Minggu, 08 Januari 2017

Sajakku Tak Pernah Indah

Karikatur : Okti Widayati


Selayaknya kata yang mudahnya kau tuangkan, begitulah cinta yang bermuara pada satu hati yang kau perjuangkan. Pun jika kata itu terlalu sulit mereka pahami, maka cobalah sederhanakan mereka dengan sajak-sajak seindah puisi. Sajakmu layaknya mantra yang menenangkan, namun seperti tak bermakna jika tak mampu menembus hati yang kau idamkan. Sajakmu tak kan indah, bila keindahan hanyalah semu yang membelenggu hakikat kata yang kau rangkai. Maka bebaskanlah kata itu, sebagaimana bebasnya hatimu menentukan pilihan pada hati yang kau tuju. Itulah sajakmu, yang tak perlu indah bagi orang lain, akan tetapi cukup indah untuk membuktikkan bahwa dia adalah takdirmu.
Mendung yang tadinya menggelayut berubah menjadi tumpahan air langit yang cukup deras dan terpaksa menghentikan laju sepeda motor Suparte dan mencari tempat berteduh di deretan ruko yang tak berpenghuni. Siang itu selesai dari tempat mengajar dia sudah memantapkan hati untuk mendatangi orang tua Ruminah bermaksud memintanya untuk menjadi calon istri. Apalah daya, hujan siang itu menahannya untuk sementara waktu dengan kegetiran janji yang telah dia ucapkan untuk datang selepas zuhur. Pastinya dia tidak bisa datang tepat waktu, hal itulah yang akan menjadi beban dan membuat bertanya orang-orang di rumah Ruminah yang menunggu kedatangannya. Menerobos hujan tak mungkin, karena tak membawa persiapan jas hujan, dan yang menjadi kekhawatiran, tas yang dibawa berisi berkas pentingnya akan basah kuyup juga sebelum sempat dilihat orang tua Ruminah.
Jadilah ia menunggu beberapa lamanya, sementara semakin banyak pula pengendara takut hujan yang menemaninya di deretan ruko tadi. Wajah gelisah yang hanya dia sendiri yang tahu, tak banyak kata walaupun sekedar menyapa orang-orang yang berteduh di sana. Ketika hujan berubah rintik-rintik kecil, ia pun membuka jaket dan memasang tas punggung sementara jaketnya jadi penutup dari hujan, dan langsung menerobos mengejar ketertinggalan waktu kedatangan yang telah dia ucapkan.
Sesampainya di rumah Ruminah, orang tua Ruminah telah menunggu di sangkok (ruang keluarga). Disambutlah Suparte masuk, sementara Ruminah dan ibunya berbalik ke belakang, sepertinya mempersiapkan minum. Suparte duduk menemani bapaknya Ruminah dengan muka yang masih kusut karena tergesa-gesa menerobos hujan. Kecanggungan Suparte pun mulai nampak ditambah kebingungannya menghadapi orang yang akan menjadi orang tuanya pula nantinya jika berhasil.
" Dari sekolah nak?". Bapaknya Ruminah mulai membuka suara yang hampir tidak kedengaran oleh Suparte.
"nggih (iya) Miq (MaMiq : panggilan untuk gelar kebangsawanan), Tiyang (saya, ucapan untuk menghormat) dari sekolah langsung ke sini". Suparte mencoba sesopan mungkin.
" ngajar di mana?, sudah jadi PNS?"
" Tiyang di MTs. Mislahul Ulum Miq, masih honor sekalian bantu-bantu di sana"
" Apa kau bawa apa yang saya pesankan dari Ruminah?"
" nggih Miq". Suparte mengambil tasnya lalu menyodorkan dua lembar kertas kepada bapak Ruminah. Sejenak bapaknya Ruminah membaca dengan detail yang tertulis di kertas tersebut.
" Pendidikan terakhir sarjana, ngajar IPA, terus pekerjaan orang tuamu sekarang?". Pak tua itu memulai semacam interviewnya kepada orang yang akan meminang anak gadisnya. Belum sempat Suparte menjawab, Ruminah dan ibunya datang membawa minuman hangat dan beberapa piring penganan ringan. Mereka berdua pun ikut duduk.
" Bapak sudah meninggal, sedang ibu yang sekarang biasanya di sawah untuk mengelola sawah peninggalan Almarhum bapak".
" Kenapa kamu tidak ikut bergelut di sawah?"
" saya ikut juga membantu Miq, biasanya sore hari atau pas hari libur". Seperti ada kekuatan untuk Suparte menjawab tegas pertanyaan yang diajukan bapak Ruminah ketika Ruminah ikut pula duduk di sana.
" Lulus sarjana setahun lalu, sedangkan Baiq. Ruminah (Baiq, gelar kebangsawanan sasak untuk anak perempuan, sedangkan untuk anak-anak laki biasanya bergelar Lalu atau Raden) lulus sarjana kesehatannya dua setengah tahun lalu, apa kamu sudah cukup tabungan untuk membina rumah tangga dengan anak saya?". Pak Tua tersebut mencoba membandingkan lembaran yang disodorkan Suparte tadi dengan lembaran yang memang sudah dia siapkan. Ruminah terlihat menunduk ketika bapaknya menanyakan tentang itu.
" Kalau masalah tabungan memang saya tidak memiliki cukup banyak Miq, namun saya punya keteguhan dan merasa yakin bahwa saya sudah mampu untuk berumah tangga".
" Yakin kamu tidak akan kesulitan dengan kondisi kekurangan, sementara kamu sendiri masih honor di sekolah, begitu juga Ruminah yang masih mengabdi juga di PKM"
" Saya akan mengusahakan yang terbaik untuk keluarga saya Miq"
" Contohnya apa yang akan kamu usahakan untuk yang terbaik seperti yang kamu ucapkan tadi"
" di samping sebagai guru honor, saya dan para pemuda di kampung telah merencanakan beberapa program usaha yang akan mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah, dari itu sebagai tambahan penghasilan, selain itu saya juga akan mengelola sawah warisan kami". Jawaban Suparte terdengar mantap, namun ternyata malah membuat bapak Ruminah mengernyitkan dahi. Pertanyaan ini lebih berat dari ketika dia menghadapi ujian skripsi.
" Apa kamu sudah mengenal Ruminah secara baik dan begitupun Ruminah apa sudah mengenalmu cukup baik pula?"
" Nggih abah, Tiyang sudah mengenal kak Parte cukup baik, Tiyang yakin dengan pilihan Tiyang abah". Kali ini Ruminah ikut membuka suara meyakinkan sang bapak.
" saya sudah mengenal Ruminah cukup lama Miq, sejak kami masih sama-sama semester 3 walaupun kampus berbeda, dan kami masih bertahan menjalin janji sampai selesai kuliah, dan sekarang saya datang untuk menepatinya". Suparte menambahkan untuk semakin meyakinkan bapak Ruminah, sementara ibu Ruminah masih terdiam menjadi pendengar setia.
Sepertinya ini lamaran paling unik sepengetahuan Suparte, sampai-sampai dia diminta membawa CV (Daftar Riwayat hidup) hanya untuk dibandingkan dengan CV anaknya yang telah dipersiapkan juga. Sampai Suparte dipersilahkan mencicipi hidangan yang telah disediakan belum juga ada kejelasan apakah dia diperkenankan untuk melamar Ruminah. Seruputan demi seruputan teh hangat mencoba untuk menenangkan dirinya sementara menunggu apa lagi yang akan keluar dari lidah sang bapak. Begitu juga bapak Ruminah sepertinya cukup menikmati teh hangat siang itu, sementara di luar hujan masih rintik-rintik terkadang diselingi bunyi guruh menggelegar menyaingi ketegangan di dada Suparte.
" Nak, kamu sudah yakin untuk membawa Ruminah untuk tinggal bersamamu?"
" Nggih Miq, Tiyang yakin dan sudah memantapkan hati"
" bagaimana denganmu Nak, apakah sudah mantap untuk meninggalkan rumah ini bersama dengan calon suamimu?"
" Dengan Ridho dan Restu abah, umi, Tiyang mantapkan hati untuk menjadi pendamping kak Suparte". Ketegasan jawaban Ruminah berbuah kelegaan di hati Suparte, terlihat dari raut mukanya yang mulai cerah.
" satu pesan umi, berbaktilah pada suami, dan jika ada waktu luang selalu sempatkan datang ke sini jenguk kami"
" Pasti Umi, Tiyang pasti akan selalu menjenguk umi". Suparte kini terdiam, sepertinya diliputi kegirangan dalam hati, namun masih was-was juga sebelum bapak Ruminah memberi kejelasan  keputusan atas kedatangan lamarannya siang itu. Ruminah pun masih terlihat menunduk dengan harap-harap cemas apa yang akan diputuskan abahnya, walaupun dia sudah menjelaskan dengan mantap akan keteguhan hatinya memilih Suparte.
" Baiklah, jika itu sudah menjadi niatan kalian berdua, sudah memantapkan hati juga, Bapak hanya bisa memberi restu semoga kalian benar-benar mendapat ridho juga dari Tuhan atas niatan baik ini". Seperti halnya bahagia ketika mendapatkan pernyataan kelulusan sarjana, ini lebih lagi bagi Suparte. Senyumnya terlihat merekah yang diarahkan kepada Ruminah, begitupun Ruminah membalasnya dengan muka haru bercampur kegembiraan.
" Selanjutnya bagaimana setelah ini Miq?, apakah Tiyang perlu membawa keluarga lagi untuk datang secara resminya?"
" Kalau adat kami di sini, untuk lamaran saja seperti ini sudah cukup, tinggal engkau bawa Ruminah merariq (menikah, dengan perempuan yang dibawa secara diam-diam) nanti kau titip di rumah keluargamu"
" Tapi Miq, di tempat saya tidak ada yang seperti itu, takutnya nama Tiyang yang jelek nantinya di kampung jika membawa anak gadis lalu dititipkan di rumah keluarga, dan itu pun belum jelas penentuan tanggal acaranya kami menikah". Agak berat bagi Suparte untuk berdebat tentang adat merariq seperti itu yang pernah dia dengar, bahkan pernah menyaksikan anak gadis di kampungnya dibawa lari oleh lelaki yang beradat seperti itu.
" Justru kalau datang secara ramai-ramai membawa keluarga, terus kami membiarkan anak gadis kami dibawa seperti itu, kami yang malu, ibaratnya anak kami diminta macam kambing yang tak dihargai".
" Astaghfirullah abah, kita sudah hidup di zaman modern abah, apa perlu kita masih memegang teguh adat seperti itu?". Ruminah sepertinya tak setuju juga dengan pendapat abahnya yang menyebutkan lamaran seperti meminta anak gadis layaknya akad jual beli.
" Adat kita sudah seperti itu nak, kalau kita mau menghindar kita yang dicemooh juga nantinya, saya rasa ini hal biasa kok terjadi, kemarin saja ada anak desa Mapal yang melamar anak Pak Jinten walaupun adatnya tidak ada merariq juga, dia bersedia kok membawa anak pak Jinten"
" Nak Parte, jika memang niatmu sudah mantap untuk membawa Ruminah, silahkan dibawa saja sekarang kami sudah merestui kalian berdua". Ibu Ruminah yang tadinya lebih banyak diam sekarang ikut bicara agar perdebatannya cepat usai.
" Nggih Miq, Umi, Tiyang sudah mantap untuk menikah dengan Ruminah, akan tetapi tidak adakah toleransi untuk adat semacam ini bagi Tiyang yang tidak beradat seperti di sini. Tiyang hanya ingin yang terbaik, supaya perjalanan niatan mulia kami ini lancar-lancar saja"
" Kalau begitu kan tinggal kamu bawa Ruminah ke kampungmu, nanti dijelaskan kepada orang-orang di kampung terutama kepala dusun, RT/RW bahwa adat kami di sini seperti itu untuk lamarannya"
" Baiklah kalau begitu Miq, Tiyang bersedia, lalu bagaimana dengan Sadean-nya? (uang pelamar yang diberikan pihak pria kepada orang tua si perempuan).
" Nah kalau itu mesti mendatangkan orang-orang tua dari pihak keluargamu dan kelurga kami juga, sedangkan untuk maskawinnya, silahkan kalian diskusikan berdua dengan Ruminah, apa maunya Ruminah yang akan menjadi maskawin yang bisa kamu berikan"
" Apakah tidak bisa sekalian sekarang juga dibicarakan Miq untuk Sadeannya?". Suparte mulai menampakkan keberaniannya untuk lebih jauh berbicara kepada orang tua Ruminah terkait adat yang dirasa terlalu membelenggu mereka dalam hal pernikahan. Bapaknya Ruminah terlihat tercengang mendengar ucapan Suparte yang tadi, sepertinya ada kejanggalan yang dia rasakan.
" Kalau Sadean biasanya membutuhkan waktu yang cukup untuk membicarakannya, apalagi kami juga belum mengundang keluarga yang lain untuk meminta pertimbangan, begitu pula keluargamu pasti ada pertimbangan-pertimbangan yang lebih baik yang bisa mereka tawarkan, untuk itu kamu tentukan saja waktu kapan bisa datangkan keluargamu untuk pembicaraan lebih lanjutnya". Bapak Ruminah seperti berkilah dengan jawaban ini, menimbulkan ketidakpuasan bagi Suparte, namun dia tidak ingin membuat tersinggung Bapaknya Ruminah yang baru saja memberikan keputusan diperkenannya dia untuk menikahi Ruminah.
Suparte pun mengangguk-ngangguk saja, seperti menerima kekecewaan atas ketidakpuasan tersebut hanya karena terbelenggu adat di kampung calon istrinya. Dia kembali menyeruput teh yang sepertinya sudah tidak hangat lagi, mencicipi pisang goreng sembari memasng muka yang setenang-tenangnya atas keputusan terakhir orang tua Ruminah. Pun Ruminah sejak tadi hanya terdiam, kelu dengan perdebatan masalah adat antara bapaknya dan Suparte.
" Kira-kira tanggal dan hari baik untuk acaranya kapan ya Miq?". Kali ini Suparte yang memulai membuka suara setelah jeda seruputan teh tadi.
" Ya lebih cepat lebih bagus, kalau cepat selesai pembicaraan dengan keluargamu juga tinggal tentukan harinya, biasanya kan hari minggu bagusnya untuk resepsi supaya banyak yang bisa datang"
" Bisa tidak hari ahad minggu ini Miq, supaya cepat selesai juga". Kembali Suparte bernegosiasi, dengan pertimbangan supaya tidak terlalu lama calon istrinya berada di rumah tetangga yang akan dititipi.
" Sekarang hari Selasa, semoga saja bisa nak ya, nanti kita minta pertimbangan juga kepada orang yang biasa menghitung Diwase (Perkiraan hari baik)". Jelas saja jawaban ini terasa menggantung bagi Suparte, padahal yang dia inginkan adalah kejelasan dan ketegasan dari orang tua Ruminah agar pernikahan mereka cepat terlaksana dan tidak ada lagi beban bagi kedua belah pihak.
Setelah berbasa-basi tentang hal lainnya yang cukup lama juga untuk mencairkan suasana dan menjalin kedekatan bagi Suparte dan keluarga Ruminah. Azan ashar pun berkumandang, bapak Ruminah bersiap untuk ke masjid dengan terlebih dahulu menutup pembicaran dengan berpesan kepada Suparte agar mendatangkan keluarganya karena masih ada pembicaraan antar keluarga yang belum dilakukan, Lagi-lagi ini tentang adat yang sepertinya tidak sah jika tidak dilakukan. Suparte hanya mengiyakan dan mengatakan secepatnya untuk mendatangkan keluarganya. Bapaknya Ruminah pun beranjak dari duduknya bergegas menuju masjid yang berjarak sekitar 5 rumah dari sana.
Sepeninggal abahnya, Ruminah bersama ibunya masih tetap menemani Suparte, membicarakan tentang rencana selanjutnya bagi Suparte dan Ruminah. Ibu Ruminah pun sempat menceritakan kejadian ketika ia pertama kali mengetahui adat merariq seperti itu saat dia dibawa oleh bapaknya Ruminah dahulu, sedangkan adat di kampung ibunya Ruminah biasanya melakukan lamaran secara baik-baik dengan mempertemukan secara langsung kedua keluarga. Sementara ibunya Ruminah yang dulunya tidak mengetahui adat seperti itu seperti merasa terpaksa tanpa meminta persetujuan orang tuanya terlebih dahulu untuk dibawa oleh calon suaminya. Namun setelah dijelaskan oleh calon suaminya, dibarengi rasa cinta, diapun menerima saja dititipkan di rumah tetangga calon suaminya. Sementara kekhawatiran ibunya Ruminah akan orang tuanya yang tak sempat diberitahu bahwa dia akan menikah dengan adat suaminya merariq (dilarikan) seperti itu.
" Kalau sekarang kan gampang saja jika ada gadis yang diajak merariq, ada HP yang bisa digunakan untuk menghubungi orang tua si perempuan. kalau dulu, jika perempuan diajak keluar oleh laki-laki yang bisa dikatakan pacarnya, terus tidak dibawa pulang sampai malam, itu bisa dikatakan merariq sudah, walaupun besoknya dia dikembalikan lagi oleh si laki-laki, ataupun kita tidak berburuk sangka tidak pernah terjadi apa-apa antara mereka, tetap saja mereka harus merariq, kalau tidak keluarga si perempuan tidak akan menerima dia lagi di keluarganya. Meskipun bisa saja si perempuan menginap di rumah keluarganya diantar oleh laki-laki yang menjemputnya dari rumah, namun adatnya dia harus menikahi si perempuan jika tidak ingin terjadi konflik antar keluarga mereka". Papar ibu Ruminah menjelaskan tentang adat mereka di sana, yang lambat laun dipahami juga oleh ibu Ruminah setelah sekian lama di kampung tersebut.
Suparte teringat kejadian 3 tahun lalu ketika kakak perempuannya pagi hari di jemput oleh calon suaminya dan berpamitan kepada orang tuanya dengan dalih ke rumah teman kuliahnya. Sampai magrib kakaknya belum pulang juga, sementara orang tua mereka sudah khawatir dengan anak perempuannya. Barulah setelah isya, Suparte menerima SMS dari kakaknya dia diminta untuk memberitahu orang tua mereka bahwa kakaknya telah diajak merariq oleh calon suaminya yang menjemput tadi pagi. Orang tua Suparte sepertinya keberatan, pun meminta agar kakaknya dibawa pulang saja dahulu untuk lebih sopannya adat mereka melamar. Namun Suparte yang juga seorang yang berpendidikan merasa perlu menghormati adat masyarakat lain menjelaskan kepada orang tuanya bahwa itu adalah adat yang biasa terjadi. Akhirnya orang tua Suparte mengalah dan menunggu kedatangan keluarga calon suami kakaknya datang merundingkannya.
Sekarang yang dialami Suparte justru terbalik, dia yang datang melamar secara baik-baik malah diminta untuk melarikan calon istrinya. Bagaimana dia tidak kebingungan, membawa perempuan yang belum mempunyai hubungan sah untuk tinggal di kampungnya dan dititipkan di rumah keluarganya sampai beberapa hari yang belum pasti kapan akan diadakan pernikahannya, tergantung perundingan antara kedua keluarga. Suparte menerka-nerka perundingan selanjutnya yang akan diadakan, sepertinya tidak jauh berkisar tawar menwar Sadean (uang pelamar yang akan diberikan kepada orang tua si perempuan).
" Pertemuan dua keluarga nantinya membicarakan apa umi?". Dia memberanikan diri bertanya pada Ibu Ruminah yang sedang memeluk Ruminah dan bersandar di bahunya.
" Banyak nak, salah satunya hari pelaksanaan pernikahan, undangan, dan tergantung lagi apa yang penting untuk dibahas nantinya". Ibu Ruminah sama sekali tidak menyebutkan tentang Sadean, sepertinya itu agak sensitif untuk dibahas, Suparte pun segan dan mengurungkan niatnya menanyakan hal tersebut.
" Ayo shalat dulu nak, sebelum berkemas-kemas, sementara menunggu Bapak dari masjid juga". Ruminah mengantarkan Suparte ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, sementara dia kembali ke ruangan agak kecil yang biasa digunakan sebagai tempat shalat, menggelar sajadah dan segera kembali ke kamar mandi, bertemu Suparte yang sudah selesai wudhu.
" Tunggu kak ya, Kita berjamaah, shalatnya di ruang dekat Sangkok tadi, ada sajadah tergelar di sana". Suparte hanya mengangguk, tak lupa memberikan senyum terbaiknya untuk Ruminah.
                                       *****
Selesai shalat, bapak Ruminah telah duduk kembali di sangkok tadi, ibu Ruminah belum terlihat, Suparte pun ikut kembali duduk bersama bapak Ruminah. setelah itu Ruminah masuk ke sebuah kamar untuk mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa. Suparte dan bapak Ruminah kembali berbincang-bincang, lebih tepatnya dia memberikan nasihat kepada Suparte bagaimana membina hubungan baik dalam keluarga, terlebih mereka adalah orang-orang terdidik yang pernah mengenyam pendidikan tinggi, sementara bapak Ruminah hanya sampai Diploma. Suparte seperti terlarut dalam haru dan kebahagiaan sembari mendengar petuah-petuah yang dikeluarkan bapak Ruminah. Ibu Ruminah masuk ke kamar yang dimasuki Ruminah tadi, membantu mempersiapkan apa yang akan dibawa Ruminah ketika merariq.
Setelah beberapa jenak mereka berdua pun keluar, dengan ransel ukuran sedang dijinjing oleh ibu Ruminah diikuti Ruminah di belakangnya dengan tas kecil selempangnya. Bapak Ruminah menghentikan petuahnya, lalu meminta Ruminah mendekat kepadanya. Sambil memegang pundak Ruminah Dia pun memulai membaca doa namun tak terdengar, hanya mulutnya yang terlihat bergerak, setelah itu ditiuplah ubun-ubun anaknya, sebagai sebuah prosesi melepas anaknya yang akan menikah. Suparte dan Ruminah pun berpamitan kepada kedua orang tua Ruminah. Di halaman depan sebelum Suparte menyalakan sepeda motornya, mereka bertemu dengan adik perempuannya Ruminah yang baru pulang dari sekolah. Seragam Putih-birunya terlihat sedikit basah pada rok bagian bawahnya.
" Kak umi mau ke mana?"
" Ke rumah teman, kok pakaiannya basah itu, sudah hujan-hujanan ya tadi di sekolah?". Sambil mencium tangan kakaknya, Ruminten tampak heran melihat kakaknya dan tak menjawab pertanyaan kakaknya tadi.
" Ke rumah teman kok kakak bawa tas penuh gitu?".
" Mendingan masuk ke dalam saja dulu, ganti pakaian sana". sambil mencium kening adiknya, giliran Ruminah yang tak menghiraukan pertanyaan adiknya. Walaupun masih diliputi heran minten pun beranjak masuk rumah.
                                              ****
Di perjalanan menuju rumahnya, Suparte tak putusnya mengadakan pembicaraan dengan Ruminah, kalau tadi ke rumahnya Ruminah dengan tergesa-gesa, kini setelah Ruminah berada di boncengannya, sepeda motornya berjalan seperti siput yang merangkak menyusuri jalan di sekitar areal persawahan yang hijau, semakin meneduhkan hati mereka berdua untuk melangkah dengan pasti.
Sampainya di rumah, hari hampir petang, ibu Suparte sempat terkejut sang anak membawa seorang gadis ke rumah. Setelah berucap salam dan mencium kedua tangan ibunya diikuti Ruminah, barulah dia mengajak ibunya duduk dan menjelaskan semua. Tanpa merundingkan terlebih dahulu dengan ibunya perihal keinginannya datang melamar Ruminah, sang ibu masih terdiam mendengar penjelasan Suparte dengan sedetail-detailnya. Sementara Ruminah terlihat menunduk, ikut larut dalam keheningan diamnya ibu Suparte.
" Jika itu memang keputusan yang menurutmu terbaik, tidak ada halangan bagi ibu untuk tidak menyetujui, akan tetapi mengapa tidak nanti saja kau bawa Ruminah ke sini ketika sudah jelas pembicaraan dengan keluarganya". Ibu Suparte mencoba menanggapi sebijak mungkin.
" Bahkan orang tua Ruminah sendiri yang meminta saya harus membawa Ruminah sekarang Inaq (Panggilan ibu, untuk perempuan Sasak), kita juga harus menghormati adat mereka yang tradisinya seperti itu".
" Terus rencana mau kau inapkan di mana Ruminah selama penantian ini?, kalau tinggal serumah dengan mu takutnya nanti akan bermacam-macam pandangan orang terhadapmu"
" Bagaimana kalau di rumah Saiq Juma' saja?". (Saiq, panggilan untuk Bibi, lebah tepatnya Inaq saiq).
" Tunggu dulu di sini, saya panggilkan Pak Kadus dan Pak RT untuk lebih sopannya". Ibu Suparte bergegas keluar rumah mencari orang yang disebutkan tadi. Ruminah yang tadinya cukup berdiam dengan menundukkan kepala kini menegakkannya kembali sembari memandang ke arah Suparte.
" Maaf Kak parte, hanya karena urusan adat jadi merepotkn seperti ini, padahal saya tidak masalah walaupun tetap menunggu di rumah, sampai pembicaraan keluarga selesai"
" Tidak apa-apa dek, ini tidak merepotkan kok, hanya bagian dari proses". Suparte mencoba menenangkan Ruminah.
Ibu Ruminah kembali dengan dua orang bapak paruh baya bepeci hitam dan seorang perempuan yang lebih muda dari ibu Suparte. Setelah mengucap salam dan disalami oleh Suparte dan Ruminah, merekapun duduk bersama. Ibu Suparte kali ini mengambil alih untuk menjelaskan, dua bapak tadi manggut-manggut saja, begitu juga Saiq juma' yang telah diundang oleh ibu Suparte. Dia tidak merasa keberatan jika Ruminah untuk sementara tinggal bersamanya sementara menunggu hari akadnya dilaksanakan.
" Kira-kira kapan rencana untuk be-selabarnya nak Parte?". Pak kepala dusun mulai membuka suara. (beselabar, Prosesi lamaran dengan mempertemukan kedua keluarga).
" Kalau menurut Tiyang lebih cepat lebih bagus Tuaq (Panggilan untuk Paman), besok kalau Pelungguh (Anda, ungkapan untuk menghormat) ada waktu luang bisa kita berangkat ke rumahnya Ruminah"
" Bagus kalau begitu, nanti paman-pamanmu yang lain juga diundang untuk membicarakannya, karena bagaimanapun merekalah yang menjadi orang tuamu sekarang". Ungkap bapak yang satunya lagi.
" Nggih Tuaq, Besok Tiyang datangi mereka untuk meminta kesediaannya". Sementara hari semakin beranjak petang ditandai dengan mulai riuhnya speaker-speaker masjid dengan bacaan al Qur'an dari kaset-kaset ataupun radio yang disambungkan. Kesepakatan sudah didapatkan besok siang mereka akan berkunjung ke rumahnya Ruminah, dan malam ini Ruminah akan menginap untuk sementara di rumah Bibi Juma' diantar oleh Suparte dan ibunya, yang berselang sekitar 4 rumah dari rumahnya Suparte.
                    *****
Kembali sepulang sekolah Suparte menuju rumahnya Ruminah, kali ini diringi 2 sepeda motor lainnya. Dua orang pamannya bersedia menjadi mediator ditemani orang yang ditokohkan di kampung mereka. Mereka berenam beriringan menembus mendung di siang itu. Rumah Ruminah tampak lengang, setelah mengucap salam barulah mereka disambut oleh Ibu Ruminah, mempersilahkan mereka masuk dan menjelaskan bahwa suaminya tadi keluar untuk shalat zuhur di masjid. Ibu Ruminah pun meminta mereka menunggu sejenak, lalu beranjak ke rumah tetangga meminta tolong untuk dipanggilkan suaminya yang sekiranya masih di masjid. Tak lama bapak Ruminah pun sudah sampai di rumahnya, dia meminta ibu Ruminah memanggil beberapa orang yang dia sebutkan, membantunya membicarakan pernikahan putrinya bersama keluarga Suparte.
" Mendadak sekali datangnya Nak parte, ndak Telepon dulu tadi supaya kami persiapkan juga". Bapak Ruminah membuka perbincangan untuk mencairkan suasana.
" Nggih Miq, Tiyang lupa telepon, Tiyang sudah pesankan ke dek Ruminah untuk menghubungi Pelungguh terkait kedatangan kami. Ini paman Tiyang semua ini Miq, Tuaq Galeh, Tuaq Jumarin, Tuaq Safar, Tuaq Salim, Tuaq Saleh, dan ini Sepupu Tiyang Sabri". Perbincangan masih seputar basa-basi pengakraban kedua keluarga, belum menjurus ke inti yang akan dibicarakan. Orang yang dipanggil oleh ibu Ruminah telah tiba juga dan dipersilahkan masuk oleh bapak Ruminah. Dibantu tetangganya, ibu Ruminah mempersiapkan minuman untuk para tamunya.
" Karena keluarga kami juga sudah berkumpul, untuk efektifnya waktu kita mulaikan saja Nak, Silahkan mungkin ada yang ingin disampaikan dari Pak Salim terlebih dahulu terkait tata cara-tata cara kita dalam melamar, siapa tahu jika ada perbedaan kami juga bisa menghormati dan mencari jalan tengah untuk baiknya". Lanjut Bapak Ruminah.
" Lebih bagusnya kita tentukan saja dulu hari baiknya untuk pernikahan anak-anak kita, karena menyegerakan ibadah juga hal yang sangat baik". Papar Tuaq salim.
" Menurut Tiyang hari ahad minggu ini baik juga kok untuk acara akad digabung saja sekalian resepsinya, supaya sekali-kali selesai prosesinya". Usul dari pak Jamran yang juga paman dari Ruminah.
" iya lebih cepat lebih bagus, hari ahad minggu ini sepertinya cukup bagus, akan tetapi sebelum kita putuskan tanggal tersebut apa tidak lebih baiknya kita rundingkan juga terkait Sadean-nya terlebih dahulu?". (uang pelamar yang diserahkan ke orang tua Perempuan). Tuaq Galeh menambahkan secara langsung ke inti pembicaraan supaya diskusinya tidak terlalu lama.
" Terkait Sadean bagaimana baiknya menurut Pelungguh sekalian?". Bapak Ruminah melemparkan ke forum, sementara ibu Ruminah masuk menghidangkan minum dan beberapa piring makanan ringan. Ibu Ruminah diminta untuk ikut duduk oleh suaminya.
" Kami menunggu dari Pelungguh dulu yang menyebutkan kira-kira berapa kisaran baiknya yang akan dikeluarkan pihak keluarga kami, kita secara langsung saja Miq supaya tidak ada tangguhan-tangguhan, toh juga niat kita berkumpul di sini kan memang untuk membahas itu". Tuaq Galeh yang lebih tua di antara mediator yang dibawa Suparte semakin tegas untuk mengarah ke pembicaraan yang sebenarnya, namun tetap menjaga kesopanan mereka yang bertamu.
" Bagaimana umi, kira-kira standar Sadean yang biasa berlaku di sini?". Bapak Ruminah malah mengalihkan ke istrinya.
" Kalau standar anak-anak perempuan yang sarjana di sini biasanya berkisar 35 sampai 50 apalagi yang perawat seperti Ruminah, akan tetapi untuk lebih baiknya kita tidak perlu berbicara lebih jauh standar-standar Sadean semacam itu, bagaimana baiknya saja untuk kelancaran rencana pernikahan anak-anak kita". Paparan ibu Ruminah hampir membuat syok Suparte dengan nominal-nominal sudah terstandar yang disebutkan ibu Ruminah, dia sudah bisa menebak angka tersebut representasinya bernilai berapa. Sedangkan dia yang hanya guru honor dari mana akan mendapatkan dana sebanyak itu.
" Lalu untuk lebih baiknya kira-kira berapa nominal yang menurut keluarga Pelungguh paling baik untuk tercapainya kesepakatan kedua belah pihak atas Sadean ini Miq". Tuaq salim yang tadi lebih banyak berdiam kini ikut membuka suara. Suparte pun sepertinya was-was dalam dadanya, seakan menunggu putusan besar atas langkahnya mengambil Ruminah sebagai calon istri. Apapun putusan itu dia akan siap untuk mengusahakannya, namun terlebih dahulu menegosiasikannya.
" Untuk lebih baiknya dengan perhitungan pembelian perabotan yang akan dibelikan ibunya Ruminah bagi keluarga pengantin nantinya bagaimana jika kisarannya kita patok 30 saja dengan beberapa pertimbangan yang telah kami rembug-kan bersama keluarga". Akhirnya putusan itu pun keluar dari Bapaknya Ruminah, sedikit kelegaan bagi Suparte dengan tersebutnya nominal yang diucapkan, namun tetap merasa berat selanjutnya akan memikirkan bagaimana mendapatkan dana sebanyak itu untuk Sadeannya. Sementara untuk resepsi pun masih membutuhkan dana yang tidak sedikit. Suasana tampak lengang, Suparte meneguk minumannya, Tuaq salim menghisap rokoknya dalam-dalam, begitu juga di pihak keluarga bapak Ruminah, tampak masih tenang-tenang saja.
" jadi pertimbangan nominal 30 ini sudah sesuai pertimbangan penggunaan dana nantinya untuk keperluan keluarga pengantin?". Tuaq galeh seolah ingin mendapatkan kejelasan lebih.
" Iya pertimbangan dengan keluarga-keluarga kami yang lain juga menyetujui seperti itu pak". Jawab singkat bapaknya Ruminah.
" Apa tidak bisa kita sederhanakan lagi nominal tersebut Miq, apalagi kan kita sama-sama tahu penghasilan dari Nak Suparte yang baru honor juga kan masih belum terlalu banyak simpanannya. Namun karena ini memang benar-benar niat baiknya agar cepat membina rumah tangga, yang katanya juga untuk menepati janjinya kepada Ruminah". Tuaq saleh mencoba bernegosiasi sebijak mungkin.
" Nah itulah perlunya pembicaraan antar keluarga lebih jauh lagi, makanya kan pas pertama nak Parte datang sendiri sudah saya pesankan juga untuk memberitahukan ke keluarga juga". Jawab bapak Ruminah.
" Maksud Tiyang nominal yang Pelungguh sebutkan tadi apa tidak bisa disederhanakan lagi, atau bahasanya lebih rendah dari itu yang harus diusahakan oleh nak Parte untuk memenuhinya". Lanjut Tuaq Saleh.
" Menurut Pelungguh sekalian kira-kira baiknya berapa begitu?".
" Tiyang kira di bawah 20 sepertinya itu sudah terbaik yang bisa diusahakan, terlebih nak parte juga masih mempunyai tanggungan atas ibunya yang sendirian sekarang". Tegas Tuaq galeh.
" Perkiraan perlengkapan yang akan dibelikan untuk keluarga pengantin nantinya juga sepertinya masih kekurangan dengan nominal segitu pak, akan tetapi kita mengikuti bagaimana baiknya saja yang bisa diusahakan nak Parte". Bapak Ruminah kembali sesopan mungkin atas putusannya.
Suparte masih terdiam memikirkan bagaimana dia akan memperoleh dana sebesar itu sementara di tabungannya tidak terlalu banyak yang dia siapkan. Mau mengandalkan siapa lagi, sementara dia tidak mungkin mengandalkan paman-pamannya yang kehidupan mereka sederhana juga dari hasil sawah. Sejak awal dia tidak terpikirkan dengan standar-standar Sadean yang berlaku pada adat kampung calon istrinya. Mau mundur sungguh akan mencoreng arang di mukanya, terlebih calon istrinya sudah berada di kampungnya sendiri.
Setelah berbicara cukup panjang lebar antara kedua keluarga, diputuskanlah Sadean yang akan diusahakan Suparte dengan mengambil jalan tengah nominal 25, putusan terakhir dari keluarga Ruminah. Paman-paman Suparte yang menjadi mediator saling berpandangan, dengan diamnya mereka seolah menyetujui namun tetap bagaimana Suparte yang akan menyikapinya. Nominal 25 itu kini menjadi beban pikiran bagi Suparte. Sementara putusan tanggal pelaksanaannya yang diusulkan Ahad minggu ini tidak jadi diputuskan.
Sepulang dari rumah Ruminah, mereka pun langsung menuju rumah Suparte untuk merundingkan lagi perihal Sadean tersebut yang dirasa cukup besar bagi kehidupan sederhana mereka. Kali ini ibunya Suparte dan bibi Juma' ikut terlibat, Ruminah masih berdiam di rumahnya. Mendengar penuturan Tuaq Galeh, ibunya Suparte pun terdiam.
" Dari mana kita akan dapatkan dana segitu, Tiyang tidak punya simpanan lagi selain ada satu cincin yang masih tersisa, mungkin bisa dijual, atau kalau tidak sawah warisan amaq-mu (Amaq, Bapak) bisa digadaikan dulu sebagai jaminan untuk pinjaman jika kamu setuju". Suara ibu Ruminah terdengar datar dan merendah.
" Tiyang akan usahakan inaq, Tiyang tidak akan merepotkan side ( anda), Side berikan ridha dan restu saja untuk Tiyang"
" Tetap itu akan menjadi pikiran Tiyang juga nak, ndak mungkin Tiyang melepaskanmu memikirkannya sendiri, mau mundur juga sudah kepalang tanggung, anak Gadis orang sudah kau bawa di sini, alangkah malunya jika dipulangkan, bisa-bisa itu membuat stress kalian berdua".
Sementara paman-pamannya yang hadir ikut larut dalam diam, seperti kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan ide mereka untuk mengatasi masalah Sadean tersebut. Untuk menenangkan mereka Tuaq salim pun mengusulkan untuk datang lagi ke orang tuanya Ruminah membicarakan lagi Sadean tersebut untuk diperkecil lagi nominal yang akan diusahakan oleh Suparte. Sementara Suparte juga berpikir keras, memutar otak dari mana akan mendapatkan dana tersebut.
Berselang dua hari, Pertemuan kedua antara dua keluarga itu untuk menegosiasikan memperkecil nominal Sadean itu pun masih tetap dengan putusan bapak Ruminah, nominl 25 itu masih dipertahankan oleh keluarga Ruminah. Malah yang menjadi putusan,  Hari Ahad minggu ini tidak jadi dilaksanakan akad dan resepsinya, pihak keluarga Suparte yang meminta dimundurkan. Sebab dia masih kebingungan untuk mendapatkan dananya, karena itu hari ahad ini pun rencananya akan digunakan dengan mengumpulkan kayu bakar untuk Begawe (Hajatan) nantinya. Kalau sudah sampai tahap pengumpulan kayu bakar untuk begawe, mau tidak mau pernikahannya harus tetap dilaksanakan bagaimanapun beban pikiran terkait Sadean tersebut.
Sampai 3 kali pertemuan kedua keluarga dicapailah putusan nominal Sadean-nya 20, terus akad nikahnya akan dilaksanakan pada hari Kamis siang, sementara resepsinya yang hanya untuk berdiri di pelaminan selama beberapa jam menjadi tontonan, akan dilaksanakan hari ahad. Hampir dua minggu bernegosiasi antar dua keluarga. Ruminah masih setia menunggu di rumah bibi juma' dengan tetap ditenangkan oleh Suparte untuk secepatnya menyelesaikan administratif ala adat kampung calon istrinya. Suparte tampak tenang setelah mendapat ide bagaimana mendapatkan dana untuk Sadeannya.
Dengan jaminan sepeda motornya dan kumpulan pinjaman dari paman-pamannya terkumpullah dana Sadean yang bisa dia usahakan. Sementara untuk dana resepsi dia mendapatkan bantuan dari banjar-banjar (Bantuan, tolong-menolong dari keluarga ataupun tetangga sekitar semacam iuran bantuan ketika ada warga yang menikah). Beberapa tetangga yang mempunyai kebun kelapa menyumbangkan kelapa, yang mempunyai kebun pisang menyumbangkan pisang, terus rempah-rempahan untuk bumbu seperti cabe, bawang dan sejenisnya. Begitu juga kerabat dekat yang sedia menyumbangkan beras, Gula, minyak goreng serta uang pelangar (dana untuk membantu hajatan atau begawe).
Pertemuan keempat sekaligus mengundang untuk acara akad nikah bagi Suparte sangat mendebarkan. Sebab pada pertemuan itu juga pihak keluarganya akan menyerahkan Sadean yang telah disepakati sebelum akad terlaksana. Dengan penjelasan sedetail-detailnya dan sesopan mungkin keluarga Suparte diwakili Tuaq Galeh yang sudah cukup berumur dan makan garam atas adat pernikahan menyerahkan nominal 15 yang mereka bawa. Masih kurang 5 dan rencananya akan dicukupkan oleh Suparte setelah resepsi pernikahan mereka. Sebab yang menjelaskan orang yang lebih berumur darinya, bapak Ruminah pun manggut-manggut saja, lalu mencairkan suasana dengan mengalihkan pembicaraan rencana pelaksanaan akad nikahnya esok lusa.
Kamis yang menjadi penantian mereka pun tiba, Mushalla di kampung Suparte dihias semeriah mungkin, walaupun tidak terlalu besar nampaknya cukup untuk menampung undangan dari kedua keluarga dan tetangga-tetangganya. Hidangan untuk akad ini pun dipersiapkan juga oleh keluarga Suparte dengan dulang Nare (Nampan aluminium atasnya tertutup dengan anyaman daun enau yang dicat merah). Selain itu biaya administrasi dengan menghadirkan pihak KUA pun sudah diperhitungkan secara detail.
Keluarga Ruminah sudah hadir di Mushalla. Sebelum acara akad dimulai terlebih dahulu diberikan pengarahan dari tetua yang ada di kampung, begitu juga bapak Ruminah diberitahu terlebih dahulu sebelum mengijab kabulkan anaknya. Dia tampak terkejut ketika diberitahukan tentang mahar yang disediakan untuk putrinya. Tak ada waktu untuk mendebatnya, jadi dia tenangkan saja dirinya menghapalkan apa yang akan diucapkan untuk ijab kabul putrinya. Beberapa tokoh masyarakat dari kampungnya yang diundang bapak Ruminah telah berbaur dengan undangan-undangan yang dihadirkan keluarga Suparte. Para tokoh agama yang diundang keluarga Suparte tampak khidmat menunggu prosesi akad.
Pengantin pun dipanggil untuk naik ke mushalla, diiringi dua orang perempuan yang membawa nampan di atasnya terdapat sebuah bingkisan dan segelas air putih tertutup atasnya. Para hadirin sepertinya bertanya-tanya dalam diri masing-masing perihal apa yang dibawa pengiring tersebut. Setelah khutbah nikah dibacakan, tibalah prosesi ijab kabul yang akan dibacakan oleh bapak Ruminah.
" Saya nikahkan engkau Suparte dengan anak saya Baiq. Ruminah dengan maskawin satu buah kitab suci Al Qur'an dan segelas Air putih dibayar tunai".
" Saya terima nikahnya baiq Ruminah dengan maskawin seperti yang disebutkan tadi dibayar tunai". Diulang sekali lagi Suparte diminta untuk menyebutkan juga detail maskawin yang diberikan dan menjabat erat tangan bapak Ruminah di akhirnya. Hadirin pun menyatakan sah, dan masih tampak takjub dengan keheranan akan segelas air putih yang dibawa pengiring pengantin tadi. Setelah penandatanganan buku nikah, selanjutnya penyerahan maskawin dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Ruminah pun langsung meminum air yang menjadi maskawinnya tersebut disaksikan oleh orang tuanya yang masih menampakkan raut kebingungan di wajah mereka.
Selesai uraian hikmah pernikahan dari Tuan Guru (Tokoh Agama) yang diundang, dilanjutkan dengan syukuran akad tersebut dengan menghidangkan dulang-dulang untuk para hadirin. Barulah selesai menikmati hidangan, bapak Ruminah menyusul ke rumah Suparte untuk melihat putrinya. Terlihat rona kebahagiaan yang cukup besar di wajah Ruminah ketika ditemui oleh kedua orang tua dan kerabatnya yang lain. Lebih 10 hari menunggu di rumah bibi juma' terasa penantian yang cukup panjang baginya sebab tidak tahu menahu akan pembicaraan yang dilakukan oleh keluarganya dan keluarga Suparte.
Sampai Suparte memberitahukan padanya perihal hadits dari Sunnah Rasul yang menganjurkan mahar itu yang sederhana. Ruminah pun menyetujui tawaran Suparte dengan maskawin tersebut asalkan secepatnya untuk dilaksanakan akadnya. Sementara perihal Sadean (Uang pelamar) Suparte tidak pernah memberitahukan kepada Ruminah, bagaimana perjuangannya mengusahakan dana tersebut, dibiarkan menjadi tanggung jawabnya sendiri.
Dengan pelaminan sederhana rancangan kawan-kawan pemudanya jadilah resepsi pernikahan mereka diadakan. tak ada tenda sewaan, sekedar terpal yang jadi atap dan pinjaman kursi plastik dari kantor desa. Begitu juga pakaian pengantin mereka, tanpa make up berlebihan yang biasanya pada acara-acara resepsi, wajah mereka justru terlihat lebih cerah dan bahagia. Suparte dengan kegigihannya mengumpulkan dana semampunya agar pernikahannya terlaksana dengan lancar, telah memanage pendanaannya sebaik mungkin. Tidak berlebihan, namun jelas kekurangan. Pun Sampai selesai resepsi dia masih menanggung Hutang.
Ironi pernikahan yang begitu mudahnya dianjurkan oleh penulis-penulis kata-kata manis yang biasa dibagikan di media sosial, sungguh tidak sesuai dengan kenyataan. Ketika menikah dihadapkan dengan kurangnya pendanaan, dan persiapan yang belum terlalu baik, maka jalan spekulasi dengan menanggung hutang inilah sepertinya jalan keluar tercepat untuk pemecahannya. Namun Suparte masih menyimpan percaya bahwa menikah juga salah satu jalan menjemput rizki, seperti yang dia sering dengarkan pada kata-kata hikmah ceramah pernikahan.
Menikah yang begitu mudah diucapkan ternyata lebih membutuhkan penjelasan secara lebih terperinci lagi dari pada sajak yang biasa dijadikan penyair sebagai tujuan atas pikirnya. Menikah tidak hanya kata belaka, namun makna tersiratnya lebih dahsyat dari pada mantra. Menikah bukanlah lelucon yang dijadikan tawaan, akan tetapi sebuah ungkapan pembuktian bahwa cinta itu benar-benar akan bermuara pada satu hati untuk selamanya. Ijab kabul bukanlah seperti melafalkan sajak, namun lebih sakral yang akan menyatukan dua hati yang berjanji. Sajak-sajak cinta begitu indah, menyemangati hati untuk terus memperjuangkannya, meski beban tak jadi hirauan.

(Baim Lc, Lombok 22-04-2016)

Jalan Sunyi Si Pendidik

sumber :digaleri.com Baim Lc*  Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal ya...