Jumat, 07 Juni 2013

Penelitian Sastra - nilai pendidikan, nilai moral, nilai religi, dan nilai budaya yang terdapat dalam novel


ANALISIS NILAI PENDIDIKAN YANG TERDAPAT DALAM
NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA

Oleh :
                                      NAMA : ABDUL RAHIM
                                      NIM     : E1C009009

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2012
 
ABSTRAK 

Tujuan  penelitian  ini  adalah  untuk  mendeskripsikan: nilai-nilai pendidikan yang ingin disampaikan pengarang dalam novel Sang Pemimpi. Penelitian  ini  berbentuk  deskriptif  kualitatif.  Metode  yang  digunakan adalah metode content analysis. Sumber data adalah novel Sang Pemimpi cetakan ke-15  dan  artikel-artikel  dari  internet.  Teknik  pengumpulan  data  menggunakan teknik  catat.  Validitas  yang  digunakan  adalah  triangulasi  teori.  Teknik  analisis data  yang  digunakan  adalah  analisis  mengalir  (flow  model  of  analysis)  yang meliputi  tiga  komponen  yaitu  reduksi  data,  penyajian  data,  dan  penarikan kesimpulan.  Prosedur  penelitian  yang  dilakukan  terdiri  atas  beberapa  tahap  yaitu pengumpulan data, penyeleksian data, menganalisis data yang telah diseleksi, dan membuat laporan penelitian. 
            Nilai-nilai pendidikan  yang  terdapat  dalam  novel  Sang  Pemimpi,  berdasarkan  hasil  analisis terdiri atas empat nilai. Nilai-nilai pendidikan tersebut  yaitu: (a) nilai pendidikan religius merupakan sudut pandang yang mengikat manusia dengan Tuhan pencipta alam  dan  seisinya,  dalam  novel  Sang  Pemimpi  memanfaatkan  gaya  bahasa  pars pro  toto  dan  hipalase,  (b)  nilai  pendidikan  moral  yaitu  suatu  nilai  yang  menjadi ukuran  patut  tidaknya  manusia  bergaul  dalam  kehidupan  bermasyarakat,  dalam novel Sang Pemimpi nilai tersebut dapat tersirat melalui pemanfaatan gaya bahasa sarkasme  dan  antifrasis,  (c)  nilai  pendidikan  sosial  yaitu  suatu  kesadaran  dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek, gagasan, atau orang, dalam novel Sang  Pemimpi  nilai  tersebut  dapat tersirat  karena  ada  pemanfaatan  dari  gaya bahasa hiperbola. (d) Nilai Pendidikan Budaya, merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup dan berakar  dalam  alam  pikiran  masyarakat,  dan  sukar  diganti  dengan  nilai  budaya lain  dalam  waktu  singkat.
KATA PENGANTAR

Puji  syukur  kehadirat  Allah  SWT  yang  telah  melimpahkan  kesehatan, karunia,  rahmat,  dan  hidayah-Nya  kepada  kita  semua,  terutama  penulis  dan keluarga.  Hanya  kepada-Nya  kembali  segala  sanjungan,  kepada-Nya  kami memohon  pertolongan  dan  ampunan,  dan  atas  ridlonya  sehingga  penulis  mampu menyusun


BAB I
   PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan wujud gagasan seseorang melalui pandangan terhadap lingkungan  sosial  yang  beraada  di  sekelilingnya  dengan  menggunakan  bahasa yang  indah.  Sastra  hadir  sebagai  hasil  perenungan  pengarang  terhadap  fenomena yang ada. Sastra sebagai karya fiksi memiliki pemahaman  yang  lebih mendalam, bukan  hanya  sekadar  cerita  khayal  atau  angan  dari  pengarang  saja,  melainkan wujud dari kreativitas pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya.
Salah  satu  bentuk  karya  sastra  adalah  novel.  Novel  adalah  karya  fiksi yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya. Unsur-unsur tersebut sengaja dipadukan  pengarang  dan  dibuat  mirip  dengan  dunia  yang  nyata  lengkap  dengan peristiwa-peristiwa  di  dalamnya,  sehingga  nampak  seperti  sungguh  ada  dan terjadi.  Unsur  inilah  yang  akan  menyebabkan  karya  sastra  (novel)  hadir.  Unsur intrinsik  sebuah  novel  adalah  unsur  yang  secara  langsung  membangun  sebuah cerita.  Keterpaduan  berbagai  unsur  intrinsik  ini  akan  menjadikan  sebuah  novel yang  sangat  bagus.
Sang  Pemimpi  diterbitkan  pertama  kali  pada  Juli  2006.  Sejak kemunculannya  novel  Sang  Pemimpi  mendapatkan  tanggapan  positif  dari  penikmat sastra. Tingginya apresiasi masyarakat terhadap novel Sang Pemimpi menjadikan novel  tersebut  masuk  dalam  jajaran  novel  psikologi  islami  pembangun  jiwa. Andrea  Hirata  telah  membuat  lompatan  langkah  yang  gemilang  untuk  mengikuti jejak  sang  legenda  Buya  Hamka,  berkarya  dan  mempunyai  fenomena  (Badrut Taman  Gafas,  2005).  Melalui  novel  kontemporernya  yang  diperkaya  dengan muatan  budaya  yang  Islami,  Andrea  Hirata  seolah  mengulang  kesuksesan  sang pujangga  Buya  Hamka  yang  karya-karyanya  popular  hingga  ke  mancanegara seperti  “Merantau  Ke  Deli”,  “Di  Bawah  Lindungan  Ka’bah”,  dan ”Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”.  Meskipun  nilai  yang  mendasari  novel tersebut  bersumber  dari  Islam,  berbagai  kalangan  kaum  beragama  dan berkepercayaan dapat menerimanya tanpa ada perasaan terancam. Cerita  novel  Sang  Pemimpi  diperoleh  dari    mengeksplorasi  kisah persahabatan    dan  pendidikan  di  Indonesia. 
Berdasarkan  latar  belakang  tersebut,  maka  peneliti  berminat  untuk menganalisis novel Sang Pemimpi. Analisis terhadap novel Sang Pemimpi peneliti membatasi  pada  segi   nilai  pendidikannya.  Alasan  dipilih  dari  segi  nilai  pendidikan  karena  novel  Sang  Pemimpi diketahui  banyak  memberikan  inspirasi  bagi  pembaca,  hal  itu  berarti    ada  nilai-nilai positif yang dapat diambil dan direalisasikan oleh pembaca dalam kehidupan sehari-hari  mereka,  khususnya  dalam  hal  pendidikan.  Pradopo  (1994:  94) mengungkapkan  bahwa  suatu  karya  sastra  yang  baik  adalah  yang  langsung memberi  didikan  kepada  pembaca  tentang  budi  pekerti  dan  nilai-nilai  moral, sesungguhnya  hal  ini  telah  menyimpang  dari  hukum-hukum  karya  sastra  sebagai karya  seni  dan  menjadikan  karya  sastra  sebagai  alat  pendidikan  yang  langsung, sedangkan  nilai  seninya  dijadikan  atau  dijatuhkan  nomor  dua.  Begitulah  paham pertama dalam penilaian karya sastra yang secara tidak langsung disimpulkan dari corak-corak  roman  Indonesia  yang  mula-mula,  ialah  memberi  pendidikan  dan nasihat kepada pembaca. 
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan  latar  belakang  masalah  di  atas  dapat  diketahui  rumusan masalah yang timbul dalam penelitian ini sebagai berikut :

1.        Nilai-nilai pendidikan apa sajakah yang ingin disampaikan oleh Andrea Hirata dalam novel Sang Pemimpi?
2.      Bagaimanakah Implikasi analisis nilai pendidikan dalam Novel Sang Pemimpi terhadap pembelajaran Sastra?
C.  Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut.
1.      Menyebutkan  dan  mendeskripsikan  nilai-nilai  pendidikan  yang  digunakan pengarang dalam novel Sang Pemimpi.
2.      Menjelaskan implikasi nilai pendidikan dalam novel Sang Pemimpi terhadap pembelajaran
D.  Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Manfaat  teoritis,  hasil  penelitian  ini  dapat  menambah  khasanah  keilmuan dalam  pengajaran  bidang  bahasa  dan  sastra,  khususnya  tentang nilai-nilai pendidikan dalam novel.
2.       Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak, antara lain :
a. Bagi Guru
Hasil  penelitian  ini  memberikan  gambaran  bagi  guru  tentang  pendekatan struktural  genetik  untuk  dijadikan  pedoman  dalam  pembelajaran  sastra yang menarik, kreatif, dan inovatif.
b.  Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari masalah yang dirumuskan. Selain  itu,  dengan  selesainya  penelitian  ini  diharapkan  dapat  menjadi motivasi  bagi  peneliti  untuk  semakin  aktif  menyumbangkan  hasil  karya ilmiah bagi dunia sastra dan pendidikan.
c.  Bagi Pembaca
Hasil  penelitian  ini  bagi  pembaca  diharapkan  dapat  lebih  memahami  isi novel  Sang  Pemimpi  dan  mengambil  manfaat  darinya.  Selain  itu, diharapkan  pembaca  semakin  jeli  dalam  memilih  bahan  bacaan (khususnya  novel)  dengan  memilih  novel-novel  yang  mengandung  pesan moral yang baik dan dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk sarana pembinaan watak diri pribadi.


BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Hakikat Novel
1.  Pengertian Novel
Kata  novel  berasal  dari  bahasa  Itali  novella  yang  secara  harfiah  berarti, sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai „cerita pendek dalam bentuk prosa. (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2005: 9). Dalam bahasa Latin kata  novel  berasal  novellus  yang  diturunkan  pula  dari  kata  noveis  yang  berarti baru. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-jenis lain, novel ini baru muncul kemudian (Tarigan, 1995: 164).
Pendapat  Tarigan  diperkuat  dengan  pendapat  Semi  (1993:  32)  bahwa novel  merupakan  karya  fiksi  yang  mengungkapkan  aspek-aspek  kemanusiaan yang  lebih  mendalam  dan  disajikan  dengan  halus.  Novel  yang  diartikan  sebagai memberikan  konsentrasi  kehidupan  yang  lebih  tegas,  dengan  roman  yang diartikan  rancangannya  lebih  luas  mengandung  sejarah  perkembagan  yang biasanya terdiri dari beberapa fragmen dan patut ditinjau kembali.
 Sudjiman (1998: 53) mengatakan bahwa novel adalah prosa rekaan yang menyuguhkan  tokoh  dan  menampilkan  serangkaian  peristiwa  serta  latar  secara tersusun.  Novel  sebagai  karya  imajinatif  mengugkapkan  aspek-aspek kemanusiaan yang mendalam dan menyajikannya secara halus. Novel tidak hanya sebagai  alat  hiburan,  tetapi  juga  sebagai  bentuk  seni  yang  mempelajari  dan meneliti  segi-segi  kehidupan  dan  nilai-nilai  baik  buruk  (moral)  dalam  kehidupan ini dan mengarahkan pada pembaca tentang budi pekerti yang luhur.
Saad  (dalam  Badudu  J.S,  1984  :51)  menyatakan  nama  cerita  rekaan untuk  cerita-cerita  dalam  bentuk  prosa  seperti:  roman,  novel,  dan  cerpen. Ketiganya  dibedakan  bukan  pada  panjang  pendeknya  cerita,  yaitu  dalam  arti jumlah  halaman  karangan,  melainkan  yang  paling  utama  ialah  digresi,  yaitu sebuah peristiwa-peristiwa yang secara tidak langsung berhubungan dengan cerita peristiwa yang secara tidak langsung berhubungan dengan cerita yang dimasukkan ke dalam cerita ini. Makin banyak digresi, makin menjadi luas ceritanya.
Batos  (dalam  Tarigan,  1995:  164)  menyatakan  bahwa  novel  merupakan sebuah  roman,  pelaku-pelaku  mulai  dengan  waktu  muda,  menjadi  tua,  bergerak dari sebuah adegan yang lain dari suatu tempat ke tempat yang lain. Nurgiyantoro (2005:  15)  menyatakan,  novel  merupakan  karya  yang  bersifat  realistis  dan mengandung  nilai  psikologi  yang  mendalam,  sehingga  novel  dapat  berkembang dari  sejarah,  surat-surat,  bentuk-bentuk  nonfiksi  atau  dokumen-dokumen, sedangkan  roman  atau  romansa  lebih  bersifat  puitis.  Dari  penjelasan  tersebut dapat diketahui bahwa novel dan romansa berada dalam kedudukan yang berbeda. Jassin (dalam Nurgiyantoro, 2005: 16) membatasi novel sebagai suatu cerita yang bermain  dalam  dunia  manusia  dan  benda  yang  di  sekitar  kita,  tidak  mendalam, lebih  banyak  melukiskan  satu  saat  dari  kehidupan  seseorang  dan  lebih  mengenai sesuatu  episode. 
Dari beberapa  pendapat  tersebut dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah  cerita  fiktif  yang  berusaha  menggambarkan  atau  melukiskan  kehidupan tokoh-tokohnya dengan menggunakan alur. Cerita fiktif tidak hanya sebagai cerita khayalan  semata,  tetapi  sebuah  imajinasi  yang  dihasilkan  oleh  pengarang  adalah realitas atau fenomena yang dilihat dan dirasakan.

2.  Ciri-ciri Novel
Hendy (1993: 225) menyebutkan ciri-ciri novel sebagai berikut :
a.       Sajian cerita lebih panjang dari cerita pendek dan lebih pendek dari roman. Biasanya cerita dalam novel dibagi atas beberapa bagian.
b.      Bahan  cerita  diangkat  dari  keadaan  yang  ada  dalam  masyarakat  dengan ramuan fiksi pengarang.
c.       Penyajian  berita  berlandas  pada  alur  pokok  atau  alur  utama  yang  batang tubuh  cerita,  dan  dirangkai  dengan  beberapa  alur  penunjang  yang  bersifat otonom (mempunyai latar tersendiri).
d.      Tema sebuah novel terdiri atas tema pokok (tema utama) dan tema bawahan yang berfungsi mendukung tema pokok tersebut.
e.       Karakter  tokoh-tokoh  utama  dalam  novel  berbeda-beda.  Demikian  juga karakter  tokoh  lainnya.  Selain  itu,  dalam  novel  dijumpai  pula  tokoh  statis dan  tokoh  dinamis.  Tokoh  statis  adalah  tokoh  yang  digambarkan  berwatak tetap  sejak  awal  hingga  akhir.  Tokoh  dinamis  sebaliknya,  ia  bisa mempunyai beberapa karakter yang berbeda atau tidak tetap.
B. Hakikat Nilai Pendidikan
1.  Pengertian Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna  bagi  manusia.  Sesuatu  itu  bernilai  berarti  sesuatu  itu  berharga  atau berguna  bagi  kehidupan  manusia.  Nilai  sebagai  kualitas  yang  independen  akan memiliki ketetapan yaitu tidak berubah yang terjadi pada objek yang dikenai nilai. Persahabatan sebagai nilai (positif/ baik) tidak akan berubah esensinya manakala ada  pengkhianatan  antara  dua  yang  bersahabat.  Artinya  nilai  adalah  suatu ketetapan yang ada bagaimanapun keadaan di sekitarnya berlangsung.
Sastra  dan  tata  nilai  merupakan  dua  fenomena  sosial  yang  saling melengkapi  dalam  hakikat  mereka  sebagai  sesuatu  yang  eksistensial.  Sastra sebagai  produk  kehidupan.,  mengandung  nilai-nilai  sosial,  filsafat,  religi,  dan sebagainya  baik  yang  bertolak  dari  pengungkapan  kembali  maupun  yang mempeunyai  penyodoran  konsep  baru  (Suyitno,  1986:  3).  Sastra  tidak  hanya memasuki  ruang  serta  nilai-nilai  kehidupan  personal,  tetapi  juga  nilai-nilai kehidupan manusia dalam arti total.
Menilai  oleh  Setiadi  (2006:  110)  dikatakan  sebagai  kegiatan menghubungkan  sesuatu  dengan  sesuatu  yang  lain  sehingga  diperoleh  menjadi suatu  keputusan  yang  menyatakan  sesuatu  itu  berguna  atau  tidak  berguna,  benar atau tidak benar, baik, atau buruk, manusiawi atau tidak manusiawi, religius atau tidak  religius,  berdasarkan  jenis  tersebutlah  nilai  ada.  Lasyo  (Setiadi  2006:  117) menyatakan,  nilai  manusia  merupakan  landasan  atau  motivasi  dalam  segala tingkah  laku  atau  perbuatannya.  Sejalan  dengan  Lasyo,  Darmodiharjo  (dalam Setiadi,  2006:  117)  mengungkapkan  nilai  merupakan  sesuatu  yang  berguna  bagi manusia  baik  jasmani  maupun  rohani.  Sedangkan  Soekanto  (1983:  161) menyatakan,  nilai-nilai  merupakan  abstraksi  daripada  pengalaman-pengalaman pribadi seseorang dengan sesamanya. Pada hakikatnya, nilai yang tertinggi selalu berujung pada nilai yang terdalam dan terabstrak bagi manusia, yaitu menyangkut tentang  hal-hal  yang  bersifat  hakki.  Dari  beberapa  pendapat  tersebut  di  atas pengertian  nilai  dapat  disimpulkan  sebagai  sesuatu  yang  bernilai,  berharga, bermutu,  akan  menunjukkan  suatu  kualitas  dan  akan  berguna  bagi  kehidupan manusia. 


2.  Pengertian Pendidikan
Secara  etimologis,  pendidikan  berasal  dari  bahasa  Yunani “Paedogogike”, yang terdiri atas kata “Pais” yang berarti Anak” dan kata “Ago” yang  berarti  “Aku  membimbing”  (Hadi,  2003:  17).  Jadi  Soedomo  Hadi menyimpulkan paedogogike berarti aku membimbing  anak.  Purwanto (1986: 11) menyatakan  bahwa  pendidikan  berarti  segala  usaha  orang  dewasa  dalam pergaulannya  dengan  anak-anak  untuk  memimpin  perkembangan  jasmani  dan rohaninya  ke  arah  kedewasaan.  Hakikat  pendidikan  bertujuan  untuk mendewasakan  anak  didik,  maka  seorang  pendidik  haruslah  orang  yang  dewasa, karena  tidak  mungkin  dapat  mendewasakan  anak  didik  jika  pendidiknya  sendiri belum  dewasa.  Tilaar  (2002;435)  mengatakan  hakikat  pendidikan  adalah memanusiakan  manusia.  Selanjutnya  dikatakan  pula  bahwa,  memanusiakan manusia  atau  proses  humanisasi  melihat  manusia  sebagai  suatu  keseluruhan  di dalam  eksistensinya.  Eksistensi  ini  menurut  penulis  adalah  menempatkan kedudukan manusia pada tempatnya yang terhormat dan bermartabat. Kehormatan itu tentunya tidak lepas dari nilai-nilai luhur yang selalu dipegang umat manusia. 
Pendidikan  pada  hakikatnya  juga  berarti  mencerdaskan  kehidupan bangsa.  Dari  pernyataan  tersebut  terdapat  tiga  unsur  pokok  dalam  pendidikan, yaitu: a) cerdas, berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan  nyata.  Cerdas  bermakna  kreatif,  inovatif  dan  siap  mengaplikasikan ilmunya; b) hidup, memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal  yang  terbaik  untuk  kehidupan  itu  sendiri.  Hidup  itu  berarti  merenungi bahwa  suatu  hari  kita  akan  mati,  dan  segala  amalan  kita  akan dipertanggungjawabkan  kepadaNya.  Filosofi  hidup  ini  sangat  syarat  akan  makna individualisme  yang  artinya  mengangkat  kehidupan  seseorang,  memanusiakan manusia,  memberikan  makanan  kehidupan  berupa  semangat,  nilai  moral,  dan tujuan  hidup;  c)  bangsa,  berarti  manusia  selain  sebagai  individu  juga  merupakan makhluk  sosial  yang  membutuhkan  keberadaan  orang  lain.  Setiap  individu berkewajiban  menyumbangkan  pengetahuannya  untuk  masyarakat  meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitar dengan ilmu, sesuai dengan  yang diajarkan agama  dan  pendidikan.  Indikator  terpenting  kemajuan  suatu  bangsa  adalah pendidikan dan pengajaran (Ratna, 2005: 449).
Segala sesuatu yang digunakan untuk mendidik harus yang mengandung nilai  didik,  termasuk  dalam  pemilihan  media.  Novel  sebagai  suatu  karya  sastra, yang merupakan karya seni juga memerlukan pertimbangan dan penilaian tentang seninya  (Pradopo,  2005:  30).  Pendidikan  pada  kahikatnya  merupakan  upaya membantu  peserta  didik  untuk  menyadari  nilai-nilai  yang  dimilikinya  dan berupaya  memfasilitasi  mereka  agar  terbuka  wawasan  dan  perasaannya  untuk memiliki dan meyakini nilai  yang lebih hakiki, lebih tahan lama, dan merupakan kebenaran  yang  dihormati  dan  diyakini  secara  sahih  sebagai  manusia  yang beradab (Setiadi, 2006: 114).
Adler  (dalam  Arifin,  1993:  12)  mengartikan  pendidikan  sebagai  proses dimana  seluruh  kemampuan  manusia  dipengaruhi  oleh  pembiasaan  yang  baik untuk  untuk  membantu  orang  lain  dan  dirinya  sendiri  mencapai  kebiasaan  yang baik.  Secara  etimologis,  sastra  juga  berarti  alat  untuk  mendidik  (Ratna,  2009: 447).  Masih  menurut  Ratna,  lebih  jauh  dikaitkan  dengan  pesan  dan  muatannya, hampir  secara  keseluruhan  karya  sastra  merupakan  sarana-sarana  etika.  Jadinya antara pendidikan dan karya sastra (novel) adalah dua hal yang saling berkaitan. 
Berdasarkan  dari  beberapa  pendapat  di  atas  dapat  dirumuskan  bahwa nilai pendidikan merupakan segala sesuatu yang baik maupun buruk yang berguna bagi kehidupan manusia yang diperoleh melalui proses pengubahan sikap dan tata laku  dalam  upaya  mendewasakan  diri  manusis  melalui  upaya  pengajaran.
Dihubungkan  dengan  eksistensi  dan  kehidupan  manusia,  nilai-nilai  pendidikan diarahkan  pada  pembentukan  pribadi  manusis  sebagai  makhluk  individu,  sosial, religius,  dan  berbudaya.  Nilai-nilai  pendidikan  yang  tersirat  dalam  berbagai  hal dapat  mengembangkan  masyarakat  dalam  berbagai  hal  dapat  mengembangkan masyarakat  dengan  berbagai  dimensinya  dan  nilai-nilai  tersebut  mutlak  dihayati dan  diresapi  manusia  sebab  ia  mengarah  pada  kebaikan  dalam  berpikir  dan bertindak  sehingga  dapat  memajukan  budi  pekerti  serta  pikiran/  intelegensinya.
Nilai-nilai  pendidikan  dapat  ditangkap  manusia  melalui  berbagai  hal  diantaranya melalui  pemahaman  dan  penikmatan  sebuah  karya  sastra.  Sastra  khususnya humaniora  sangat  berperan  penting  sebagai  media  dalam  pentransformasian sebuah nilai termasuk halnya nilai pendidikan.
3.  Macam-macam Nilai Pendidikan
Sastra  sebagai  hasil  kehidupan  mengandung  nilai-nilai  sosial,  filosofi, religi  dan  sebagainya.  Baik  yang  bertolak  dari  pengungkapan  kembali  maupun yang  merupakan  menciptakan  terbaru  semuanya  dirumuskan  secara  tersurat  dan tersirat.  Sastra  tidak  saja  lahir  karena  kejadian,  tetapi  juga  dari  kesadaran penciptaannya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif, dll, juga harus melayani  misi-misi  yang  dapat  dipertanggungjawabkan  serta  bertendens. Sastrawan  pada  waktu  menciptakan  karyanya  tidak  saja  didorong  oleh  hasrat untuk  menciptakan  keindahan,  tetapi  juga  berkehendak  untuk  menyampaikan pikiran-pikirannya, pendapat-pendapatnya, dan kesan-kesan perasaannya terhadap sesuatu.
Menacari  nilai  luhur  dari  karya  sastra  adalah  menentukan  kreativitas terhadap  hubungan  kehidupannya.  Dalam  karya  sastra  akan  tersimpan  nilai  atau pesan  yang  berisi  amanat  atau  nasihat.  Melalui  karyanya,  pencipta  karya  sastra berusaha untuk mempengaruhi pola piker pembaca dan ikut mengkaji tentang baik dan buruk, benar mengambil pelajaran, teladan yang patut ditiru sebaliknya, untuk dicela  bagi  yang  tidak  baik. 
Karya  sastra  diciptakan  bukan  sekedar  untuk dinikmati, akan tetapi untuk dipahami dan diambil manfaatnya. Karya sastra tidak sekedar  benda  mati  yang  tidak  berarti,  tetapi  didalamnya  termuat  suatu  ajaran berupa nilai-nilai hidup dan pesan-pesan luhur yang mampu menambah wawasan manusia  dalam  memahami  kehidupan.  Dalam  karya  sastra,  berbagai  nilai  hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal positif  yang mampu mendidik manusia, sehingga  manusia  mencapai  hidup  yang  lebih  baik  sebagai  makhluk  yang dikaruniai oleh akal, pikiran, dan perasaan.
Novel  merupakan  salah  satu  bentuk  karya  sastra  yang  banyak memberikan penjelasan secara jelas tentang sistem nilai. Nilai itu mengungkapkan perbuatan  apa  yang  dipuji  dan  dicela,  pandangan  hidup  mana  yang  dianut  dan dijauhi,  dan  hal  apa  saja  yang  dijunjung  tinggi.  Adapun  nilai-nilai  pendidikan dalam novel sebagai berikut :
a.      Nilai Pendidikan Religius
Religi  merupakan  suatu  kesadaran  yang  menggejala  secara  mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai human nature. Religi tidak hanya menyangkut segi  kehidupan  secara  lahiriah  melainkan  juga  menyangkut  keseluruhan  diri pribadi  manusia  secara  total  dalam  integrasinya  hubungan  ke  dalam  keesaan Tuhan  (Rosyadi,  1995:  90).  Nilai-nilai  religious  bertujuan  untuk  mendidik  agar manusia  lebih  baik  menurut  tuntunan  agama    dan  selalu  ingat  kepada  Tuhan.
Nilai-nilai  religius  yang  terkandung  dalam  karya  sastra  dimaksudkan  agar penikmat karya tersebut mendapatkan renungan-renungan batin dalam kehidupan yang  bersumber  pada  nilai-nilai  agama.  Nilai-nilai  religius  dalam  sastra  bersifat individual dan personal.
Kehadiran  unsur  religi  dalam  sastra  adalah  sebuah  keberadaan  sastra  itu sendiri  (Nurgiyantoro,  2005:  326).  Semi  (1993:  21)  menyatakan,  agama merupakan  kunci  sejarah,  kita  batu  memahami  jiwa  suatu  masyarakat  bila  kita memahami  agamanya.  Semi  (1993:  21)  juga  menambahkan,  kita  tidak  mengerti hasil-hasil  kebudayaanya,  kecuali  bila  kita  paham  akan  kepercayaan  atau  agama yang  mengilhaminya.  Religi  lebih  pada  hati,  nurani,  dan  pribadi  manusia  itu sendiri.  Dari  beberapa  pendapat  tersebut  dapat  disimpulkan  bahwa  Nilai  religius yang  merupakan  nilai  keohanian  tertinggi  dan  mutlak  serta  bersumber  pada kepercayaan atau keyakinan manusia.
b.      Nilai Pendidikan Moral
Moral  merupakan  sesuatu  yang  igin  disampaikan  pengarang  kepada pembaca,  merupakan  makna  yang  terkandung  dalam  karya  sastra,  makna  yang disaratkan  lewat  cerita.  Moral  dapat  dipandang  sebagai  tema  dalam  bentuk  yang sederhana, tetapi tidak semua tema merupaka moral (Kenny dalam Nurgiyantoro, 2005: 320). Moral merupakan pandangan pengarang tentang nilai-nilai kebenaran dan  pandangan  itu  yang  ingin  disampaikan  kepada  pembaca.  Hasbullah  (2005: 194)  menyatakan  bahwa,  moral  merupakan  kemampuan  seseorang  membedakan antara yang baik dan yang buruk.   
Nilai  moral  yang  terkandung  dalam  karya  sastra  bertujuan  untuk mendidik  manusia  agar  mengenal  nilai-nilai  etika  merupakan  nilai  baik  buruk suatu  perbuatan,  apa  yang  harus  dihindari,  dan  apa  yang  harus  dikerjakan, sehingga  tercipta  suatu  tatanan  hubungan  manusia  dalam  masyarakat  yang dianggap  baik,  serasi,  dan  bermanfaat  bagi  orang  itu  ,  masyarakat,  lingkungan, dan  alam  sekitar. 
Uzey  (2009:  2)  berpendapat  bahwa  nilai  moral  adalah  suatu bagian  dari  nilai,  yaitu  nilai  yang  menangani  kelakuan  baik  atau  buruk  dari manusia.moral  selalu  berhubungan  dengan  nilai,  tetapi  tidak  semua  nilai  adalah nilai  moral.  Moral  berhubungan  dengan  kelakuan  atau  tindakan  manusia.  Nilai moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari.
Dapat  disimpulkan  bahwa  nilai  pendidikan  moral  menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat dari seorang individu dari suatu kelompok  yang  meliputi  perilaku.  Untuk  karya  menjunjung  tinggi  budi  pekerti dan nilai susila.
c.       Nilai Pendidikan Sosial
Kata  “sosial”  berarti  hal-hal  yang  berkenaan  dengan  masyarakat/ kepentingan  umum.  Nilai  sosial  merupakan  hikmah  yang  dapat  diambil  dari perilaku  sosial  dan  tata  cara  hidup  sosial.  Perilaku  sosial  brupa  sikap  seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Nilai sosial yang  ada  dalam  karya  sastra  dapat  dilihat  dari  cerminan  kehidupan  masyarakat yang  diinterpretasikan  (Rosyadi,  1995:  80).  Nilai  pendidikan  sosial  akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lainnya.
Nilai sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain dalam  sebuah  masyarakat.  Bagaimana  seseorang  harus  bersikap,  bagaimana  cara mereka  menyelesaikan  masalah,  dan  menghadapi  situasi  tertentu  juga  termasuk dalam  nilai  sosial.  Dalam  masyarakat  Indonesia  yang  sangat  beraneka  ragam coraknya,  pengendalian  diri  adalah  sesuatu  yang  sangat  penting  untuk  menjaga keseimbangan masyarakat. 
Sejalan dengan tersebut nilai sosial dapat diartikan sebagai landasan bagi masyarakat  untuk  merumuskan  apa  yang  benar  dan  penting,  memiliki  ciri-ciri tersendiri, dan berperan penting untuk mendorong dan mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma yang berlaku. Uzey (2009: 7) juga berpendapat bahwa nilai sosial  mengacu  pada  pertimbangan  terhadap  suatu  tindakan  benda,  cara  untuk mengambil  keputusan  apakah  sesuatu  yang  bernilai  itu  memiliki  kebenaran, keindahan,  dan  nilai  ketuhanan.
 Jadi  nilai  sosial  dapat  disimpulkan  sebagai kumpulan  sikap  dan  perasaan  yang  diwujudkan  melalui  perilaku  yang mempengaruhi  perilaku  seseorang  yang  memiliki  nilai  tersebut.  Nilai  sosial merupakan  sikap-sikap  dan  perasaan  yang  diterima  secara  luas  oleh  masyarakat dan merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting.
d.      Nilai  Pendidikan Budaya
Nilai-nilai  budaya  menurut  Rosyadi  (1995:74)  merupakan  sesuatu  yang dianggap  baik  dan  berharga  oleh  suatu  kelompok  masyarakat  atau  suku  bangsa yang  belum  tentu  dipandang  baik  pula  oleh  kelompok  masyarakat  atau  suku bangsa  lain  sebab  nolai  budaya  membatasi  dan  memberikan  karakteristik  pada sutu masyarakat dan kebudayaannya. 
Nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup dan berakar  dalam  alam  pikiran  masyarakat,  dan  sukar  diganti  dengan  nilai  budaya lain  dalam  waktu  singkat.  Uzey  (2009:  1)  berpendapat  mengenai  pemahaman tentang  nilai  budaya  dalam  kehidupan  manusia  diperoleh  karena  manusia memaknai  ruang  dan  waktu.  Makna  itu  akan  bersifat  intersubyektif  karena ditumbuh-kembangkan  secara  individual,  namun  dihayati  secara  bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat hingga menjadi latar budaya yang terpadu bagi fenomena yang digambarkan.
 Sistem nilai budaya merupakan inti kebudayaan,  sebagai intinya ia  akan mempengaruhi dan menata elemen-elemen  yang berada pada struktur permukaan dari  kehidupan  manusia  yang  meliputi  perilaku  sebagai  kesatuan  gejala  dan benda-benda sebagai kesatuan material. Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi  yang  hidup  dalam  alam  pikiran  sebagian  besar  warga  masyarakat, mengenai  hal-hal  yang  harus  mereka  anggap  amat  bernilai  dalam  hidup.  Karena itu, suatu sisitem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.
Dapat disimpulkan dari  pendapat tersebut  sistem nilai  budaya menempatkan  pada  posisi  sentral  dan  penting  dalam  kerangka  suatu  kebudayaan yang  sifatnya  abstrak  dan  hanya  dapat  diungkapkan  atau  dinyatakan  melalui pengamatan  pada  gejala-gejala  yang  lebih  nyata  seperti  tingkah  laku  dan  benda-benda material sebagai hasil dari penuangan konsep-konsep nilai melalui tindakan berpola. Adapun nilai-nilai budaya  yang terkandung dalam novel dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.
C. Kerangka Berpikir
Dalam  novel Sang Pemimpi  segi yang akan penulis analisis, yaitu:  nilai-nilai  pendidikan  yang terdapat  di  dalamnya.  Adapun  nilai-nilai  pendidikan  yang  terdapat  dalam  novel Sang  Pemimpi  meliputi  empat  macam  nilai  pendidikan,  yaitu:  nilai  pendidikan moral,  religius,  sosial,  dan  budaya.  Semua  nilai  yang  ditemukan  tersebut semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca novel Sang Pemimpi. 


 
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Nilai Pendidikan dalam Novel Sang Pemimpi
1.  Nilai Pendidikan Religius
Nilai religius merupakan sudut pandang  yang mengikat manusia dengan Tuhan  pencipta  alam  dan  seisinya.  Berbicara  tentang  hubungan  manusia  dan Tuhan tidak terlepas dari pembahasan agama. Agama merupakan pegangan hidup bagi  manusia.  Agama  dapat  pula  bertindak  sebagai  pemacu  faktor  kreatif, kedinamisan  hidup,  dan  perangsang  atau  pemberi  makna  kehidupan.  Melalui agama,  manusia  pun  dapat  mempertahankan  keutuhan  masyarakat  agar  hidup dalam  pola  kemasyarakatan  yang  telah  tetap  sekaligus  menuntun  untuk  meraih masa depan yang lebih baik. Seperti dalam kutipan di bawah ini.
“Jimbron  adalah  seorang  yang  membuat  kami  takjub  dengan  tiga macam keheranan. Pertama, kami heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar  seorang  pendeta.  Sebetulnya  beliau  adalah  seorang  pastor karena  beliau  seorang  Katolik,  tapi  kami  memanggilnya  Pendeta Geovany.  Rupanya  setelah  sebatang  kara  seperti  Arai  ia  menjadi  anak asuh  sang  pendeta.  Namun,  pendeta  berdarah  Itali  itu  tak  sedikit  pun bermaksud  mengonversi  keyakinan  Jimbron.  Beliau  malah  tak  pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid” (SP, 61)

Di lihat dari kutipan di atas, Tokoh Jimbron dalam novel  Sang Pemimpi mencerminkan  tokoh  yang  taat  beragama  dengan  mengaji  setiap  harinya,   walaupun  dia  hidup  di  lingkungan  agama  yang  berbeda,  yaitu  agama  Katolik. Penamaan  nilai  religius  yang  tinggi  mampu  menumbuhkan  sikap  sabar,  tidak sombong  dan  tidak  angkuh  pada  sesama.  Manusia  menjadi  saling  mencintai  dan menghormati,  dengan  demikian  manusia  bisa  hidup  harmonis  dalam hubungannnya  dengan  Tuhan,  sesama  manusia  maupun  makhluk  lain.  Pendeta Geovany    dalam  kutipan  di  atas  adalah  sosok  yang  penyayang  dan  menghormati  manusia  lain  yang  beda  agama,  ternukti  bahwa  Jimbron  sebagai  anak  angkatnya justru  malah  setiap  harinya  diantar  mengaji  dan  tidak  sedikit  pun  bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid.
Kutipan  di  atas  mempunyai  kandungan  nilai  pendidikan  religius  karena secara  jelas  disampaikan  penulis  melalui  gaya  bahasa  pars  pro  toto  yang  terlihat pada  kata  “sebatang kara”  yang  berarti  tidak  punya  siapa-siapa,  hanya  hidup seorang  diri  tanpa  ada  keluarga  di  dekatnya.  Pars  pro  toto  adalah  gaya  bahasa yang melukiskan sebagian dari keseluruhan, berarti kata tersebut dalam kutipan di atas yang hidup sebatang kara yang dimaksud adalah Jimbron. 
Sebuah  karya  sastra  yang  mengangkat  sebuah  kemanusiaan  yang berdasarkan  kebenaran  akan  menggugah  hati  nurani  dan  akan  memberikan kemungkinan  pertimbangan  baru  pada  diri  penikmatnya.  Oleh  karena  itu,  cukup beralasan  apabila  sastra  dapat  berfungsi  sebagai  peneguh  batin  pembaca  dalam menjalankan keyakinan agamanya. 
Jika  setiap  manusia  akan  saling  menghormati  dalam  menjalankan agamanya,  maka  hubungan  yang  harmonis  akan  terjalin  dan  akan  menjadikan hidup  manusia  menjadi  tenteram  dan  bahagia  karena  nilai  religius  merupakan keterkaitan  antarmanusia  dengan  Tuhan  sebagai  sumber  ketentraman  dan kebahagiaan  di  dunia.  Nilai  religius  akan  menanamkan  sikap  manusia  untuk tunduk  dan  taat  kepada  Tuhan  atau  dalam  keseharian  kita  kenal  dengan  takwa. Seperti yang tergambar dalam tokoh Arai di bawah ini: 
“Setiap habis maghrib, Arai melantunkan ayat-ayat  suci  Al  Quran  di bawah  temaram  lampu  minyak  dan  saat  itu  seisi  rumah  kami terdiam.”(SP, 33)
Perilaku  Arai  dalam  kesehariannya  mencerminkan  seorang  muslim. Orang yang taat pada perintah agama, hal itu terbukti bahwa setiap habis maghrib dia  selalu  membacakan  ayat-ayat  suci  Al  Quran  dengan  kesadarannya  sendiri, tanpa diperintah siapapun.
Kutipan  di  atas  mempunyai  kandungan  nilai  pendidikan  religius  karena secara jelas disampaikan penulis melalui gaya bahasa hipalase  yaitu  gaya bahasa yang menggunakan kata tertentu untuk menerangkan sesuata, namun kata tersebut tidak  tepat  bagi  kata  yang  diterangkan.  Hal  tersebut  dapat  dilihat  pada  kalimat “seisi rumah kami terdiam”,  yang  dimaksud  dalam  kalimat  kalimat  tersebut adalah anggota keluarga Arai.
2.  Nilai Pendidikan Moral
Nilai  moral  sering  disamakan  dengan  nilai  etika,  yaitu  suatu  nilai  yang menjadi ukuran patut tidaknya manusia bergaul dalam kehidupan bermasyarakat. Moral merupakan tingkah laku atau perbuatan manusia yang dipandang dari nilai individu itu berada. Sikap disiplin tidak hanya dilakukan dalam hal beribadah saja, tetapi  dalam  segala    hal,    sikap    yang    penuh    dengan    kedisiplinan    akan menghasilkan    kebaikan.  Seperti    halnya    jika    dalam    agama,    seorang    hamba  jika  menjalankan    shalat    tepat  waktu  akan  mendapat  pahala  lebih  banyak, demikian  juga  jika  disiplin  dijalankan  pada  pekerjaan    lainnya  dan  tanpa memandang  siapa  yang  berperan  dalam  melakukan  perbuatan  disiplin  tersebut, Seperti pada kutipan berikut mengandung nilai moral yang sangat penting.
“WC  ini  sudah  hampir  setahun  diabaikan  karena  keran  air  yang mampet.  Tapi  manusia-manusia  cacing,  para  intelektual  muda  SMA Negeri  Bukan  Main  yang  tempurung  otaknya  telah  pindah  ke  dengkul, nekat menggunakannya jika panggilan alam itu tak tertahankan. Dengan hanya  berbekal  segayung  air  saat  memasuki  tempat  sakral  itu,  mereka menghinakan dirinya sendiri dihadapan agama Allah yang mengajarkan bahwa  kebersihan  adalah  sebagian  dari  iman.  Dan  kamilah  yang menanggung semua kebejatan moral mereka.”(SP, 130)
Kutipan  di  atas  sangat  tidak  pantas  dijadikan  contoh  bagi  masyarakat, khususnya  para  penerus  bangsa  (siswa).  Jelas  WC  yang  keran  airnya  mampet, malah masih digunakan. Apalagi yang menggunakannya adalah para intelek muda yang  dasar  pendidikannya  ada.  Mereka  yang  menggunakan  tidak  menghiraukan walaupun  agama  sudah  mengajarkan  kebersihan  adalah  sebagian  dari  iman. Mereka yang melakukan justru malah tidak merasa bersalah, walaupun orang lain yang  kena  dampak  dari  ulah  mereka.  Pendidikan  moral  sangat  penting  untuk mendidik manusia yang belum benar tapi merasa sudah benar.
Kutipan  di  atas  mempunyai  kandungan  nilai  pendidikan  moral  karena secara jelas disampaikan penulis melalui gaya bahasa sarkasme yaitu gaya bahasa sindiran  yang  paling  kasar  dalam  pengungkapannnya.  Hal  itu  dapat  dilihat  pada kalimat “tempurung otaknya telah pindah ke dengkul”. Arti dari kalimat tersebut adalah orang yang berbuaat seenaknya sendiri tanpa peduli aturan dan etika.
Pengembangan  nilai  moral  sangat  penting  supaya  manusia  memahami dan  menghayati  etika  ketika  berinteraksi  dan  berkomunikasi  dengan  masyarakat. Pemahaman  dan  penghayatan  nilai-nilai  etika  mampu  menempatkan  manusia sesuai  kapasitasnya,  dengan  demikian  akan  terwujud  perasaan  saling  hormat, saling  sayang,  dan  tercipta  suasana  yang  harmonis.  Hal  tersebut  terlihat  dalam kutipan berikut ini: 
“ LAIN KALI MENCALONKAN DIRINYA JADI BUPATI!! PASANG HURUF  H  BESAR  DI  DEPAN  NAMANYA,  MENGAKU  DIRINYA HAJI???!!  PADAHAL  AKU  TAHU  KELAKUANNYA!!  WAKTU  JADI MAHASISWA,  WESEL  DARI  IBUNYA  DIPAKAINYA  UNTUK  MAIN JUDI BUNTUT!!!”(SP, 168)
“ITULAH  KALAU  KAU  MAU  TAHU  TABIAT  PEMIMPIN  ZAMAN SEKARANG,  BOI!!  BARU  MENCALONKAN  DIRI  SUDAH  JADI PENIPU,  BAGAIMANA  KALAU  BAJINGAN  SEPERTI    ITU  JADI KETUA!!??”(SP, 168)
Kutipan di atas terlihat jelas mengandung nilai pendidikan moral melalui penggunakan  gaya  bahasa  antifrasis  yaitu  gaya  bahasa  sindiran  yang mempergunakan  kata-kata  yang  bermakna  kebalikannya  dan  bernada  ironis.  Hal itu  dapat  dilihat  dari  kalimat  “bagaimana kalau bajingan itu jadi ketua!!??”. Kalimat tersebut mempunyai arti menyindir seseorang yang mempunyai kelakuan tidak baik seandainya menyalonkan menjadi ketua, maka tidak bisa dibayangkan anak buahnya akan seperti apa.
 Kedua  kutipan  di  atas  mengandung  makna  tersirat  nilai  moral,  karena tercantum  jelas  bahwa  bupati  yaitu  pemimpin  sekarang  kelakuannya  sudah  tidak jujur dan menghalalkan segala cara hanya demi merebut kursi kepemimpinannya. Hal  tersebut  perlu  diubah,  supaya  moral  manusia  yang  lain  tidak  ikut  tercemar. Adapun nilai yang dimaksud dalam konteks tersebut menyangkut baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban. Moral juga dapat dikatakan sebagai ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu rangkaian cerita karena  karya  sastra  itu  menyajikan,  mendukung,  dan  menghargai  nilai-nilai kehidupan yang berlaku. 
3.  Nilai Pendidikan Sosial
Nilai  sosial  merupakan  hikmah  yang  dapat  diambil  dari  perilaku  sosial dan tata cara hidup sosial. Suatu kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu  objek,  gagasan,  atau  orang  juga  termasuk  di  dalamnya.  Karya  sastra berkaitan  erat  dengan  nilai  sosial,  karena  karya  sastra  dapat  pula  bersumber  dari kenyataan-kenyataan  yang  terjadi  di  dalam  masyarakat. 
Nilai  sosial  mencakup kebutuhan  hidup  bersama,  seperti  kasih  sayang,  kepercayaan,  pengakuan,  dan penghargaan. Nilai  sosial  yang dimaksud  adalah  kepedulian terhadap lingkungan sekitar.  Kepedulian  tersebut  dapat  berupa  perhatian  maupun  berupa  kritik.  Kritik tersebut  dilatar  belakangi  oleh  dorongan  untuk  memprotes  ketidakadilan  yang dilihat,  didengar  maupun  yang  dialaminya,  seperti  yang  terdapat  dalam  kutipan
Berikut :
“Aku ingin menyelamatkan Jimbron walaupun benci setengah mati pada Arai.  Aku  dan  Arai  menopang  Jimbron  dan  beruntung  kami  berada dalam labirin gang yang membingungkan.”(SP, 15)
Kutipan  di  atas  dapat  di  jelaskan  bahwa,  walaupun  Ikal  sangat  benci kepada  Arai  tapi  jiwa  penolongnya  kepada  Jimbron  masih  tetap  ada  dalam dirinya,  karena  dia  merasa  walau  bagaimanapun  mereka  adalah  bersaudara. Kutipan  di  atas  secara  jelas  megandung  nilai  pendidikan  sosial  melalui penggunakan  gaya  bahasa  hiperbola  yaitu  gaya  bahasa  yang  mengandung  suatu pernyataan  yang  berlebihan,  misalnya  membesar-besarkan  suatu  hal  dari  yang sesungguhnya.  Hal  itu  dapat  dilihat  dari  ungkapan  “benci setengah mati”  yang mempunyai arti sangat membenci. 

Nilai  sosial  berkenaan  dengan  kemanusiaan  dan  mengembangkan kehidupan bersama, seperti kasih sayang, penghargaan, kerja sama, perlindungan, dan  sifat-sifat  yang  ditujukan  untuk  kepentingan  kemanusiaan  lainnya  yang merupakan  kebiasaan  yang  diwariskan  secara  turun  temurun.  Seperti  yang tercermin pada kutipan di bawah ini :
“Aku membantu membawa buku-bukunya dan kami meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap daun itu dengan membiarka pintu dan jendela-jendelanya  terbuka  karena  dipastikan  tak  kan  ada  siapa-siapa  untuk mengambil apapun.”(SP, 25)
Beberapa  hari  setelah  ayahnya  meninggal  Ikal  dan  ayahnya  menjemput Arai untuk di bawa ke rumahnya. Arai dan Ikal sebenarnya adalah masih saudara. Pada  waktu  menjemput  Arai,  Ikal  membantu  Arai  untuk  membawakan  buku-bukunya yang masih perlu di bawa.
Kutipan  di  atas  dapat  didlihat  secara  jelas  mengandung  nilai  pendidikan sosial melalui penggunakan gaya bahasa alegori yaitu gaya bahasa yang bertautan satu  dengan  yang  lainnya  dalam  kesatuan  yang  utuh.  Hal  tersebut  dapat  dilihat dari kata “membawa”, “meninggalkan”, dan “membiarkan. Kata itu mempunyai pertautan dalam satu kutipan.
Nilai  sosial  juga  berupa  hikmah  yang  dapat  diambil  dari  perilaku  sosial dan tata cara hidup sosial. Nilai dalam karya sastra, nilai sosial dapat dilihat dari cerminan  kehidupan  masyarakat  yang  diinterpretasikan  sehingga  diharapkan mampu memberikan peningkatan kepekaan rasa kemanusiaan. Cerminan tersebut dapat dilihat dari kutipan di bawah ini :
“Aku tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti mekanika gerak balik  helikopter  purba  ini,  Arai  telah  memutar  balikkan logikasentimental  ini.  Ia  justru  berusaha  menghiburku  pada  saat  aku seharusnya menghiburnya. Dadaku sesak.”(SP, 28)
Kutipan  di  atas  menggunakan  gaya  bahasa  paradoks  yaitu  gaya  bahasa yang bertentangan dalam satu kalimat. Sepintas lalu hal tersebut tidak masuk akal. Hal itu dapat dilihat dari kalimat “aku tersenyum tapi tangisku tak reda”. Kalimat tersebut mempunyai arti Ikal masih bisa tersenyum ketika dia menangis .  
 Tokoh  Ikal  yang  seharusnya  menghibur  Arai  ketika  ia  mendapat musibah  ternyata  malah  berputar  terbalik.  Justru  Arai  yang  berusaha  menghibur Ikal  supaya  dia  tersenyum,  itulah  sosok  Arai  yang  tidak  mudah  ditebak.  Sikap Arai yang peduli terhadap orang lain juga dapat dilihat dari kutipan di bawah ini.
“Arai menyerahkan karung-karung kami pada Mak Cik. Beliau terkaget-kaget.  Lalu  aku  tertegun  mendengar  rencana  Arai,  dengan  bahan  itu dimintanya  Mak  Cik  membuat  kue  dan  kami  yang  akan  menjualnya. Mulai  sekarang  Mak  Cik  mempunyai  penghasilan!  Seru  Arai bersemangat.”(SP, 51)
Kutipan  di  atas  menggunakan  gaya  bahasa  hiperbola  yaitu  gaya  bahasa yang mengandung suatu pernyataan berlebihan. Hal itu dapat dilihat pada kalimat “beliau  terkaget-kaget”  dan  kalimat  tersebut  mempunyai  arti  yaitu  sangat terkejut.
Arai  tidak  tega  melihat  Mak  Cik  yang  hidup  kesusahan.  Dia  juga menyuruh  Arai  untuk  memecah  celengannya  untuk  menolong  Mak  Cik.  Cara mereka dengan membelikan bahan-bahan untuk membuat kue supaya beliau bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Sifat membalas budi atas kebaikan orang lain pada nilai sosial sangatlah penting.  Sifat  tersebut  juga  bertujuan  untuk  membangun  sikap  saling  peduli  dan saling peka antar sesama. Sifat tersebut tersirat dalam kutipan di bawah ini :
“Aku ingin membahagiakan Arai. Aku ingin berbuat sesuatu seperti yang ia  lakukan  pada  Jimbron.  Seperti  yang  selalu  ia  lakukan  padaku.  Aku sering  melihat  sepatuku  yang  menganga  seperti  buaya  berjemur  tahu-tahu  sudah  rekat  kembali,  Arai  diam-diam  memakunya.  Aku  juga  selalu heran  melihat  kancing  bajuku  yang  lepas  tiba-tiba  lengkap  kembali, tanpa  banyak  cincong  Arai  menjahitnya.  Jika  terbangun  malam-malam, aku  sering  mendapatiku  telah  berselimut,  Arai  menyelimutiku.  Belum terhitung kebaikannya waktu ia membelaku dalam perkara rambut belah tengah toni Koeswoyo saat aku masih SD dulu. Bertahun lewat taoi aku tak  kan  lupa  Rai,  akan  kubalas  kebaikanmu    yang  tak  terucapkan  itu, jasamu  yang  tak  kenal  pamrih  itu,  ketulusanmu  yang  tak  kasatmata itu.”(SP, 186)
Kutipan  di  atas  menggunakan  gaya  bahasa  perumpamaan  yaitu perbandingan  dua  hal  yang  pada  hakikatnya  berbeda,  tetapi  sengaja  dianggap sama. Hal itu dapat dilihat dari kalimat  “sepatuku yang menganga seperti buaya berjemur” yaitu sepatu yang lemnya sudah tidak bisa merekat lagi disakan dengan buaya yang berjemur, yaitu mulutnya terbuka.
Tanggung  jawab  terhadap  kebahagiaan  orang  lain  juga  menjadi  jaminan untuk  menjalankan  sikap  kemanusiaan,  supaya  kebahagiaan  orang  lain  terasa lengkap dengan sikap kita terhadapnya.
“Bang Zitun sangat komit pada penampilan Arai kali ini sebab ia merasa bertanggung jawab pada kegagalan Arai yang pertama.” (SP, 210)
Kutipan  di  atas  adalah  wujud  sikap  tanggung  jawab  Bang  Zaitun  untuk memksimalkan  penampilan  Arai  dalam  memikat  hati  Nirmala  sang  pujaan hatinya,  karena  penampilan  Arai  yang  pertama  kurang  maksimal  sehingga  untuk memikat hati Nirmala bisa dikatakan gagal. 
4.  Nilai Pendidikan Budaya
Nilai pendidikan budaya adalah tingkat yang palig tinggi dan yang paling abstrak  dari  adat  istiadat.  Hali  itu  disebabkan  karena  nilai-nilai  budaya  itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga  dan  penting  dalam  hidup,  sehingga  dapat  berfungsi  sebagai  suatu pedoman  yang  member  arah  dan  orientasi  kepada  kehidupan  para  warga masyarakatnya. 
Walaupun  nilai-nilai  budaya  berfungsi  sebagai  pedoman  hidup  manusia dalam  masyarakat,  tetapi  sebagai  konsep,  suatu  nilai  budaya  itu  bersifat  sangat umum mempunyai ruang ligkup  yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara  rasional  dan  nyata.  Namun,  justru  karena  sifatnya  yang  umum,  luas,  dan tidak konkret itu, maka  nilai-nilai budaya dalam  suatu kebudayaan berada dalam daerah  emosional  dari  alam  jiwa  para  individu  yang  menjadi  warga  dari kebudayaan  bersangkutan.  Kebiasaan  dalam  daerah  tertentu  juga  memengaruhi tata cara dalam kehidupan sehari-hari, terlihat seperti kutipan di bawah ini:
“Dan seperti kebanyakan anak-anak  Melayu  miskin  di  kampung  kami yang rata-rata beranjak remaja mulai bekerja mencari uang,…”(SP, 32)
Masyarakat  melayu  ketika  mulai  beranjak  dewasa  kebanyakan  mereka sudah  berusaha  bekerja  mencari  uang  untuk  membantu  keluarganya  dalam mencukupi  kebutuhan  hidup.  Maka  tidak  heran,  banyak  remaja  yang  memilih tidak  melanjutkan  sekolah,  melainkan  memilih  untuk  bekerja. 
Kutipan  di  atas secara  jelas  mengandung  nilai  pendidikan  budaya  melalui  penggunakan  gaya bahasa paradoks  yaitu gaya bahasa yang bertentangan dalam satu kalimat. Hal itu dapat  dilihat  dari  kata  “anak-anak”  dan  “remaja”  terdapat  pada  satu  kalimat dengan arti yang berlawanan.
Unsur-unsur  dan  nilai  kebudayaan  juga  dapat  dilestarikan  dengan menggunakan  benda atau barang kebudayaan daerah setempat. Hal tersebut juga diterapkan oleh masyarakat Melayu, yaitu dapat dilihat dari kutipan berikut ini.
“Padi dalam peregasan sebenarnya sudah tak bisa lagi dimakan karena sudah  disimpan  puluhan  tahun.  Saat  ini  peregasan  tak  lebih  dari  surga dunia  bagi  bermacam-macam  kutu  dan  keluarga  tikus  berbulu  kelabu yang turun- temurun beranak pinak disitu.” (SP, 36)
Kutipan di atas terdapat kata “peregasan” yang artinya adalah peti papan besar tempat menyimpan padi. Sebagian besar orang Melayu di setiap  rumahnya pasti  terdapat  peregasan  yang  berfungsi  untuk  menyimpan  beras.  Bagi  orang Melayu  juga  menganggap  peregasan  adalah  sebuah  metafora,  budaya,  dan perlambang  yang  mewakili  periode  gelap  selama  tiga  setengah  tahun  Jepang menindas mereka. Ajaibnya sang waktu, masa lalu yang menyakitkan lambat laun bisa menjelma menjadi nostalgia romantik. 
Kutipan  di  atas  secara  jelas  mempunyai  kandungan  nilai  pendidikan budaya melalui penggunakan gaya bahasa hiperbola. Hal itu terlihat pada kalimat “keluarga tikus berbulu kelabu yang turun-temurun beranak pinak di situ”. Kalimat  tersebut  mempunyai  arti  bahwa  hewan  tikus  yang  berkembang  biak sangat banyak.
B. Implikasi Hasil Analisis Nilai Pendidikan Terhadap Pembelajaran Sastra.
Penelitian ini memiliki implikasi terhadap aspek lain yang relevan dengan pembelajaran sastra. Implikasi tersebut dijelaskan sebagai berikut :

1.  Implikasi teoritis
a. Membuka wawasan yang berkaitan dengan pendalaman materi keterampilan bersastra, khususnya karya sastra novel.
b.  Membuka  wawasan  akan  beragamnya  novel  yang  dapat  digunakan  sebagai media pembelajaran.
c. Membuka  peluang  dilakukannya  penelitian-penelitian  tentang  gaya  bahasa serta nilai pendidikan.
2.  Implikasi paedagogis
Menambah referensi novel yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada jenjang SMA kelas XI dengan standar kompetensi kemampuan memahami berbagai hikayat, novel Indonesia, novel terjemahan. Novel Sang Pemimpi dapat digunakan sebagai media pembelajaran novel yang isinya tidak terlalu serius dan mudah dipahami, namun banyak mengandung nilai-nilai pendidikan.
3.  Implikasi praktis
a.  Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan penelitian sastra,  sehingga  peneliti  lain  akan  termotivasi  untuk  melakukan  penelitian yang nantinya dapat diaplikasikan dalam pembelajaran di sekolah.
b.  Penelitian  ini  dapat  dijadikan  sebagai  bahan  pertimbangan  untuk  lebih mencermati media pembelajaran yang tepat bagi siswa.


BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A.  Simpulan
Berdasarkan  kajian  teori,  hasil  analisis  dan  pembahasan  yang  telah dilakukan dapat ditarik simpulan bahwa nilai-nilai  pendidikan  yang  terdapat  dalam  novel  Sang  Pemimpiterdiri  dari  empat  nilai.  Nilai-nilai  pendidikan  tersebut  yaitu: 
(a) Nilai  pendidikan  religius  merupakan  sudut  pandang  yang  mengikat  manusia dengan  Tuhan  pencipta  alam  dan  seisinya,  dalam  novel  Sang  Pemimpi memanfaatkan  gaya  bahasa  pars  pro  toto  dan  hipalase. 
(b) Nilai  pendidikan moral  yaitu  suatu  nilai  yang  menjadi  ukuran  patut  tidaknya  manusia  bergaul dalam  kehidupan  bermasyarakat,  dalam  novel  Sang  Pemimpi  nilai  tersebut dapat  tersirat  melalui  pemanfaatan  gaya  bahasa  sarkasme  dan  antifrasis.
 (c) Nilai  pendidikan  sosial  yaitu  suatu  kesadaran  dan  emosi  yang  relatif  lestari terhadap  suatu  objek,  gagasan,  atau  orang,  dalam  novel  Sang  Pemimpi  nilai tersebut  dapat  tersirat  karena  ada  pemanfaatan  dari  gaya  bahasa  hiperbola, alegori, paradoks, dan perumpamaan.
 (d) Nilai pendidikan budaya tingkat yang palig  tinggi  dan  yang  paling  abstrak  dari  adat  istiadat,  dalam  novel  Sang Pemimpi  nilai  tersebut  dapat  tersirat  karena  memanfaatkan  gaya  bahasa paradoks dan hiperbola.  


B.  Saran
Beberapa  saran  berikut  dapat  menjadi  bahan  masukan  yang  bermanfaat bagi pihak-pihak terkait antara lain.
1.  Saran kepada siswa
Siswa  hendaknya  dalam  membaca  novel  memperhatikan  nilai-nilai positif  antara  lain  tentang  semangat,  tekad,  perilaku  pantang  menyerah  untuk selalu memperjuangkan cita-cita dan jangan mencontoh apabila novel tersebut mempunyai  nilai  yang  negatif.  Nilai-nilai  positif  tersebut  dapat  menjadi  dasar bagi  siswa  untuk  menerapkannya  dalam  berperilaku  di  kehidupan  di masyarakat.
2.  Saran kepada guru bahasa dan sastra Indonesia
Guru  hendaknya  dapat  memaksimalkan  penggunaan  bahan pembelajaran  sastra,  dalam  hal  ini  adalah  novel.  Novel  Sang  Pemimpi  ini  di dalamnya  memenuhi  empat  macam  manfaat  pembelajaran  sastra,  yaitu: membantu  keterampilan  berbahasa,  meningkatkan  pengetahuan  budaya, mengembangkan  cipta  dan  rasa,  dan  menunjang  pembentukan  watak.  Lebih lanjut guru dapat memilih novel lain yang sekiranya terdapat beberapa cakupan yang bisa memberikan manfaat positif bagi siswa, sehingga siswa tidak hanya memperoleh hiburan saja tetapi juga mendapatkan ilmu kehidupan.
3.  Saran kepada pembaca karya sastra
Pembaca  karya  sastra  sebaiknya  mengambil  nilai-nilai  positif  dalam karya sastra yang telah dibacanya dalam kehidupan di masyarakat. Novel Sang Pemimpi adalah novel yang bagus dan berkualitas, sehingga tidak ada salahnya jika membaca novel tersebut.

4.  Saran kepada peneliti lain
Pada  karya  ilmiah  ini,  peneliti  mempunyai  kelemahan  yaitu  dalam penelitian  agak  sulit  membedakan  antara  gaya  bahasa  yang  satu  dengan  yang lain.  Oleh  karena  itu,  Peneliti  lain  sebaiknya  terus  meningkatkan  penelitian dalam  bidang  sastra  khususnya  novel  Sang  Pemimpi  karya  Andrea  Hirata secara  lebih  mendalam  dengan  bentuk  analisis  yang  berbeda  karena  novel tersebut termasuk novel yang bagus dan berkualitas. 

DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin.  2009.  Pengantar  Apresiasi  Karya  Sastra.  Bandung:  Sinar  Baru Argesindo. 
Atminingsih, Ririh Yuli. 2008. “Analisis gaya Bahasa dan Nilai Pendidikan Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata”. Skripsi.  Surakarta:  Progaram Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNS (tidak diterbitkan).
Darmono, Sapardi Djoko. 2003. “Kita dan Sastra Dunia”. Dalam www.mizan.com. diakses pada tanggal 26 November 2009.
Endaswara,  Suwardi.  2003.  Metodologi  Penelitian  Sastra.  Yogyakarta:  Pustaka Widyatama.
Hirata, Andrea. 2006. Sang Pemimpi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nurdin,  Ade  dkk.  2002.  Intisari  Bahasa  dan  Sastra  Indonesia  untuk  Kelas  1,2,3 SMU. Bandung: CV Pustaka setia.
Nurgiyantoro,  Burhan.  2005.  Teori  Pengkajian  Fiksi.  Yogyakarta:  Gajah  Mada University Press.
Pradopo,  Rachmad  Djoko.  2005.  Beberapa  Teori  Sastra,  Metode,  Kritik,  dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suwondo,  Tirto.  2001.  Metodologi  Penelitian  Sastra.  Yogyakarta:  PT  Hanindita Graha Widya.
Suyitno. 1986. Sastra, Tata Nilai, dan Eksegesis. Yogyakarta: Anindita.
Uzey.  2009.  “Macam-macam  Nilai”.  Dalam  http://uzey.blogspot.com/2009/09/ pengertian-nilai. 

LAMPIRAN 1
SINOPSIS NOVEL SANG PEMIMPI
Novel  ini  adalah  novel  kedua  dari  tetraloginya  Andrea  Hirata  yang diterbitkan  oleh  Bentang  Pustaka  pada  bulan  Juli  tahun  2006.  Dalam  novel  ini Andrea  menarikan  imajinasi  dan  melantunkan  stambul  mimpi  anak-anak  Melayu kampung . Sang Pemimpi adalah sebuah kisah kehidupan yang mempesona  yang akan  membuat  pembacanya  percaya  akan  tenaga  cinta,  percaya  pada  kekuatan mimpi  dan  pengorbanan,  lebih  dari  itu,  juga  percaya  kepada  Tuhan.
 Andrea berkelana  menerobos  sudut-sudut  pemikiran  dimana  pembaca  akan  menemukan pandangan  yang  berbeda  tentang  nasib,  tantangan  intelektualitas,  dan kegembiraan  yang  meluap-luap,  sekaligus  kesedihan  yang  mengharu  biru. selayaknya  kenakalan  remaja  biasa,  tapi  kemudian  tanpa  disadari  kisah  dan karakter-karakter dalam buku ini lambat laun menguasai, potret-potret kecil yang menawan  akan  menghentakkan  pembaca  pada  rasa  humor  yang  halus  namun memiliki  efek  filosofis  yang  meresonansi.  Arti  perjuangan  hidup  dalam kemiskinan yang membelit dan cita-cita yang gagah berani dalam kisah beberapa tokoh utama buku ini,
Tiga  orang  pemimpi.  Setelah  tamat  SMP,  melanjutkan  ke  SMA  bukan main,  di  sinilah  perjuangan  dan  mimpi  ketiga  pemberani  ini  dimulai.  Ikal,  salah satu  dari  anggota  Laskar  Pelangi,  Arai,  saudara  sepupu  Arai  yang  sudah  yatim piatu sejak SD dan tinggal di ruamh Ikal, sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Ayah danIbu  Ikal, dan Jimbron, anak angkat seorang pendeta karena  yatim piatu juga  sejak  kecil.  Namun  pendeta  yang  sangat  baik  dan  tidak  memaksakan keyakinan Jimbron, malah mengantarkan Jimbron menjadi muslim yang taat.
Arai  dan  Ikal  begitu  pintar  dalam  sekolahnya,  sedangkan  Jimbron,  si  penggemar kuda  ini  biasa-biasa  saja.  Malah  menduduki  rangking  78  dari  160  siswa. Sedangkan Ikal dan Arai selalu menjadi lima dan tiga besar. Mimpi mereka sangat tinggi,  karena  bagi  Arai,  orang  susah  seperti  mereka  tidak  akan  berguna  tanpa mimpi-mimpi.  Mereka  berdua  mempunyai  mimpi  yang  tinggi  yaitu  melanjutkan belajar  ke  Sarbonne  Perancis.  Mereka  terpukau  dengan  cerita  Pak  Belia,  guru seninya,  yang selalu meyebut-nyebut indahnya kota itu.
Kerja keras menjadi kulingambat mulai pukul dua pagi sampai jam tujuh dan dilanjutkan dengan sekolah, itulah  perjuangan  ketiga  pemuda  itu.  Mati-matian  menabung  demi  mewujudkan impiannya.  Meskipun  kalau  dilogika,  tabungan  mereka  tidak  akan  cukup  untuk sampi ke sana. Tapi jiwa optimisme Arai tak terbantahkan.
Selesai  SMA,  Arai  dan  Ikal  merantau  ke  Jawa,  Bogor  tepatnya. Sedangkan Jimbron lebih memilih untuk menjadi pekerja ternak kuda di Belitong. Jimbron menghadiahkan kedua celengan kudanya yang berisi tabungannya selama ini kepada Ikal dan Arai. Dia yakin kalau Arai dan Ikal sampai di Perancis, maka jiwa Jimbron pun akan selalu bersama mereka. Berbula-bulan terkatung-katung di Bogor, mencari pekerjaan untuk bertahan hidup susahnya minta ampun. Akhirnya setelah banyak pekerjaan tidak bersahabat ditempuh, Ikal diterima menjadi tukang sortir (tukang Pos), dan Arai memutuskan untuk merantau ke Kalimantan. Tahun berikutnya, Ikal memutuskan untuk kuliah di Ekonomi UI. Dan setelah lulus, ada lowongan untuk mendapatkan biasiswa S2 ke Eropa. Beribu-ribu pesaing berhasil ia singkirkan dan akhrinya sampailah pada pertandingan untuk memperebutkan 15 besar.
Saat  wawancara  tiba,  tidak  disangka,  profesor  pengujinya  begitu terpukau  dengan  proposal  riset  yang  diajukan  Ikal,  meskipun  hanya  berlatar belakang  sarjana  Ekonomi  yang  masih  bekerja  sebagai  tukang  sortir,  tulisannya begitu hebat. Akhirnya setelah wawancara selesai, siapa yang menyangka, kejutan yang luar biasa. Arai pun ikut dalam wawancara itu. Bertahun-tahun tanpa kabar berita,  akhirnya  mereka  berdua  dipertemukan  dalam  suatu  forum  yang  begitu indah  dan  terhormat.  Begitulah  Arai,  selalu  penuh  dengan  kejutan.  Semua  ini sudah  direncanaknnya  bertahun-thaun.  Ternyata  dia  kuliah  di  Universitas Mulawarman dan mengambil jurusan Biologi. Tidak kalah dengan  Ikal, proposal risetnya juga begitu luar biasa dan berbakat untuk menghasilkan teori baru.
Akhirnya  sampai  juga  mereka  pulang  kampung  ke  Belitong.  Ketika  ada  surat datang,  mereka  berdebar-debar  membuka  isinya.  Pengumuman  penerima Beasiswa ke Eropa. Arai begitu sedih karena dia sangat merindukan kedua orang tuanya. Sangat ingin membuka kabar tu bersama orang  yang sanag dia rindukan. Kegelisahan  dimulai.  Tidak  kuasa  mengetahui  isi  dari  surat  itu.  Akhirnya  Ikal diterima  di  Perguruan  tinggi,  Sarbone  Pernacis.  Setelah  perlahan  mencocokkan dengan  surat  Arai,  inilah  jawaban  dari  mimpi-mimpi  mereka.  Kedua  sang pemimpi  ini  diterima  di  Universitas  yang  sama.  Tapi  ini  bukan  akhir  dari segalanya.  Disinilah  perjuangan  dari  mimpi  itu  dimulai,  dan  siap  melahirkan anak-anak mimpi berikutnya.









Jalan Sunyi Si Pendidik

sumber :digaleri.com Baim Lc*  Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal ya...