Minggu, 06 November 2016

Gengsi Dari Sebuah Profesi


Tanah itu kini dipenuhi semak, dengan rumput setinggi lutut orang dewasa tanpa ada tanaman pertanian yang biasa menghiasinya. Sawah warisan yang dulunya digarap oleh pria yang yang terbungkuk-bungkuk berangkat dari rumah walau hanya sekedar melihat-lihat tanamannya yg menyejukkan mata dan hatinya. dengan jerih payah dia pertahankan tanah tersebut untuk tetap menjadi persawahan walaupun lahan lain di sekelilingnya sudah tertancap beton untuk bangunan. Beberapa tetangganya pemilik lahan sekitarnya telah lebih dulu menyerah, tergiur tawaran para kapitalis yang membangun kerajaan mereka, dengan iming-iming pemilik lahan yang dibeli akan dipekerjakan juga di sana. Lahan yang dulunya produktif kini berubah menjadi lahan beton yang siap berdiri bangunan-bangunan megah.
Kondisi maraknya pemilik lahan menjual lahan mereka ke pemilik modal untuk pembangunan pertokoan serasa diaminkan juga oleh generasi pewaris lahan dari orang tua mereka. Ketika mereka diminta untuk menggarap sawah sebagai sampingan walaupun sekedar menanam sayuran untuk kebutuhan dapur sehari-hari, keengganan, gengsi, menyebabkan mereka lebih memilih bekerja sebagai orang kantoran, ataupun sales yang berbaju rapi dan memakai sepatu. Pergeseran persepsi tentang petani sebagai lambang kaum proletar dan kampungan  terus mengakar dan menjadikan generasi yang seharusnya produktif dan mampu dengan baik mengolah lahan pertanian malah lebih bangga dengan bekerja yang membutuhkan penampilan rapi dan parlente.
Seperti halnya salah seorang kawan lulusan pendidikan keguruan yang mengabdi sebagai guru honorer di sekolah swasta dengan gaji sekitar 150 ribu dibayar per-tiga bulan, lebih membanggakan profesinya tersebut dan membiarkan sawah warisannya tak produktif atau diminta orang lain untuk menggarapnya. Padahal orang tuanya dahulu di samping sebagai pegawai negeri sipil entah mengajar atau di kantor-an, namun sawah tetap tak terlepas dari kehidupan mereka sehari-hari. Ada juga kawan yang bekerja sebagai sales, entah sales sepeda motor atau sales barang-barang elektronik, yang selalu dikejar target penjualan karena itu sebagai sumber penggajian. Padahal jika mereka mau mengerjakan sawah warisan dari orang tua, bisa saja penghasilannya lebih baik dan jelas lebih halal dan bermanfaat karena diolah dengan tangan mereka sendiri.
Sepertinya sebuah profesi saat ini lebih dimaknai sebagai sebuah gengsi dari pada penghasilan. Sehingga memunculkan jargon negatif sebagai bahan olokan diantara beberapa kawan, bahwa gelar kesarjanaan untuk mengabdi di sekolah atau bekerja di perkantoran hanyalah sebagai tameng rutinitas agar ada tujuan untuk pergi berpenampilan rapi dan memakai celana panjang tiap harinya. Karena persaingan antara para sarjana benar-benar ketat, sebab yang dilahirkan kampus memang benar-benar sekedar sarjana, profesionalitas bidang keilmuan yang telah didalami menjadi urutan ke sekian dalam skala prioritas ketika mereka kembali ke masyarakat.
Nilai gengsi dari sebuah profesi sepertinya memang sudah mengakar sejak dulu di masyarakat kita. Sebab pengkotakan masyarakat berdasarkan profesi berdampak juga dengan sikap masyarakat terhadap yang lainnya. Semisal profesi guru di mata masyarakat tetap bernilai tinggi, apalagi guru agama/Ustadz, Kyai, Tuan Guru (Sebutan untuk tokoh agama di Suku Sasak, Lombok). Begitu juga seorang pegawai di Kepemerintahan, baik tingkatan Desa, Kabupaten atau Propinsi, mereka mempunyai posisi keta'zhiman di masyarakat lebih tinggi dibandingkan seorang yang berprofesi Petani, Tukang ojek, Kusir becak, peternak ataupun profesi-profesi lainnya yang berorientasi usaha.
Tentang gengsi dan harga diri dari sebuah profesi, seorang kawan (Agus Salam) pernah menceritakan bahwa dahulu semasa kesultanan Sumbawa (dengan gelar kesultanan, Sultan Kaharuddin) di Sumbawa Besar, NTB, bahwa kakeknya dahulu pernah berprofesi sebagai penarik upeti/pajak dari rakyat untuk kerajaan/kesultanan Sumbawa. Profesi ini sangat tinggi gengsinya dan disegani oleh masyarakat, sebab bisa dikatakan seorang penarik upeti merupakan kaki-tangan raja yang sudah mumpuni dan tidak sembarangan orang bisa mendapat posisi tersebut.
Sang kakek dengan profesi seperti ini merasa berbangga hati dan merasa tinggi harga dirinya sebagai orang kepercayaan raja dalam tugasnya. Walaupun sebagai penarik upeti untuk raja, namun kehidupan rumah tangga sang kakek tak ada kemajuan untuk keluarganya. Dia lebih sering berada di luar, dan hanya sewaktu-waktu kembali ke rumah. Konon istrinya pun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bekerja sebagai penjaga rumah warga lainnya yang sedang pergi bermusafir dalam jangka panjang, salah satunya perjalanan haji.
Suatu ketika sang istri (Nenek dari kawan tersebut) yang sudah sering mendapat kepercayaan sebagai penjaga rumah, tentu saja bukan sekedar menjaga rumah, tetapi membersihkan dan merawat apa saja yang ada di rumah tersebut sebagai sebuah tanggung jawab. Ia mendapatkan tugas lagi untuk menjaga sebuah rumah saudagar sapi yang akan berangkat berhaji. Tanggung jawab penuh diberikan kepadanya atas rumah tersebut, walaupun beliau tidak pernah membuat kesepakatan di awal untuk upah yang akan didapat. Beliau hanya menerima apa yang diberikan sang pemilik rumah sekembalinya dari perjalanan, dan tidak pernah mengeluh atau protes jika kadang dia mendapatkan kurang dari seperti yang didapatkan sebelumnya ketika menjaga rumah lainnya. Rasa syukur dan tanggung jawab inilah yang membuatnya bertahan untuk mendapat kepercayaan masyarakat sebagai seorang penjaga rumah.
Sekembalinya saudagar sapi dari berhaji, beberapa hadiah berupa sajadah, Tasbih dan mukenah diberikan pula kepada sang nenek. Namun sekira 3 hari kemudian dia nampak murka, sebab dia kehilangan beberapa Dukat (mata uang dari emas) di rumahnya setelah diperiksa di penyimpanannya. Akhirnya karena si nenek yang menjaga rumah, tuduhan pertama mengarah kepadanya. Berapa kalipun dia bersumpah bahwa tidak pernah mengambil apa pun dari rumah tersebut. Namun karena hanya dia yang menjaga dan menetap di sana selama saudagar pergi, tidak ada lain yang dicurigai dan patut dituduh.
Sang nenek pun dibawa oleh petugas dari kerajaan untuk dihakimi. Disaksikan oleh sang suami tanpa pembelaan, sang istri akhirnya dimasukkan ke penjara. Sang suami sebagai kaki-tangan raja masih konsisten dengan pendiriannya untuk mempertahankan profesinya sebagai penarik upeti, lalu berdalih ketika istrinya masuk penjara bahwa dia yang melakukan, dia pula yang menanggung akibatnya.
Sekitar satu setengah tahun kemudian ada kejadian aneh yang terjadi, saudara dari saudagar sapi yang pernah dijaga rumahnya oleh sang nenek tiba-tiba mengalami sakit dengan perut membesar tanpa diketahui penyebabnya. Beberapa dukun/tabib yang mencoba mengobati mengatakan sakitnya bukan hanya di fisik tetapi juga jiwa dan bathinnya yang terbelenggu karena beban pikiran atas suatu hal buruk yang pernah dia lakukan. Dukun yang cukup dipercaya di Masyarakat adat kampung tersebut menyarankan agar si sakit mengungkapkan sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya, supaya dia lebih tenang dalam keseharian ke depannya.
Pada akhirnya saudara dari saudagar sapi tersebut mengakui bahwa sesuatu hal buruk yang pernah dilakukan, namun orang lain yang menanggung akibatnya. Bukan hanya satu orang yang terkena dampak dari perbuatan buruknya, namun hampir satu keluarga yang ikut terlantar. Dialah yang telah mengambil dukat saudaranya ketika suatu kali berkunjung ke rumahnya semasa saudaranya masih bepergian. Selang satu hari setelah pengakuan tersebut, saudara dari saudagar sapi itu pun meninggal dengan kondisi perut makin membesar. Pengakuan dari almarhum diberitahukanlah kepada pihak kesultanan, dan sang nenek pun dibebaskan, namun sayangnya kondisinya sangat memprihatinkan, dia dibebaskan dalam keadaan gila sebab tekanan bathin yang dialami.
Anak-anaknya yang terlantar semasa ibu mereka dipenjara hampir tidak pernah mendapatkan perhatian dari ayah mereka yang hanya sibuk dengan profesi bergengsinya untuk menarik upeti. Sang nenek walau dalam keadaan tidak waras dibawa kembali ke rumah. Sementara anaknya yang masih kecil (bapak dari kawan yang menceritakan kejadian ini) mencoba merawat ibunya dengan bantuan tetangga-tetangganya. Sebab ketidak warasannya sang nenek merasa tidak betah di rumah, layaknya orang gila dia pun mulai berkeliling kampung dengan kondisi lusuh dan sering tertawa sendiri, kadang menangis atau berkata-kata tidak jelas. Keprihatinan dari tetangga-tetangganya tak mampu mengembalikan ingatannya, walau beberapa kali mereka mendekatinya dan menanyakan hal-hal yang pernah mereka alami bersama.
Pada saat sang suami sedang menarik upeti di suatu kampung, dilihatlah istrinya yang sedang ditonton oleh anak-anak kecil. Kebiasaan orang-orang kampung ketika ada orang gila dianggap sebagai kejadian langka dan dijadikan tontonan. Sebab malu melihat istrinya dalam kondisi seperti itu, sang suami pun merasa malu dan membawa istrinya kembali ke rumah. Dalam keadaan kaki terpasung sang istri ditempatkan di sebuah bilik yang biasanya tempat penyimpanan kayu bakar dan hasil panen. Anaknya yang masih kecil rutin menjenguknya ke bilik tersebut sementara sang suami kembali menghilang. Dan akhirnya nenek tersebut meninggal dalam keadaan terpasung disaksikan oleh anaknya yang masih kecil.
Dari kejadian yang pernah dialami si anak, pada dewasanya dia sangat marah ketika ada anak-anak entah itu anak tetangganya yang tidak mau patuh pada ibunya atau sering melawan ibunya. Hanya karena sang suami mempertahankan harga diri pada sebuah profesi, keluarga sang nenek berakhir carut-marut. Sementara itu sang kakek sampai akhir hayatnya tidak diketahui rimbanya oleh sang anak.
Di samping mempertahankan profesi karena sebuah harga diri, ada juga yang mempertahankan profesi karena ingin berubah menjadi lebih baik meskipun penghasilannya bisa dikatakan lebih sedikit dari pada pekerjaan yang sebelumnya digeluti. Kembali lagi ke konsep kawan yang menceritakan kejadian tersebut, dia yang dulunya akuntan di beberapa perusahaan, sekarang lebih memilih untuk menjadi dosen akuntansi meskipun itu di kampus swasta namun jelas profesi yang diemban-nya, dan merasa bernilai di mata masyarakat.
Sebab niatnya untuk berubah dari kehidupan hedonisnya ketika menjadi akuntan dan sekarang menjadi dosen, inilah jalan yang membukakannya meraih beasiswa untuk melanjutkan studi. Dengan konsep benar, baik dan bermanfaat, itulah yang menjadi patokan utama ketika bertindak. Kesiapan untuk melakukan hal yang baik, benar dan bermanfaat untuk masyarakat sepertinya sebuah keharusan yang mesti ada pada setiap kita, terlebih untuk bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalan Sunyi Si Pendidik

sumber :digaleri.com Baim Lc*  Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal ya...