ANALISIS NILAI PENDIDIKAN YANG TERDAPAT DALAM
NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA
Oleh :
NAMA
: ABDUL RAHIM
NIM : E1C009009
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2012
ABSTRAK
Tujuan penelitian
ini adalah untuk
mendeskripsikan: nilai-nilai pendidikan yang ingin disampaikan pengarang
dalam novel Sang Pemimpi. Penelitian
ini berbentuk deskriptif
kualitatif. Metode yang
digunakan adalah metode content analysis. Sumber data adalah novel Sang
Pemimpi cetakan ke-15 dan artikel-artikel dari
internet. Teknik pengumpulan
data menggunakan teknik catat.
Validitas yang digunakan
adalah triangulasi teori.
Teknik analisis data yang
digunakan adalah analisis
mengalir (flow model
of analysis) yang meliputi
tiga komponen yaitu
reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan. Prosedur
penelitian yang dilakukan
terdiri atas beberapa
tahap yaitu pengumpulan data,
penyeleksian data, menganalisis data yang telah diseleksi, dan membuat laporan
penelitian.
Nilai-nilai
pendidikan yang terdapat
dalam novel Sang
Pemimpi, berdasarkan hasil
analisis terdiri atas empat nilai. Nilai-nilai pendidikan tersebut yaitu: (a)
nilai pendidikan religius merupakan sudut pandang yang mengikat manusia dengan
Tuhan pencipta alam dan seisinya,
dalam novel Sang
Pemimpi memanfaatkan gaya
bahasa pars pro toto
dan hipalase, (b) nilai
pendidikan moral yaitu
suatu nilai yang
menjadi ukuran patut tidaknya
manusia bergaul dalam
kehidupan bermasyarakat, dalam novel Sang Pemimpi nilai tersebut dapat
tersirat melalui pemanfaatan gaya bahasa sarkasme dan
antifrasis, (c) nilai pendidikan
sosial yaitu suatu
kesadaran dan emosi yang relatif
lestari terhadap suatu objek, gagasan, atau orang, dalam novel Sang Pemimpi
nilai tersebut dapat tersirat karena
ada pemanfaatan dari
gaya bahasa hiperbola. (d) Nilai
Pendidikan Budaya, merupakan tingkat yang paling abstrak
dari adat, hidup dan berakar dalam alam
pikiran masyarakat, dan
sukar diganti dengan
nilai budaya lain dalam
waktu singkat.
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan
kesehatan, karunia, rahmat, dan
hidayah-Nya kepada kita semua, terutama
penulis dan keluarga. Hanya
kepada-Nya kembali segala
sanjungan, kepada-Nya kami memohon
pertolongan dan ampunan,
dan atas ridlonya
sehingga penulis mampu menyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sastra
merupakan wujud gagasan seseorang melalui pandangan terhadap lingkungan sosial
yang beraada di
sekelilingnya dengan menggunakan
bahasa yang indah. Sastra
hadir sebagai hasil
perenungan pengarang terhadap
fenomena yang ada. Sastra sebagai karya fiksi memiliki pemahaman yang
lebih mendalam, bukan hanya sekadar
cerita khayal atau
angan dari pengarang
saja, melainkan wujud dari
kreativitas pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam
pikirannya.
Salah satu
bentuk karya sastra
adalah novel. Novel
adalah karya fiksi yang dibangun melalui berbagai unsur
intrinsiknya. Unsur-unsur tersebut sengaja dipadukan pengarang
dan dibuat mirip
dengan dunia yang
nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa di
dalamnya, sehingga nampak
seperti sungguh ada
dan terjadi. Unsur inilah
yang akan menyebabkan
karya sastra (novel)
hadir. Unsur intrinsik sebuah
novel adalah unsur
yang secara langsung
membangun sebuah cerita. Keterpaduan
berbagai unsur intrinsik
ini akan menjadikan
sebuah novel yang sangat
bagus.
Sang Pemimpi
diterbitkan pertama kali
pada Juli 2006.
Sejak kemunculannya novel Sang
Pemimpi mendapatkan tanggapan
positif dari penikmat sastra. Tingginya apresiasi
masyarakat terhadap novel Sang Pemimpi menjadikan novel tersebut
masuk dalam jajaran
novel psikologi islami
pembangun jiwa. Andrea Hirata
telah membuat lompatan
langkah yang gemilang
untuk mengikuti jejak sang
legenda Buya Hamka,
berkarya dan mempunyai
fenomena (Badrut Taman Gafas,
2005). Melalui novel
kontemporernya yang diperkaya
dengan muatan budaya yang
Islami, Andrea Hirata
seolah mengulang kesuksesan
sang pujangga Buya Hamka
yang karya-karyanya popular
hingga ke mancanegara seperti “Merantau
Ke Deli”, “Di
Bawah Lindungan Ka’bah”,
dan ”Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”.
Meskipun nilai yang
mendasari novel tersebut bersumber
dari Islam, berbagai kalangan
kaum beragama dan berkepercayaan dapat menerimanya tanpa
ada perasaan terancam. Cerita novel Sang
Pemimpi diperoleh dari
mengeksplorasi kisah
persahabatan dan pendidikan
di Indonesia.
Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka
peneliti berminat untuk menganalisis novel Sang Pemimpi.
Analisis terhadap novel Sang Pemimpi peneliti membatasi pada
segi nilai pendidikannya. Alasan
dipilih dari segi
nilai pendidikan karena
novel Sang Pemimpi diketahui banyak
memberikan inspirasi bagi
pembaca, hal itu
berarti ada nilai-nilai positif yang dapat diambil dan
direalisasikan oleh pembaca dalam kehidupan sehari-hari mereka,
khususnya dalam hal
pendidikan. Pradopo (1994: 94) mengungkapkan bahwa
suatu karya sastra
yang baik adalah
yang langsung memberi didikan
kepada pembaca tentang
budi pekerti dan
nilai-nilai moral, sesungguhnya hal
ini telah menyimpang
dari hukum-hukum karya
sastra sebagai karya seni
dan menjadikan karya
sastra sebagai alat
pendidikan yang langsung, sedangkan nilai
seninya dijadikan atau
dijatuhkan nomor dua.
Begitulah paham pertama dalam
penilaian karya sastra yang secara tidak langsung disimpulkan dari corak-corak roman
Indonesia yang mula-mula,
ialah memberi pendidikan
dan nasihat kepada pembaca.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas dapat
diketahui rumusan masalah yang
timbul dalam penelitian ini sebagai berikut :
1.
Nilai-nilai pendidikan apa sajakah yang ingin
disampaikan oleh Andrea Hirata dalam novel Sang Pemimpi?
2.
Bagaimanakah Implikasi analisis nilai
pendidikan dalam Novel Sang Pemimpi terhadap pembelajaran Sastra?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan
dari penelitian ini sebagai berikut.
1.
Menyebutkan dan
mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan
yang digunakan pengarang dalam
novel Sang Pemimpi.
2.
Menjelaskan implikasi nilai pendidikan
dalam novel Sang Pemimpi terhadap pembelajaran
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat
yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Manfaat
teoritis, hasil penelitian
ini dapat menambah
khasanah keilmuan dalam pengajaran
bidang bahasa dan
sastra, khususnya tentang nilai-nilai pendidikan dalam novel.
2.
Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat
dimanfaatkan oleh beberapa pihak, antara lain :
a. Bagi Guru
Hasil penelitian
ini memberikan gambaran
bagi guru tentang
pendekatan struktural
genetik untuk dijadikan
pedoman dalam pembelajaran
sastra yang menarik, kreatif, dan inovatif.
b. Bagi Peneliti
Hasil
penelitian ini dapat menjadi jawaban dari masalah yang dirumuskan. Selain itu,
dengan selesainya penelitian
ini diharapkan dapat
menjadi motivasi bagi peneliti
untuk semakin aktif
menyumbangkan hasil karya ilmiah bagi dunia sastra dan
pendidikan.
c. Bagi Pembaca
Hasil penelitian
ini bagi pembaca
diharapkan dapat lebih
memahami isi novel Sang
Pemimpi dan mengambil
manfaat darinya. Selain
itu, diharapkan pembaca semakin
jeli dalam memilih
bahan bacaan (khususnya novel)
dengan memilih novel-novel
yang mengandung pesan moral yang baik dan dapat menggunakan
hasil penelitian ini untuk sarana pembinaan watak diri pribadi.
BAB II
KAJIAN
TEORITIK
A. Hakikat Novel
1.
Pengertian Novel
Kata novel
berasal dari bahasa
Itali novella yang
secara harfiah berarti, sebuah barang baru yang kecil‟, dan kemudian diartikan sebagai „cerita pendek dalam
bentuk prosa‟. (Abrams dalam
Nurgiyantoro, 2005: 9). Dalam bahasa Latin kata
novel berasal novellus
yang diturunkan pula
dari kata noveis
yang berarti baru. Dikatakan baru
karena dibandingkan dengan jenis-jenis lain, novel ini baru muncul kemudian
(Tarigan, 1995: 164).
Pendapat Tarigan
diperkuat dengan pendapat
Semi (1993: 32)
bahwa novel merupakan karya
fiksi yang mengungkapkan
aspek-aspek kemanusiaan yang lebih
mendalam dan disajikan
dengan halus. Novel
yang diartikan sebagai memberikan konsentrasi
kehidupan yang lebih
tegas, dengan roman
yang diartikan rancangannya lebih
luas mengandung sejarah
perkembagan yang biasanya terdiri
dari beberapa fragmen dan patut ditinjau kembali.
Sudjiman (1998: 53) mengatakan bahwa novel
adalah prosa rekaan yang menyuguhkan
tokoh dan menampilkan
serangkaian peristiwa serta
latar secara tersusun. Novel
sebagai karya imajinatif
mengugkapkan aspek-aspek kemanusiaan
yang mendalam dan menyajikannya secara halus. Novel tidak hanya sebagai alat
hiburan, tetapi juga
sebagai bentuk seni
yang mempelajari dan meneliti
segi-segi kehidupan dan
nilai-nilai baik buruk (moral) dalam
kehidupan ini dan mengarahkan pada pembaca tentang budi pekerti yang
luhur.
Saad (dalam
Badudu J.S, 1984
:51) menyatakan nama
cerita rekaan untuk cerita-cerita
dalam bentuk prosa
seperti: roman, novel,
dan cerpen. Ketiganya dibedakan
bukan pada panjang
pendeknya cerita, yaitu
dalam arti jumlah halaman
karangan, melainkan yang
paling utama ialah
digresi, yaitu sebuah
peristiwa-peristiwa yang secara tidak langsung berhubungan dengan cerita peristiwa
yang secara tidak langsung berhubungan dengan cerita yang dimasukkan ke dalam
cerita ini. Makin banyak digresi, makin menjadi luas ceritanya.
Batos (dalam
Tarigan, 1995: 164)
menyatakan bahwa novel
merupakan sebuah roman, pelaku-pelaku
mulai dengan waktu muda, menjadi
tua, bergerak dari sebuah adegan
yang lain dari suatu tempat ke tempat yang lain. Nurgiyantoro (2005: 15)
menyatakan, novel merupakan
karya yang bersifat
realistis dan mengandung nilai
psikologi yang mendalam,
sehingga novel dapat
berkembang dari sejarah, surat-surat,
bentuk-bentuk nonfiksi atau
dokumen-dokumen, sedangkan
roman atau romansa
lebih bersifat puitis.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa novel dan
romansa berada dalam kedudukan yang berbeda. Jassin (dalam Nurgiyantoro, 2005:
16) membatasi novel sebagai suatu cerita yang bermain dalam
dunia manusia dan
benda yang di sekitar kita,
tidak mendalam, lebih banyak
melukiskan satu saat
dari kehidupan seseorang
dan lebih mengenai sesuatu episode.
Dari
beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa novel adalah
sebuah cerita fiktif
yang berusaha menggambarkan
atau melukiskan kehidupan tokoh-tokohnya dengan menggunakan
alur. Cerita fiktif tidak hanya sebagai cerita khayalan semata,
tetapi sebuah imajinasi
yang dihasilkan oleh
pengarang adalah realitas atau
fenomena yang dilihat dan dirasakan.
2.
Ciri-ciri Novel
Hendy
(1993: 225) menyebutkan ciri-ciri novel sebagai berikut :
a.
Sajian cerita lebih panjang dari cerita
pendek dan lebih pendek dari roman. Biasanya cerita dalam novel dibagi atas
beberapa bagian.
b.
Bahan
cerita diangkat dari
keadaan yang ada
dalam masyarakat dengan ramuan fiksi pengarang.
c.
Penyajian berita
berlandas pada alur
pokok atau alur
utama yang batang tubuh
cerita, dan dirangkai
dengan beberapa alur
penunjang yang bersifat otonom (mempunyai latar tersendiri).
d.
Tema sebuah novel terdiri atas tema
pokok (tema utama) dan tema bawahan yang berfungsi mendukung tema pokok
tersebut.
e.
Karakter
tokoh-tokoh utama dalam
novel berbeda-beda. Demikian
juga karakter tokoh lainnya.
Selain itu, dalam novel
dijumpai pula tokoh
statis dan tokoh dinamis.
Tokoh statis adalah
tokoh yang digambarkan
berwatak tetap sejak awal
hingga akhir. Tokoh
dinamis sebaliknya, ia
bisa mempunyai beberapa karakter yang berbeda atau tidak tetap.
B. Hakikat Nilai Pendidikan
1.
Pengertian Nilai
Nilai
adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi
manusia. Sesuatu itu
bernilai berarti sesuatu
itu berharga atau berguna
bagi kehidupan manusia.
Nilai sebagai kualitas
yang independen akan memiliki ketetapan yaitu tidak berubah
yang terjadi pada objek yang dikenai nilai. Persahabatan sebagai nilai
(positif/ baik) tidak akan berubah esensinya manakala ada pengkhianatan
antara dua yang
bersahabat. Artinya nilai
adalah suatu ketetapan yang ada
bagaimanapun keadaan di sekitarnya berlangsung.
Sastra dan
tata nilai merupakan
dua fenomena sosial
yang saling melengkapi dalam
hakikat mereka sebagai
sesuatu yang eksistensial.
Sastra sebagai produk kehidupan.,
mengandung nilai-nilai sosial,
filsafat, religi, dan sebagainya baik
yang bertolak dari
pengungkapan kembali maupun
yang mempeunyai penyodoran konsep
baru (Suyitno, 1986:
3). Sastra tidak
hanya memasuki ruang serta
nilai-nilai kehidupan personal,
tetapi juga nilai-nilai kehidupan manusia dalam arti
total.
Menilai oleh
Setiadi (2006: 110)
dikatakan sebagai kegiatan menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang
lain sehingga diperoleh
menjadi suatu keputusan yang
menyatakan sesuatu itu
berguna atau tidak
berguna, benar atau tidak benar,
baik, atau buruk, manusiawi atau tidak manusiawi, religius atau tidak religius,
berdasarkan jenis tersebutlah
nilai ada. Lasyo
(Setiadi 2006: 117) menyatakan, nilai
manusia merupakan landasan atau
motivasi dalam segala tingkah laku
atau perbuatannya. Sejalan
dengan Lasyo, Darmodiharjo
(dalam Setiadi, 2006: 117)
mengungkapkan nilai merupakan
sesuatu yang berguna
bagi manusia baik jasmani
maupun rohani. Sedangkan
Soekanto (1983: 161) menyatakan, nilai-nilai
merupakan abstraksi daripada
pengalaman-pengalaman pribadi seseorang dengan sesamanya. Pada hakikatnya,
nilai yang tertinggi selalu berujung pada nilai yang terdalam dan terabstrak bagi
manusia, yaitu menyangkut tentang
hal-hal yang bersifat
hakki. Dari beberapa
pendapat tersebut di
atas pengertian nilai dapat
disimpulkan sebagai sesuatu
yang bernilai, berharga, bermutu, akan
menunjukkan suatu kualitas
dan akan berguna
bagi kehidupan manusia.
2.
Pengertian Pendidikan
Secara etimologis,
pendidikan berasal dari
bahasa Yunani “Paedogogike”, yang
terdiri atas kata “Pais” yang berarti Anak” dan kata “Ago” yang berarti
“Aku membimbing” (Hadi,
2003: 17). Jadi
Soedomo Hadi menyimpulkan
paedogogike berarti aku membimbing
anak. Purwanto (1986: 11) menyatakan bahwa
pendidikan berarti segala
usaha orang dewasa
dalam pergaulannya dengan anak-anak
untuk memimpin perkembangan
jasmani dan rohaninya ke
arah kedewasaan. Hakikat
pendidikan bertujuan untuk mendewasakan anak
didik, maka seorang
pendidik haruslah orang
yang dewasa, karena tidak
mungkin dapat mendewasakan
anak didik jika
pendidiknya sendiri belum dewasa.
Tilaar (2002;435) mengatakan
hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia.
Selanjutnya dikatakan pula
bahwa, memanusiakan manusia atau
proses humanisasi melihat
manusia sebagai suatu
keseluruhan di dalam eksistensinya. Eksistensi
ini menurut penulis
adalah menempatkan kedudukan
manusia pada tempatnya yang terhormat dan bermartabat. Kehormatan itu tentunya
tidak lepas dari nilai-nilai luhur yang selalu dipegang umat manusia.
Pendidikan pada
hakikatnya juga berarti
mencerdaskan kehidupan
bangsa. Dari pernyataan
tersebut terdapat tiga
unsur pokok dalam
pendidikan, yaitu: a) cerdas, berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan
untuk menyelesaikan persoalan
nyata. Cerdas bermakna
kreatif, inovatif dan
siap mengaplikasikan ilmunya; b)
hidup, memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang
terbaik untuk kehidupan
itu sendiri. Hidup
itu berarti merenungi bahwa suatu
hari kita akan
mati, dan segala
amalan kita akan dipertanggungjawabkan kepadaNya.
Filosofi hidup ini
sangat syarat akan
makna individualisme yang artinya
mengangkat kehidupan seseorang,
memanusiakan manusia,
memberikan makanan kehidupan
berupa semangat, nilai
moral, dan tujuan hidup;
c) bangsa, berarti
manusia selain sebagai
individu juga merupakan makhluk sosial
yang membutuhkan keberadaan
orang lain. Setiap
individu berkewajiban
menyumbangkan pengetahuannya untuk
masyarakat meningkatkan derajat
kemuliaan masyarakat sekitar dengan ilmu, sesuai dengan yang diajarkan agama dan
pendidikan. Indikator terpenting
kemajuan suatu bangsa
adalah pendidikan dan pengajaran (Ratna, 2005: 449).
Segala
sesuatu yang digunakan untuk mendidik harus yang mengandung nilai didik,
termasuk dalam pemilihan
media. Novel sebagai
suatu karya sastra, yang merupakan karya seni juga
memerlukan pertimbangan dan penilaian tentang seninya (Pradopo,
2005: 30). Pendidikan
pada kahikatnya merupakan
upaya membantu peserta didik
untuk menyadari nilai-nilai
yang dimilikinya dan berupaya
memfasilitasi mereka agar
terbuka wawasan dan
perasaannya untuk memiliki dan
meyakini nilai yang lebih hakiki, lebih
tahan lama, dan merupakan kebenaran
yang dihormati dan
diyakini secara sahih
sebagai manusia yang beradab (Setiadi, 2006: 114).
Adler (dalam
Arifin, 1993: 12)
mengartikan pendidikan sebagai
proses dimana seluruh kemampuan
manusia dipengaruhi oleh
pembiasaan yang baik untuk
untuk membantu orang
lain dan dirinya
sendiri mencapai kebiasaan
yang baik. Secara etimologis,
sastra juga berarti
alat untuk mendidik
(Ratna, 2009: 447). Masih
menurut Ratna, lebih
jauh dikaitkan dengan
pesan dan muatannya, hampir secara
keseluruhan karya sastra
merupakan sarana-sarana etika.
Jadinya antara pendidikan dan karya sastra (novel) adalah dua hal yang
saling berkaitan.
Berdasarkan dari
beberapa pendapat di
atas dapat dirumuskan
bahwa nilai pendidikan merupakan segala sesuatu yang baik maupun buruk
yang berguna bagi kehidupan manusia yang diperoleh melalui proses pengubahan
sikap dan tata laku dalam upaya
mendewasakan diri manusis
melalui upaya pengajaran.
Dihubungkan dengan
eksistensi dan kehidupan
manusia, nilai-nilai pendidikan diarahkan pada
pembentukan pribadi manusis
sebagai makhluk individu,
sosial, religius, dan berbudaya.
Nilai-nilai pendidikan yang
tersirat dalam berbagai
hal dapat mengembangkan masyarakat
dalam berbagai hal
dapat mengembangkan
masyarakat dengan berbagai
dimensinya dan nilai-nilai
tersebut mutlak dihayati dan
diresapi manusia sebab
ia mengarah pada
kebaikan dalam berpikir
dan bertindak sehingga dapat
memajukan budi pekerti
serta pikiran/ intelegensinya.
Nilai-nilai pendidikan
dapat ditangkap manusia
melalui berbagai hal
diantaranya melalui
pemahaman dan penikmatan
sebuah karya sastra.
Sastra khususnya humaniora sangat
berperan penting sebagai
media dalam pentransformasian sebuah nilai termasuk
halnya nilai pendidikan.
3.
Macam-macam Nilai Pendidikan
Sastra sebagai
hasil kehidupan mengandung
nilai-nilai sosial, filosofi, religi dan
sebagainya. Baik yang
bertolak dari pengungkapan
kembali maupun yang merupakan
menciptakan terbaru semuanya
dirumuskan secara tersurat
dan tersirat. Sastra tidak
saja lahir karena
kejadian, tetapi juga
dari kesadaran penciptaannya
bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif, dll, juga harus
melayani misi-misi yang
dapat dipertanggungjawabkan serta
bertendens. Sastrawan pada waktu
menciptakan karyanya tidak
saja didorong oleh
hasrat untuk menciptakan keindahan,
tetapi juga berkehendak
untuk menyampaikan
pikiran-pikirannya, pendapat-pendapatnya, dan kesan-kesan perasaannya terhadap
sesuatu.
Menacari nilai
luhur dari karya
sastra adalah menentukan
kreativitas terhadap
hubungan kehidupannya. Dalam
karya sastra akan
tersimpan nilai atau pesan
yang berisi amanat
atau nasihat. Melalui
karyanya, pencipta karya
sastra berusaha untuk mempengaruhi pola piker pembaca dan ikut mengkaji
tentang baik dan buruk, benar mengambil pelajaran, teladan yang patut ditiru
sebaliknya, untuk dicela bagi yang
tidak baik.
Karya sastra
diciptakan bukan sekedar
untuk dinikmati, akan tetapi untuk dipahami dan diambil manfaatnya.
Karya sastra tidak sekedar benda mati
yang tidak berarti,
tetapi didalamnya termuat
suatu ajaran berupa nilai-nilai
hidup dan pesan-pesan luhur yang mampu menambah wawasan manusia dalam
memahami kehidupan. Dalam
karya sastra, berbagai
nilai hidup dihadirkan karena hal
ini merupakan hal positif yang mampu
mendidik manusia, sehingga manusia mencapai
hidup yang lebih
baik sebagai makhluk
yang dikaruniai oleh akal, pikiran, dan perasaan.
Novel merupakan
salah satu bentuk
karya sastra yang
banyak memberikan penjelasan secara jelas tentang sistem nilai. Nilai
itu mengungkapkan perbuatan apa yang
dipuji dan dicela,
pandangan hidup mana
yang dianut dan dijauhi,
dan hal apa
saja yang dijunjung
tinggi. Adapun nilai-nilai
pendidikan dalam novel sebagai berikut :
a. Nilai Pendidikan Religius
Religi merupakan
suatu kesadaran yang
menggejala secara mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai
human nature. Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan
secara lahiriah melainkan
juga menyangkut keseluruhan
diri pribadi manusia secara
total dalam integrasinya
hubungan ke dalam
keesaan Tuhan (Rosyadi, 1995:
90). Nilai-nilai religious
bertujuan untuk mendidik
agar manusia lebih baik
menurut tuntunan agama
dan selalu ingat
kepada Tuhan.
Nilai-nilai religius
yang terkandung dalam
karya sastra dimaksudkan
agar penikmat karya tersebut mendapatkan renungan-renungan batin dalam
kehidupan yang bersumber pada
nilai-nilai agama. Nilai-nilai
religius dalam sastra
bersifat individual dan personal.
Kehadiran unsur
religi dalam sastra
adalah sebuah keberadaan
sastra itu sendiri (Nurgiyantoro, 2005:
326). Semi (1993:
21) menyatakan, agama merupakan kunci
sejarah, kita batu
memahami jiwa suatu
masyarakat bila kita memahami
agamanya. Semi (1993:
21) juga menambahkan,
kita tidak mengerti hasil-hasil kebudayaanya,
kecuali bila kita
paham akan kepercayaan
atau agama yang mengilhaminya. Religi
lebih pada hati,
nurani, dan pribadi
manusia itu sendiri. Dari
beberapa pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa
Nilai religius yang merupakan
nilai keohanian tertinggi
dan mutlak serta
bersumber pada kepercayaan atau
keyakinan manusia.
b. Nilai Pendidikan Moral
Moral merupakan
sesuatu yang igin
disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan
makna yang terkandung
dalam karya sastra,
makna yang disaratkan lewat
cerita. Moral dapat
dipandang sebagai tema
dalam bentuk yang sederhana, tetapi tidak semua tema
merupaka moral (Kenny dalam Nurgiyantoro, 2005: 320). Moral merupakan pandangan
pengarang tentang nilai-nilai kebenaran dan
pandangan itu yang
ingin disampaikan kepada
pembaca. Hasbullah (2005: 194)
menyatakan bahwa, moral
merupakan kemampuan seseorang
membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Nilai moral
yang terkandung dalam
karya sastra bertujuan
untuk mendidik manusia agar
mengenal nilai-nilai etika
merupakan nilai baik
buruk suatu perbuatan, apa
yang harus dihindari,
dan apa yang
harus dikerjakan, sehingga tercipta
suatu tatanan hubungan
manusia dalam masyarakat
yang dianggap baik, serasi,
dan bermanfaat bagi orang
itu , masyarakat,
lingkungan, dan alam sekitar.
Uzey (2009:
2) berpendapat bahwa
nilai moral adalah
suatu bagian dari nilai,
yaitu nilai yang
menangani kelakuan baik
atau buruk dari manusia.moral selalu
berhubungan dengan nilai,
tetapi tidak semua
nilai adalah nilai moral.
Moral berhubungan dengan
kelakuan atau tindakan
manusia. Nilai moral inilah yang
lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari.
Dapat disimpulkan
bahwa nilai pendidikan
moral menunjukkan
peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat dari seorang individu dari
suatu kelompok yang meliputi
perilaku. Untuk karya
menjunjung tinggi budi
pekerti dan nilai susila.
c. Nilai Pendidikan Sosial
Kata “sosial”
berarti hal-hal yang
berkenaan dengan masyarakat/ kepentingan umum.
Nilai sosial merupakan
hikmah yang dapat
diambil dari perilaku sosial
dan tata cara
hidup sosial. Perilaku
sosial brupa sikap
seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada
hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat
antar individu. Nilai sosial yang
ada dalam karya
sastra dapat dilihat
dari cerminan kehidupan
masyarakat yang
diinterpretasikan (Rosyadi, 1995:
80). Nilai pendidikan
sosial akan menjadikan manusia
sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara
satu individu dengan individu lainnya.
Nilai
sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain dalam sebuah
masyarakat. Bagaimana seseorang
harus bersikap, bagaimana
cara mereka menyelesaikan masalah,
dan menghadapi situasi
tertentu juga termasuk dalam nilai
sosial. Dalam masyarakat
Indonesia yang sangat
beraneka ragam coraknya, pengendalian
diri adalah sesuatu
yang sangat penting
untuk menjaga keseimbangan
masyarakat.
Sejalan
dengan tersebut nilai sosial dapat diartikan sebagai landasan bagi
masyarakat untuk merumuskan
apa yang benar
dan penting, memiliki
ciri-ciri tersendiri, dan berperan penting untuk mendorong dan
mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma yang berlaku. Uzey (2009: 7)
juga berpendapat bahwa nilai sosial
mengacu pada pertimbangan
terhadap suatu tindakan
benda, cara untuk mengambil keputusan
apakah sesuatu yang
bernilai itu memiliki
kebenaran, keindahan, dan nilai
ketuhanan.
Jadi
nilai sosial dapat
disimpulkan sebagai kumpulan sikap
dan perasaan yang
diwujudkan melalui perilaku
yang mempengaruhi perilaku seseorang
yang memiliki nilai
tersebut. Nilai sosial merupakan sikap-sikap
dan perasaan yang
diterima secara luas
oleh masyarakat dan merupakan
dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting.
d. Nilai Pendidikan Budaya
Nilai-nilai budaya
menurut Rosyadi (1995:74)
merupakan sesuatu yang dianggap
baik dan berharga
oleh suatu kelompok
masyarakat atau suku
bangsa yang belum tentu
dipandang baik pula
oleh kelompok masyarakat
atau suku bangsa lain
sebab nolai budaya
membatasi dan memberikan
karakteristik pada sutu
masyarakat dan kebudayaannya.
Nilai
budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup dan berakar dalam
alam pikiran masyarakat,
dan sukar diganti
dengan nilai budaya lain
dalam waktu singkat.
Uzey (2009: 1) berpendapat mengenai
pemahaman tentang nilai budaya
dalam kehidupan manusia
diperoleh karena manusia memaknai ruang
dan waktu. Makna
itu akan bersifat
intersubyektif karena ditumbuh-kembangkan secara
individual, namun dihayati
secara bersama, diterima, dan
disetujui oleh masyarakat hingga menjadi latar budaya yang terpadu bagi
fenomena yang digambarkan.
Sistem nilai budaya merupakan inti
kebudayaan, sebagai intinya ia akan mempengaruhi dan menata
elemen-elemen yang berada pada struktur
permukaan dari kehidupan manusia
yang meliputi perilaku
sebagai kesatuan gejala
dan benda-benda sebagai kesatuan material. Sistem nilai budaya terdiri
dari konsepsi-konsepsi yang hidup
dalam alam pikiran
sebagian besar warga
masyarakat, mengenai hal-hal yang
harus mereka anggap
amat bernilai dalam
hidup. Karena itu, suatu sisitem
nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan
manusia.
Dapat
disimpulkan dari pendapat tersebut sistem nilai
budaya menempatkan pada posisi
sentral dan penting
dalam kerangka suatu
kebudayaan yang sifatnya abstrak
dan hanya dapat
diungkapkan atau dinyatakan
melalui pengamatan pada gejala-gejala
yang lebih nyata
seperti tingkah laku
dan benda-benda material sebagai
hasil dari penuangan konsep-konsep nilai melalui tindakan berpola. Adapun
nilai-nilai budaya yang terkandung dalam
novel dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku
tokoh-tokoh dalam cerita.
C. Kerangka
Berpikir
Dalam novel Sang Pemimpi segi yang akan penulis analisis, yaitu: nilai-nilai
pendidikan yang terdapat di
dalamnya. Adapun nilai-nilai
pendidikan yang terdapat
dalam novel Sang Pemimpi
meliputi empat macam
nilai pendidikan, yaitu:
nilai pendidikan moral, religius,
sosial, dan budaya.
Semua nilai yang
ditemukan tersebut semoga dapat
bermanfaat bagi para pembaca novel Sang Pemimpi.
BAB
III
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Nilai Pendidikan dalam
Novel Sang Pemimpi
1.
Nilai Pendidikan Religius
Nilai
religius merupakan sudut pandang yang
mengikat manusia dengan Tuhan
pencipta alam dan
seisinya. Berbicara tentang
hubungan manusia dan Tuhan tidak terlepas dari pembahasan
agama. Agama merupakan pegangan hidup bagi
manusia. Agama dapat pula bertindak
sebagai pemacu faktor
kreatif, kedinamisan hidup, dan
perangsang atau pemberi
makna kehidupan. Melalui agama, manusia
pun dapat mempertahankan keutuhan
masyarakat agar hidup dalam
pola kemasyarakatan yang
telah tetap sekaligus
menuntun untuk meraih masa depan yang lebih baik. Seperti
dalam kutipan di bawah ini.
“Jimbron adalah
seorang yang membuat
kami takjub dengan
tiga macam keheranan. Pertama, kami heran karena kalau mengaji, ia
selalu diantar seorang pendeta.
Sebetulnya beliau adalah
seorang pastor karena beliau
seorang Katolik, tapi
kami memanggilnya Pendeta Geovany. Rupanya
setelah sebatang kara
seperti Arai ia
menjadi anak asuh sang
pendeta. Namun, pendeta
berdarah Itali itu
tak sedikit pun bermaksud
mengonversi keyakinan Jimbron.
Beliau malah tak
pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid” (SP, 61)
Di
lihat dari kutipan di atas, Tokoh Jimbron dalam novel Sang Pemimpi mencerminkan tokoh
yang taat beragama
dengan mengaji setiap
harinya, walaupun
dia hidup di
lingkungan agama yang
berbeda, yaitu agama
Katolik. Penamaan nilai religius
yang tinggi mampu
menumbuhkan sikap sabar,
tidak sombong dan tidak
angkuh pada sesama.
Manusia menjadi saling
mencintai dan menghormati, dengan
demikian manusia bisa
hidup harmonis dalam hubungannnya dengan
Tuhan, sesama manusia
maupun makhluk lain.
Pendeta Geovany dalam kutipan
di atas adalah
sosok yang penyayang
dan menghormati manusia
lain yang beda
agama, ternukti bahwa
Jimbron sebagai anak
angkatnya justru malah setiap
harinya diantar mengaji
dan tidak sedikit
pun bermaksud mengonversi
keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron
mengaji ke masjid.
Kutipan di
atas mempunyai kandungan
nilai pendidikan religius
karena secara jelas disampaikan
penulis melalui gaya
bahasa pars pro
toto yang terlihat pada
kata “sebatang kara” yang berarti
tidak punya siapa-siapa,
hanya hidup seorang diri
tanpa ada keluarga
di dekatnya. Pars pro toto
adalah gaya bahasa yang melukiskan sebagian dari
keseluruhan, berarti kata tersebut dalam kutipan di atas yang hidup sebatang
kara yang dimaksud adalah Jimbron.
Sebuah karya
sastra yang mengangkat
sebuah kemanusiaan yang berdasarkan kebenaran
akan menggugah hati nurani
dan akan memberikan kemungkinan pertimbangan
baru pada diri
penikmatnya. Oleh karena
itu, cukup beralasan apabila
sastra dapat berfungsi
sebagai peneguh batin
pembaca dalam menjalankan
keyakinan agamanya.
Jika setiap
manusia akan saling
menghormati dalam menjalankan agamanya, maka
hubungan yang harmonis
akan terjalin dan
akan menjadikan hidup manusia
menjadi tenteram dan
bahagia karena nilai
religius merupakan keterkaitan antarmanusia
dengan Tuhan sebagai
sumber ketentraman dan kebahagiaan di
dunia. Nilai religius
akan menanamkan sikap
manusia untuk tunduk dan
taat kepada Tuhan
atau dalam keseharian
kita kenal dengan
takwa. Seperti yang tergambar dalam tokoh Arai di bawah ini:
“Setiap habis maghrib,
Arai melantunkan ayat-ayat suci Al
Quran di bawah temaram
lampu minyak dan saat
itu seisi rumah
kami terdiam.”(SP, 33)
Perilaku Arai
dalam kesehariannya mencerminkan
seorang muslim. Orang yang taat
pada perintah agama, hal itu terbukti bahwa setiap habis maghrib dia selalu
membacakan ayat-ayat suci
Al Quran dengan
kesadarannya sendiri, tanpa
diperintah siapapun.
Kutipan di
atas mempunyai kandungan
nilai pendidikan religius
karena secara jelas disampaikan penulis melalui gaya bahasa
hipalase yaitu gaya bahasa yang menggunakan kata tertentu
untuk menerangkan sesuata, namun kata tersebut tidak tepat
bagi kata yang
diterangkan. Hal tersebut dapat
dilihat pada kalimat “seisi
rumah kami terdiam”, yang dimaksud
dalam kalimat kalimat
tersebut adalah anggota keluarga Arai.
2.
Nilai Pendidikan Moral
Nilai moral
sering disamakan dengan
nilai etika, yaitu
suatu nilai yang menjadi ukuran patut tidaknya manusia
bergaul dalam kehidupan bermasyarakat. Moral merupakan tingkah laku atau
perbuatan manusia yang dipandang dari nilai individu itu berada. Sikap disiplin
tidak hanya dilakukan dalam hal beribadah saja, tetapi dalam
segala hal, sikap
yang penuh dengan
kedisiplinan akan menghasilkan kebaikan.
Seperti halnya jika
dalam agama, seorang
hamba jika menjalankan
shalat tepat waktu
akan mendapat pahala
lebih banyak, demikian juga
jika disiplin dijalankan
pada pekerjaan lainnya
dan tanpa memandang siapa
yang berperan dalam
melakukan perbuatan disiplin
tersebut, Seperti pada kutipan berikut mengandung nilai moral yang
sangat penting.
“WC
ini sudah hampir
setahun diabaikan karena
keran air yang mampet.
Tapi manusia-manusia cacing,
para intelektual muda
SMA Negeri Bukan Main
yang tempurung otaknya
telah pindah ke
dengkul, nekat menggunakannya jika panggilan alam itu tak tertahankan.
Dengan hanya berbekal segayung
air saat memasuki
tempat sakral itu,
mereka menghinakan dirinya sendiri dihadapan agama Allah yang
mengajarkan bahwa kebersihan adalah
sebagian dari iman.
Dan kamilah yang menanggung semua kebejatan moral
mereka.”(SP, 130)
Kutipan di
atas sangat tidak
pantas dijadikan contoh
bagi masyarakat, khususnya para
penerus bangsa (siswa).
Jelas WC yang
keran airnya mampet, malah masih digunakan. Apalagi yang
menggunakannya adalah para intelek muda yang
dasar pendidikannya ada.
Mereka yang menggunakan
tidak menghiraukan walaupun agama
sudah mengajarkan kebersihan adalah
sebagian dari iman. Mereka yang melakukan justru malah
tidak merasa bersalah, walaupun orang lain yang
kena dampak dari
ulah mereka. Pendidikan moral
sangat penting untuk mendidik manusia yang belum benar tapi
merasa sudah benar.
Kutipan di
atas mempunyai kandungan
nilai pendidikan moral
karena secara jelas disampaikan penulis melalui gaya bahasa sarkasme
yaitu gaya bahasa sindiran yang paling
kasar dalam pengungkapannnya. Hal
itu dapat dilihat
pada kalimat “tempurung otaknya telah pindah ke dengkul”. Arti dari
kalimat tersebut adalah orang yang berbuaat seenaknya sendiri tanpa peduli
aturan dan etika.
Pengembangan nilai
moral sangat penting
supaya manusia memahami dan
menghayati etika ketika
berinteraksi dan berkomunikasi
dengan masyarakat. Pemahaman dan
penghayatan nilai-nilai etika
mampu menempatkan manusia sesuai kapasitasnya,
dengan demikian akan
terwujud perasaan saling
hormat, saling sayang, dan
tercipta suasana yang harmonis. Hal
tersebut terlihat dalam kutipan berikut ini:
“
LAIN KALI MENCALONKAN DIRINYA JADI BUPATI!! PASANG HURUF H
BESAR DI DEPAN
NAMANYA, MENGAKU DIRINYA HAJI???!! PADAHAL
AKU TAHU KELAKUANNYA!!
WAKTU JADI MAHASISWA, WESEL
DARI IBUNYA DIPAKAINYA
UNTUK MAIN JUDI BUNTUT!!!”(SP,
168)
“ITULAH KALAU
KAU MAU TAHU
TABIAT PEMIMPIN ZAMAN SEKARANG, BOI!!
BARU MENCALONKAN DIRI
SUDAH JADI PENIPU, BAGAIMANA
KALAU BAJINGAN SEPERTI
ITU JADI KETUA!!??”(SP, 168)
Kutipan
di atas terlihat jelas mengandung nilai pendidikan moral melalui
penggunakan gaya bahasa
antifrasis yaitu gaya
bahasa sindiran yang mempergunakan kata-kata
yang bermakna kebalikannya
dan bernada ironis.
Hal itu dapat dilihat
dari kalimat “bagaimana
kalau bajingan itu jadi ketua!!??”. Kalimat tersebut mempunyai arti
menyindir seseorang yang mempunyai kelakuan tidak baik seandainya menyalonkan
menjadi ketua, maka tidak bisa dibayangkan anak buahnya akan seperti apa.
Kedua
kutipan di atas
mengandung makna tersirat
nilai moral, karena tercantum jelas
bahwa bupati yaitu
pemimpin sekarang kelakuannya
sudah tidak jujur dan
menghalalkan segala cara hanya demi merebut kursi kepemimpinannya. Hal tersebut
perlu diubah, supaya
moral manusia yang
lain tidak ikut
tercemar. Adapun nilai yang dimaksud dalam konteks tersebut menyangkut
baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban.
Moral juga dapat dikatakan sebagai ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari
suatu rangkaian cerita karena karya sastra
itu menyajikan, mendukung,
dan menghargai nilai-nilai kehidupan yang berlaku.
3.
Nilai Pendidikan Sosial
Nilai sosial
merupakan hikmah yang
dapat diambil dari
perilaku sosial dan tata cara
hidup sosial. Suatu kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek,
gagasan, atau orang
juga termasuk di
dalamnya. Karya sastra berkaitan erat
dengan nilai sosial,
karena karya sastra
dapat pula bersumber
dari kenyataan-kenyataan
yang terjadi di
dalam masyarakat.
Nilai sosial
mencakup kebutuhan hidup bersama,
seperti kasih sayang, kepercayaan,
pengakuan, dan penghargaan.
Nilai sosial yang dimaksud
adalah kepedulian terhadap
lingkungan sekitar. Kepedulian tersebut
dapat berupa perhatian
maupun berupa kritik.
Kritik tersebut dilatar belakangi
oleh dorongan untuk memprotes ketidakadilan
yang dilihat, didengar maupun
yang dialaminya, seperti
yang terdapat dalam
kutipan
Berikut
:
“Aku ingin menyelamatkan Jimbron
walaupun benci setengah mati pada Arai.
Aku dan Arai
menopang Jimbron dan
beruntung kami berada dalam labirin gang yang
membingungkan.”(SP, 15)
Kutipan di
atas dapat di
jelaskan bahwa, walaupun
Ikal sangat benci kepada
Arai tapi jiwa
penolongnya kepada Jimbron
masih tetap ada
dalam dirinya, karena dia
merasa walau bagaimanapun
mereka adalah bersaudara. Kutipan di
atas secara jelas
megandung nilai pendidikan
sosial melalui penggunakan gaya
bahasa hiperbola yaitu
gaya bahasa yang
mengandung suatu pernyataan yang
berlebihan, misalnya membesar-besarkan suatu
hal dari yang sesungguhnya. Hal
itu dapat dilihat
dari ungkapan “benci
setengah mati” yang mempunyai arti
sangat membenci.
Nilai sosial
berkenaan dengan kemanusiaan
dan mengembangkan kehidupan
bersama, seperti kasih sayang, penghargaan, kerja sama, perlindungan, dan sifat-sifat
yang ditujukan untuk
kepentingan kemanusiaan lainnya
yang merupakan kebiasaan yang
diwariskan secara turun
temurun. Seperti yang tercermin pada kutipan di bawah ini :
“Aku membantu membawa
buku-bukunya dan kami meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap daun itu
dengan membiarka pintu dan jendela-jendelanya
terbuka karena dipastikan
tak kan ada
siapa-siapa untuk mengambil
apapun.”(SP, 25)
Beberapa hari
setelah ayahnya meninggal
Ikal dan ayahnya
menjemput Arai untuk di bawa ke rumahnya. Arai dan Ikal sebenarnya
adalah masih saudara. Pada waktu menjemput
Arai, Ikal membantu
Arai untuk membawakan
buku-bukunya yang masih perlu di bawa.
Kutipan di
atas dapat didlihat
secara jelas mengandung
nilai pendidikan sosial melalui
penggunakan gaya bahasa alegori yaitu gaya bahasa yang bertautan satu dengan
yang lainnya dalam
kesatuan yang utuh. Hal
tersebut dapat dilihat dari kata “membawa”, “meninggalkan”,
dan “membiarkan. Kata itu mempunyai pertautan dalam satu kutipan.
Nilai sosial
juga berupa hikmah
yang dapat diambil
dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Nilai
dalam karya sastra, nilai sosial dapat dilihat dari cerminan kehidupan
masyarakat yang diinterpretasikan sehingga
diharapkan mampu memberikan peningkatan kepekaan rasa kemanusiaan.
Cerminan tersebut dapat dilihat dari kutipan di bawah ini :
“Aku tersenyum tapi
tangisku tak reda karena seperti mekanika gerak balik helikopter
purba ini, Arai
telah memutar balikkan logikasentimental ini.
Ia justru berusaha
menghiburku pada saat
aku seharusnya menghiburnya. Dadaku sesak.”(SP, 28)
Kutipan di
atas menggunakan gaya
bahasa paradoks yaitu
gaya bahasa yang bertentangan
dalam satu kalimat. Sepintas lalu hal tersebut tidak masuk akal. Hal itu dapat
dilihat dari kalimat “aku tersenyum tapi tangisku tak reda”. Kalimat tersebut
mempunyai arti Ikal masih bisa tersenyum ketika dia menangis .
Tokoh
Ikal yang seharusnya
menghibur Arai ketika
ia mendapat musibah ternyata
malah berputar terbalik.
Justru Arai yang
berusaha menghibur Ikal supaya
dia tersenyum, itulah
sosok Arai yang
tidak mudah ditebak.
Sikap Arai yang peduli terhadap orang lain juga dapat dilihat dari
kutipan di bawah ini.
“Arai menyerahkan
karung-karung kami pada Mak Cik. Beliau terkaget-kaget. Lalu
aku tertegun mendengar
rencana Arai, dengan
bahan itu dimintanya Mak
Cik membuat kue
dan kami yang
akan menjualnya. Mulai sekarang
Mak Cik mempunyai
penghasilan! Seru Arai bersemangat.”(SP, 51)
Kutipan di
atas menggunakan gaya
bahasa hiperbola yaitu
gaya bahasa yang mengandung suatu
pernyataan berlebihan. Hal itu dapat dilihat pada kalimat “beliau terkaget-kaget” dan
kalimat tersebut mempunyai
arti yaitu sangat terkejut.
Arai tidak
tega melihat Mak
Cik yang hidup
kesusahan. Dia juga menyuruh
Arai untuk memecah
celengannya untuk menolong
Mak Cik. Cara mereka dengan membelikan bahan-bahan
untuk membuat kue supaya beliau bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Sifat
membalas budi atas kebaikan orang lain pada nilai sosial sangatlah
penting. Sifat tersebut
juga bertujuan untuk
membangun sikap saling
peduli dan saling peka antar
sesama. Sifat tersebut tersirat dalam kutipan di bawah ini :
“Aku ingin
membahagiakan Arai. Aku ingin berbuat sesuatu seperti yang ia lakukan
pada Jimbron. Seperti
yang selalu ia
lakukan padaku. Aku sering
melihat sepatuku yang
menganga seperti buaya
berjemur tahu-tahu sudah
rekat kembali, Arai
diam-diam memakunya. Aku
juga selalu heran melihat
kancing bajuku yang
lepas tiba-tiba lengkap
kembali, tanpa banyak cincong
Arai menjahitnya. Jika
terbangun malam-malam, aku sering
mendapatiku telah berselimut,
Arai menyelimutiku. Belum terhitung kebaikannya waktu ia
membelaku dalam perkara rambut belah tengah toni Koeswoyo saat aku masih SD
dulu. Bertahun lewat taoi aku tak
kan lupa Rai,
akan kubalas kebaikanmu
yang tak terucapkan
itu, jasamu yang tak
kenal pamrih itu,
ketulusanmu yang tak
kasatmata itu.”(SP, 186)
Kutipan di
atas menggunakan gaya
bahasa perumpamaan yaitu perbandingan dua hal yang
pada hakikatnya berbeda,
tetapi sengaja dianggap sama. Hal itu dapat dilihat dari
kalimat “sepatuku yang menganga seperti buaya
berjemur” yaitu sepatu yang lemnya sudah tidak bisa merekat lagi disakan
dengan buaya yang berjemur, yaitu mulutnya terbuka.
Tanggung jawab
terhadap kebahagiaan orang
lain juga menjadi
jaminan untuk menjalankan sikap
kemanusiaan, supaya kebahagiaan
orang lain terasa lengkap dengan sikap kita terhadapnya.
“Bang Zitun sangat
komit pada penampilan Arai kali ini sebab ia merasa bertanggung jawab pada
kegagalan Arai yang pertama.” (SP, 210)
Kutipan di
atas adalah wujud
sikap tanggung jawab
Bang Zaitun untuk memksimalkan penampilan
Arai dalam memikat
hati Nirmala sang
pujaan hatinya, karena penampilan
Arai yang pertama
kurang maksimal sehingga
untuk memikat hati Nirmala bisa dikatakan gagal.
4.
Nilai Pendidikan Budaya
Nilai
pendidikan budaya adalah tingkat yang palig tinggi dan yang paling abstrak dari
adat istiadat. Hali
itu disebabkan karena
nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang
hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat mengenai
apa yang mereka anggap bernilai, berharga
dan penting dalam
hidup, sehingga dapat
berfungsi sebagai suatu pedoman
yang member arah
dan orientasi kepada
kehidupan para warga masyarakatnya.
Walaupun nilai-nilai
budaya berfungsi sebagai
pedoman hidup manusia dalam
masyarakat, tetapi sebagai
konsep, suatu nilai
budaya itu bersifat
sangat umum mempunyai ruang ligkup
yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional
dan nyata. Namun,
justru karena sifatnya yang
umum, luas, dan tidak konkret itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional
dari alam jiwa
para individu yang
menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan.
Kebiasaan dalam daerah
tertentu juga memengaruhi tata cara dalam kehidupan
sehari-hari, terlihat seperti kutipan di bawah ini:
“Dan seperti kebanyakan
anak-anak Melayu miskin
di kampung kami yang rata-rata beranjak remaja mulai
bekerja mencari uang,…”(SP, 32)
Masyarakat melayu
ketika mulai beranjak
dewasa kebanyakan mereka sudah
berusaha bekerja mencari
uang untuk membantu
keluarganya dalam mencukupi kebutuhan
hidup. Maka tidak
heran, banyak remaja
yang memilih tidak melanjutkan
sekolah, melainkan memilih
untuk bekerja.
Kutipan di
atas secara jelas mengandung
nilai pendidikan budaya
melalui penggunakan gaya bahasa paradoks yaitu gaya bahasa yang bertentangan dalam
satu kalimat. Hal itu dapat dilihat dari
kata “anak-anak” dan “remaja”
terdapat
pada satu kalimat dengan arti yang berlawanan.
Unsur-unsur dan
nilai kebudayaan juga
dapat dilestarikan dengan menggunakan benda atau barang kebudayaan daerah setempat.
Hal tersebut juga diterapkan oleh masyarakat Melayu, yaitu dapat dilihat dari
kutipan berikut ini.
“Padi dalam peregasan
sebenarnya sudah tak bisa lagi dimakan karena sudah disimpan
puluhan tahun. Saat
ini peregasan tak
lebih dari surga dunia
bagi bermacam-macam kutu
dan keluarga tikus
berbulu kelabu yang turun-
temurun beranak pinak disitu.” (SP, 36)
Kutipan
di atas terdapat kata “peregasan” yang artinya adalah peti papan besar tempat
menyimpan padi. Sebagian besar orang Melayu di setiap rumahnya pasti terdapat
peregasan yang berfungsi
untuk menyimpan beras.
Bagi orang Melayu juga
menganggap peregasan adalah
sebuah metafora, budaya,
dan perlambang yang mewakili
periode gelap selama tiga
setengah tahun Jepang menindas mereka. Ajaibnya sang waktu,
masa lalu yang menyakitkan lambat laun bisa menjelma menjadi nostalgia
romantik.
Kutipan di
atas secara jelas
mempunyai kandungan nilai
pendidikan budaya melalui penggunakan gaya bahasa hiperbola. Hal itu
terlihat pada kalimat “keluarga tikus
berbulu kelabu yang turun-temurun beranak pinak di situ”. Kalimat tersebut
mempunyai arti bahwa
hewan tikus yang
berkembang biak sangat banyak.
B. Implikasi Hasil Analisis Nilai
Pendidikan Terhadap Pembelajaran Sastra.
Penelitian
ini memiliki implikasi terhadap aspek lain yang relevan dengan pembelajaran
sastra. Implikasi tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1.
Implikasi teoritis
a. Membuka wawasan yang berkaitan dengan
pendalaman materi keterampilan bersastra, khususnya karya sastra novel.
b.
Membuka wawasan akan
beragamnya novel yang
dapat digunakan sebagai media pembelajaran.
c. Membuka peluang
dilakukannya penelitian-penelitian tentang
gaya bahasa serta nilai
pendidikan.
2.
Implikasi paedagogis
Menambah
referensi novel yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada
jenjang SMA kelas XI dengan standar kompetensi kemampuan memahami berbagai
hikayat, novel Indonesia, novel terjemahan. Novel Sang Pemimpi dapat digunakan
sebagai media pembelajaran novel yang isinya tidak terlalu serius dan mudah dipahami,
namun banyak mengandung nilai-nilai pendidikan.
3.
Implikasi praktis
a.
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan penelitian sastra, sehingga
peneliti lain akan
termotivasi untuk melakukan
penelitian yang nantinya dapat diaplikasikan dalam pembelajaran di
sekolah.
b.
Penelitian ini dapat
dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk lebih mencermati media pembelajaran yang
tepat bagi siswa.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan
Berdasarkan kajian
teori, hasil analisis
dan pembahasan yang
telah dilakukan dapat ditarik simpulan bahwa nilai-nilai pendidikan
yang terdapat dalam
novel Sang Pemimpiterdiri dari
empat nilai. Nilai-nilai
pendidikan tersebut yaitu:
(a) Nilai pendidikan
religius merupakan sudut
pandang yang mengikat
manusia dengan Tuhan pencipta
alam dan seisinya,
dalam novel Sang
Pemimpi memanfaatkan gaya bahasa
pars pro toto
dan hipalase.
(b) Nilai pendidikan moral yaitu
suatu nilai yang
menjadi ukuran patut
tidaknya manusia bergaul dalam
kehidupan bermasyarakat, dalam
novel Sang Pemimpi
nilai tersebut dapat tersirat
melalui pemanfaatan gaya
bahasa sarkasme dan
antifrasis.
(c) Nilai
pendidikan sosial yaitu
suatu kesadaran dan emosi
yang relatif lestari terhadap suatu
objek, gagasan, atau
orang, dalam novel
Sang Pemimpi nilai tersebut dapat
tersirat karena ada
pemanfaatan dari gaya
bahasa hiperbola, alegori,
paradoks, dan perumpamaan.
(d) Nilai pendidikan budaya tingkat yang palig tinggi
dan yang paling
abstrak dari adat istiadat,
dalam novel Sang Pemimpi
nilai tersebut dapat
tersirat karena memanfaatkan
gaya bahasa paradoks dan
hiperbola.
B.
Saran
Beberapa saran
berikut dapat menjadi
bahan masukan yang
bermanfaat bagi pihak-pihak terkait antara lain.
1. Saran kepada siswa
Siswa hendaknya
dalam membaca novel
memperhatikan nilai-nilai
positif antara lain
tentang semangat, tekad,
perilaku pantang menyerah
untuk selalu memperjuangkan cita-cita dan jangan mencontoh apabila novel
tersebut mempunyai nilai yang
negatif. Nilai-nilai positif
tersebut dapat menjadi
dasar bagi siswa untuk
menerapkannya dalam berperilaku
di kehidupan di masyarakat.
2. Saran kepada guru bahasa dan sastra Indonesia
Guru hendaknya
dapat memaksimalkan penggunaan
bahan pembelajaran sastra, dalam
hal ini adalah
novel. Novel Sang
Pemimpi ini di dalamnya
memenuhi empat macam
manfaat pembelajaran sastra,
yaitu: membantu keterampilan berbahasa,
meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta
dan rasa, dan
menunjang pembentukan watak.
Lebih lanjut guru dapat memilih novel lain yang sekiranya terdapat
beberapa cakupan yang bisa memberikan manfaat positif bagi siswa, sehingga
siswa tidak hanya memperoleh hiburan saja tetapi juga mendapatkan ilmu
kehidupan.
3. Saran kepada pembaca karya sastra
Pembaca karya
sastra sebaiknya mengambil
nilai-nilai positif dalam karya sastra yang telah dibacanya dalam
kehidupan di masyarakat. Novel Sang Pemimpi adalah novel yang bagus dan
berkualitas, sehingga tidak ada salahnya jika membaca novel tersebut.
4. Saran kepada peneliti lain
Pada karya
ilmiah ini, peneliti
mempunyai kelemahan yaitu
dalam penelitian agak sulit
membedakan antara gaya
bahasa yang satu
dengan yang lain. Oleh
karena itu, Peneliti
lain sebaiknya terus
meningkatkan penelitian dalam bidang
sastra khususnya novel
Sang Pemimpi karya
Andrea Hirata secara lebih
mendalam dengan bentuk
analisis yang berbeda
karena novel tersebut termasuk
novel yang bagus dan berkualitas.
DAFTAR
PUSTAKA
Aminuddin. 2009.
Pengantar Apresiasi Karya
Sastra. Bandung: Sinar
Baru Argesindo.
Atminingsih, Ririh Yuli. 2008. “Analisis
gaya Bahasa dan Nilai Pendidikan Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata”.
Skripsi. Surakarta: Progaram Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
UNS (tidak diterbitkan).
Darmono, Sapardi Djoko. 2003. “Kita dan
Sastra Dunia”. Dalam www.mizan.com.
diakses pada tanggal 26 November 2009.
Endaswara, Suwardi.
2003. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Hirata,
Andrea. 2006. Sang Pemimpi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Keraf,
Gorys. 2004. Diksi dan Gaya bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nurdin,
Ade dkk. 2002.
Intisari Bahasa dan
Sastra Indonesia untuk
Kelas 1,2,3 SMU. Bandung: CV
Pustaka setia.
Nurgiyantoro, Burhan.
2005. Teori Pengkajian
Fiksi. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Pradopo,
Rachmad Djoko. 2005.
Beberapa Teori Sastra,
Metode, Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Suwondo,
Tirto. 2001. Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta:
PT Hanindita Graha Widya.
Suyitno.
1986. Sastra, Tata Nilai, dan Eksegesis. Yogyakarta: Anindita.
Uzey.
2009. “Macam-macam Nilai”.
Dalam http://uzey.blogspot.com/2009/09/
pengertian-nilai.
LAMPIRAN
1
SINOPSIS NOVEL SANG PEMIMPI
Novel ini
adalah novel kedua
dari tetraloginya Andrea
Hirata yang diterbitkan oleh
Bentang Pustaka pada
bulan Juli tahun
2006. Dalam novel
ini Andrea menarikan imajinasi
dan melantunkan stambul
mimpi anak-anak Melayu kampung . Sang Pemimpi adalah sebuah
kisah kehidupan yang mempesona yang akan membuat
pembacanya percaya akan
tenaga cinta, percaya
pada kekuatan mimpi dan
pengorbanan, lebih dari
itu, juga percaya
kepada Tuhan.
Andrea berkelana menerobos
sudut-sudut pemikiran dimana
pembaca akan menemukan pandangan yang
berbeda tentang nasib,
tantangan intelektualitas, dan kegembiraan yang
meluap-luap, sekaligus kesedihan
yang mengharu biru. selayaknya kenakalan
remaja biasa, tapi
kemudian tanpa disadari
kisah dan karakter-karakter dalam
buku ini lambat laun menguasai, potret-potret kecil yang menawan akan
menghentakkan pembaca pada rasa humor
yang halus namun memiliki efek
filosofis yang meresonansi.
Arti perjuangan hidup
dalam kemiskinan yang membelit dan cita-cita yang gagah berani dalam
kisah beberapa tokoh utama buku ini,
Tiga orang
pemimpi. Setelah tamat
SMP, melanjutkan ke
SMA bukan main, di
sinilah perjuangan dan
mimpi ketiga pemberani
ini dimulai. Ikal,
salah satu dari anggota
Laskar Pelangi, Arai,
saudara sepupu Arai
yang sudah yatim piatu sejak SD dan tinggal di ruamh
Ikal, sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Ayah danIbu Ikal, dan Jimbron, anak angkat seorang
pendeta karena yatim piatu juga sejak
kecil. Namun pendeta
yang sangat baik
dan tidak memaksakan keyakinan Jimbron, malah
mengantarkan Jimbron menjadi muslim yang taat.
Arai dan
Ikal begitu pintar
dalam sekolahnya, sedangkan
Jimbron, si penggemar kuda ini
biasa-biasa saja. Malah
menduduki rangking 78
dari 160 siswa. Sedangkan Ikal dan Arai selalu menjadi
lima dan tiga besar. Mimpi mereka sangat tinggi, karena
bagi Arai, orang
susah seperti mereka
tidak akan berguna
tanpa mimpi-mimpi. Mereka berdua
mempunyai mimpi yang
tinggi yaitu melanjutkan belajar ke
Sarbonne Perancis. Mereka
terpukau dengan cerita
Pak Belia, guru seninya,
yang selalu meyebut-nyebut indahnya kota itu.
Kerja
keras menjadi kulingambat mulai pukul dua pagi sampai jam tujuh dan dilanjutkan
dengan sekolah, itulah perjuangan ketiga
pemuda itu. Mati-matian
menabung demi mewujudkan impiannya. Meskipun
kalau dilogika, tabungan
mereka tidak akan
cukup untuk sampi ke sana. Tapi
jiwa optimisme Arai tak terbantahkan.
Selesai SMA,
Arai dan Ikal
merantau ke Jawa,
Bogor tepatnya. Sedangkan Jimbron
lebih memilih untuk menjadi pekerja ternak kuda di Belitong. Jimbron
menghadiahkan kedua celengan kudanya yang berisi tabungannya selama ini kepada
Ikal dan Arai. Dia yakin kalau Arai dan Ikal sampai di Perancis, maka jiwa
Jimbron pun akan selalu bersama mereka. Berbula-bulan terkatung-katung di Bogor,
mencari pekerjaan untuk bertahan hidup susahnya minta ampun. Akhirnya setelah
banyak pekerjaan tidak bersahabat ditempuh, Ikal diterima menjadi tukang sortir
(tukang Pos), dan Arai memutuskan untuk merantau ke Kalimantan. Tahun berikutnya,
Ikal memutuskan untuk kuliah di Ekonomi UI. Dan setelah lulus, ada lowongan
untuk mendapatkan biasiswa S2 ke Eropa. Beribu-ribu pesaing berhasil ia
singkirkan dan akhrinya sampailah pada pertandingan untuk memperebutkan 15 besar.
Saat wawancara
tiba, tidak disangka,
profesor pengujinya begitu terpukau dengan
proposal riset yang diajukan Ikal,
meskipun hanya berlatar belakang sarjana
Ekonomi yang masih
bekerja sebagai tukang
sortir, tulisannya begitu hebat.
Akhirnya setelah wawancara selesai, siapa yang menyangka, kejutan yang luar
biasa. Arai pun ikut dalam wawancara itu. Bertahun-tahun tanpa kabar berita, akhirnya
mereka berdua dipertemukan
dalam suatu forum
yang begitu indah dan
terhormat. Begitulah Arai,
selalu penuh dengan
kejutan. Semua ini sudah
direncanaknnya
bertahun-thaun. Ternyata dia kuliah
di Universitas Mulawarman dan
mengambil jurusan Biologi. Tidak kalah dengan
Ikal, proposal risetnya juga begitu luar biasa dan berbakat untuk
menghasilkan teori baru.
Akhirnya sampai
juga mereka pulang
kampung ke Belitong.
Ketika ada surat datang,
mereka berdebar-debar membuka isinya.
Pengumuman penerima Beasiswa ke
Eropa. Arai begitu sedih karena dia sangat merindukan kedua orang tuanya.
Sangat ingin membuka kabar tu bersama orang
yang sanag dia rindukan. Kegelisahan
dimulai. Tidak kuasa
mengetahui isi dari
surat itu. Akhirnya
Ikal diterima di Perguruan
tinggi, Sarbone Pernacis.
Setelah perlahan mencocokkan dengan surat
Arai, inilah jawaban
dari mimpi-mimpi mereka.
Kedua sang pemimpi ini
diterima di Universitas
yang sama. Tapi
ini bukan akhir
dari segalanya. Disinilah perjuangan
dari mimpi itu dimulai, dan
siap melahirkan anak-anak mimpi
berikutnya.