Minggu, 25 Februari 2018

Jalan Sunyi Si Pendidik

sumber :digaleri.com

Baim Lc* 

Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal yang tertulis pada amplop mengingatkannya pada periuk, ataupun ember tempat menyimpan beras yang ada di rumah. Keningya berkerut, honornya bulan itu memunculkan dilema dalam batinnya, peruntukkannya ke mana. Ah nominal yang tak seberapa sebenarnya, sekarung beras 50 kg pun tak cukup. Apalagi berniat untuk membeli beberapa potong daging  ayam untuk dimasak sendirian atau kadang anak-anak kampung yang biasa berkumpul di sore hari membantu menghabiskannya. Ataukah dia belikan buku-buku untuk tambahan koleksi yang nantinya dibaca juga oleh anak-anak kampungnya, ataupun dia sedekahkan sebagiannya untuk membantu melunasi biaya pendidikan anak salah seorang tetangganya yang mendekati batas tenggat pembayaran.
Samar-samar ingatannya menerawang ketika dia bisa sampai menjadi bagian dari staf pengajar pada institusi tersebut. Awalnya kegiatannya setiap sore mengumpulkan anak-anak kampungnya dari berbagai jenjang pendidikan, lalu bersama-sama duduk melingkar di teras rumah yang dia tempati sendiri, warisan dari orang tuanya. Salah satu dari anak-anak tersebut akan berebut untuk memulai membuka suara, menceritakan apa yang telah mereka baca dari buku-buku pinjaman darinya, yang dia koleksi semasa kuliah.
Setiap sore seperti biasa selepas shalat ashar dari surau kecil di sekitar rumahnya, anak-anak pun sudah mulai berkumpul di halaman rumahnya. Dia pun disalami satu per satu oleh anak-anak tadi sembari diarahkan menuju teras rumah dan meminta beberapa orang dari mereka untuk menyapu teras tersebut. Setelah berganti pakaian, dia pun keluar membawa dua kardus besar berisi buku-buku dengan cetakan kertas buram, sementara anak-anak yang lain mulai juga mengeluarkan buku yang mereka bawa, ada yang mengeluarkan dari tas, kantong plastik, ataupun tas rajutan dari tikar pandan, bahkan yang menyelipkannya di belakang punggungnya.
Buku-buku yang dibawa anak-anak itu pun pinjaman darinya. Mereka diminta menyelesaikan untuk membaca buku tersebut, nantinya itulah yang akan diceritakan pada lingkaran sore, atau terkadang diminta untuk menuliskannya dalam selembar kertas tulisan tangan. Namun sore itu bukan anak-anak itu yang bercerita, dia yang menunjukkan satu persatu buku-buku dari kardus tersebut sembari menceritakan sekilas isinya, lalu menawarkan atau terkadang dia menunjuk siapa yang selanjutnya yang akan menjadi empu buku tersebut untuk diselesaikan selama beberapa hari. Beberapa tampak antusias agar mendapat buku tersebut dibaca selanjutnya, ada juga raut kecewa ternyata bukan salah satunya yang dapat. Anak-anak kampung yang jauh dari riuhnya media sosial ataupun peralatan elektronik lainnya, namun televisi tetap menjadi bagian dari malam mereka.
Halaman rumah itu cukup luas untuk bermain, dan selalu diramaikan oleh anak-anak kampungnya setiap sore, meski terkadang dia pun telat pulang. Anak-anak itu pun sebenarnya mempunyai kegiatan yang cukup padat, sepulang sekolah ada yang mencari rumput untuk pakan kambing atau sapi peliharaan orang tua mereka, ada yang membantu mengantarkan makanan ke sawah, atau membantu 'muro', menghalau burung-burung yang mendatangi padi-padi yang hampir menguning. Ada pula yang bergelut dengan cekatannya membelah batu apung di lokasi pelebaran lahan yang tidak mereka tahu peruntukannya, yang jelas orang tua mereka berada di sana mengumpulkan batu apung. Ada juga anak-anak itu yang bergelut dengan cetakan bata dari tanah liat, orang tua mereka melakoni sebagai buruh pembuatan bata, ataupun yang berendam di sungai lalu mengangkut pasir untuk dikumpulkan di pinggir, sembari menunggu peruntungan kiranya hari itu pasir mereka yang diangkut oleh truk-truk yang datang.
Keceriaan dirinya meskipun anak-anak itu dengan kesibukan mereka sepulang sekolah, namun masih tetap menyempatkan untuk datang sore hari ke rumahnya. Itulah yang menjadi semangatnya untuk terus berbagi bersama anak-anak itu. Awalnya hanya anak-anak tetangga sekitar rumahnya yang diajak, lalu anak-anak itu pun saling mengajak ketika mereka berada di sekolah dengan diperlihatkan buku-buku yang mereka dipinjamkan dari rumahnya. Kecerian anak-anak itu pun tetap tergambar dengan terkadang diceritakan cerita lucu atau pun dengan tingkah dari mereka yang membuat terbahak.
*****
Awalnya dia pun kebingungan menjelang kelulusannya untuk jenjang pendidikan tinggi yang kedua kalinya. Akhirnya dengan mantap memutuskan untuk pulang kampung mengurus rumah dan beberapa petak lahan sepeninggal mendiang orang tuanya. Secara tak sengaja melihat anak-anak kampungnya setiap sore banyak yang bermain di dekat rumahnya, muncul inisiatif untuk mengajak mereka berkumpul di rumahnya, lalu membagikan buku untuk dibaca di sana ataupun boleh dipinjam dengan dibatasi hari untuk selesainya bacaan tersebut. Aktifitas sore itu pun berkembang terus sembari bertambahnya anak-anak yang ikut bergabung. Tak jarang ia pun mulai membeli stok permen untuk dibagikan setiap sore ketika mereka berkumpul, atau meminta salah seorang dari mereka untuk membelikan makanan ringan di warung seberang jalan.
Aktifitas itu pun terus berjalan lebih dari empat bulan lamanya. Tiba-tiba suatu sore salah seorang lelaki dengan penampilan rapi dan mengendarai mobil putih berkunjung ke rumah tersebut. Dia pun menyambut tamunya, dipersilahkan duduk di dalam rumah beralaskan tikar pandan, sementara anak-anak kampung tetap melingkar melanjutkan mendengarkan salah seorang bercerita di antara mereka.
"Kiranya apa yang membuat pelungguh berkenan untuk meluangkan waktu berkunjung ke sini?". dia membuka percakapan setelah kembali dari dapur untuk menjerang air panas.
"Owh iya mohon maaf sebelumnya, tyang Hamid dari Universitas Hijir, kebetulan sempat mendengar kabar dari kepala desa tentang aktifitas ananda di kampung ini"
"owh nggih". dia masih tetap menahan diri menunggu penjelasan selanjutnya dari tamunya.
"Dengar-dengar ananda baru menyelesaikan pendidikan tinggi untuk kedua kalinya, dan belum ada tempat untuk mengabdi kan?".
"Kalau secara formal memang belum ada ini Miq (Mamiq), tapi pengabdian menurut tyang ya di sini bersama anak-anak pada sore hari". Ucapannya sambil menghela nafas tanpa keraguan.
"Kalau begitu kami meminta ananda untuk ikut bergabung menjadi tenaga pengajar di kampus, dari pada ilmunya tidak diaplikasikan kan sayang"
Dia mengerutkan kening, seolah tampak berpikir dengan tawaran tersebut, padahal sejak kepulangannya dia berpikir keras untuk mencari basecamp tempat mengajar dengan mengandalkan ijazah pendidikan tingginya yang kedua kali.
"Atau ananda butuh waktu dulu untuk memikirkannya sebelum benar-benar menerima tawaran ini". Ucapan tamunya menyadarkannya pada air jerangan di dapur yang sepertinya sudah mendidih dari tadi. Dia pun meminta izin ke belakang, lalu kembali dengan dua gelas kopi hitam pada nampan yang dibawa.
" Tyang sebenarnya butuh juga tempat mengabdi, itu juga yang tyang bingungkan sekembali ke sini. dan alhamdulillah tawaran pelungguh layaknya semacam jawaban atas doa-doa tyang. akan tetapi tyang juga butuh penyesuaian sebelum masuk ke kampus, mengingat kegiatan tyang mengurus sawah dan anak-anak yang sedang semangat belajar ini supaya tidak terbengkalai. Jadi kiranya tyang butuh waktu untuk memutuskan boleh kah miq?".
"Owh iya, silahkan, bagus juga untuk dipikirkan baik-baik sebelum ananda benar-benar turun bergelut di dunia kampus".
"owh iya, silahkan sambilan diminum pak". Sementara itu suara anak-anak di teras masih terdengar lantang dan sesekali riuh tawa mengiringi.
"Jika sudah mantap dengan putusannya, silahkan datang ke kampus atau hubungi tyang di sana nanti ya". Dia pun menyanggupi, sementara pembicaraan berlanjut terkait pendidikannya dulu, kehidupan di kampung saat ini, bahkan sampai tawaran jodoh yang pak Hamid siap mencarikan jika dia siap, mengingat banyak pula mahasiswi yang akan lulus dan mulai cemas ke depannya setelah keluar dari kampus.
Dia pun mengiyakan untuk sesegera mungkin mengabarkan atau datang langsung ke kampus menemui pak Hamid. Sepeninggal pak Hamid, anak-anak masih riuh saling bertanya teka-teki dan menunggu dia keluar sebelum semuanya bubar. Jingga merah di sore itu mengisyaratkan sebentar lagi gelap datang. Dia pun menemui anak-anak itu di teras rumah dan meminta mereka untuk lebih awal berkumpul esok hari. Barulah anak-anak itu pun bubar kembali ke rumah masing-masih, sembari sebelumnya bersalaman kepadanya.
Keesokan sorenya anak-anak itu pun sudah berkumpul kembali, mengabarkan kepada mereka bahwa dia akan menjadi pengajar di salah satu kampus swasta di sana. Dan untuk kegiatan sore mereka di rumah itu diharapkan tetap berjalan, meski dia juga belum tahu jadwal mengajarnya seperti apa nantinya. Lalu dia pun meminta beberapa orang dari mereka agar bersedia menjadi koordinator untuk pengumpulan buku maupun peminjamannya.
Anak-anak kampung itu pun tampak kebingungan, belum ada yang mengangkat tangan bersedia. Dia pun menunjuk beberapa orang yang secara usia lebih besar dari yang lainnya, sementara anak-anak yang lain pun menyetujui. Dia memberikan kunci kamar depan tempat beberapa kardus buku tersimpan kepada salah seorang koordinator yang bersedia menjadi mediator ketika peminjaman maupun pengumpulan kembali buku-buku tersebut.
Dua hari berselang setelah kunjungan itu dia pun berangkat ke kampus dengan membawa beberapa berkas penting untuk menemui pak Hamid. Sesampainya di kampus ternyata pak Hamid memang sudah menunggu kedatangannya.
"Bagaimana ananda keputusannya?"
"tyang terima miq, makanya ini sekalian tyang bawa berkas kelengkapan untuk pembuatan SK-nya". Pak Hamid pun menerima berkas itu lalu dimasukkan ke salah satu map, dan mengajaknya menemui pimpinan kampus agar cepat diproses dan selekasnya diberikan jadwal mengajar.
Dia terlihat polos, dan hanya mengikuti instruksi pak Hamid. Setelah beberapa jam tatap muka dengan pimpinan kampus dan ditanyakan bebepa kegiatannya saat ini, dia pun menjawab apa adanya, dan akhirnya pimpinan kampus itu setelah berbisik dengan orang disebelahnya memberikan putusan untuk diterimanya dia sebagai tenaga pengajar di kampus tersebut. Jadwal pun langsung dibagikan saat itu juga dengan dia diminta mengisi kekosongan saat salah satu  pengampu mata kuliah itu sedang melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Nama pengajar yang digantikan itu pun masih bertengger di sana.
Minggu pertama dia melakoni sebagai pengajar di dalam kelas tampak grogi, apalagi dia langsung mendapatkan kelas berjalan pada semester 5 untuk mata kuliah yang ditinggalkan oleh pengampunya. Namun berbekal pengalaman semasa PPL/PKL dia pun secepatnya bisa menyesuaikan keadaan kelas. Dia pun tak merasa lebih dari pada mahasiswanya sehingga diskusi di dalam kelas lebih diutamakan. Tugas baru sebagai pengajar bukan hanya sekedar masuk kelas, akan tetapi kompetensi keilmuan yang kontekstual mesti terus diasah dengan banyak bacaan lagi. Kompetensi mengajar pun bukan hanya sebatas dia menyampaikan di kelas, akan tetapi kelas intersubjektif yang dia harapkan bisa terlaksana dengan masing-masing siswa mengungkapkan hal baru terkait mata kuliah semester tersebut.
Sepeninggal kesibukannya memasuki kelas, kegiatan sore di teras rumahnya masih tetap berjalan,  karena terkadang jadwalnya tidak sampai sore. Bahkan terkadang sehari hanya mengisi satu kelas di pagi hari. Namun beberapa anak mulai tidak bisa hadir dengan dalih ada kesibukan tambahan yang diminta oleh orang tua mereka.
Hingga suatu siang ketika dia sedang berjalan ke warung untuk membeli sesuatu, dan kebetulan tidak ada jadwal mengajar, dia mendengar percakapan di antara ibu-ibu di warung terkait anak salah seorang tetangga mereka yang orang tuanya kebingungan mencarikan biaya kuliah yang mesti dibayarkan dengan tenggang waktu yang mepet sekali. Sempat dia mendengar nominal yang disebutkan oleh salah seorang dari ibu-ibu tersebut, terdengar cukup besar untuk ukuran biaya di institusi swasta.
"Bagaimana tidak dada ibu Nawar akan berdegup kencang mendengar biaya yang akan dikeluarkan anaknya, sementara penghasilan dari sawah atau menjual kambing pun tidak menentu". Ucap salah seorang ibu di warung tersebut.
"Makanya lebih murah kampus negeri, walaupun biaya kos juga yang dibayar kan tidak sampai semahal itu". timpal yang lain.
Dia pun terpikir juga melihat kondisi mahasiswa yang setiap menghadiri kelasnya hanya berbekal buku catatan layaknya catatan anak SMA. Beberapa kali dia membawa buku referensi yang kadang beberapa bab di dalamnya diminta salah seorang untuk menggandakannya. Terkadang tidak semua mahasiswa mengikuti anjurannya untuk membaca copy-an dari bab tersebut, namun dia tetap membiarkan saja dan tidak terlalu memaksa peserta didiknya.
Hampir dua bulan dia melakoni sebagai pengajar di institusi tersebut, keluhan dari wali mahasiswa semakin banyak pula yang masuk ke telinga, terkait biaya kuliah, ongkos ke kampus, bahkan sampai biaya tugas-tugas yang mesti dijilid baru diperiksa oleh pengajar. Sementara dia mencoba menyajikan sesuatu yang berbeda, baik terkait pembelajaran di kelas maupun pemberian tugas ke mahasiswanya. Beberapa kali dia yang menggandakan lebih dulu bab yang ada dalam referensi bacaannya dan dibagikan kepada mahasiswanya untuk bersama dibaca, lalu itu yang menjadi bahan diskusi selama pertemuan hari itu. Begitu pula dengan tugas tengah semester, dia hanya meminta mahasiswa menulis dalam selembar terkait beberapa tema yang diminta untuk dipilih.
Menjelang akhir semester barulah dia memberanikan diri untuk menanyakan terkait biaya yang dikeluarkan mahasiswa di institusi tersebut. Rincian biaya menjelang semester baru tiap angkatan teryata berbeda, dan angkatan baru tentunya yang lebih mahal. Dia pun tercengang, institusi swasta yang berbasis rakyat malah lebih elit dari segi biayanya. Biayanya hampir mendekati biaya pendidikan tingginya yang kedua kali, yang syukurnya kata orang-orang di kampungnya dibiayai dengan "kepeng datu" (uang raja/penguasa). Sementara jenjang pendidikan tinggi pertama yang dijalaninya empat tahun lalu di institusi negeri tidak sampai sekitar 1 kali biaya kos-kosannya perbulan.
Wajar saja dengan biaya setinggi itu wali mahasiswa kebingungan mencari biaya pendidikan anak-anak mereka. Padahal diakui biaya awal yang dulu tertera di brosur tidak sampai semahal itu, lalu di tengah jalan dengan dalih sumbangan pembangunan biaya ini itu-nya mulai bermunculan. Biaya kampus berbasis rakyat sebanyak itu seharusnya dibarengi juga dengan fasilitas yang memadai dan tenaga pengajar yang benar-benar peduli. Namun yang terjadi terkadang banyak pula keluhan dari mahasiswa terkait beberapa pengajar yang lebih senang memberikan tugas kepada mahasiswa, lalu itu menjadi acuan penilaian di akhir semester.
Dan akhir semester itu pun dia bersiap untuk menggali lebih jauh terkait keluhan-keluhan dari wali mahasiswa atas mahalnya biaya-biaya di institusi tersebut. Sayangnya dia tidak dapat berbuat banyak, hanya sekedar tahu, pun keluhan itu hanyalah celotehan di warung-warung di kampungnya yang kesusahan dari wali mahasiswa menjadi tanggung jawab sendiri yang harus diselesaikan. Jika tidak, bayangan putus tengah jalan dengan biaya sekian banyak yang telah dikeluarkan akan menjadi kesia-siaan.
Lalu dia teringat anak-anak kampung yang sudah sekian minggu tak lagi menapakkan kaki di teras rumahnya sore hari. Sekian bulan dia menjadi pengajar di institusi berbasis rakyat tersebut, justru membuat terbengkalai kegiatan sore di teras rumahnya. Buku-buku koleksinya entah ke mana, sementara 2 kardus di kamar depan tampak berdebu karena jarang dibuka. Riuhnya anak-anak membayang di teras itu, namun nyatanya hanya riuh angin yang menggoyang daun-daun jambu di sana, dan satu per satu mulai jatuh.
Institusi berbasis rakyat yang telah mengakuinya sebagai pengajar, di baliknya ada derita dan beragam keluhan dari penyandang dana swadaya, wali mahasiswa, yang petani, tukang ojek, bahkan beberapa juga sebagai pekerja serabutan. Akan tetapi pendidikan untuk anak-anak mereka yang diidamkan ternyata menguras tenaga mereka untuk mendapatkan biaya. Maka sangat disayangkan olehnya ketika mahasiswanya banyak yang lebih mengutamakan gaya dari pada keilmuan yang seharusnya menjadi tujuan utama dan niatan orang tua mereka. Tak jarang beberapa kali dia melihat mahasiswanya lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk berlama-lama di cafe-cafe bernuansa elitis, dari pada berkumpul sesama mahasiswa dengan berdiskusi di kampus, atau pun kantin-kanntin sederhana di sekitar kampus. Jika saja para mahasiswa yang menjadi peserta didiknya mau menyadari dan sedikit tergetuk hatinya untuk mengutamakan pendidikan mereka, maka terbayarlah kemahalan itu dengan kepuasan untuk memenuhi kebutuhan ilmu yang diharapkan.
Sayangnya kiranya dia hanya sendirian, terpekur memikirkan itu. Seolah diamnya adalah pengkhianatan turutnya melegitimasi atas ketimpangan dalam pendidikan yang dia menjadi bagian dari institusi itu. Tak ada riuh mahasiswa menuntut tingginya biaya tersebut, sementara yang pernah dia saksikan enam tahun lalu, ketika biaya naik 50 ribu saja untuk angkatan yang baru masuk, kawan-kawannya sudah ramai dengan spanduk meramaikan halaman rektorat, menuntut untuk institusi tidak lagi menaikkan biaya, dan penekanan melalui orasi itu pun tak jarang membuahkan hasil dengan ketetapan biaya yang merata setiap angkatan.
Sementara di institusi dengan basis rakyat tersebut, seolah semua mengamini saja tatkala biaya setinggi yang dipatok hanya akan menadah ke wali mereka untuk dibayarkan. Miris hatinya menyaksikan itu, dan diam seharusnya bukan satu-satunya jalan untuk memikirkan ke depannya institusi itu jika ingin masih tetap berdiri dan mendapatkan mahasiswa.
Lalu bayangan anak-anak di teras rumahnya kembali menyeruak, datang kebanyakan tanpa alas kaki dan baju lusuh mereka, membayang di depan matanya jika ke depannya untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi harus membayar sedemikian mahal. Sementara untuk makan sehari-hari saja dia pun menyaksikan tetangga-tetangganya saling pinjam beras atau menukar dengan sayur-sayuran yang mereka dapat ketika melakoni buruh tani dengan sepiring nasi dan semangkuk sayuran yang ditukarkan.
Hatinya berontak, tak semestinya institusi yang menjadi basis untuk mencerdaskan anak bangsa malah menjadikan peserta didiknya sebagai ‘sapi perah’ untuk menghidupi gaya hidup petinggi-petinggi maupun orang-orang yang (merasa) besar sebagai pengelola. Celotehan ibu-ibu di warung tetangga tentang mahalnya biaya pendidikan di institusi tempatnya mengajar bukan lagi menjadi rahasia umum. Karena itu dia seolah merasa ikut menjadi bagian dari yang mengambil susu perahan dari intitusi tersebut, padahal yang sebenarnya dia dapatkan kurang dari harga 50 kg beras, yang amplopnya pun masih tergeletak di mejanya bersama tumpukan lembaran tugas-tugas peserta didiknya.
Apalah mau dikata, mundur untuk mengutuk itu, pun keadaan sudah berubah, anak-anak di kampungnya entah ke mana pada sore harinya. Hanya sesekali berpapasan ketika pagi mereka berangkat ke sekolah. Sementara institusi tempatnya mengajar malah memberikannya jadwal lebih banyak lagi. Hingga persis tak ada lagi waktu sekiranya untuk mengembalikan anak-anak di kampungnya untuk menapakkan kaki di teras rumahnya sore hari.
*****
Selang beberapa bulan pada semester baru, dia hanya terpekur memandangi hamparan tanah yang kosong sepeninggal orang tuanya. Terbersit dalam bathinnya untuk mengaktifkan kembali hamparan tanah kosong itu dengan hijaunya tumbuh-tumbuhan yang akan muncul dari sana. Niat itu pun tak cukup lama dia pikirkan, lalu meminta salah seorang tetangga yang biasanya mencangkul untuk membuat petak sawah membantunya. Membersihkan rumput yang tumbuh sudah mulai meninggi, saran penggunaan pestisida untuk mematikan rumput ditolaknya secara halus dengan menjelaskan secara sederhana bahaya penggunaan pestisida bagi tanah untuk ke depannya.
Dua bulan berlalu, peserta didiknya mulai kebingungan ketika beberapa kali pertemuan tidak dia isi. Hingga suatu sore yang teduh saat dia menyiangi rumput di sela-sela tanaman jagungnya, beberapa peserta didiknya menemukan gubuknya, lalu dipersilahkan memasuki teras rumahnya sembari dia mengehentikan aktifitasnya dan bergegas mencuci tangan. Tujuan peserta didiknya datang menjenguknya mengira dia sakit.
Dia pun tergagap, alasan apa yang akan diutarakan kepada mereka. Setelah berpikir panjang, dia pun mengutarakan yang sebenarnya, bahwa dia telah mengundurkan diri secara lisan dari institusi itu, namun belum sempat untuk mengantarkan secara tertulisnya atas hal itu. Para peserta didiknya yang datang berkunjung itu mengira bahwa dia tidak mendapatkan penghasilan yang baik dari mengajar. Lalu dengan tegas dia pun sampaikan alasan yang sebenarnya bahwa hatinya berontak ketika mengetahui mahalnya biaya-biaya yang mereka keluarkan hanya untuk pendidikan semacam itu. Lalu dia pun menawarkan kepada mereka bahwa dia akan sangat senang jika mereka berkenan sekali waktu untuk datang berdiskusi ke gubuknya.
Apa yang diungkapkan justru menjadi tanda tanya besar bagi mantan peserta didiknya yang datang berkunjung sore itu. Seharusnya lah mereka mulai belajar untuk peka dengan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Sayangnya dia hanya sendirian memikirkan itu, pun keadaan sudah berubah, anak-anak di kampungnya tidak lagi menapakkan kaki di teras rumahnya sore hari, dia pun sudah tak lagi mengenakan pakaian rapi menuju ke institusi berbasis rakyat dengan harga elit tersebut. Dia kini bergelut dengan tanah, sementara harapannya masih ada, dengan ajakannya kepada mantan peserta didiknya untuk datang berkunjung dan berbagi pengetahuan jika mereka berkenan. Dan semoga anak-anak kampungnya juga masih ada yang berniat kembali menapakkan kaki di teras rumahnya sore hari.
Seiring sore mendekati senja, dia pun mengantar tamu-tamunya yang juga mantan peserta didiknya sampai ke pinggiran jalan yang masing-masing berboncengan. Sayup-sayup terdengar alunan lagu dari Tape tetangga.
"Yang jelas rakyat butuh pendidikan, tapi pendidikan yang didapat, adalah rongsokan". Lagu iwan fals itu pun mengiringi tamu-tamunya yang dia pandangi sampai tak terlihat lagi di turunan yang semakin menjauh dari rumahnya. Hijaunya tanaman di tanah yang dia usahakan untuk aktifkan kembali memberikan ketenangan yang selama ini justru kebanyakan gejolak yang mengisi. Hingga azan makin jelas terdengar, lalu jingga awan di atas kampung tersebut mengisyaratkan ketenangan yang selama ini entah ke mana, seolah kembali ke peraduannya, di sana, pada hati yang selalu gundah dengan ketimpangan-ketimpangan yang tak semestinya dia temui. (Lengkok, 23-02-18)


*Mahasiswa Pascasarjana Departemen Media & Cultural Studies UGM.

1 komentar:

Jalan Sunyi Si Pendidik

sumber :digaleri.com Baim Lc*  Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal ya...