan malam Jumat yang saya tidak sempat membaca. Seperti ada energi positif
yang menarik ingatan saya untuk menyempatkan diri membaca surat Al Kahfi
tersebut sekalipun ketika sibuk atau sedang berkumpul bersama teman-teman waktu
di kampus.
Perlahan
demi perlahan setelah mengintensifkan bacaan,
saya pun mencoba menelaah isi Surat Al Kahfi tersebut. Mulai dari ebook
terjemahan tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Jalalain, saya mendapatkan makna yang
sangat besar berisi kisah luar biasa yang terjadi pada hamba-hamba pilihan
sebagai sebuah Ibroh bagi umat masa kini. Mulai dari keteguhan Para Pemuda
mempertahankan Iman, dan bersembunyi di gua sampai ketika terbangun tidak ada
yang tahu berapa lama mereka di sana. akan tetapi mereka merasa hanya seperti
sehari semalam saja. lalu kisah Nabi Musa yang berguru pada hamba Allah yang
diberikan kelebihan Ilmu ( Nabi Khidir),
dan disebutkan tentang arus air yang bertemu di satu titik, tiba-tiba ikan di dalam tempayan sebagai
bekal meloncat ke air dan langsung hidup, maka di sanalah letak tempat yang
dicari-cari, walaupun nabi Musa gagal untuk menimba Ilmu pada Hamba Allah
tersebut disebabkan ketidak sabarannya untuk tidak bertanya terlebih dahulu
sebelum hamba tersebut menjelaskan padanya.
Tempat
pertemuan titik air itu pun diadopsi ke dalam sebuah film produksi hollywood
yaitu "The Pirates of Carribean : Stranger tides", bagaimana mereka
mencari titik pertemuan air tersebut yang dikatakan sebagai air untuk
kekekalan. walau bagaimanapun adopsi ide ceritanya hampir sama namun tak sehebat
apa yang diceritakan dalam Al Qur'an dan dibahas pada kitab tafsir tersebut.
Kisah luar biasa selanjutnya yang dikabarkan dalam surat Al Kahfi tentang
seorang yang pernah menguasai dunia dari Masyriq sampai Maghrib, yaitu Dzul
Karnain. Dalam beberapa ayat terakhir surat Al Kahfi juga menjelaskan bagaimana
Dzul Karnain yang diminta membangun tembok untuk menghalau Ya'juj dan Ma'juj
yang dikatakan sebagai bala tentara dajjal. Kisah Luar biasa Iskandar
Dzulkarnain ini pun diadopsi oleh pihak barat dengan menciptakan tokoh sendiri
yang dianamakan Alexander the great. Walau bagaimanapun itu hanyalah fiksi
mereka yang kebenaran sejatinya dicontek dari ayat Al Qur'an yang mulia di
Surat Al Kahfi tersebut.
Karena
itu walau bagaimanapun seringnya kita membaca surat Al Kahfi setiap Jumat pasti
tetap tersentuh dengan uraian ayat-ayat mulia itu yang akan terus diwariskan
kisahnya turun temurun pada generasi kita sampai hari akhir. Sekian lama
menelaah kandungan isi Surat Alkahfi tersebut dan sampai saat ini pun belum juga
tuntas, sudah terlupakan paradigma mengaji Surat Al kahfi hanya untuk
mendapatkan pahala sampai jumat berikutnya, dan saya mulai mencoba membangun
sebuah pribadi ikhlas yang beribadah bukan semata-mata untuk balasan pahala, tetapi benar-benar ikhlas sebagai hamba yang
menghiba dan berserah diri.
Secara
tak sengaja membaca uraian hikmah yang ditulis salah seorang teman di facebook
tentang apa yang didengar dari Emha Ainun Najib bagaimana ikhlas beribadah,
beramal yang sebenarnya. Cak Nun mengurai bahwa ketika ibadah jangan sampai
hati berharap lebih dari ibadah yang kita lakukan, karena itu bukan lagi
bernilai ibadah tetapi niat jualan untuk mendapat pahala atau balasan rizki
yang lebih besar, dan secara tidak langsung memojokkan hati kita dengan sistem
bisnis modal kecil, laba besar. padahal jelas, secara nyata Tuhan
menginstruksikan dalam firmannya pada surat Al bayyinah " dan tidaklah
sekali-kali mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah kepada Allah dengan
keihklasan untuk memurnikan agama yang lurus (5) ".
Keikhklasan
itu memang bisa menjadi hal tersulit yang harus kita usahakan, namun buah
manisnya akan sangat terasa jika sudah terbiasa melekatkannya dalam diri kita.
Begitu juga halnya dengan rutinitas Membaca surat Al Kahfi pada malam jumat,
dari awal saya meng-iming-imingi diri dengan pahala besar sampai jumat
berikutnya, namun seiring kedewasaan berpikir pahala itu bisa menjadi hal
sekian dalam prioritas, bahkan dianggap sebagai bonus dari Tuhan jika
keikhlasan beribadah itu dapat kita usahakan.
Saya
rasa demikian pula halnya dengan ibadah Muaakkad lainnya, ketika kita sudah
terbiasa dan menjadikannya sebagi sebuah rutinitas, maka pada saat tidak dapat
melaksanakannya dalam sekali saja, terasa ada yang janggal dalam diri kita.
Dari hal inilah kita berbaik sangka pada Tuhan bahwa harapan balasan bukan pula
sebagai prioritas mutlak yang harus diijabah, namun keikhlasan dan ketguhan
hati kita lah yang menjadikan prasangka bahwa Tuhan tidak akan pernah
memungkiri janji-Nya pada Hamba yang telah berusaha dan Ikhlas menjadikan
ibadah bukan hanya tunai kewajiban dan mengharap balasan. Tetapi benar-benar
ikhlas hanya Untuk-Nya.
Selfie : Sebuah Trend dan Tradisi Ria'
Tiga
tahun terakhir penulis pernah berprofesi sebagai PNS (Pencari Nafkah Serabutan)
dengan melakoni jual beli online di grup-grup facebook atau situs jual beli
lainnya. Sebut saja jual beli online Handphone second, biasanya hal pertama
yang ditanyakan pembeli yang tertarik dengan postingan kita yaitu apakah
handphone yang akan kita jual memiliki kamera depan atau tidak. Semenjak
tenarnya tongkat "sakti" narsis untuk selfie, kamera depan seolah
menjadi prioritas ketika seseorang akan membeli handphone. Selfie semakin
merebak seiring dengan berkembangnya aplikasi-aplikasi kamera untuk membuat
gambar lebih baik, atau banyak yang disebut sebagai kamera fitnah.
Budaya
foto sendiri atau foto barengan dengan kamera depan seolah ingin menunjukkan
eksistensi diri yang ingin dipuji dan pamer, sehingga orang lain yang melihat
foto tersebut akan kagum atau penasaran dengan tempat di mana foto selfie
tersebut di ambil, jika itu suatu tempat wisata, atau untuk menonjolkan kelebihan
yang ada pada dirinya semisal ketika itu foto unik. Namun selfie tak selamanya
akan mendapat pujian, ada juga yang mendapat kecaman dari orang yang melihat
foto tersebut di media sosial. Seperti kecaman netizen untuk warga yang
berbondong-bondong datang ke tempat jatuhnya pesawat Hercules beberapa waktu
lalu, tidak sedikit yang upload foto selfie di media sosial dengan kepulan asap
dari pesawat jatuh di belakangnya.
Sama
halnya dengan kecaman baru-baru ini yang ditujukan kepada orang-orang yang
selfie di taman bunga Amarylis Gunung Kidul, Yogyakarta. Salah seorang teman di
grup Whattsapp dengan antusias membagikan informasi tentang taman bunga yang
hanya bermekaran di awal musim penghujan akhir tahun ini. Komentar untuk
persiapan bersama-sama menuju taman bunga itu pun sudah dibicarakan dengan
baik, alangkah kagetnya hari Sabtu kemarin beberapa media online seperti
merdeka.com, tribunnews menulis berita tentang hancurnya taman bunga tersebut
disebabkan ramainya pengunjung yang tidak bisa menjaga dengan baik, disertai
foto selfie mereka ketika berada di tengah menginjak-injak bunga, ada yang
sedang menduduki bunga-bunga yang bermekaran tersebut, bahkan ada juga yang
upload foto sedang tiduran di tengah bunga-bunga amarylis tersebut.
Sangat
disayangkan hanya untuk terlihat narsis dan ingin dipuji, para jamaah selfie
merusak keindahan alam yang seharusnya bisa bertahan sampai akhir tahun dan
bisa dinikmati warga lebih bvanyak lagi. Kecaman untuk mereka pun tidak bisa
dihindari, salah satu status teman di facebook membagikan berita yang ditulis
oleh tribunenews dengan cover foto salah seorang perempuan yang sedang tidur di
tengah hamparan bunga tersebut, bunyi statusnya berisi kecaman seperti ini,
" Saya bantu share mbak ya fotonya, supaya semakin banyak yang lihat foto
narsisnya di Taman Bunga yang indah ini", atau ada juga yang berisi
umpatan-umpatan untuk para selfiers di taman bunga tersebut yang dikatakan
"ndeso", bodonya gak ketulungan.
Ditilik
secara realitas memang semua orang ingin menunjukkan eksistensi diri,
lebih-lebih foto terbaik atau unik agar mendapatkan perhatian dari orang lain.
Dalam teori psikologi Humanistik yang dikemukakan Abraham Maslow, hal inilah
yang dikemukakan dalam salah satu hirarki kebutuhan yaitu kebutuhan untuk
aktualisasi diri. Aktualisasi diri dalam bentuk selfie salah satunya yang cukup
tenar saat ini, atau yang lainnya aktualisasi diri dalam bentuk pamer kelebihan
(hal besar), semisal ketika menghadiri acara bergengsi, atau sedang berfoto
dengan tokoh hebat atau pejabat, bahkan ada pula yang aktualisasi diri ketika
mengisi ceramah, kajian atau seminar yang dia sendiri sebagai pemeran penting
dalam acara tersebut. Hanya agar orang tahu bahwa inilah dirinya yang telah
mampu dan mendapat keberuntungan menjajaki hal bergengsi tersebut.
Hal
lainnya tentang aktualisasi diri yaitu ketika mampu menginjakkan kaki di suatu
tempat yang kadang tidak semua orang di sekitarnya mampu untuk melakukannya.
Semisal ketika mendapat kesempatan bepergian ke tempat-tempat besar, setiap
menit update status di facebook sedang berada di suatu tempat, agar memunculkan
komentar dari orang lain, entah untuk memuji atau sekadar mengucapkan
keingintahuan, lebih-lebih doa dari mereka, untuk doa sepertinya itu hal yang
cukup baik. Ada juga yang aktualisasi diri ketika mendapat kesempatan
melanjutkan study lebih tinggi, sehingga merasa lebih hebat dari yang lain,
lalu teori-teori keilmuan yang didapatkan dijadikan status agar terkesan jiwa
intelektualnya tampak sekali, padahal kezuhudan akan ilmu pengetahuan sering
kita dengar bahkan ucapkan tentang konsep ilmu padi, semakin merunduk semakin
berisi.
Lebih
ekstrem lagi banyak dari kita yang tidak sadar hanya untuk eksistensi agar
dipuji, ibadah pun kita jadikan sebagai bahan untuk pujian tersebut. Seperti
sering penulis temukan status di facebook, " Alhamdulillah dua rakaat di
tengah malam terasa adem", atau " Menu buka puasa hari Ini apa
ya?", yang lainnya "Dua rakaat dulu di pagi hari, semoga urusan
lancar". Status-status tersebut seolah-olah memberitahukan bahwa
penulisnya telah melakukan ibadah yang seharusnya hanya dia dan Tuhan yang tahu
malah dipamerkan untuk sekedar ada yang suka statusnya atau ditahu sebagai ahli
ibadah yang rajin. Padahal nilai Ihsan dari sebuah ibadah itu seolah-olah tidak
ada yang tahu kita ibadah, bahkan Tuhan Pun tidak, dan itu sangat ekstrem
karena Tuhan Maha Tahu ( Kutipan dari Ungkapan Emha A. Nadjib).
Kadang
saja penulis termasuk dalam kategori aktualisasi diri dengan menonjolkan
teori-teori tersebut. Terkadang niat kita berbagi pengetahuan semestinya
menjadi tolok ukur bagaimana kezuhudan diri kita dalam menapaki kehidupan di
usia yang masih labil ini. Seperti sebuah mahfudzat yang dikemukakan Umar bin
Khattab " Ilmu itu ada tiga tahapan. Jika seorang memasuki tahapan pertama,
ia akan sombong. Jika ia memasuki tahapan kedua, ia akan tawadhu'. Dan jika ia
memasuki tahapan ketiga, ia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya".
Karena memang begitulah konsep ilmu yang telah dijabarkan Tuhan dalam
firmannya, " dan tidaklah kamu diberikan pengetahuan melainkan sedikit
saja (Al Isra :85)". Dan banyak hal yang menjelaskan bahwa ketika merasa
ilmu kita telah cukup, maka kita termasuk orang yang bodoh (Imam Syafi'i).
Sikap
zuhud itu bukan hanya sebatas wacana, karena memang konsep zuhud dalam
kesederhanaan lebih mendekati tuntunan hidup yang dicontohkan Rasulullah, maka
secara perlahan hal itu bukan menjadi hal mustahil untuk kita jalani. Sikap
pamer kelebihan, entah itu selfie atau status yang menonjolkan diri terkadang
sulit untuk kita hindari. Sewajarnya sebagai makhluk yang masih menjajaki jati
diri, hal tersebut sebagai ajang untuk mendapatkan apresiasi dari orang lain.
Semata-mata agar mendapat pujian, aktualisasi diri yang berlebih banyak
menimbulkan persepsi tidak wajar dari orang lain yang melihat atau membacanya.
Sebagai
makhluk sosial yang normal dan membutuhkan orang lain, setidaknya kita harus
menjaga sikap dan prilaku yang wajar,
baik di dunia nyata maupun dunia maya (Media sosial) di mana kita
bergaul. Dan ketika ingin pamer kelebihan atau selfie sekalipun, setidaknya
nilai kepatutan itu terpikirkan oleh kita sebelum persepsi orang lain terhadap
kita dicap kurang tepat atau hal tidak wajar lainnya. Kelebihan itu pun tanpa
dipamerkan akan tetap menjadi khazanah besar dalam diri kita, apalah arti
pujian dari manusia, sementara pujian
dari Yang Maha Terpuji kita kesampingkan seolah Dia tidak pernah Memuji kita,
padahal jelas-jelas dalam Firmannya memuji kita sebagai makhluk terbaik yang
diciptakan dalam sebaik-baik bentuk (At Thin :4). Mungkin inilah salah satu
cara sederhana menggapai kezuhudan dalam diri yang masih penuh dengan dunia dan
berharap pujian sesama makhluk.
(
Sleman, 29-11-15)
Langganan:
Postingan (Atom)
Jalan Sunyi Si Pendidik
sumber :digaleri.com Baim Lc* Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal ya...
-
ANALISIS NILAI PENDIDIKAN YANG TERDAPAT DALAM NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA Oleh : ...
-
TEORI HIRARKI KEBUTUHAN DALAM CERPEN SEPOTONG SENJA UNTUK PACARKU KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA (TINJAUAN PSIKOLOGI HUMANISTIK ABRAHAM...
-
ANALISIS MAKNA KONOTASI DALAM LAGU BUTIRAN DEBU KARYA RUMOR *Abdul Rahim (Alumni FKIP UNRAM-PBSID) 1. Pendahuluan 1.1 Latar...