Senin, 07 November 2016

Tentang WC dan Masyarakat Muslim Mayoritas

Sepertinya bukan saja tentang pemikiran saya yang kolot, atau daerah saya yang memang tertinggal, ketika suatu waktu pas turun dari pesawat dan ingin buang air kecil yang sudah lama tertahan. Sesampainya di dalam bandara ternyata bukan saya saja yang merasakan hal itu, penumpang yang lainnya seperti berlomba-lomba menuju toilet bandara yang berdampingan dengan Mushalla. Di dalam toilet pria tersebut, berjejer 3 tempat kencing berdiri semacam westafel (Urinoir), yang ternyata banyak juga yang menunggu antrian untuk buang air di sana. Fasilitas toilet yang biasa di daerah kami (Lombok, NTB) jarang sekali ditemukan seperti itu, justru bilik WC-nya yang ditambah dari pada ditempatkan Urinoir untuk kencing berdiri. Rata-rata di tempat pelayanan publik, Perkantoran, Kampus, bahkan di masjid sekalipun ternyata terpasang juga fasilitas toilet untuk kencing berdiri tersebut.
Sebagaimana halnya waktu kecil dulu, kencing sembarang tempat dengan berdiri biasa terjadi di antara sesama teman sebaya. Seiring beranjak besar dengan pendidikan yang kami dapatkan, terlebih di lingkungan Pondok Pesantren diajarkan kepada kami dari saduran beberapa kitab karangan ulama-ulama Fiqh, bahwasannya kencing berdiri di samping secara tata kesopanan itu tidak baik karena mengikuti perilaku binatang, dari segi hukum agama pun sangat tidak dianjurkan, sebab ketika buang air kecil dengan berdiri pasti ada percikan-percikan air seni yang mengenai pakaian. Yang artinya pakaian terkena najis dan kadang kita remehkan untuk hal-hal sepele seperti ini.
Dalam kitab Ghayatu Taqrib pada bab istinja' dibahas pula tatacara bagaimana membasuh kemaluan agar benar-benar istinja' yang bersih dan terhindar dari najis, baik yang mengenai pakaian ataupun yang masih tersisa. Sedang pada Fenomena fasilitas toilet tempat kencing berdiri tersebut yang tersedia hanyalah saluran tempat air seni dialirkan lalu pada dinding Urinoir memang ada air yang akan mengalir dengan menekan tombol di atasnya, namun tidak efektif digunakan untuk beristinja', sebab airnya mengalir sekilas melalui dinding urinoir tersebut dan tidak memungkinkan untuk ditampung meski dengan tangan sekalipun. Ini artinya, ketika orang yang menggunakan toilet berdiri tersebut kadang memang tidak membasuh/istinja' setelah buang air kecil.
Mungkin bagi banyak orang toilet berdiri ini dikatakan sebagai sebuah kemudahan dan cepat, tanpa perlu membuka celana ketika buang air kecil. Namun bagi seorang muslim yang jika benar-benar memperhatikan perkara bersuci, mungkin tidak akan ada yang akan melakukannya sebab pentingnya perkara bersuci tersebut, terlebih ketika akan melakukan ibadah.
Tentang perkara bersuci ini Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabat " Suatu ketika beliau berjalan melewati kuburan, dan beliau mengatakan : kedua penghuni kubur ini sedang disiksa dan mereka disiksa disebabkan sesuatu yang tidak dianggap besar. Adapun salah satunya karena tidak bersuci dari buang air kecilnya, dan satunya lagi karena dia mengadu domba di antara sesama" (H.R. Bukhari). Bahwa mereka semasa hidupnya sering menganggap remeh perkara istinja', melalaikan perihal najis-najis yang tidak mereka bersihkan sampai ketika melaksanakan ibadah. Itulah sebabnya di setiap kitab Fiqh, pembahasan yang paling pertama disajikan yaitu tentang bersuci, disebabkan sangat pentingnya kedudukan bersuci ini dalam pelaksanaan ibadah syariat.
Di salah satu majalah islam (Al Qawwam), diceritakan tentang seorang Ibu tua renta petugas loundry di salah satu asrama mahasiswa di Inggris yang mendapatkan hidayah memeluk Islam karena sering mencuci pakaian dalam yang tidak berbau milik dua orang mahasiswa Muslim. Berbeda halnya dengan milik mahasiswa lainnya yang menimbulkan bau sangat menyengat. Ketika mencuci pakaian dalam 2 mahasiswa Muslim tersebut, Ibu tua petugas loundry ini selalu penasaran bagaimana ini bisa terjadi. Akhirnya Ibu tua itu menanyakan langsung ke mahasiswa Muslim tersebut, yang dijawab bahwa mereka selalu melakukan istinja' setiap kali buang air kecil maupun buang air besar. Ibu tua tersebut masih penasaran lalu menanyakan " apakah ini diajarkan di agama kalian?", dijawab oleh mahasiswa tadi bahwa bersuci merupakan kewajiban, di samping untuk menjaga kebersihan. Karena kagumnya akan hal tersebut Ibu Tua petugas loundry ini pun memutuskan untuk memeluk agama Islam.
Sedang fenomena saat ini, meskipun kita sebagai muslim mayoritas, lalu mengapa dengan produk-produk kapitalis seperti itu justru semakin mendiskreditkan kita sebagai Muslim mayoritas untuk berperilaku sama halnya dengan yang non muslim. Tak jarang penulis menemukan seorang Muslim yang akan melakukan ibadah, akan tetapi karena keinginan untuk buang air kecil yang tak tertahankan, sementara bilik WC yang tersedia hanya beberapa saja, jadilah dia buang air kecil di urinoir tersebut, tanpa bersuci secara baik dari hadatsnya.
Belum lagi masalah kesehatan yang ditimbulkan dari kebiasaan kencing berdiri, seperti Kencing batu, ketidaklancaran pada saluran kandung kemih, tersisanya air seni yang akan menggumpal dan menghimpun banyak bakteri, batu ginjal, dan lainnya. Sebab itu fasilitas terkait tempat buang hajat ini sepertinya semakin modern semakin biadab, beda halnya yang tradisional yang beradab. Memang posisi yang dianjurkan ketika buang hajat itu baiknya berjongkok. Sebab dengan begitu sepertinya lebih nyaman, dan kotoran yang terbuang lebih lancar, lebih waspada untuk terhindarnya pakaian dari najis yang keluar.
Sedikit tidaknya melalui dimassifkannya penyediaan urinoir di tempat-tempat publik, bisa dipastikan konsep kapitalisme telah berkembang merasuki kita, dan imperialisme modern bukan hanya tentang penguasaan atas hal fisik, namun secara tidak sadar perilaku kita pun mulai mengikuti budaya mereka. Di sinilah fungsinya filter kebermanfaatan dan fungsi dari sesuatu yang jangan sampai justru bertujuan menjerumuskan kita, meski itu melalui hal yang paling sederhana dan kita anggap remeh, seperti tidak bersuci dari buang air kecil tersebut.
Untuk itu modernisme yang berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat kita, semestinya dicegah dan kita kembalikan kepada kearifan lokal budaya kita yang kental dengan budaya timur-nya (Islam). Lalu perihal Urinoir dan tempat buang hajat tersebut, perlu lah mendapatkan perhatian dari pemilik-pemilik tempat publik yang seharusnya mementingkan asfek manfaat dan kebersihan, bukan hanya kemudahan namun menjerumuskan. (Baim Lc)

Tentang WC dan Masyarakat Muslim Mayoritas

Sepertinya bukan saja tentang pemikiran saya yang kolot, atau daerah saya yang memang tertinggal, ketika suatu waktu pas turun dari pesawat dan ingin buang air kecil yang sudah lama tertahan. Sesampainya di dalam bandara ternyata bukan saya saja yang merasakan hal itu, penumpang yang lainnya seperti berlomba-lomba menuju toilet bandara yang berdampingan dengan Mushalla. Di dalam toilet pria tersebut, berjejer 3 tempat kencing berdiri semacam westafel (Urinoir), yang ternyata banyak juga yang menunggu antrian untuk buang air di sana. Fasilitas toilet yang biasa di daerah kami (Lombok, NTB) jarang sekali ditemukan seperti itu, justru bilik WC-nya yang ditambah dari pada ditempatkan Urinoir untuk kencing berdiri. Rata-rata di tempat pelayanan publik, Perkantoran, Kampus, bahkan di masjid sekalipun ternyata terpasang juga fasilitas toilet untuk kencing berdiri tersebut.
Sebagaimana halnya waktu kecil dulu, kencing sembarang tempat dengan berdiri biasa terjadi di antara sesama teman sebaya. Seiring beranjak besar dengan pendidikan yang kami dapatkan, terlebih di lingkungan Pondok Pesantren diajarkan kepada kami dari saduran beberapa kitab karangan ulama-ulama Fiqh, bahwasannya kencing berdiri di samping secara tata kesopanan itu tidak baik karena mengikuti perilaku binatang, dari segi hukum agama pun sangat tidak dianjurkan, sebab ketika buang air kecil dengan berdiri pasti ada percikan-percikan air seni yang mengenai pakaian. Yang artinya pakaian terkena najis dan kadang kita remehkan untuk hal-hal sepele seperti ini.
Dalam kitab Ghayatu Taqrib pada bab istinja' dibahas pula tatacara bagaimana membasuh kemaluan agar benar-benar istinja' yang bersih dan terhindar dari najis, baik yang mengenai pakaian ataupun yang masih tersisa. Sedang pada Fenomena fasilitas toilet tempat kencing berdiri tersebut yang tersedia hanyalah saluran tempat air seni dialirkan lalu pada dinding Urinoir memang ada air yang akan mengalir dengan menekan tombol di atasnya, namun tidak efektif digunakan untuk beristinja', sebab airnya mengalir sekilas melalui dinding urinoir tersebut dan tidak memungkinkan untuk ditampung meski dengan tangan sekalipun. Ini artinya, ketika orang yang menggunakan toilet berdiri tersebut kadang memang tidak membasuh/istinja' setelah buang air kecil.
Mungkin bagi banyak orang toilet berdiri ini dikatakan sebagai sebuah kemudahan dan cepat, tanpa perlu membuka celana ketika buang air kecil. Namun bagi seorang muslim yang jika benar-benar memperhatikan perkara bersuci, mungkin tidak akan ada yang akan melakukannya sebab pentingnya perkara bersuci tersebut, terlebih ketika akan melakukan ibadah.
Tentang perkara bersuci ini Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabat " Suatu ketika beliau berjalan melewati kuburan, dan beliau mengatakan : kedua penghuni kubur ini sedang disiksa dan mereka disiksa disebabkan sesuatu yang tidak dianggap besar. Adapun salah satunya karena tidak bersuci dari buang air kecilnya, dan satunya lagi karena dia mengadu domba di antara sesama" (H.R. Bukhari). Bahwa mereka semasa hidupnya sering menganggap remeh perkara istinja', melalaikan perihal najis-najis yang tidak mereka bersihkan sampai ketika melaksanakan ibadah. Itulah sebabnya di setiap kitab Fiqh, pembahasan yang paling pertama disajikan yaitu tentang bersuci, disebabkan sangat pentingnya kedudukan bersuci ini dalam pelaksanaan ibadah syariat.
Di salah satu majalah islam (Al Qawwam), diceritakan tentang seorang Ibu tua renta petugas loundry di salah satu asrama mahasiswa di Inggris yang mendapatkan hidayah memeluk Islam karena sering mencuci pakaian dalam yang tidak berbau milik dua orang mahasiswa Muslim. Berbeda halnya dengan milik mahasiswa lainnya yang menimbulkan bau sangat menyengat. Ketika mencuci pakaian dalam 2 mahasiswa Muslim tersebut, Ibu tua petugas loundry ini selalu penasaran bagaimana ini bisa terjadi. Akhirnya Ibu tua itu menanyakan langsung ke mahasiswa Muslim tersebut, yang dijawab bahwa mereka selalu melakukan istinja' setiap kali buang air kecil maupun buang air besar. Ibu tua tersebut masih penasaran lalu menanyakan " apakah ini diajarkan di agama kalian?", dijawab oleh mahasiswa tadi bahwa bersuci merupakan kewajiban, di samping untuk menjaga kebersihan. Karena kagumnya akan hal tersebut Ibu Tua petugas loundry ini pun memutuskan untuk memeluk agama Islam.
Sedang fenomena saat ini, meskipun kita sebagai muslim mayoritas, lalu mengapa dengan produk-produk kapitalis seperti itu justru semakin mendiskreditkan kita sebagai Muslim mayoritas untuk berperilaku sama halnya dengan yang non muslim. Tak jarang penulis menemukan seorang Muslim yang akan melakukan ibadah, akan tetapi karena keinginan untuk buang air kecil yang tak tertahankan, sementara bilik WC yang tersedia hanya beberapa saja, jadilah dia buang air kecil di urinoir tersebut, tanpa bersuci secara baik dari hadatsnya.
Belum lagi masalah kesehatan yang ditimbulkan dari kebiasaan kencing berdiri, seperti Kencing batu, ketidaklancaran pada saluran kandung kemih, tersisanya air seni yang akan menggumpal dan menghimpun banyak bakteri, batu ginjal, dan lainnya. Sebab itu fasilitas terkait tempat buang hajat ini sepertinya semakin modern semakin biadab, beda halnya yang tradisional yang beradab. Memang posisi yang dianjurkan ketika buang hajat itu baiknya berjongkok. Sebab dengan begitu sepertinya lebih nyaman, dan kotoran yang terbuang lebih lancar, lebih waspada untuk terhindarnya pakaian dari najis yang keluar.
Sedikit tidaknya melalui dimassifkannya penyediaan urinoir di tempat-tempat publik, bisa dipastikan konsep kapitalisme telah berkembang merasuki kita, dan imperialisme modern bukan hanya tentang penguasaan atas hal fisik, namun secara tidak sadar perilaku kita pun mulai mengikuti budaya mereka. Di sinilah fungsinya filter kebermanfaatan dan fungsi dari sesuatu yang jangan sampai justru bertujuan menjerumuskan kita, meski itu melalui hal yang paling sederhana dan kita anggap remeh, seperti tidak bersuci dari buang air kecil tersebut.
Untuk itu modernisme yang berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat kita, semestinya dicegah dan kita kembalikan kepada kearifan lokal budaya kita yang kental dengan budaya timur-nya (Islam). Lalu perihal Urinoir dan tempat buang hajat tersebut, perlu lah mendapatkan perhatian dari pemilik-pemilik tempat publik yang seharusnya mementingkan asfek manfaat dan kebersihan, bukan hanya kemudahan namun menjerumuskan. (Baim Lc)

Minggu, 06 November 2016

Gengsi Dari Sebuah Profesi


Tanah itu kini dipenuhi semak, dengan rumput setinggi lutut orang dewasa tanpa ada tanaman pertanian yang biasa menghiasinya. Sawah warisan yang dulunya digarap oleh pria yang yang terbungkuk-bungkuk berangkat dari rumah walau hanya sekedar melihat-lihat tanamannya yg menyejukkan mata dan hatinya. dengan jerih payah dia pertahankan tanah tersebut untuk tetap menjadi persawahan walaupun lahan lain di sekelilingnya sudah tertancap beton untuk bangunan. Beberapa tetangganya pemilik lahan sekitarnya telah lebih dulu menyerah, tergiur tawaran para kapitalis yang membangun kerajaan mereka, dengan iming-iming pemilik lahan yang dibeli akan dipekerjakan juga di sana. Lahan yang dulunya produktif kini berubah menjadi lahan beton yang siap berdiri bangunan-bangunan megah.
Kondisi maraknya pemilik lahan menjual lahan mereka ke pemilik modal untuk pembangunan pertokoan serasa diaminkan juga oleh generasi pewaris lahan dari orang tua mereka. Ketika mereka diminta untuk menggarap sawah sebagai sampingan walaupun sekedar menanam sayuran untuk kebutuhan dapur sehari-hari, keengganan, gengsi, menyebabkan mereka lebih memilih bekerja sebagai orang kantoran, ataupun sales yang berbaju rapi dan memakai sepatu. Pergeseran persepsi tentang petani sebagai lambang kaum proletar dan kampungan  terus mengakar dan menjadikan generasi yang seharusnya produktif dan mampu dengan baik mengolah lahan pertanian malah lebih bangga dengan bekerja yang membutuhkan penampilan rapi dan parlente.
Seperti halnya salah seorang kawan lulusan pendidikan keguruan yang mengabdi sebagai guru honorer di sekolah swasta dengan gaji sekitar 150 ribu dibayar per-tiga bulan, lebih membanggakan profesinya tersebut dan membiarkan sawah warisannya tak produktif atau diminta orang lain untuk menggarapnya. Padahal orang tuanya dahulu di samping sebagai pegawai negeri sipil entah mengajar atau di kantor-an, namun sawah tetap tak terlepas dari kehidupan mereka sehari-hari. Ada juga kawan yang bekerja sebagai sales, entah sales sepeda motor atau sales barang-barang elektronik, yang selalu dikejar target penjualan karena itu sebagai sumber penggajian. Padahal jika mereka mau mengerjakan sawah warisan dari orang tua, bisa saja penghasilannya lebih baik dan jelas lebih halal dan bermanfaat karena diolah dengan tangan mereka sendiri.
Sepertinya sebuah profesi saat ini lebih dimaknai sebagai sebuah gengsi dari pada penghasilan. Sehingga memunculkan jargon negatif sebagai bahan olokan diantara beberapa kawan, bahwa gelar kesarjanaan untuk mengabdi di sekolah atau bekerja di perkantoran hanyalah sebagai tameng rutinitas agar ada tujuan untuk pergi berpenampilan rapi dan memakai celana panjang tiap harinya. Karena persaingan antara para sarjana benar-benar ketat, sebab yang dilahirkan kampus memang benar-benar sekedar sarjana, profesionalitas bidang keilmuan yang telah didalami menjadi urutan ke sekian dalam skala prioritas ketika mereka kembali ke masyarakat.
Nilai gengsi dari sebuah profesi sepertinya memang sudah mengakar sejak dulu di masyarakat kita. Sebab pengkotakan masyarakat berdasarkan profesi berdampak juga dengan sikap masyarakat terhadap yang lainnya. Semisal profesi guru di mata masyarakat tetap bernilai tinggi, apalagi guru agama/Ustadz, Kyai, Tuan Guru (Sebutan untuk tokoh agama di Suku Sasak, Lombok). Begitu juga seorang pegawai di Kepemerintahan, baik tingkatan Desa, Kabupaten atau Propinsi, mereka mempunyai posisi keta'zhiman di masyarakat lebih tinggi dibandingkan seorang yang berprofesi Petani, Tukang ojek, Kusir becak, peternak ataupun profesi-profesi lainnya yang berorientasi usaha.
Tentang gengsi dan harga diri dari sebuah profesi, seorang kawan (Agus Salam) pernah menceritakan bahwa dahulu semasa kesultanan Sumbawa (dengan gelar kesultanan, Sultan Kaharuddin) di Sumbawa Besar, NTB, bahwa kakeknya dahulu pernah berprofesi sebagai penarik upeti/pajak dari rakyat untuk kerajaan/kesultanan Sumbawa. Profesi ini sangat tinggi gengsinya dan disegani oleh masyarakat, sebab bisa dikatakan seorang penarik upeti merupakan kaki-tangan raja yang sudah mumpuni dan tidak sembarangan orang bisa mendapat posisi tersebut.
Sang kakek dengan profesi seperti ini merasa berbangga hati dan merasa tinggi harga dirinya sebagai orang kepercayaan raja dalam tugasnya. Walaupun sebagai penarik upeti untuk raja, namun kehidupan rumah tangga sang kakek tak ada kemajuan untuk keluarganya. Dia lebih sering berada di luar, dan hanya sewaktu-waktu kembali ke rumah. Konon istrinya pun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bekerja sebagai penjaga rumah warga lainnya yang sedang pergi bermusafir dalam jangka panjang, salah satunya perjalanan haji.
Suatu ketika sang istri (Nenek dari kawan tersebut) yang sudah sering mendapat kepercayaan sebagai penjaga rumah, tentu saja bukan sekedar menjaga rumah, tetapi membersihkan dan merawat apa saja yang ada di rumah tersebut sebagai sebuah tanggung jawab. Ia mendapatkan tugas lagi untuk menjaga sebuah rumah saudagar sapi yang akan berangkat berhaji. Tanggung jawab penuh diberikan kepadanya atas rumah tersebut, walaupun beliau tidak pernah membuat kesepakatan di awal untuk upah yang akan didapat. Beliau hanya menerima apa yang diberikan sang pemilik rumah sekembalinya dari perjalanan, dan tidak pernah mengeluh atau protes jika kadang dia mendapatkan kurang dari seperti yang didapatkan sebelumnya ketika menjaga rumah lainnya. Rasa syukur dan tanggung jawab inilah yang membuatnya bertahan untuk mendapat kepercayaan masyarakat sebagai seorang penjaga rumah.
Sekembalinya saudagar sapi dari berhaji, beberapa hadiah berupa sajadah, Tasbih dan mukenah diberikan pula kepada sang nenek. Namun sekira 3 hari kemudian dia nampak murka, sebab dia kehilangan beberapa Dukat (mata uang dari emas) di rumahnya setelah diperiksa di penyimpanannya. Akhirnya karena si nenek yang menjaga rumah, tuduhan pertama mengarah kepadanya. Berapa kalipun dia bersumpah bahwa tidak pernah mengambil apa pun dari rumah tersebut. Namun karena hanya dia yang menjaga dan menetap di sana selama saudagar pergi, tidak ada lain yang dicurigai dan patut dituduh.
Sang nenek pun dibawa oleh petugas dari kerajaan untuk dihakimi. Disaksikan oleh sang suami tanpa pembelaan, sang istri akhirnya dimasukkan ke penjara. Sang suami sebagai kaki-tangan raja masih konsisten dengan pendiriannya untuk mempertahankan profesinya sebagai penarik upeti, lalu berdalih ketika istrinya masuk penjara bahwa dia yang melakukan, dia pula yang menanggung akibatnya.
Sekitar satu setengah tahun kemudian ada kejadian aneh yang terjadi, saudara dari saudagar sapi yang pernah dijaga rumahnya oleh sang nenek tiba-tiba mengalami sakit dengan perut membesar tanpa diketahui penyebabnya. Beberapa dukun/tabib yang mencoba mengobati mengatakan sakitnya bukan hanya di fisik tetapi juga jiwa dan bathinnya yang terbelenggu karena beban pikiran atas suatu hal buruk yang pernah dia lakukan. Dukun yang cukup dipercaya di Masyarakat adat kampung tersebut menyarankan agar si sakit mengungkapkan sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya, supaya dia lebih tenang dalam keseharian ke depannya.
Pada akhirnya saudara dari saudagar sapi tersebut mengakui bahwa sesuatu hal buruk yang pernah dilakukan, namun orang lain yang menanggung akibatnya. Bukan hanya satu orang yang terkena dampak dari perbuatan buruknya, namun hampir satu keluarga yang ikut terlantar. Dialah yang telah mengambil dukat saudaranya ketika suatu kali berkunjung ke rumahnya semasa saudaranya masih bepergian. Selang satu hari setelah pengakuan tersebut, saudara dari saudagar sapi itu pun meninggal dengan kondisi perut makin membesar. Pengakuan dari almarhum diberitahukanlah kepada pihak kesultanan, dan sang nenek pun dibebaskan, namun sayangnya kondisinya sangat memprihatinkan, dia dibebaskan dalam keadaan gila sebab tekanan bathin yang dialami.
Anak-anaknya yang terlantar semasa ibu mereka dipenjara hampir tidak pernah mendapatkan perhatian dari ayah mereka yang hanya sibuk dengan profesi bergengsinya untuk menarik upeti. Sang nenek walau dalam keadaan tidak waras dibawa kembali ke rumah. Sementara anaknya yang masih kecil (bapak dari kawan yang menceritakan kejadian ini) mencoba merawat ibunya dengan bantuan tetangga-tetangganya. Sebab ketidak warasannya sang nenek merasa tidak betah di rumah, layaknya orang gila dia pun mulai berkeliling kampung dengan kondisi lusuh dan sering tertawa sendiri, kadang menangis atau berkata-kata tidak jelas. Keprihatinan dari tetangga-tetangganya tak mampu mengembalikan ingatannya, walau beberapa kali mereka mendekatinya dan menanyakan hal-hal yang pernah mereka alami bersama.
Pada saat sang suami sedang menarik upeti di suatu kampung, dilihatlah istrinya yang sedang ditonton oleh anak-anak kecil. Kebiasaan orang-orang kampung ketika ada orang gila dianggap sebagai kejadian langka dan dijadikan tontonan. Sebab malu melihat istrinya dalam kondisi seperti itu, sang suami pun merasa malu dan membawa istrinya kembali ke rumah. Dalam keadaan kaki terpasung sang istri ditempatkan di sebuah bilik yang biasanya tempat penyimpanan kayu bakar dan hasil panen. Anaknya yang masih kecil rutin menjenguknya ke bilik tersebut sementara sang suami kembali menghilang. Dan akhirnya nenek tersebut meninggal dalam keadaan terpasung disaksikan oleh anaknya yang masih kecil.
Dari kejadian yang pernah dialami si anak, pada dewasanya dia sangat marah ketika ada anak-anak entah itu anak tetangganya yang tidak mau patuh pada ibunya atau sering melawan ibunya. Hanya karena sang suami mempertahankan harga diri pada sebuah profesi, keluarga sang nenek berakhir carut-marut. Sementara itu sang kakek sampai akhir hayatnya tidak diketahui rimbanya oleh sang anak.
Di samping mempertahankan profesi karena sebuah harga diri, ada juga yang mempertahankan profesi karena ingin berubah menjadi lebih baik meskipun penghasilannya bisa dikatakan lebih sedikit dari pada pekerjaan yang sebelumnya digeluti. Kembali lagi ke konsep kawan yang menceritakan kejadian tersebut, dia yang dulunya akuntan di beberapa perusahaan, sekarang lebih memilih untuk menjadi dosen akuntansi meskipun itu di kampus swasta namun jelas profesi yang diemban-nya, dan merasa bernilai di mata masyarakat.
Sebab niatnya untuk berubah dari kehidupan hedonisnya ketika menjadi akuntan dan sekarang menjadi dosen, inilah jalan yang membukakannya meraih beasiswa untuk melanjutkan studi. Dengan konsep benar, baik dan bermanfaat, itulah yang menjadi patokan utama ketika bertindak. Kesiapan untuk melakukan hal yang baik, benar dan bermanfaat untuk masyarakat sepertinya sebuah keharusan yang mesti ada pada setiap kita, terlebih untuk bangsa ini.

Sabtu, 05 November 2016

Menggalakkan Budaya Membaca dan Menulis Sebagai Langkah Awal Membangun Intelektualitas

Banyak dari kita tahu dan sering berucap bahwa perintah membaca adalah ayat pertama yang diturunkan Tuhan untuk ummat Islam melalui Rasulullah SAW. sebagai sebuah budaya yang harusnya tetap kita pegang teguh sampai generasi seterusnya. Namun apakah banyak dari kita yang sudah melakoninya atau menggerakkan budaya membaca tersebut sebagai salah salah satu langkah tanggap untuk membangun peradaban intelektualitas bangsa kita. Jika merujuk catatan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO 2012) yang merilis bahwa indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 yang artinya pada setiap 1000 orang hanya ada 1 orang yang punya minat membaca (Kompas : Membaca Sebagai Jendela Melihat Dunia). Dari data tersebut bisa dikatakan betapa terpuruknya peradaban intelektualitas kita, seolah tidak mau tahu lebih luas akan pentingnya wawasan melalui membaca.
Jika melihat kondisi peserta didik kita sekarang ini, rata-rata lebih tertarik dengan yang berbau elektronik dari pada buku. Kondisi ini juga diperparah dengan sajian tontonan mereka sehari-hari yang lebih tertarik dengan Visual dari pada berimajinasi dengan bahan bacaan. Bahkan di beberapa daerah terpencil yang penulis pernah kunjungi, siswa-siswa setingkat SD/MI sepulang sekolah karena tidak ada kegiatan yang lebih bermanfaat yang bisa disajikan untuk mereka, bermain kartu lebih menarik untuk mengisi waktu yang cukup banyak seandainya diadakan program-program kreatif bagi mereka. Semisal kami waktu kecil dahulu sepulang sekolah biasanya masih maraknya permainan-permainan tradisional yang menjadi kegiatan pengisi waktu luang, dan itu cukup bermanfaat dan menyenangkan pula sebagai ajang adu kemahiran akan suatu hal dalam permainan tersebut.
Sangat berbeda sekali dengan generasi sekarang, jangankan untuk memprogramkan budaya membaca, permainan tradisional pun banyak yang tidak tahu, padahal di dalam permainan tradisional itu banyak terkandung nilai-nilai solidaritas, kekompakan tim, uji ketangkasan dan lainnya. Ini menjadi sebuah permasalahan mengikisnya semangat mempertahankan budaya-budaya tradisional kita yang semakin tergerus arus zaman seiring berkembangnya teknologi. Jika dahulu kami sangat menikmati ketika ada majalah rutin anak sekolah berjudul Asyik yang berisi konten budaya, pendidikan, sejarah, bahkan kesehatan pun ada sebagai stimulus untuk merangsang minat baca, generasi sekarang justru lebih menikmati ketika mereka disuguhkan peralatan-peralatan elektronik yang lebih modern, namun semangat untuk membaca tetap juga rendah.

Membaca Sebagai Sebuah Budaya Intelektualitas

Permasalahan rendahnya minat baca kita bisa jadi sebuah permasalahan komplek yang menuntut berbagai pihak turut serta untuk pemecahannya. Banyak hal yang dilakukan untuk menggalakkan budaya membaca namun dampak besar yang ingin dihasilkan belum signifikan dan terkesan mengalami banyak kendala, terutama dalam hal distribusi bahan bacaan. Salah satu contohnya perpustakaan keliling, dan itupun hanya menjangkau sekolah-sekolah dengan akses jalan yang mulus, sangat jarang kita temui mobil perpustakaan keliling berhasil menjangkau sekolah-sekolah swasta di pelosok yang akses jalannya belum baik. Mobil perpustakaan keliling terkesan kurang efektif karena waktu cukup terbatas untuk peserta didik yang ingin menikmati bahan bacaan lebih banyak, terkecuali mereka mengizinkan peminjaman buku secara berkala dan pengembalian yang terjadwal pula.
Selain itu  ada pula gerakan-gerakan atau komunitas baca lainnya yang ikut andil untuk membudayakan membaca. Sekarang sedang menemukan geliatnya untuk berkembang secara massif dan sudah semestinya mendapat perhatian dari pemerintah. Seperti  Klub Baca Perempuan, gerakan untuk membudayakan minat baca dan semangat belajar anak-anak daerah terpencil di Kabupaten Lombok Utara yang digagas dengan kepedulian akan pendidikan anak-anak di daerah terpencil tersebut. Klub baca perempuan tersebut sempat mendapat sorotan dari Kick Andy yang bertajuk Kick Andy Roadshow Goes to Lombok beberapa tahun lalu.
Ada pula Gelora Education Center yang berlokasi di Lombok Timur, di sebuah desa pedalaman lereng utara Gunung Rinjani. Gelora Education Center inipun memfokuskan untuk pembinaan pendidikan untuk anak-anak kurang mampu, pembinaan penguasaan bahasa Asing untuk remaja, serta pembinaan mental untuk berpikir maju dalam menghadapi tantangan global ke depannya. Begitu juga halnya dengan Komunitas Rumah Belajar dan Taman Baca KOMPAK (Komunitas Pemuda Kreatif) yang penulis pernah gagas di kampung terpencil kami untuk membina semangat belajar generasi muda, serta membudayakan membaca sebagai pembelajaran kedua di samping pendidikan formal yang didapatkan di sekolah/Madrasah.
Bahkan masih banyak lagi komunitas-komunitas lainnya yang mempunyai tujuan yang sama untuk membudayakan membaca dan semangat belajar. Semisal Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara, Studio Manajemen di Sumbawa, Kelompok Cinta Baca (KCB) Mataram, Galang Anak Semesta (GAGAS), Jage Kestare Foundation, namun kendala karena berada di daerah terpencil inilah belum begitu banyak dikenal bahkan cenderung tidak banyak yang tahu bahwa gerakan baik ini semestinya mendapat sorotan dan dukungan dari berbagai pihak jika kepedulian untuk generasi selanjutnya masih ada dalam diri kita.
Sebagaimana Pergub (Peraturan Gubernur) yang pernah digulirkan tentang habitus membaca sastra untuk peserta didik, maka Komunitas-komunitas Taman baca atau perpustakaan masyarakat seperti ini cukup baik untuk dikembangkan di setiap desa sebagai langkah awal untuk membangun semangat intelektualitas masyarakat kita agar berwawasan luas dengan membaca. Sehingga peserta didik kita sepulang sekolah bisa melakukan hal yang lebih bermanfaat dengan dialihkan waktu luangnya untuk membaca buku di taman baca, atau diprogramkan kegiatan-kegiatan yang lebih produktif dengan memanfaatkan pemuda-pemudi terdidik di desa untuk berkontribusi membina generasi muda bangsa ini.
Lalu terkait kendala sulitnya distribusi bahan bacaan ke daerah terpencil inilah yang menjadi tantangan bersama untuk pemecahannya. Seperti halnya beberapa waktu lalu Pusat Perbukuan dan Perpustakaan Nasional pernah menginformasikan melalui media online bahwa mereka menerima proposal permohonan buku untuk taman bacaan, atau perpustakaan-perpustakaan masyarakat agar meratanya peningkatan minat baca. Namun lagi-lagi di informasi yang dirilis tersebut mereka hanya menyediakan buku, untuk biaya distribusi/biaya kirim dibebankan ke masing-masing lembaga/komunitas baca yang mengajukan. Jelas saja dalam hal ini komunitas-komunitas tersebut akan berpikir dua kali ketika akan mengajukan permohonan buku, sebab biaya kirim untuk itu mesti membutuhkan dana yang cukup besar, sementara komunitas/Taman Baca tersebut rata-rata didirikan dengan semangat sosial, bukan lembaga profit yang mempunyai banyak dana.
Solusi untuk distribusi tersebut bisa diambil langkah konkret peran serta pemerintah daerah yang akan mendanai pendistribusiannya ke kantor Dinas Pendidikan atau Perpustakaan Daerah tiap provinsi/kabupaten, nantinya pihak-pihak lembaga/komunitas yang mengajukan permohonan pengadaan buku tersebut yang akan mengambil ke kantor Dinas Pendidikan atau Perpustakaan daerah masing-masing.
Peran serta perpustakaan daerah sebagai lembaga yang bernaung di bawah pemerintah daerah juga seharusnya lebih produktif untuk membina Taman Baca bagi masyarakat atau perpustakaan untuk lembaga-lembaga pendidikan. Masih banyak lembaga pendidikan kita di wilayah NTB yang belum memiliki perpustakaan dan bagaimana bisa untuk mendistribusikan bahan bacaan sementara tempat untuk penyimpanan buku tersebut tidak ada. Untuk itu jika tidak memungkinkan untuk perpustakaan lembaga pendidikan Formal, maka lembaga-lembaga Nonformal inilah sebagai wadah sekundernya yang akan berperan untuk membina generasi muda kita. Di samping taman baca, bisa juga diprogramkan kegiatan-kegiatan edukatif bagi peserta didik kita sebagai tambahan untuk membangun semangat intelektualitas mereka, seperti Menulis Inspiratif, Bimbingan Belajar, Pembinaan mental dan spiritual melalui kegiatan keagamaan, menonton film inspiratif, Rumah berkarya untuk kerajinan tangan dan lainnya.
Bahkan program Abano (Angka Buta Aksara menjadi Nol) bisa juga mengambil peran untuk dikoordinasikan dengan program-program komunitas atau Taman Baca tersebut sebagai pusat pembelajarannya.

Kurikulum Berkarya Melalui Tulisan

Di samping membudayakan membaca, budaya menulis untuk mengembangkan ide merupakan salah satu point untuk meningkatkan daya saing SDM kita. Bisa kita lihat tugas-tugas akhir mahasiswa yang begitu tebal namun ternyata isinya lebih banyak teori dan basa-basi yang dicopy-paste dari tugas akhir sebelumnya, dan itu terus berlanjut ke generasi setelahnya. Sebab karya ilmiah sebagai tugas akhir mahasiswa hanya dijadikan syarat untuk kelulusan bukan dimaksudkan untuk benar-benar menggali ide kreatif mahasiswa dalam mengembangkan pemikiran atas ilmu yang sudah didapatkan.
Jika saja perguruan tinggi kita ingin benar-benar produktif atas ide mahasiswa dalam karya ilmiah tugas akhirnya, maka tidak perlu menilai dari seberapa banyak teori yang dikutip, namun hasil dari penelitian ilmiah itulah yang menjadi fokus pengembangan ilmu pengetahuan yang bernilai sebagai bentuk sumbangsih atas intelektualitas mahasiswanya.
Kendala yang kita hadapi saat ini bukan hanya masalah kompetensi menulis yang masih rendah, terlebih juga minat untuk menulis. Bisa kita lihat dari kurikulum pembelajaran bahasa yang dimulai dari bangku SLTP walaupun ada tercantum Menulis sebagai standar kompetensi yang harus dikuasai, namun praktik untuk menulis itu pun jarang sekali diadakan. Maka tak heran ketika mengerjakan tugas-tugas yang menuntut untuk berpikir/mengembangkan ide, peserta didik kita lebih cenderung mencari di Internet, bahkan yang lebih parahnya langsung copy-paste. Sebagaimana halnya tulisan di kompas.com (22-02-2016) yang menuliskan " faktanya pelajar Indonesia keteter dalam Academic Writing", ini menunjukkan bahwa kompetensi menulis juga perlu mendapatkan perhatian secara baik di kurikulum pendidikan kita. Sebab dengan pembiasaan menulis untuk mengembangkan ide berpikir yang dimulai sejak dini akan berprogres besar untuk intervensi selanjutnya ketika peserta didik melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Untuk itu, membudayakan menulis dengan menuntut peserta didik untuk berkarya bisa dimulai sejak mereka di tingkat SLTP, pembiasaan menulis bisa dimulai dari hal paling sederhana seperti Majalah Dinding (Mading), atau penugasan-penugasan berkarya yang membutuhkan penjelasan melalui tulisan, baik dari hasil pengamatan ataupun penelitian tingkat lanjut atas suatu hal. Ketika sudah terbiasa dengan penuangan ide melalui tulisan sejak SLTP, maka level penilaian atas karya tulis mereka ketika di jenjang SLTA bisa dinaikkan, bukan hanya tentang bagaimana mereka mengkonstruksi ide dalam tulisannya, tetapi juga teori yang mereka jadikan acuan atas penelitian dalam karya tulis mereka. Memasuki jenjang perguruan tinggi, sudah saatnya juga dalam seleksi penerimaan Mahasiswa baru, kampus melakukan seleksi dalam bentuk tulisan yang dibuat calon mahasiswa, sebagai bentuk pengukuran tingkat kreatifitas mereka dalam mengembangkan ide pada hal apa yang akan dipelajari ketika memasuki kampus yang mereka tuju.
Dengan demikian tidak lagi terdengar statemen bahwa orang yang mempelajari bahasa lebih produktif dalam hal tulis-menulis, dan itu bukan lagi alibi bagi peserta didik yang mempelajari disiplin ilmu lainnya untuk tidak produktif berkarya. Karena ketika mindset mereka sudah tertanam bahwa menulis lebih bisa dilakukan oleh orang bahasa, maka itu semacam sugesti bagi mereka untuk menjadi legitimasi mencari aman atas diri mereka. "Tidak mengapa walaupun tidak punya karya, karena kami bukan orang bahasa yang tahu konsep menulis", pernyataan semacam inilah yang penulis sering dengar sebagai tameng beberapa kawan yang mengaku tidak bisa produktif menulis. Padahal rata-rata ide mereka ketika menggunakan bahasa verbal cukup baik jika dikembangkan juga dalam tulisan yang bisa dibaca oleh banyak orang.
solusi realistis untuk terwujudnya budaya membaca dan menulis ini lebih mengarah pada meratanya distribusi bahan bacaan untuk peserta didik ataupun masyarakat kita. Dengan bahan bacaan yang memadai, wawasan untuk dikembangkan menjadi tulisan pun semakin baik. Di samping itu dengan meratanya bahan bacaan berkualitas di semua daerah tidak ada lagi kesenjangan antara sekolah di kota dan pedalaman. Lalu terkait kurikulum pendidikan kita dalam hal berkarya, kita tidak akan tahu sejauh mana kompetensi peserta didik kita selama kita tidak mencoba memberikan mereka sedikit tantangan untuk berkarya melalui tulisan, dan jika tidak dimulai dari sekarang, maka sama halnya kita terlalu membiarkan peserta didik dalam zona nyaman yang melenakan mereka terkungkung dalam kemalasan untuk berkarya.

Jumat, 04 November 2016

Kebesaran dari Sebuah Kata Maaf

Ada sesuatu yang sangat menarik dari kata saling memaafkan. Seorang suami sembuh dari penyakitnya ketika memaafkan istrinya yang diketahui berbuat selingkuh di belakangnya. Seorang Muslim terbebas dari hukum Qishas dengan sebuah pemaafan dari ahli waris seorang yang telah dia bunuh. Begitu pula sebenarnya sebuah kata Istigfar yang merupakan permohonan maaf kita kepada Tuhan dalam berharap Pemaafan/ampunan dari-Nya.

khatib jumat menyitir beberapa ayat tentang maaf-memaafkan, yang sepertinya kata maaf begitu sederhana dan seringkali kita ucap. Akan tetapi bagiamana dengan Memaafkan yang mungkin saja banyak dari kita cukup berat untuk melakukannya. Salah satu ayat yang dibacakan di awal oleh sang penceramah menyatakan "Wa an ta'fu aqrabu littaqwa",  dan memaafkan itu lebih mendekatkan kepada ketaqwaan, ini dimaksudkan bahwa salah satu ciri orang bertaqwa yaitu bisa memaafkan bukan hanya gemar meminta maaf. Sebab perkara memaafkan itu urusan hati yang jika sudah merasuk dan terkuasai dendam, perkataan memaafkan yang dengan mudahnya kita ucapkan bisa menjadi sesuatu yang sulit untuk diaplikasikan.

Ayat lainnya yang dibacakan khatib berkenaan dengan seorang suami yang sembuh ketika dia memberi maaf kepada istrinya, menyatakan :
$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þq©ZtB#u™ žcÎ) ô`ÏB öN™3Å_ºurø—r& öNà2ω»s9÷rr&ur #xr߉t© öNà6©9 öNèdr®‘x‹÷n$$sù 4 bÎ)ur (#qàÿ÷ès? (#qßsxÿóÁs?ur (#r©Ïÿøós?ur  cÎ*sù ©!$# Ö‘qàÿxî íO‹Ïm§‘ 
“Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “. (At Taghabun : 14)

Sang suami yang mengetahui sang istri selingkuh akhirnya melampiaskan juga kemarahannya kepada anak-anak mereka, sebab sering marah-marah itulah tensi darahnya naik dan berujung sakit, hingga beberapa hari terbaring di rumah sakit. Lalu salah seorang kawan dekatnya yang mengetahui penyebab sakitnya tersebut menyarankan agar dia memaafkan sang istri, dan tak lupa meminta maaf juga kepada anak-anaknya. Sambil menangis dia pun dengan ikhlas memaafkan sang istri yang telah berulang kali meminta maaf padanya. Selang beberapa hari, ketenangan bathin pun kembali dia dapatkan, tensi darahnya turun dan akhirnya sembuh dengan saling memaafkan tersebut.

Selanjutnya ayat lainnya lagi tentang pemaafan Qishas, hukuman mati bagi saudara sesama muslim disitir dari ayat (Al Baqarah : 178)

ô`yJsù u’Å"©© ¼©&s! ô`ÏB ÏmŠÅzr& Ö™ó©x« 7í$t6Ïo?$$sù Å$r©÷èyJø9$$Î/ í™!#yŠr&ur Ïmø‹s9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºsŒ ×#‹ÏÿøƒrB `ÏiB öN™3În/§‘ ×pyJômu‘ur .
Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.

Seorang musafir yang kelelahan dan tertidur, sementara kudanya yang lupa dia tambatkan,  berkeliaran dan memasuki sebuah sawah di sekitar sana. Petani yang melihat kuda tersebut merusak tanamannya pun marah dan melempar kuda tersebut dengan batu, kuda itu pun mati. Sang musafir yang melihat kudanya mati, dikuasai amarah pula lalu mengejar sang petani dan dilempar dengan batu tadi hingga meninggal. Tersadarlah sang musafir dengan kesalahannya, lalu berniat untuk meminta maaf dan siap untuk dihukum Qishas. Dia pun membawa mayat si petani ke sebuah perkampungan di sana, dan dia akan diadili.

Si petani rupanya meninggalkan ahli waris dua anak yang masih kecil, mereka meminta putusan dari hakim untuk menyatakan Hukum Qishas bagi si musafir tersebut. Dia pun menerima, namun meminta tangguhan 3 hari untuk kembali ke kampungnya guna menyampaikan amanah-amanah atas barang, dan ada harta anak yatim yang dia simpankan, hanya dia yang tahu. Permintaannya pun dikabulkan dengan syarat ada yang menjamin dirinya dan bersedia menjadi pengganti atas Qishas yang akan dia terima. Lalu sahabat Salman Al Farisi dengan tegas menyanggupkan diri sebagai jaminan dan siap akan menggantikan Qishas bagi musafir tersebut jika dia tidak kembali dalam 3 hari.

Di hari ketiga si musafir tak juga kunjung datang, dan Salman sudah bersiap untuk menerima qishas atas apa yang telah dia sepakati. Semua warga sangat tegang sebab Salman menerima qishas atas perbuatan orang lain. Sebelum eksekusi dilakukan, dari jauh terlihatlah sang musafir tergupuh-gupuh dengan keringat bercucuran menuju tempat tersebut dan bersiap menggantikan Salman.

Melihat kejadian itu dan ketulusan sang Musafir dalam meminta maaf atas amarah dan kebodohan yang dia lakukan, akhirnya ahli waris dari Petani itu pun memaafkan sang musafir dan meminta untuk dibebaskan. Sebab hukum qishas pun tak mungkin membangkitkan kembali ayahnya yang sudah meninggal.  "Wal 'afiina ani nnas, wallahu yuhibbul muhsinin (Al Imran : 134)", Dan memaafkan kepada sesama itulah yang sangat dicintai oleh Tuhan. Sebagaimana kita meminta maaf kepada-Nya, dan Tuhan pun sangat mudahnya memaafkan kita atas kesalahan dan dosa yang telah banyak kita lakukan.

Untuk itu tak perlu menunggu lebaran untuk saling berjabat tangan, tak perlu menunggu perpisahan untuk meminta maaf dan saling memaafkan, sebab sejatinya kita tidak akan berpisah dan bumi Tuhan itu luas untuk kita bertemu kembali. Semoga kita menjadi pribadi-pribadi yang gemar meminta maaf, dan gemar untuk saling memaafkan. Mohon Maaf untuk semua.

(Baim Lc)

Rabu, 02 November 2016

Sepatu dan Disiplin Sebuah Institusi



Masih ingat betul empat tahun lalu ketika menikmati masa-masa kuliah, semenjak semester 3 mulai tidak terlalu mengindahkan aturan-aturan kampus terkait kerapian ketika mengikuti perkuliahan. Misalnya tertulis di beberapa Titik " Dilarang pakai Sandal Jepit dan Kaos Oblong", atau di bagian Akademik " Tidak Melayani Mahasiswa yang pakai Sandal", kata-kata dilarang tersebut seolah berarti haram hukumnya dipakai ketika memasuki kampus. Entah niat mencoba untuk melihat konsistensi pembuat larangan tersebut, semenjak semester 3 saya mulai kuliah memakai sandal, bukan karena tidak mampu beli sepatu, nyamannya pakai sandal itu sudah kadung melekat dalam diri saya.
Awal-awalnya masih agak risih jika sampai ketahuan memakai sandal ketika mengikuti kuliah. jadi saya siasati lebih dahulu masuk ke kelas sebelum dosennya datang, jika dosen duluan masuk maka saya lebih memilih menunggu di area parkiran dari pada ditegur karena pakai sandal, dan itu bisa merendahkan harga diri sebagai mahasiswa. Saya terpikir dengan kalimat larangan yang ditempel di beberapa titik tembok kampus, saya analogikan yang dilarang itu yang menggunakan sandal jepit, seperti sandal WC (Sky way, Melly dll.), sedang sandal saya waktu itu Ardiles (sandal jepit juga, namun hilang ketika Shalat di Masjid Raya). Saya pun berpikir untuk mengumpulkan uang agar dapat membeli sandal yang bukan jepit, seperti sandal gunung yang keren-keren, kalau di kampung dikatakan sandal pendekar, karena banyak talinya yang melilit di kaki. Melihat ada teman juga yang pakai di kampus, akhirnya ikutlah saya membeli sandal Eiger banyak tali dan bukan jepit.
Sama halnya ketika masih di bangku SMA, kalau musim hujan urusan sepatu bisa jadi ruwet karena basah. Jadi dari pada tiap hari basah karena pulang sore, dan hujan turun biasanya siang sampai sore, tak akan kering sampai besok pagi, saya biasa meninggalkan sepatu di Laci meja, lalu pulang dengan memakai sandal, begitu juga keesokan harinya ketika datang ke sekolah, dari rumah pakai sandal jepit, kadang Ibu menanyakan apakah tidak dimarahi nanti di sekolah karena memakai sandal. Pernah sekali dicegat oleh Satpam sekolah karena terlihat memakai sandal, saya jelaskan bahwa sepatu saya ada di dalam kelas karena takut basah kemarin jika dipakai pas pulang. Sebelum sampai di kelas dicegat lagi oleh wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, kembali lagi beralasan yang lebih real, walaupun diomelin terlebih dahulu akhirnya dibiarkan juga menuju kelas.
Sya teringat sebuah film tentang disiplin menggunakan sepatu ketika datang ke sekolah. film berjudul "Childreen of Heaven", diceritakan dua orang, kakak-beradik yang bergantian memakai satu sepatu ketika mereka hendak pergi ke sekolah. Fatimah yang masih sekolah setingkat TK, kehilangan sepatunya ketika sang kakak, Ali, sedang berhutang kentang di salah satu pedagang atas perintah ibunya. Sementara sepatu adiknya yang baru selesai diperbaiki dari tukang sepatu, ditaruh di dekat bak sampah tempat pembuangan sayur busuk. Tanpa sengaja seorang pemulung melintasi tempat tersebut dan menemukan sepatu bekas dekat bak sampah tadi, lalu diambillah sepatu tersebut sementara Ali sedang menimbang kentang bersama pedagang. Selesai menimbang kentang dia kebingungan karena sepatu adiknya sudah tidak ada di tempatnya, Dia pun membongkar tumpukan sayur milik pedagang tadi dan berujung ambruknya meja milik pedagang tersebut sehingga dagangannya tercecer, Ali pun dimarahi dan segera lari ketakutan.
Semenjak hilangnya sepatu adiknya tersebut, Sepatu seolah menjadi hal penting bagi dua orang kakak beradik ini. Karena patuhnya akan disiplin sekolah yang mengharuskan mereka menggunakan sepatu ketika datang ke sekolah, terpaksa mereka bergantian menggunakan sepatu tersebut. Ali sering terlambat masuk sekolah karena menunggu fatimah yang masuk sekolah pagi dan bergantian memakai sepatu. Guru di sekolah Ali sering menegurnya karena terlambat, dan Ali sering memberikan alasan yang kurang tepat tanpa mau jujur bahwa dia menunggu sepatu yang dipakai adiknya terlebih dahulu. Hingga suatu ketika Ali terlambat dan dicegat oleh kepala sekolah karena terlalu sering terlambat, dia pun diusir dari sekolah tidak diberikan masuk, sambil menangis, lalu dilihat oleh salah seorang guru di kelasnya, guru tersebut yang memberitahu kepala sekolah tadi bahwa Ali adalah anak yang rajin dan cukup berprestasi di kelas, sehingga Ali pun diminta kembali ke kelas.
Suatu ketika Fatimah yang tergesa-gesa keluar dari kelas pada waktu istirahat, polpennya terjatuh dari tas, lalu dipungut oleh salah seorang anak sebayanya tetapi berbeda kelas, anak itu pun mendekati Fatimah lalu memberikan polpennya yang jatuh. Tanpa sengaja Fatimah melirik pada sepatu yang dikenakan anak tersebut, persis seperti sepatunya yang hilang beberapa waktu lalu. Sepulang sekolah dengan mengendap-endap, Fatimah mengikuti anak tersebut sampai ke rumahnya.
Setelah itu dia menceritakan kejadian tersebut pada kakaknya yang telah menunggu di persimpangan jalan untuk bergantian memakai sepatu, Ali berjanji akan datang ke rumah anak tadi perihal sepatu yang diceritakan adiknya. Naas menimpa, Salah satu sepatu tersebut jatuh ke kali ketika mereka sedang bergantian tadi, setelah menelusuri kali yang cukup deras airnya tadi, sepatu lusuh itu pun didapatkan kembali. Ali kembali lagi terlambat dengan sepatu basah,  namun kali ini tidak ada yang mencegat karena tidak ada guru yang melihatnya.
Di kelas sedang diumumkan ada lomba lari Maraton, juara ketiga akan mendapatkan hadiah sebuah sepatu. Ali ragu untuk ikut, karena sepatu yang dia punya sangat lusuh, dengan tawaran dari guru olahraganya Ali pun ikut didaftarkan. Sementara itu adiknya telah menunggu dia pulang sekolah untuk sama-sama datang ke rumah anak yang memakai sepatu adiknya. Alangkah terkejutnya mereka, ternyata anak perempuan tadi keluar dari rumah sambil menuntun pria tua yang tidak dapat melihat, untuk pergi berjualan gula-gula. mereka terdiam tanpa kata sambil berlalu untuk pulang, keduanya sepertinya mengikhlaskan sepatu tersebut untuk dipakai oleh anak perempuan dari pria tua yang buta tadi. Lalu Ali berjanji untuk memenangkan lomba lari tersebut agar mendapatkan sepatu untuk adiknya.
Acara lomba pun dimulai, ali dengan semangat penuh karena teringat adiknya yang berlarian hanya untuk bergantian sepatu. Setelah sampai finish Ali cukup kecewa karena tidak berhasil mendapatkan posisi ketiga, namun dia di urutan pertama yang sampai finish. Di tengah gembira dari guru-guru sekolahnya karena dia berhasil mendapatkan juara pertama, justru Ali merasa kecewa, terbayang wajah adiknya yang akan terus berlarian untuk bergantian sepatu. Sesampainya di rumah Ali meminta maaf kepada Fatimah karena tidak berhasil mendapatkan juara 3, adiknya pun menceritakan perihal hilangnya sepatu miliknya kepada orang tua mereka. Akhirnya sang adik mendapatkan sepatu baru yang dibelikan oleh ayah mereka ketika mempunyai kelebihan rizki.
Mengingat cerita pada film tersebut, Waktu masih di Bangku MTs. ada kejadian menarik yang selalu saya perhatikan terjadi berulang kali terkait disiplin memakai sepatu. Waktu itu saya baru memasuki bangku MTs. di salah satu Pondok Pesantren. Di Madrasah tersebut walaupun swasta dan di bawah naungan yayasan, para civitas berusaha untuk menjalankan disiplin sebaik mungkin. Salah satunya adalah larangan memakai sandal dan harus memakai Peci hitam ketika berada di Madrasah. Bagi siswa yang datang memakai sandal entah itu karena tidak memiliki sepatu atau karena sepatu sedang basah, maka hukumannya yaitu sandal yang dipakai tersebut dibuang ke atas genteng sekolah yang sebagian ditutupi rimbunnya daun pohon mangga depan Madrasah. Siswa yang datang memakai sandal, hanya boleh mengambil sandal yang dibuang tadi  ketika akan pulang.
Ketika pulang itulah banyak terlihat siswa-siswa menggunakan berbagai cara untuk mengambil sandal mereka di atas genteng. Di antara mereka ada salah satu siswa, kakak kelas, yang tidak memiliki sepatu sehingga setiap hari ketika akan pulang terlebih dahulu mengambil galah untuk mengambil sandal yang dibuang tersebut. Setiap hari tak letihnya salah seorang guru untuk melempar sandal siswa tersebut, begitu juga dengan siswa tadi tetap datang ke sekolah walaupun tanpa sepatu dan tetap mengambil sandalnya di atas genteng ketika akan pulang.
Sang Guru yang melemparkan sandal siswa tersebut meminta agar dia membeli sepatu supaya terlihat rapi, namun siswa tersebut berkilah belum memiliki uang untuk membeli sepatu dan tidak mau memberatkan orang tuanya agar membelikannya sepatu. Entah itu alasan yang bisa diterima dari siswa tersebut atau hanyalah akal-akalannya saja. Namun istiqomahnya untuk terus datang ke sekolah walau sandalnya tetap dilemparkan ke atas genteng patut untuk diapresiasi. Seharusnya ketika sekolah menginginkan disiplin dari siswa bukan dalam bentuk tekanan, tetapi berusaha menyadarkan siswa dengan pendekatan yang lebih bersahabat, bukan dengan tingkatan-tingkatan bahwa guru lebih superior dan siswa seenaknya direndahkan dan ditekan.
Begitu juga halnya saya ketika sering memakai sandal ketika mengikuti kuliah, saya menganalogikan bahwa bukan karena kita rapi atau tidak sehingga bisa menjadi lebih paham dengan materi kuliah. Namun bukan berarti saya orang yang tidak suka kerapian, beruntungnya ketika memakai sandal Eiger dengan banyak tali tersebut terlihat lebih fashionable, sehingga walaupun dipakai ke kelas tidak ada Dosen yang menegur. Pernah ketika diminta menjelaskan suatu pembahasan di depan kelas saya sudah was-was akan ditegur oleh Dosen, namun beliau tidak memperhatikan saya pakai sepatu atau tidaknya, yang penting saya mampu menjelaskan apa yang beliau perintahkan. Begitu juga ketika memasuki gedung Akademik untuk berbagai keperluan, walaupun memakai sandal, namun ketika kita bisa menjaga sopan santun dan bersikap ramah kepada semua orang, tidak ada yang mempermasalahkan tentang kerapian.
Berbeda halnya ketika berada di kampus Besar, kampus Favorit di Indonesia, Disiplin untuk kerapian lebih ketat lagi. Larangan untuk tidak memakai sandal jepit dan kaos Oblong tersebar di banyak titik disertai gambar. Kembali lagi niat untuk melihat konsistensi pembuat larangan tersebut muncul di benakku. Sebab hujan yang sering turun di sore hari, ketika pulang pasti sepatu basah karena jalan yang kami lalui sering digenangi air kira-kira sampai setengah sepatu tenggelam. Datang ke kampus keesokan harinya memakai sandal, tanpa peduli ketika Satpam di gerbang melirik ke arah saya namun tak berucap kata juga. Begitu pula Ketika sampai di Kampus, banyak Mahasiswa yang melirik ke kaki saya, bahkan ada yang langsung berguyon mengatakan saya korban Banjir. Masuk ke kelas, pengajarnya pun tak berkomentar, kalaupun mereka melarang saya masuk ke kelas, saya sudah siap dengan berbagai alasan, dari pada tidak datang sama sekali, hanya karena tidak memakai sepatu.
Ini bukan berarti saya tidak senang rapi, tidak senang memakai sepatu, namun ada kalanya kerapian itu bukan menjadi tolok ukur mutlak seseorang boleh mengikuti kelas atau tidak. Karena kita mendapati keadaan yang berbeda-beda di tiap orang, jadi larangan yang dipajang terkait harus memakai sepatu itu bukan sepenuhnya patokan mutlak bahwa seorang mahasiswa boleh menuntut ilmu terkait haknya yang sudah membayar iuran. Datang ke kampus rapi, memakai sepatu namun hanya untuk bergaya, tidak ada artinya dibanding mahasiswa yang datang ke kampus walaupun pakain lusuh, memakai sandal namun ada ide kreatif yang mampu diungkapkan, dan itu Bukanlah saya. Saya hanya mahasiswa biasa, yang kebetulan dulu tidak mendapatkan nilai bagus, sekedar cukup untuk tidak mengulang, namun memiliki tekad, setidaknya ada ide kreatif yang akan saya kembangkan.
Lalu terkait penggunaan sandal ketika kuliah, bukan berarti tidak menghargai disiplin kampus. Ada kalanya hal-hal yang tidak biasa itu justru memunculkan inspirasi untuk dijadikan bahan renungan, salah satunya, tulisan ini bisa terselesaikan, tengah derasnya hujan siang kemarin.

WC Kampus Elitis

Persis sejak Mei lalu beberapa kali berkunjung ke perpustakaan Pusat, dan beberapa kali Shalat di Mushalla kecil sayap utara Grha Sabha Pramana (GSP) yang berhadapan dengan pintu masuk perpustakaan, waktu itu sudah tertulis di pintu WC-nya dan plang yang dipasang bahwa saluran air ke WC sedang dalam perbaikan. Padahal beberapa kali mahasiswa/i yang ingin buang hajat menuju ke sana tampak kecewa ketika melihat tulisan tersebut dengan kondisi pintu WC tergembok.

Dan sampai sekarang (1 November 2016), saat Shalat maghrib di Mushalla GSP tadi tulisan tersebut masih ada. terhitung sudah 6 bulan lebih saluran yang diperbaiki tersebut belum juga rampung. Entah apa niat pengelola gedung tersebut yang sengaja membiarkan kondisi WC di dekat mushalla itu tidak dibuka. Dari konstruksi retorika "perbaikan" yang digunakan semestinya 1 minggu pun sudah selesai. Gedung beberapa Fakultas yang dibangun lantai 6 pun sudah berdiri dalam jangka 3 bulanan (meski belum bisa digunakan), nah ini CUMA WC saja sampai 6 bulan lebih dibiarkan dalam perbaikan.

Padahal pada waktu kuliah umum 30 Agustus lalu dengan bangganya diumumkan jumlah mahasiswa yang masuk semester ganjil ini sebanyak 4.096 mahasiswa pascasarjana dengan rata-rata SPP 9 juta bahkan ada yang sampai 15 juta untuk magister. Lalu sekedar fasilitas WC di Gedung auditorium semegah GSP yang katanya juga bisa meraup 40 sampai 60 juta untuk satu malam penyewaan untuk acara Nikahan, sementara WC sekecil itu masih saja dibiarkan dalam perbaikan sudah 5 bulan lebih. Fasilitas di GSP tersebut juga merupakan hak mahasiswa yang seharusnya juga mendapatkan perhatian dari pemeliharaan inventaris kampus.

Dana pemeliharaan gedung sebesar itu tentu saja sudah ada anggaran khusus yang dialokasikan, terlebih dengan intensitas penggunaan untuk berbagai acara, salah satunya acara Nikahan. Bahkan waktu itu ketika sampai Maghrib kami masih mengadakan rapat lalu di lantai 2 ada yang akan mengadakan resepsi, pihak keamanan kampus langsung bertindak mengingatkan bahwa di atas sedang ada acara resepsi dan meminta kami untuk segera berkemas. Padahal acara mereka di lantai 2 yang tak ada masalahnya juga dengan kami yang berkumpul di teras-teras GSP, dan kalau dipikir tak akan mungkin pula para mahasiswa yang masih berkegiatan di sana akan mengacaukan acara mereka.

Fenomena kurangnya perhatian pihak kampus atas WC ini, dan ketidak pedulian para pemakainya (Red. Mahasiswa) semakin menunjukkan sikap apatisme atas kepentingan bersama bukanlah hal yang mencengangkan terjadi di sini. Individualitas dan kurangnya kepekaan sosial semakin terlihat jelas bahwa elitisme yang disembunyikan di balik label kerakyatannya adalah hal yang tak bisa dipungkiri dari persepsi pihak luar, bahkan pihak internalnya juga yang tertekan di bawah dominasi kuasa para elit-nya.

Apa perlu meminta bantuan Dimas Kanjeng Taat Pribadi saja untuk menggandakan WC-nya?,,

#KampusElitismeBerlabelKerakyatan

Minggu, 11 September 2016

Magelang I'm In Love


Alun-alun Magelang


Setiap kali mengikuti kuliah poskolonialisme tak lupa joke yang diselipkan salah satunya yaitu tentang perang singkat yang berlangsung hanya 5 menit. Ya, perang Diponegoro yang terjadi di Magelang dengan durasi 1825 sampai 1830 berlangsung setelah azan magrib. Begitulah dosennya menggunakan analogi kelucuannya tentang kolonialisme yang pernah menancapkan kuasanya di tanah air. Berbeda halnya dengan perang dunia I, dibuatkan joke juga, dengan durasi 1914 sampai 1918 berlangsung setelah isya. Kedua-duanya diparodikan seperti halnya waktu shalat fardhu.
Begitu juga dengan napak tilas perjuangan seorang jenderal besar, yang menolak untuk bernegosiasi dengan penjajah terkait kemerdekaan yang telah diproklamirkan, Soedirman lebih memilih untuk bergerilya dengan mengungsi ke Magelang dan merongrong kekuasaan penjajah yang masih ingin menancapkan kuasanya di tanah air. Magelang menyimpan banyak sejarah tentang perjuangan para pahlawan yang dengan gigih, kukuh, teguh pendiriannya demi bangsa yang telah diproklamirkan merdeka. Magelang, salah satu tempat (yang katanya) warisan dunia terdapat di sana, yaitu Borobudur, yang belakangan salah seorang matematikawan Indonesia mengungkap borobudur versi Al Qur'an dengan mengutip banyak ayat dari surat Saba', bahwa Borobudur adalah warisan dari Nabi Sulaiman yang terbangun atas bantuan bala tentaranya dari kalangan bangsa Jin.
Lalu, entah apa yang memberanikan diri untuk berucap cinta pada Magelang, sementara berkunjung saja hanya sekali, itu pun sebatas ke Borobudur. Berawal dari pertemuan dengan salah seorang pribumi-nya yang merupakan pembelajar yang tekun, dan sedang menjalani pelatihan di salah satu kampus di Yogyakarta, dia pun memperkenalkan diri berasal dari Magelang dan alumni salah satu kampus terbesar di Yogyakarta. Dia juga seorang penerima beasiswa untuk magister. Pertemuan antara sesama peserta pelatihan awalnya tidak ada kedekatan sama sekali, lalu bermula ketika melalui salah seorang kawan yang dia ajak main bulutangkis, saya pun diajak lagi oleh kawan tersebut, sebab dia yang punya jadwal lapangan di kampus-nya dahulu, dan akan menjadi kampusnya ketika studi magister.
Tak banyak yang diceritakan tentang Magelang, namun yang sedikit itu justru menunjukkan ke-eksotisan Magelang dengan suasana alam yang masih alami, dekat dengan gunung yang dinamakan Merbabu, Andong, tempat para pendaki, pecinta alam memuaskan hasratnya untuk menikmati alam yang dihamparkan Tuhan, dan salah satunya terletak di dekat Magelang. Ke-eksotisan tentang sawah, dan suasana pedesaan yang masih asri, dengan penduduk yang seperti dirinya, karakter lembut, halus dalam bertutur kata dan menjaga kesopanan dalam tingkahnya. Pribadi sholehah itu pun mulai bisa ter-dekati, meski melalui pesan-pesan (WhatsApp) yang dia kirimkan, dan mulailah terjadi Chating berkelanjutan dengannya.
Bantul

Pribadi sholehah, pribumi Magelang itu pun merupakan seorang yang mudah bergaul, penurut, mudah untuk diajak, lebih-lebih ketika dimintai pertolongan. Kebaikan-kebaikannya seolah legitimasi yang saya sematkan untuknya, tentang karakter perempuan jawa yang lembut, senantiasa menjaga kesopanan, tak terkecuali anggunnya. Dia yang sederhana dalam keseharian, tidak banyak tingkah, dan sedikit makin dekat melalui chating dengannya, membuahkan kagum padanya. Seorang asisten Lab yang sudah banyak diminta bantuannya untuk analisis pengujian-pengujian, baik dari mahasiswa S2, S3 atau dosennya sendiri. Pribadi jenius, tekun, dan siap sedia membantu orang lain merupakan modal kebaikan yang senantiasa dia jaga.
Lalu terbangunlah sebuah empati ketika membaca catatan perjuangannya sampai saat ini bisa menyelesaikan studi S1 melalui Beasiswa Bidik Misi, dan akan melanjutkan ke magister. Mengharukan, sekaligus berbangga hati bisa mengenal pejuang tangguh, jenius, nan lembut pada dirinya. Bermula dari cita-citanya menjadi seorang perawat, justru membawanya menjadi asisten lab di kampusnya dengan jurusan yang berbeda. Namun karakter pembelajarnya sangat menunjukkan jika ia seorang yang selalu butuh ilmu. Senang dengan penjelasan orang lain akan sesuatu yang belum dia ketahui, dan itu sebagai bentuk respect juga terhadap orang lain yang menjelaskan kepadanya.
Gadis Magelang nan lugu, cantik, anggun, senantiasa memberikan perhatian kepada sahabat sebagai bentuk kedekatan jalinan silaturahmi darinya. Belakangan mulai menunjukkan kekhawatiran, ketakutan jika saja silaturahmi dengannya terputus. Bahkan ungkapan basa-basinya melalui chat pun menunjukkan butuhnya untuk tetap menjalin kedekatan, supaya bisa saling menasihati, saling support, lebih-lebih saling membantu dalam hal kebaikan bersama. Tak jarang beberapa kali mengajaknya untuk keluar, semata agar bisa mengenal pribadi anggun tersebut lebih jauh.
Seperti beberapa waktu lalu, setiap kali mengajaknya keluar selalu menyempatkan untuk mengajaknya shalat ketika waktu shalat sudah masuk, dan dia pasti menuruti, supaya lebih nyaman untuk mengobrol lama. Dan beberapa waktu lalu ketika mengajaknya menghadiri acara festival budaya, lalu magrib menjelang, dengan dia sebagai penutur bahasa Jawa, saya minta untuk menanyakan letak Masjid ke salah seorang warga yang beerjualan di sekitar arena festival. Usai shalat magrib dan bersiap untuk beranjak balik, tiba-tiba hujan deras mengguyur, dan tetaplah kami di dalam masjid. Dia yang berada di area jamaah perempuan sembari menunggu hujan reda, menyempatkan diri terpekur dengan bacaan Al Qur'annya. Wajah teduh, mungil, sesekali saya lirik dan semakin membangkitkan kekaguman atas dirinya yang sederhana, dan penuh perjuangan dalam lika-liku hidupnya.
Pantai Paris

Beruntungnya sang gadis dengan keanggunan dalam diri, telah mendapatkan keteguhan dalam hati dan tetap setia atas pilihannya, meski kedekatannya dengan yang lain seolah membuka ruang untuk dimasuki dalam ranah hati.  Dan keteguhan yang dia pegang tidak serta merta membuatnya kaku untuk bergaul dengan banyak orang, sebab dia meyakinkan diri, dan pilihannya untuk senantiasa meneguhkan hati pula.
Setiap dia berbicara tentang Magelang, tentang kampung halaman yang bertekad untuk dibangun, dan memberikan kemanfaatan untuk sesama, bukan hanya kepintaran dan ilmu untuknya sendiri. Tetapi semangatnya untuk membangun daerah seharusnya tertular juga kepada yang lain. Jangan sampai menuntut ilmu setinggi-tingginya hanya untuk meraih gelar agar disegani, dihormati. Tetapi bagaimana semestinya ilmu yang dia dapatkan untuk ditularkan ke orang lain sebagi amal jariah yang tak terputus sampai hari akhir. Dan dia lebih memahami itu sebagai cara hidup yang sebenarnya harus dilalui.
Kini tak ada keraguan akan dirinya, menatap masa depan yang telah dia mulai untuk diraih, sementara perhatiannya kepada sahabat tak lupa dia haturkan juga. Pribadi sederhana nan anggun itu kini semakin berkilau, siap untuk terjun dengan semangat sosial yang telah terbangun dalam diri. Bahwa daerah dan Indonesia membutuhkan pribadi-pribadi tangguh dan siap mengabdi seperti dirinya. Suatu kebanggaan ketika dirinya semakin dekat dikenali, semakin menumbuhkan semangat dalam lingkaran kebaikan yang tertular darinya.
Mungkin ini terlalu berlebihan, dianggap sebagai pujian yang melenakan, namun di balik itu semua adalah sebuah suggesti untuk diri semakin berbenah. Dari tulisan untuk sebuah pujian, menjadi kuasa untuk terwujudnya sikap yang diharapkan. Dan tetaplah dalam kesederhanaan, berbingkai malu terlukis anggunnya sifatmu. (Baim Lc, 10/09/16)

Selasa, 26 April 2016

Mayat-mayat Busuk



Gelap masih menyelimuti, bahkan kokok ayam pun belum terdengar, hanya sesekali bunyi tokek yang menggelegar bersembunyi di antara tiang-tiang penyangga atap rumah tanpa langit-langit. Lampu redup aliran dari listrik tetangga sengaja tidak dia matikan, dengkuran anak-anaknya tergolek dengan nyenyaknya walau beralaskan tikar pandan anyaman sendiri. Inaq  Mar segera bangkit, bergegas menuju dapur tempat penyimpanan perlengkapannya untuk menambang pasir. Sebuah nampan plastik berlubang semacam ayakan dan sekop menjadi peralatan hariannya, lalu berjalan ke luar rumah meninggalkan anak-anaknya yang masih pulas.
Keluar dari gang-gang yang lengang menuju jalan kampung, di sana sudah menunggu dua orang lainnya. Siap menjalankan rutinitas di pagi buta mereka, tiga ibu-ibu yang telah ditinggal mati suami itu biasa bertemu di belokan persimpangan, tempat strategis untuk mereka saling menunggu. Inaq  Mar, Inaq  Icah dan Inaq  Ran selanjutnya berangkat menuju lokasi penambangan pasir di sungai yang berjarak sekitar 800 meter dari kampung mereka. Kadang mereka berangkat berlima atau berempat bersama Inaq  Min, Inaq  Ida, namun yang rutin tiap pagi buta hanya mereka bertiga. Lahan kosong sekitar sungai milik seorang janda pula yang ditinggal mati suaminya akibat sakit yang tak kunjung sembuh.
Pagi buta mereka berangkat menambang pasir, selesai shalat shubuh di lokasi penambangan mereka melanjutkan sebagai pembuat bata merah di tanah lapang milik seorang pengusaha di kampung tersebut. Lakon hidup seperti itu sudah lama mereka jalani, bahkan sejak suami mereka masih ada. Hanya selingannya ketika musim tanam padi suami mereka lebih banyak dibutuhkan sebagai buruh tani, begitu juga ketika musim tanam tembakau dan cabe, tenaga mereka yang sudah cukup lama sebagai buruh tani cukup diandalkan oleh pemilik lahan untuk mencangkul, sampai menyiangi rumput (Ngeder) pada tanaman tembakau dan cabe mereka.
Kalau dahulu uang dari hasil buruh tani suami mereka bisa sebagai tambahan memenuhi kebutuhan harian, sekarang mereka harus berjuang sendiri menanggung kebutuhan-kebutuhan itu. Inaq  Mar dengan 3 tanggungan anaknya yang masih sekolah setingkat MI dan MTs. merasa tidak betah jika harus menyerahkan ketiga anaknya untuk tinggal di Panti Asuhan, maka dia lebih memilih untuk mengurus mereka di samping membantu juga ketika mereka pulang sekolah sebagai penambang pasir, namun nama mereka tetap terdaftar di Panti Asuhan tersebut. Begitu juga dengan Inaq  Icah, dua anaknya yang sekarang duduk di bangku MTs. dan MA, anak mereka lebih memilih untuk tinggal bersamanya dari pada di Panti asuhan. Sedangkan Inaq  Ran anaknya sudah tidak ada lagi yang sekolah, akan tetapi jauh, merantau sebagai TKI di negeri tetangga.
Menjelang pukul setengah 4 pagi sebelum sampai di lokasi penambangan, di tanah lapang yang dulunya banyak tumbuh pohon akasia dan Imbe mereka melihat beberapa orang dengan pakaian hitam dan ikat kepala sedang berjalan tertatih-tatih menuju arah yang mereka tuju juga. Tak sedikitpun mereka khawatir akan orang-orang itu dan terus saja melangkahkan kaki, dan sekarang hanya berjarak 10 meter dari mereka. Namun sebelum mereka melangkahkan kaki lebih dekat, orang-orang itu lebih dulu berbalik arah menghadang mereka. Sontak mereka kaget, wajah-wajah asing yang tidak terlalu jelas terlihat, awalnya mereka kira dari kampung sebelah, sehingga mereka tenang saja melanjutkan perjalanan. Naas orang-orang tersebut rata-rata membawa golok yang lebih panjang dari lengan-lengan mereka.
"kalian mau ke mana bawa-bawa sekop?". mereka bertiga bertiga masih terdiam karena takut, gerombolan itu lebih dahulu menyapa dengan golok yang digenggam sekarang sudah tidak lagi bersarung. Dalam kepercayaan orang kampung, jika bertemu dengan orang yang tidak dikenal pada tengah malam di kampung mereka, tidak dianjurkan untuk menyapa terlebih dahulu. Kepercayaan yang melekat di masyarakat, jika itu adalah pencari rizki malam hari (Maling), bisa-bisa mereka mendapatkan kesialan, dan orang yang menyapa itulah biasanya tempat mereka menyimpan dendam.
" Mohon maaf mamiq-Mamiq (bapak-bapak), kami tidak tahu apa-apa, kami hanya akan ke sungai untuk menambang pasir, untuk cari makan juga". Inaq  Mar memberanikan menjawab sambil gemetaran, memelas pada gerombolan tersebut setelah dibentak beberapa kali.
" Kalian tahu jalan ke mana tembusan jika menelusuri sungai ini?". Salah satu dari mereka mulai tampak tenang nada bicaranya, namun golok di tangan tetap siaga.
Inaq  Mar mencoba menjelaskan dengan terbata-bata sepengetahuannya tentang jalur-jalur tembusan ke beberapa kampung tetangga yang dipisahkan oleh sungai dan area perbukitan tempat mereka di hadang tersebut.
" Kalian tahu desa gampingan tidak?, siapa yang terkenal hebat jadi pepadu (jagoan) di sana?". Orang yang cukup tua mengarahkan senter sambil membentak mereka dengan interogasinya. Jelas saja membuat ibu-ibu tersebut semakin menggigil ketakutan, tak disangka mereka akan menemukan kejadian seperti itu ditengah perjuangan mereka untuk mencari rizki di tambang pasir.
" Mohon maaf mamiq ndak kami tahu apa-apa di sini, kami sekedar keluar malam untuk ke sungai, ndak kami pernah tahu pepadu-pepadu juga, kami sekedar cari rizki juga mamiq". Kali ini Inaq  Ran yang menjawab sambil tersengguk-sengguk gemetaran karena golok diarahkan kepadanya, tampak mengkilat disorot senter mereka.
" kalau begitu kalian tahu pak asdak tidak, katanya dia juga pepadu di kampung Klabang, dekat kampung kalian, atau kalian salah satu saudaranya juga". Sepertinya mereka menaruh dendam pada nama yang disebutkan tersebut.
" Kami hanya pendatang mamiq di kampung ini, kami tidak kenal banyak orang, sebab kami banyak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah, kampung klabang juga kami tidak tahu orang-orang di sana". Inaq  Ran tambah memelas dengan jawabannya, namun tak membuat para gerombolan itu beranjak dari tempat mereka.
" ayo kita lanjutkan saja perjalanan kalau begitu, nanti keburu pagi". salah seorang dari mereka mengusulkan, sebab sudah terdengar dari jauh kokok ayam dari kampung sebelah.
" Sebentar, kita tanya jalan dulu supaya lebih cepat sampai"
" jangan sampai ibu-ibu ini bercerita kepada yang lain. kalian tahu jalan lebih cepat ke kampung sari tidak?". Orang yang lebih tua itu semakin membentak.
" Lewat sungai ini bisa miq, lurus saja menelusurinya atau jalan lewat hutan itu juga bisa". Inaq  Mar seperti tertarik untuk menjelaskan lebih jauh tentang jalur tersebut. Dia sempat terpikir barangkali gerombolan tersebut memang berasal dari kampung yang disebutkan, sebab kampung tersebut cukup dekat dengan kampung mereka. Namun kenapa mereka bertanya jalur ke sana, jika mereka memang berasal dari sana. Kebingungan membayanginya.
" tinggalkan saja ibu-ibu ini, gajo, jili kalian berdua angkat mato, sime gendong si baha". Orang yang cukup tua tadi segera memerintah.
" Kenapa tidak tinggalkan saja mato di sini?". ucap salah seorang dari mereka. Namun pimpinan mereka tadi langsung melayangkan tangan ke arah orang yang berbicara tadi. Sempat terjadi perdebatan, gerombolan itupun berjalan ke arah jalur menuju sungai tempat menambang pasir, namun mereka berbelok masuk ke hutan akasia, tidak sampai menuruni sungai.
Sementara Inaq  Icah sejak awal hanya terdiam dan menjongkok. Tiba-tiba dihadang di tempat yang sepi oleh segerombolan orang tak dikenal dengan senjata tajam, jelas saja semakin membuat lutut tuanya lemas seakan terlepas dari persendiannya. Syukurnya mereka hanya diinterogasi dengan bentakan, tidak kena sabet ataupun pukulan dari gerombolan tersebut. Setelah gerombolan itu menghilang Inaq  Icah langsung memuntahkan isi perutnya yang sejak tadi berusaha ditahan. Dia melihat dengan jelas isi perut anggota gerombolan tadi yang robek perutnya dan dingkat oleh dua orang temannya dengan sarung yang sudah bersimbah darah. Sementara yang digendong itu terluka parah di bagian punggung dan pahanya, baju yang dikenakan tampak basah bersimbah darah segar.
Keringat dingin mereka yang sejak tadi tertahan terasa semakin dingin tertiup angin. Mereka saling membantu memapah Inaq  Icah yang terduduk lemas setelah muntah tadi. Inaq  Ran menyarankan agar mereka kembali saja ke rumah membawa Inaq  Icah yang masih lemas, namun Inaq  Icah bersikukuh agar mereka melanjutkan saja perjalanan ke sungai yang sudah cukup dekat. Suara loudspeaker dari masjid-masjid sudah mulai terdengar mendengungkan bacaan-bacaan Qur'an dari kaset yang disetel. Walaupun masih shock dengan kejadian tadi,  namun mereka langsung saja terjun ke sungai. Dengan ayakan plastik mereka mengorek pasir yang terkumpul di dalamnya lalu ditumpuk di pinggir sungai.
Tak lama adzan shubuh pun berkumandang, mereka bertiga keluar dari sungai sejenak mengunggu sampai adzan selesai. Waktu adzan berkumandang adalah panggilan sakral yang harus mereka penuhi sesibuk apapun itu. Itu sudah mereka pegang teguh sejak mereka mendapatkan pendidikan agama waktu kecil. Meskipun pendidikan mereka rendah,  namun perjuangan dan keistiqomahan mereka menjalankan perintah agama sangat mereka jaga. Secara bergantian mereka pun shalat shubuh di dekat tebing yang di sana tersedia berugak dengan bale-bale bambu jadi alasnya dan anyaman ketaring dari daun kelapa di atas bale-bale tersebut. Sajadah dan mukenah rupanya sengaja ditinggalkan di sana.
Belum cukup untuk satu truk pasir yang dikumpulkan, kumandang shalawatan dari masjid-masjid menandakan selesainya acara shubuh dan mtahari hampir menyingsing di ufuk timur. Ibu-ibu tersebut sepertinya mesti meninggalkan lokasi penambangan. Satu persatu keluar dari sungai, biasanya waktu seperti itu penambang lainnya juga sudah datang ke sana, namun saat itu hanya ada mereka bertiga, bahkan sampai mentari sedikit-demi sedikit menampakkan merahnya masih juga belum ada yang datang.
Ketika melewati tempat kejadian tadi pagi mereka saling pandang, melihat darah yang masih berceceran di rumput yang menguning sebab hujan belum juga turun. Bau amis darah mulai tercium memaksa mereka mempercepat langkah. Sampai di lokasi pembuatan bata merah matahari sudah cukup terang, barulah mereka sadar ternyata muka mereka bertiga masih terlihat pucat. Hawa ketakutan tadi pagi masih belum hilang dari kepala mereka. Namun begitu tanpa membuang waktu mereka segera mengolah adonan tanah liat yang telah direndam sejak siang kemarin, lalu dicampur dengan tanah yng telah diayak sore harinya siap dicetak menjadi bata dengan cetakan kayu yang telah siap untuk mereka di masing-masing lahan. Anak-anak mereka dengan peci dan mukenah masih terpakai, sepulang dari mengaji shubuh segera menemui mereka di tempat pembuatan bata dan ikut membantu semampunya sebelum berangkat ke sekolah.
Mungkin hanya itulah keahlian yang mereka miliki untuk mempertahankan hidup. Perjuangan itu cukup mereka nikmati selama ketenangan hidup bersama anak-anaknya untuk makan 2 kali sehari sudah dapat terpenuhi. Tak peduli program-program pemerintah yang heboh-hebohnya tentang Jaminan kesehatan, kartu pintar, kartu miskin ataupun rumah kumuh seperti yang mereka dengar namun tak kunjung didapat. Mereka masih istiqomah bangun pagi buta dan melanjutkan sebagai pembuat bata merah, selesi masak untuk makan siang sampai malam mereka datang kembali ke lokasi penambangan. Peluh tak terkira, tenaga dan tekad tetap mereka kuras demi mendapatkan untuk beli makanan yang layak bagi anak-anak mereka. Tak jarang dari mereka sembari menunggu kantuk di malam hari masih dilanjutkan dengan membuat anyaman tikar pandan yang dihargai 12 -15 ribu, itu pun bisa jadi dalam jangka 2 sampai 3 hari.
Perjuangan mereka yang tak kenal lelah, istirahat hanya sekedarnya, inilah yang patut disematkan, istirahat bagi mereka hanyalah ketika sudah menginjakkan kaki di surga. Mereka dan orang-orang sekitarnya jadi saksi atas itu, walaupun kadang banyak dari orang sekitarnya yang acuh dan menganggap biasa perjuangan mereka. Namun mereka tak peduli, Cukuplah Tuhan menjadi saksi atas keikhlasan mereka.
Dua hari berlalu setelah kejadian itu, siang hari yang lengang tiba-tiba gempar ketika salah seorang warga kampung yang sedang mencari rumput untuk ternaknya membeberkan pada orang kampung dia menemukan mayat yang ditutupi oleh dedaunan di dekat sungai sekitar areal perbukitan tempat pemakaman Umum. Bau busuk yang menyengat tak menyurutkannya untuk terus menyabit rumput sekitar sungai, alangkah kagetnya ketika yang diinjak semakin memunculkan bau menyengat, setelah dibongkar terlihatlah mata terbelalak, dengan muka yang hamipr hancur tak dikenali. Seketika warga kampung geger dan bergerombol menuju tempat penemuan mayat tersebut meski panas menyengat dan harus menyusuri areal pemakaman untuk sampai di sana.
" Mau ke mana ibu-ibu, ndak ikut melihat mayat katanya di kuburan?". Salah seorang ibu-ibu menegur mereka ketika berpapasan menuju arah yang berlawanan.
" Iya memang mayat tempatnya di kuburan kan bu". jawab mereka sekenanya.
Di saat warga berbondong-bondong untuk menyaksikan penemuan langka yang menjadi tontonan tersebut, tidak bagi mereka bertiga, siang itu mereka tetap melanjutkan perjalanan menuju sungai tempat menambang pasir. Tidak ada rasa penasaran, bahkan untuk memastikan apakah mayat tersebut sama dengan mayat yang mereka temui pada kejadian malam itu. Tak peduli kehebohan itu yang penting mereka harus tetap bekerja, barangkali siang itu nasib baik berpihak, pasir mereka ada yang membeli. Sampai langit sore hampir memudar barulah mereka beranjak untuk pulang, mensyukuri hari itu bahwa mereka masih mendapatkan kesempatan untuk terus berjuang melawan kerasnya hidup untuk menanggungng anak-anak mereka.
Kegigihan, keteguhan dan perjuangan menyiratkan takluknya derita pada diri mereka. Hal besar yang bisa diusahakan perempuan-perempuan kampung di tengah tekanan hidup menyusul tingginya kebutuhan yang harus mereka penuhi. Malam pun semakin merangkak membawa kidung cerita mereka bersama riuhnya binatang malam di kampung terpencil itu.

Jalan Sunyi Si Pendidik

sumber :digaleri.com Baim Lc*  Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal ya...