Minggu, 25 Februari 2018

Jalan Sunyi Si Pendidik

sumber :digaleri.com

Baim Lc* 

Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal yang tertulis pada amplop mengingatkannya pada periuk, ataupun ember tempat menyimpan beras yang ada di rumah. Keningya berkerut, honornya bulan itu memunculkan dilema dalam batinnya, peruntukkannya ke mana. Ah nominal yang tak seberapa sebenarnya, sekarung beras 50 kg pun tak cukup. Apalagi berniat untuk membeli beberapa potong daging  ayam untuk dimasak sendirian atau kadang anak-anak kampung yang biasa berkumpul di sore hari membantu menghabiskannya. Ataukah dia belikan buku-buku untuk tambahan koleksi yang nantinya dibaca juga oleh anak-anak kampungnya, ataupun dia sedekahkan sebagiannya untuk membantu melunasi biaya pendidikan anak salah seorang tetangganya yang mendekati batas tenggat pembayaran.
Samar-samar ingatannya menerawang ketika dia bisa sampai menjadi bagian dari staf pengajar pada institusi tersebut. Awalnya kegiatannya setiap sore mengumpulkan anak-anak kampungnya dari berbagai jenjang pendidikan, lalu bersama-sama duduk melingkar di teras rumah yang dia tempati sendiri, warisan dari orang tuanya. Salah satu dari anak-anak tersebut akan berebut untuk memulai membuka suara, menceritakan apa yang telah mereka baca dari buku-buku pinjaman darinya, yang dia koleksi semasa kuliah.
Setiap sore seperti biasa selepas shalat ashar dari surau kecil di sekitar rumahnya, anak-anak pun sudah mulai berkumpul di halaman rumahnya. Dia pun disalami satu per satu oleh anak-anak tadi sembari diarahkan menuju teras rumah dan meminta beberapa orang dari mereka untuk menyapu teras tersebut. Setelah berganti pakaian, dia pun keluar membawa dua kardus besar berisi buku-buku dengan cetakan kertas buram, sementara anak-anak yang lain mulai juga mengeluarkan buku yang mereka bawa, ada yang mengeluarkan dari tas, kantong plastik, ataupun tas rajutan dari tikar pandan, bahkan yang menyelipkannya di belakang punggungnya.
Buku-buku yang dibawa anak-anak itu pun pinjaman darinya. Mereka diminta menyelesaikan untuk membaca buku tersebut, nantinya itulah yang akan diceritakan pada lingkaran sore, atau terkadang diminta untuk menuliskannya dalam selembar kertas tulisan tangan. Namun sore itu bukan anak-anak itu yang bercerita, dia yang menunjukkan satu persatu buku-buku dari kardus tersebut sembari menceritakan sekilas isinya, lalu menawarkan atau terkadang dia menunjuk siapa yang selanjutnya yang akan menjadi empu buku tersebut untuk diselesaikan selama beberapa hari. Beberapa tampak antusias agar mendapat buku tersebut dibaca selanjutnya, ada juga raut kecewa ternyata bukan salah satunya yang dapat. Anak-anak kampung yang jauh dari riuhnya media sosial ataupun peralatan elektronik lainnya, namun televisi tetap menjadi bagian dari malam mereka.
Halaman rumah itu cukup luas untuk bermain, dan selalu diramaikan oleh anak-anak kampungnya setiap sore, meski terkadang dia pun telat pulang. Anak-anak itu pun sebenarnya mempunyai kegiatan yang cukup padat, sepulang sekolah ada yang mencari rumput untuk pakan kambing atau sapi peliharaan orang tua mereka, ada yang membantu mengantarkan makanan ke sawah, atau membantu 'muro', menghalau burung-burung yang mendatangi padi-padi yang hampir menguning. Ada pula yang bergelut dengan cekatannya membelah batu apung di lokasi pelebaran lahan yang tidak mereka tahu peruntukannya, yang jelas orang tua mereka berada di sana mengumpulkan batu apung. Ada juga anak-anak itu yang bergelut dengan cetakan bata dari tanah liat, orang tua mereka melakoni sebagai buruh pembuatan bata, ataupun yang berendam di sungai lalu mengangkut pasir untuk dikumpulkan di pinggir, sembari menunggu peruntungan kiranya hari itu pasir mereka yang diangkut oleh truk-truk yang datang.
Keceriaan dirinya meskipun anak-anak itu dengan kesibukan mereka sepulang sekolah, namun masih tetap menyempatkan untuk datang sore hari ke rumahnya. Itulah yang menjadi semangatnya untuk terus berbagi bersama anak-anak itu. Awalnya hanya anak-anak tetangga sekitar rumahnya yang diajak, lalu anak-anak itu pun saling mengajak ketika mereka berada di sekolah dengan diperlihatkan buku-buku yang mereka dipinjamkan dari rumahnya. Kecerian anak-anak itu pun tetap tergambar dengan terkadang diceritakan cerita lucu atau pun dengan tingkah dari mereka yang membuat terbahak.
*****
Awalnya dia pun kebingungan menjelang kelulusannya untuk jenjang pendidikan tinggi yang kedua kalinya. Akhirnya dengan mantap memutuskan untuk pulang kampung mengurus rumah dan beberapa petak lahan sepeninggal mendiang orang tuanya. Secara tak sengaja melihat anak-anak kampungnya setiap sore banyak yang bermain di dekat rumahnya, muncul inisiatif untuk mengajak mereka berkumpul di rumahnya, lalu membagikan buku untuk dibaca di sana ataupun boleh dipinjam dengan dibatasi hari untuk selesainya bacaan tersebut. Aktifitas sore itu pun berkembang terus sembari bertambahnya anak-anak yang ikut bergabung. Tak jarang ia pun mulai membeli stok permen untuk dibagikan setiap sore ketika mereka berkumpul, atau meminta salah seorang dari mereka untuk membelikan makanan ringan di warung seberang jalan.
Aktifitas itu pun terus berjalan lebih dari empat bulan lamanya. Tiba-tiba suatu sore salah seorang lelaki dengan penampilan rapi dan mengendarai mobil putih berkunjung ke rumah tersebut. Dia pun menyambut tamunya, dipersilahkan duduk di dalam rumah beralaskan tikar pandan, sementara anak-anak kampung tetap melingkar melanjutkan mendengarkan salah seorang bercerita di antara mereka.
"Kiranya apa yang membuat pelungguh berkenan untuk meluangkan waktu berkunjung ke sini?". dia membuka percakapan setelah kembali dari dapur untuk menjerang air panas.
"Owh iya mohon maaf sebelumnya, tyang Hamid dari Universitas Hijir, kebetulan sempat mendengar kabar dari kepala desa tentang aktifitas ananda di kampung ini"
"owh nggih". dia masih tetap menahan diri menunggu penjelasan selanjutnya dari tamunya.
"Dengar-dengar ananda baru menyelesaikan pendidikan tinggi untuk kedua kalinya, dan belum ada tempat untuk mengabdi kan?".
"Kalau secara formal memang belum ada ini Miq (Mamiq), tapi pengabdian menurut tyang ya di sini bersama anak-anak pada sore hari". Ucapannya sambil menghela nafas tanpa keraguan.
"Kalau begitu kami meminta ananda untuk ikut bergabung menjadi tenaga pengajar di kampus, dari pada ilmunya tidak diaplikasikan kan sayang"
Dia mengerutkan kening, seolah tampak berpikir dengan tawaran tersebut, padahal sejak kepulangannya dia berpikir keras untuk mencari basecamp tempat mengajar dengan mengandalkan ijazah pendidikan tingginya yang kedua kali.
"Atau ananda butuh waktu dulu untuk memikirkannya sebelum benar-benar menerima tawaran ini". Ucapan tamunya menyadarkannya pada air jerangan di dapur yang sepertinya sudah mendidih dari tadi. Dia pun meminta izin ke belakang, lalu kembali dengan dua gelas kopi hitam pada nampan yang dibawa.
" Tyang sebenarnya butuh juga tempat mengabdi, itu juga yang tyang bingungkan sekembali ke sini. dan alhamdulillah tawaran pelungguh layaknya semacam jawaban atas doa-doa tyang. akan tetapi tyang juga butuh penyesuaian sebelum masuk ke kampus, mengingat kegiatan tyang mengurus sawah dan anak-anak yang sedang semangat belajar ini supaya tidak terbengkalai. Jadi kiranya tyang butuh waktu untuk memutuskan boleh kah miq?".
"Owh iya, silahkan, bagus juga untuk dipikirkan baik-baik sebelum ananda benar-benar turun bergelut di dunia kampus".
"owh iya, silahkan sambilan diminum pak". Sementara itu suara anak-anak di teras masih terdengar lantang dan sesekali riuh tawa mengiringi.
"Jika sudah mantap dengan putusannya, silahkan datang ke kampus atau hubungi tyang di sana nanti ya". Dia pun menyanggupi, sementara pembicaraan berlanjut terkait pendidikannya dulu, kehidupan di kampung saat ini, bahkan sampai tawaran jodoh yang pak Hamid siap mencarikan jika dia siap, mengingat banyak pula mahasiswi yang akan lulus dan mulai cemas ke depannya setelah keluar dari kampus.
Dia pun mengiyakan untuk sesegera mungkin mengabarkan atau datang langsung ke kampus menemui pak Hamid. Sepeninggal pak Hamid, anak-anak masih riuh saling bertanya teka-teki dan menunggu dia keluar sebelum semuanya bubar. Jingga merah di sore itu mengisyaratkan sebentar lagi gelap datang. Dia pun menemui anak-anak itu di teras rumah dan meminta mereka untuk lebih awal berkumpul esok hari. Barulah anak-anak itu pun bubar kembali ke rumah masing-masih, sembari sebelumnya bersalaman kepadanya.
Keesokan sorenya anak-anak itu pun sudah berkumpul kembali, mengabarkan kepada mereka bahwa dia akan menjadi pengajar di salah satu kampus swasta di sana. Dan untuk kegiatan sore mereka di rumah itu diharapkan tetap berjalan, meski dia juga belum tahu jadwal mengajarnya seperti apa nantinya. Lalu dia pun meminta beberapa orang dari mereka agar bersedia menjadi koordinator untuk pengumpulan buku maupun peminjamannya.
Anak-anak kampung itu pun tampak kebingungan, belum ada yang mengangkat tangan bersedia. Dia pun menunjuk beberapa orang yang secara usia lebih besar dari yang lainnya, sementara anak-anak yang lain pun menyetujui. Dia memberikan kunci kamar depan tempat beberapa kardus buku tersimpan kepada salah seorang koordinator yang bersedia menjadi mediator ketika peminjaman maupun pengumpulan kembali buku-buku tersebut.
Dua hari berselang setelah kunjungan itu dia pun berangkat ke kampus dengan membawa beberapa berkas penting untuk menemui pak Hamid. Sesampainya di kampus ternyata pak Hamid memang sudah menunggu kedatangannya.
"Bagaimana ananda keputusannya?"
"tyang terima miq, makanya ini sekalian tyang bawa berkas kelengkapan untuk pembuatan SK-nya". Pak Hamid pun menerima berkas itu lalu dimasukkan ke salah satu map, dan mengajaknya menemui pimpinan kampus agar cepat diproses dan selekasnya diberikan jadwal mengajar.
Dia terlihat polos, dan hanya mengikuti instruksi pak Hamid. Setelah beberapa jam tatap muka dengan pimpinan kampus dan ditanyakan bebepa kegiatannya saat ini, dia pun menjawab apa adanya, dan akhirnya pimpinan kampus itu setelah berbisik dengan orang disebelahnya memberikan putusan untuk diterimanya dia sebagai tenaga pengajar di kampus tersebut. Jadwal pun langsung dibagikan saat itu juga dengan dia diminta mengisi kekosongan saat salah satu  pengampu mata kuliah itu sedang melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Nama pengajar yang digantikan itu pun masih bertengger di sana.
Minggu pertama dia melakoni sebagai pengajar di dalam kelas tampak grogi, apalagi dia langsung mendapatkan kelas berjalan pada semester 5 untuk mata kuliah yang ditinggalkan oleh pengampunya. Namun berbekal pengalaman semasa PPL/PKL dia pun secepatnya bisa menyesuaikan keadaan kelas. Dia pun tak merasa lebih dari pada mahasiswanya sehingga diskusi di dalam kelas lebih diutamakan. Tugas baru sebagai pengajar bukan hanya sekedar masuk kelas, akan tetapi kompetensi keilmuan yang kontekstual mesti terus diasah dengan banyak bacaan lagi. Kompetensi mengajar pun bukan hanya sebatas dia menyampaikan di kelas, akan tetapi kelas intersubjektif yang dia harapkan bisa terlaksana dengan masing-masing siswa mengungkapkan hal baru terkait mata kuliah semester tersebut.
Sepeninggal kesibukannya memasuki kelas, kegiatan sore di teras rumahnya masih tetap berjalan,  karena terkadang jadwalnya tidak sampai sore. Bahkan terkadang sehari hanya mengisi satu kelas di pagi hari. Namun beberapa anak mulai tidak bisa hadir dengan dalih ada kesibukan tambahan yang diminta oleh orang tua mereka.
Hingga suatu siang ketika dia sedang berjalan ke warung untuk membeli sesuatu, dan kebetulan tidak ada jadwal mengajar, dia mendengar percakapan di antara ibu-ibu di warung terkait anak salah seorang tetangga mereka yang orang tuanya kebingungan mencarikan biaya kuliah yang mesti dibayarkan dengan tenggang waktu yang mepet sekali. Sempat dia mendengar nominal yang disebutkan oleh salah seorang dari ibu-ibu tersebut, terdengar cukup besar untuk ukuran biaya di institusi swasta.
"Bagaimana tidak dada ibu Nawar akan berdegup kencang mendengar biaya yang akan dikeluarkan anaknya, sementara penghasilan dari sawah atau menjual kambing pun tidak menentu". Ucap salah seorang ibu di warung tersebut.
"Makanya lebih murah kampus negeri, walaupun biaya kos juga yang dibayar kan tidak sampai semahal itu". timpal yang lain.
Dia pun terpikir juga melihat kondisi mahasiswa yang setiap menghadiri kelasnya hanya berbekal buku catatan layaknya catatan anak SMA. Beberapa kali dia membawa buku referensi yang kadang beberapa bab di dalamnya diminta salah seorang untuk menggandakannya. Terkadang tidak semua mahasiswa mengikuti anjurannya untuk membaca copy-an dari bab tersebut, namun dia tetap membiarkan saja dan tidak terlalu memaksa peserta didiknya.
Hampir dua bulan dia melakoni sebagai pengajar di institusi tersebut, keluhan dari wali mahasiswa semakin banyak pula yang masuk ke telinga, terkait biaya kuliah, ongkos ke kampus, bahkan sampai biaya tugas-tugas yang mesti dijilid baru diperiksa oleh pengajar. Sementara dia mencoba menyajikan sesuatu yang berbeda, baik terkait pembelajaran di kelas maupun pemberian tugas ke mahasiswanya. Beberapa kali dia yang menggandakan lebih dulu bab yang ada dalam referensi bacaannya dan dibagikan kepada mahasiswanya untuk bersama dibaca, lalu itu yang menjadi bahan diskusi selama pertemuan hari itu. Begitu pula dengan tugas tengah semester, dia hanya meminta mahasiswa menulis dalam selembar terkait beberapa tema yang diminta untuk dipilih.
Menjelang akhir semester barulah dia memberanikan diri untuk menanyakan terkait biaya yang dikeluarkan mahasiswa di institusi tersebut. Rincian biaya menjelang semester baru tiap angkatan teryata berbeda, dan angkatan baru tentunya yang lebih mahal. Dia pun tercengang, institusi swasta yang berbasis rakyat malah lebih elit dari segi biayanya. Biayanya hampir mendekati biaya pendidikan tingginya yang kedua kali, yang syukurnya kata orang-orang di kampungnya dibiayai dengan "kepeng datu" (uang raja/penguasa). Sementara jenjang pendidikan tinggi pertama yang dijalaninya empat tahun lalu di institusi negeri tidak sampai sekitar 1 kali biaya kos-kosannya perbulan.
Wajar saja dengan biaya setinggi itu wali mahasiswa kebingungan mencari biaya pendidikan anak-anak mereka. Padahal diakui biaya awal yang dulu tertera di brosur tidak sampai semahal itu, lalu di tengah jalan dengan dalih sumbangan pembangunan biaya ini itu-nya mulai bermunculan. Biaya kampus berbasis rakyat sebanyak itu seharusnya dibarengi juga dengan fasilitas yang memadai dan tenaga pengajar yang benar-benar peduli. Namun yang terjadi terkadang banyak pula keluhan dari mahasiswa terkait beberapa pengajar yang lebih senang memberikan tugas kepada mahasiswa, lalu itu menjadi acuan penilaian di akhir semester.
Dan akhir semester itu pun dia bersiap untuk menggali lebih jauh terkait keluhan-keluhan dari wali mahasiswa atas mahalnya biaya-biaya di institusi tersebut. Sayangnya dia tidak dapat berbuat banyak, hanya sekedar tahu, pun keluhan itu hanyalah celotehan di warung-warung di kampungnya yang kesusahan dari wali mahasiswa menjadi tanggung jawab sendiri yang harus diselesaikan. Jika tidak, bayangan putus tengah jalan dengan biaya sekian banyak yang telah dikeluarkan akan menjadi kesia-siaan.
Lalu dia teringat anak-anak kampung yang sudah sekian minggu tak lagi menapakkan kaki di teras rumahnya sore hari. Sekian bulan dia menjadi pengajar di institusi berbasis rakyat tersebut, justru membuat terbengkalai kegiatan sore di teras rumahnya. Buku-buku koleksinya entah ke mana, sementara 2 kardus di kamar depan tampak berdebu karena jarang dibuka. Riuhnya anak-anak membayang di teras itu, namun nyatanya hanya riuh angin yang menggoyang daun-daun jambu di sana, dan satu per satu mulai jatuh.
Institusi berbasis rakyat yang telah mengakuinya sebagai pengajar, di baliknya ada derita dan beragam keluhan dari penyandang dana swadaya, wali mahasiswa, yang petani, tukang ojek, bahkan beberapa juga sebagai pekerja serabutan. Akan tetapi pendidikan untuk anak-anak mereka yang diidamkan ternyata menguras tenaga mereka untuk mendapatkan biaya. Maka sangat disayangkan olehnya ketika mahasiswanya banyak yang lebih mengutamakan gaya dari pada keilmuan yang seharusnya menjadi tujuan utama dan niatan orang tua mereka. Tak jarang beberapa kali dia melihat mahasiswanya lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk berlama-lama di cafe-cafe bernuansa elitis, dari pada berkumpul sesama mahasiswa dengan berdiskusi di kampus, atau pun kantin-kanntin sederhana di sekitar kampus. Jika saja para mahasiswa yang menjadi peserta didiknya mau menyadari dan sedikit tergetuk hatinya untuk mengutamakan pendidikan mereka, maka terbayarlah kemahalan itu dengan kepuasan untuk memenuhi kebutuhan ilmu yang diharapkan.
Sayangnya kiranya dia hanya sendirian, terpekur memikirkan itu. Seolah diamnya adalah pengkhianatan turutnya melegitimasi atas ketimpangan dalam pendidikan yang dia menjadi bagian dari institusi itu. Tak ada riuh mahasiswa menuntut tingginya biaya tersebut, sementara yang pernah dia saksikan enam tahun lalu, ketika biaya naik 50 ribu saja untuk angkatan yang baru masuk, kawan-kawannya sudah ramai dengan spanduk meramaikan halaman rektorat, menuntut untuk institusi tidak lagi menaikkan biaya, dan penekanan melalui orasi itu pun tak jarang membuahkan hasil dengan ketetapan biaya yang merata setiap angkatan.
Sementara di institusi dengan basis rakyat tersebut, seolah semua mengamini saja tatkala biaya setinggi yang dipatok hanya akan menadah ke wali mereka untuk dibayarkan. Miris hatinya menyaksikan itu, dan diam seharusnya bukan satu-satunya jalan untuk memikirkan ke depannya institusi itu jika ingin masih tetap berdiri dan mendapatkan mahasiswa.
Lalu bayangan anak-anak di teras rumahnya kembali menyeruak, datang kebanyakan tanpa alas kaki dan baju lusuh mereka, membayang di depan matanya jika ke depannya untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi harus membayar sedemikian mahal. Sementara untuk makan sehari-hari saja dia pun menyaksikan tetangga-tetangganya saling pinjam beras atau menukar dengan sayur-sayuran yang mereka dapat ketika melakoni buruh tani dengan sepiring nasi dan semangkuk sayuran yang ditukarkan.
Hatinya berontak, tak semestinya institusi yang menjadi basis untuk mencerdaskan anak bangsa malah menjadikan peserta didiknya sebagai ‘sapi perah’ untuk menghidupi gaya hidup petinggi-petinggi maupun orang-orang yang (merasa) besar sebagai pengelola. Celotehan ibu-ibu di warung tetangga tentang mahalnya biaya pendidikan di institusi tempatnya mengajar bukan lagi menjadi rahasia umum. Karena itu dia seolah merasa ikut menjadi bagian dari yang mengambil susu perahan dari intitusi tersebut, padahal yang sebenarnya dia dapatkan kurang dari harga 50 kg beras, yang amplopnya pun masih tergeletak di mejanya bersama tumpukan lembaran tugas-tugas peserta didiknya.
Apalah mau dikata, mundur untuk mengutuk itu, pun keadaan sudah berubah, anak-anak di kampungnya entah ke mana pada sore harinya. Hanya sesekali berpapasan ketika pagi mereka berangkat ke sekolah. Sementara institusi tempatnya mengajar malah memberikannya jadwal lebih banyak lagi. Hingga persis tak ada lagi waktu sekiranya untuk mengembalikan anak-anak di kampungnya untuk menapakkan kaki di teras rumahnya sore hari.
*****
Selang beberapa bulan pada semester baru, dia hanya terpekur memandangi hamparan tanah yang kosong sepeninggal orang tuanya. Terbersit dalam bathinnya untuk mengaktifkan kembali hamparan tanah kosong itu dengan hijaunya tumbuh-tumbuhan yang akan muncul dari sana. Niat itu pun tak cukup lama dia pikirkan, lalu meminta salah seorang tetangga yang biasanya mencangkul untuk membuat petak sawah membantunya. Membersihkan rumput yang tumbuh sudah mulai meninggi, saran penggunaan pestisida untuk mematikan rumput ditolaknya secara halus dengan menjelaskan secara sederhana bahaya penggunaan pestisida bagi tanah untuk ke depannya.
Dua bulan berlalu, peserta didiknya mulai kebingungan ketika beberapa kali pertemuan tidak dia isi. Hingga suatu sore yang teduh saat dia menyiangi rumput di sela-sela tanaman jagungnya, beberapa peserta didiknya menemukan gubuknya, lalu dipersilahkan memasuki teras rumahnya sembari dia mengehentikan aktifitasnya dan bergegas mencuci tangan. Tujuan peserta didiknya datang menjenguknya mengira dia sakit.
Dia pun tergagap, alasan apa yang akan diutarakan kepada mereka. Setelah berpikir panjang, dia pun mengutarakan yang sebenarnya, bahwa dia telah mengundurkan diri secara lisan dari institusi itu, namun belum sempat untuk mengantarkan secara tertulisnya atas hal itu. Para peserta didiknya yang datang berkunjung itu mengira bahwa dia tidak mendapatkan penghasilan yang baik dari mengajar. Lalu dengan tegas dia pun sampaikan alasan yang sebenarnya bahwa hatinya berontak ketika mengetahui mahalnya biaya-biaya yang mereka keluarkan hanya untuk pendidikan semacam itu. Lalu dia pun menawarkan kepada mereka bahwa dia akan sangat senang jika mereka berkenan sekali waktu untuk datang berdiskusi ke gubuknya.
Apa yang diungkapkan justru menjadi tanda tanya besar bagi mantan peserta didiknya yang datang berkunjung sore itu. Seharusnya lah mereka mulai belajar untuk peka dengan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Sayangnya dia hanya sendirian memikirkan itu, pun keadaan sudah berubah, anak-anak di kampungnya tidak lagi menapakkan kaki di teras rumahnya sore hari, dia pun sudah tak lagi mengenakan pakaian rapi menuju ke institusi berbasis rakyat dengan harga elit tersebut. Dia kini bergelut dengan tanah, sementara harapannya masih ada, dengan ajakannya kepada mantan peserta didiknya untuk datang berkunjung dan berbagi pengetahuan jika mereka berkenan. Dan semoga anak-anak kampungnya juga masih ada yang berniat kembali menapakkan kaki di teras rumahnya sore hari.
Seiring sore mendekati senja, dia pun mengantar tamu-tamunya yang juga mantan peserta didiknya sampai ke pinggiran jalan yang masing-masing berboncengan. Sayup-sayup terdengar alunan lagu dari Tape tetangga.
"Yang jelas rakyat butuh pendidikan, tapi pendidikan yang didapat, adalah rongsokan". Lagu iwan fals itu pun mengiringi tamu-tamunya yang dia pandangi sampai tak terlihat lagi di turunan yang semakin menjauh dari rumahnya. Hijaunya tanaman di tanah yang dia usahakan untuk aktifkan kembali memberikan ketenangan yang selama ini justru kebanyakan gejolak yang mengisi. Hingga azan makin jelas terdengar, lalu jingga awan di atas kampung tersebut mengisyaratkan ketenangan yang selama ini entah ke mana, seolah kembali ke peraduannya, di sana, pada hati yang selalu gundah dengan ketimpangan-ketimpangan yang tak semestinya dia temui. (Lengkok, 23-02-18)


*Mahasiswa Pascasarjana Departemen Media & Cultural Studies UGM.

Sabtu, 11 Maret 2017

Rumah Tanpa Buku


Ilustrasi, sumber : greatfon.com


Meja reyot itu kini setengah miring di pojok belakang ruang tempat shalat. Beban di atasnya berupa lembaran-lembaran yang tercecer dan buku lusush, kusam yang hampir lepas jilidannya. Delapan kitab kuning Shahih Bukhari dengan hardcover berwarna merah muda yang sudah tidak merah muda lagi bersusun sebagai penyeimbang di sebelah kanan, supaya meja tersebut tidak roboh ke kiri. Lalu di bawah meja, TV kotak berbahan triplek dan layar hitam putih yang sudah tidak menyala lagi berada di sana. Di antara semrawutnya susunan buku-buku usang dan lembar-lembar yang sudah tercecer tersebut, ada satu yang bersampul plastik karet, tertulis dengan huruf arab tanpa harakat. Namun di dalamnya berisi tulisan tangan.
Buku-buku itulah peninggalan dari almarhum bapak, yang dulunya cukup banyak dan sekarang hampir setengahnya entah ke mana. Akan tetapi syukurnya kali ini yang saya temukan buku bersampul plastik karet tersebut yang berisi catatan-catatan beliau dari semasa mengikuti pengajian-pengajian sampai ketika melanjutkan pendidikan di IAIN Sunan ampel, seperti yang tertera pada pojok atas catatan di salah satu lembarnya.
Masih kuingat betul ketika belum memasuki bangku sekolah, menjelang tidur beliau sering bercerita tentang kisah nabi-nabi, sahabat-sahabatnya, cerita tentang asal mula kampung-kampung di sana, dan tak jarang cerita tentang kampung tersebut yang masih diliputi tentang maling, hantu-hantu yang berkeliaran pada malam hari atau yang disebut Tuselaq dalam bahasa Sasak.
Waktu itu memang masih banyak bahan bacaan yang tertata di kamar beliau. Dan saya pun belum memahami tentang buku-buku itu, terkadang sesekali membuka lalu melihat gambar-gambarnya. Terkadang sepulang mengajar beliau juga membawa beberapa buku sebagai tambahan koleksi yang menghiasi meja tempat biasa beliau terpekur selepas isya.
Menjelang memasuki bangku sekolah untuk tahun ajaran baru, ada tradisi yang menarik di pondok pesantren bagi santri yang akan masuk. Ungkapan idiomatik milu-milu bawang (ikut-ikutan tetapi belum secara resmi diakui) masuk sekolah bersama salah seorang misan waktu itu saya ikuti langsung di kelas 2. Seorang calon santri sebelum mulai ajaran tahun baru penerimaan santri dibolehkan untuk ikut masuk percobaan di kelas 1 bersama kawan atau sanak famili yang bisa bertanggung jawab mengawasinya selama milu-milu bawang.
Meskipun di kelas 2 tersebut masih pelajaran dasar juga yang diberikan, akan tetapi pertimbangan pengajar saya diminta untuk lebih baiknya ikut di kelas 1 saja. Ternyata bukan hanya saya sebagai santri milu bawang di kelas 1 tersebut, ada beberapa juga yang datang dari kampung-kampung lain yang menempuh perjalanan sekitar 2 kilometer berjalan kaki dari rumahnya di usia sekecil itu untuk mendapatkan pendidikan di Pondok Pesantren tersebut. Sementara saya, dengan rumah hanya beberapa meter dari Ponpes, baru kali ini mengikuti kelas sebagai santri milu bawang, padahal ada 2 orang kakak yang lebih dahulu masuk di sana, serta beberapa misan yang siap menjaga selama di Madrasah.
Hingga tiba tahun ajaran baru, penerimaan santri dengan diantar langsung oleh orang tua mereka terlihat ramai di depan ruangan yang menjadi kantor tenaga pengajar di Ponpes. Dengan membawa beras dan 1 KG gula pasir, pendaftaran santri di Ponpes seperti itu menjadi tradisi turun temurun seperti yang diceritakan Ibu yang mengantarkanku waktu itu. Sebab semua kakak yang pernah mendapatkan didikan di sana seperti itu pula model pendaftarannya. Sumbangan beras dari pendaftaran akan diakomodasi untuk anak-anak yatim dan santri dari luar daerah yang tinggal di Panti Asuhan. Beberapa bungkus gula pasir juga akan dibagikan kepada tenaga pengajar untuk dibawa pulang.
Pendaftaran tidak hanya sampai di situ, setelah penyerahan dari para orang tua, tes selanjutnya sebelum memasuki kelas yaitu pertanyaan tentang umur, pengukuran tinggi badan, dan tes untuk memegang telinga kiri dengan tangan kanan melewati atas kepala apakah sampai atau tidaknya tangan ke telinga tersebut.
Sampai saya lulus 9 tahun dari Ponpes tidak pernah mengetahui makna dari tes tersebut, dan para orang tua juga tidak ada yang menanyakan hal tersebut, sebab yang terpenting anak mereka mendapat pendidikan di sana dan menjadi tanggung jawab para pendidik. Tentu saja waktu itu masih ada iuran bulanan yang dibayarkan ke pihak madrasah yang jika dibandingkan dengan nilai uang sekarang, iuran per-bulannya tidak cukup untuk membeli 2 gorengan tahu isi.
Dari tes memegang telinga tersebut beberapa yang tidak sampai ditetapkan masih sebagai santri milu bawang. Ada juga yang bisa sampai memegang telinga akan tetapi karena pertimbangan umur masih ditetapkan juga sebagai santri milu bawang. Standar umur untuk masuk kelas 1 yaitu 5 sampai 7 tahun, ada juga yang lebih dari 7 tahun. Seingatku waktu itu umurku 5 tahun, dan bisa sampai memegang telinga juga. Santri yang ditetapkan sebagai milu bawang mengikuti saja kewenangan dari pihak sekolah, begitu juga dengan orang tua mereka.
Menjelang akhir catur wulan ketiga (waktu itu masih menggunakan 4 bulan utk tiap tahap, belum tahap semesteran atau 6 bulan) saya sudah mulai bisa mengeja huruf latin. Tulisan-tulisan dari apapun yang bisa dieja akan kami coba. Tak jarang itu sebagai perlombaan untuk menunjukkan siapa yang lebih mahir dalam membaca. Dan ketika sudah ngotot  sama-sama merasa benar dengan cara membaca masing-masing, barulah yang lebih senior akan memberitahu bunyi bacaan sebenarnya. Sementara untuk huruf arab yang dibimbing intensif di Mushalla setiap malam masih belum bisa saya kuasai, beberapa surat saja yang diminta menghafal dengan mengikuti bacaan dari guru ngaji.
Ujian akhir catur wulan ketiga dimulai, ujian menghafal, berhitung, membaca, menulis dan menyanyi. Yang terakhir sempat membuahkan beberapa tetes keringat untuk melewatinya. Sebab mengeluarkan suara untuk menyanyi sangatlah berat. Berbeda halnya ketika menghafal, membaca atau menjawab pertanyaan dari guru, kesemuanya bisa terlewati dengan tenang. Selesai ujian, acara madrasah diisi dengan perlombaan-perlombaan antar kelas atau yang belakangan terkenal dengan trend class meeting, sementara menunggu para guru memeriksa hasil ujian dan mengisi raport.
tiba waktunya pembagian raport dan tabungan, beberapa kawan yang lebih besar dariku dinyatakan naik ke kelas 2, sementara saya dinyatakan tetap tinggal di kelas 1, dengan alasan belum ada raport, padahal sudah bisa membaca, walaupun tulisan masih perlu ketelitian untuk bisa dibaca orang lain. Hal yang paling menyesakkan di akhir tahun itu saya alami ketika pembagian raport dan tabungan. Beberapa dari kami hanya sebagai penonton ketika yang lain dibagikan uang tabungan mereka.
Saya tidak tahu kalau menabung itu akan dibagikan di akhir tahun, sementara saya di awal masuk tidak pernah diberikan uang untuk menabung, uang belanja pun jarang. Dengan dekatnya rumah dengan Ponpes, ketika waktu istirahat ( red. keluar main) itulah saya manfaatkan untuk pulang meminta uang belanja atau sarapan dengan apa yang ada di rumah.
Belakangan saya ketahui bahwa saya tidak diperkenankan naik ke kelas 2 dengan alasan belum lancar membaca, itu atas permintaan dari bapak untuk menetapkan saya dididik lagi di kelas 1. Saya hanya mengikuti saja. Sementara waktu itu juga koleksi buku yang ada di meja bapak makin bertambah sebagai bahan untuk memperlancar kemampuan membaca. Di madrasah tiap keluar main, kami disodorkan majalah anak-anak berjudul Asyik dengan tokoh Utamanya Asyik si kucing, Cici si kelinci, Danil Si kuda nil dan beberapa lagi yang mengisi cerita bergambar dalam majalah tersebut.
Bacaan yang paling menarik dari majalah tersebut terletak pada halaman terkahir dan sampul belakangnya. Di sana biasa dimuat cerita-cerita rakyat dari berbagai daerah di Nusantara dengan gambar-gambar menarik yang memikat mata untuk membacanya. Sayangnya waktu itu majalah tersebut hanya bisa dibaca di sekolah. Dari sanalah mulai semakin gencar saya memulai untuk memperlancar membaca.
Pun begitu dengan koleksi-koleksi bacaan bergambar yang ada di rumah mulai saya dekati. Tak lupa bacaan paling banyak yang tersimpan di rumah yang berjudul Media Amal Bakti, berisi foto-foto orang lalu di bawahnya tertulis kegiatan yang sedang dilakukan orang yang selalu muncul di majalah tersebut. Belakangan saya ketahui bernama Pak Soeharto, sebagai presiden di Indonsesia waktu itu. Tak dipungkiri ketertarikan akan bacaan waktu itu dimulai dengan melihat gambar yang ada di dalamnya. Ini mengakar dari kebiasaan membaca majalah Asyik yang bergambar, bahkan buku-buku pelajaran di madrasah pun banyak yang berisi gambar juga.
Memasuki kelas 3 MI (Madrasah Ibtidaiyah) mulailah merengkuh koleksi-koleksi bacaan di meja bapak, saat siang ketika permainan terhenti kala anak-anak yang lain juga kembali ke rumah masing-masing. Atau saat sore harinya walau hanya sekilas membaca tulisan-tulisan sebagai keterangan gambar. Masih teringat cerita bergambar yang menjadi awal ketertarikan saya yaitu serial buku sahabat Rasulullah yang sebelum bisa membaca sering diceritakan bapak sebelum tidur. Lalu serial riwayat hidup 4 Imam madzhab yang cukup terkenal dalam rujukan-rujukan Fiqh, kurang dari 1 bulan bisa terselesaikan.
Koleksi-koleksi buku agama juga cukup banyak, namun waktu itu masih membaca-baca sekilas sebagai tambahan dari materi yang saya dapatkan dari madrasah. Tak dipungkiri saat-saat sedang geliatnya mulai menyukai bacaan, Yang menjadi saingan waktu membaca yaitu ketika mendengar ribut-ribut di siang hari kawan-kawan bermain di halaman rumah yang waktu itu masih berjejer pohon jambu, mangga dan ada juga kelapa gading. Tergoda untuk bergabung bermain, tak jarang sampai memudarkan geliat-geliat untuk menekuni bacaan.
Syukurnya juga waktu itu ada sumbangan untuk madrasah sebagai tambahan bacaan dari pemerintah yang entah saya tidak tahu dari mana. Sebelum dihantarkan ke sekolah karena belum ada tempat, buku-buku tersebut didiamkan dulu di rumah kepala sekolah MTs, sekaligus sebagai Paman yang rumahnya di depan rumah saya. Di sanalah kami sebagai pencicip awal buku-buku tersebut, dan sejenak musim-musim permainan (entah karet gelang, kelereng atau kertas gambaran) terhenti sejenak untuk mulai menekuni hal baru, yaitu membaca.
                   *****
Bangunan Madrasah yg terdiri dari MI dan MTs yang berbentuk L dengan tanah lapang di tengahnya sebagai tempat bermain, dan di sebagian dekat MTs ada satu bangunan yang semula sebagai mushalla, kini dipersiapkan untuk perpusatakaan dan ruangan kepala MTs. Buku-buku yang ada di rumah Kepala MTs kini berpindah ke Madrasah. Semua santri bisa mengakses, namun belum bisa untuk pinjam dibawa pulang. Setiap hari ruangan tersebut selalu penuh dan kadang harus rela mengantri untuk meminjam buku untuk dibaca di areal sekolah, dan sebelum pulang harus dikembalikan lagi ke perpustakaan.
Hingga tibalah ketika saya memasuki kelas 4 MI dan bapak sudah pensiun, dana pensiun yang didapat tiba-tiba terpikir olehnya untuk merenovasi rumah, meninggikan temboknya, mengganti atasnya, serta beberapa pelebaran untuk dibuat ruangan baru. Pohon-pohon di depan halaman juga ditebang. Buku-buku koleksi yang senantiasa tertata rapi di meja beliau, entah diungsikan ke mana untuk sementara. Persis saat itu saya tidak lagi menekuni bacaan, sibuk ikut membantu pekerjaan rumah atau kadang pergi bermain. Begitu juga dengan perpustakaan di madrasah, tiba-tiba untuk sementara dihentikan, dengan dalih untuk inventarisir dan pembuatan cap sebagai perpustakaan Ponpes.
Bahan bacaan yang terbaca berkurang drastis, bacaan buku pelajaran pun hanya sebatas di kelas ketika kegiatan belajar mengajar. Menonton televisi mulai marak waktu itu sebagai hiburan paling digemari. Bahkan tak jarang rela membayar ketika menonton di TV tetangga. Buku kini mulai asing sebagai hiburan. Bahkan berkembang menjadi tradisi lisan saling menceritakan atau berkomentar tentang acara TV yang telah ditonton bersama.
Renovasi rumah pun usai, buku-buku koleksi bapak yang masih tersisa hampir tinggal setengahnya. Itu pun buku-buku bacaan berat dan kitab-kitab kuning yang menjadi pusaka beliau. Setelah pensiun, tidak ada lagi tambahan buku koleksi di meja bapak. Hanya yang tersisa saat renovasi rumah telah rampung. Beliau pun diminta untuk mengajar di Ponpes di tingkat MI, waktu itu pun saya masih di MI kelas 5 dan sebentar lagi akan naik ke kelas 6.
Karena kekosongan yang terjadi dalam hal bacaan, buku-buku koleksi bapak yang tersisa itu pun mulai saya dekati. Karena jarangnya bacaan ringan kala itu, maka setiap kawan yang punya buku cerita bagus pasti menjadi pameran menarik, dan seolah dia yang lebih dulu membaca menjadi pembicara untuk menceritakan isi buku yang telah dia baca, tentu saja dengan dilebih-lebihkan pula untuk menambah penasaran agar yang lain berminat untuk membaca juga. Di sinilah peran sogokan menggunakan sesuatu entah berupa makanan, atau barang menjadi penting agar bisa menjadi pembaca kedua untuk meminjam buku tersebut. Akan tetapi tetap saja saya kalah, karena yang lebih dahulu meminjam adalah misan-misan saya yang lebih senior.
Entah tiba-tiba juga buku-buku yang ada pada salah satu ruangan di Madrasah tersebut kini dipindahkan ke ruangan guru MTs, dan ruangan tersebut akan dimanfaatkan kembali sebagai mushalla, untuk Dhuha dan Zuhur-nya. Sejak MTs itulah minat membaca mulai kembali lagi meski siang sepulang sekolah mulai ikut-ikutan dengan kawan yang lain untuk mendapatkan tambahan belanja sebagai pekerja, mengangkut pasir dari sungai di areal tambang pasir berjarak setengah kilo dari rumah.
Malam harinya seusai dari mushalla, terkadang mulai lagi membuka-buka buku koleksi bapak. Pada waktu MTs, untuk dapat mengakses bahan bacaan yang tersimpan di ruang guru tersebut, biasanya saya manfaatkan jadwal piket untuk membersihkan ruang guru tersebut, lalu meminjam 1 atau 2 buku dengan judul yang paling menarik untuk nanti saya selesaikan baca di rumah. Pengembaliannya pun ketika sudah selesai,  pagi harinya saat kawan lain bertugas piket untuk membersihkan ruang guru, saya kembalikan lagi lalu meminjam lagi yang lain.
Hal ini terus berlangsung sampai kelas 3 MTs, dan saya merasa tidak ada lagi judul menarik dari koleksi-koleksi di ruang guru tersebut. Begitu pula dengan koleksi yang ada di meja bapak, tak ada yang bertambah. Namun untuk mengisi kekosongan itulah, kembali lagi salah satu dari koleksi tersebut mulai kurengkuh.
                   *****
Berbeda halnya ketika  SMA, memasuki sekolah negeri. Akses untuk masuk ke perpustakaannya dengan koleksi yang cukup banyak di ruangan cukup besar tersebut cukup membahagiakan bagi saya. Meski sistem yang diadakan di sekolah tersebut mewajibkan untuk Les tambahan sejak kelas 1. Maka tak jarang sebutan sekolah 6 tahun di SMA tersebut mulai tersemat.
Dengan salah seorang kawan beda kampung, namun masih dalam satu desa, mulailah kembali kami menekuni buku sebagai pengisi waktu istirahat. Lalu menjelang bel tanda masuk bahkan tak jarang bel sudah berbunyi, saat itulah kami manfaatkan untuk ke kantin, karena saat itu tidak terlalu ramai, dan tidak perlu berdesak-desakan. Sementara ketika baru mulai jam istirahat, itulah puncak berhamburannya siswa ke kantin.
Pernah suatu ketika karena desak-desakan di kantin itulah salah satu kawan itu dipukul oleh kakak kelas 2 (waktu itu kami kelas 1),  dan ditantang kelahi. Sebab mereka lebih banyak, terpaksa kawan itu pun mengalah. Lalu siang harinya, sepulang istirahat ke kos-an, dia pun memberitahukan ke anak-anak kelas 3 yang kebetulan juga nge-kos di sana. Keesokan harinya, satu kelas anak program Bahasa teman kos kawan tadi ramai-ramai mendatangi ruangan kelas anak kelas 2 yang memukul kawan tersebut. Mereka pun meminta maaf dengan dalih tidak menyangka kalau dia bukan teman senior mereka.
Sejak itulah kami memutuskan untuk menunggu siswa agak longgar kalau mau ke kantin, dan waktunya ya itu, menjelang bel masuk pertanda istirahat sudah usai yang akan dilanjutkan dengan pelajaran Ketiga. Bahkan tak jarang juga kami manfaatkan waktu untuk ke kantin ketika pergantian jam antara pelajaran ke-1 dan Ke-2 atau juga saat selesai shalat zuhur yang akan dilanjutkan dengan pelajaran ke-4 yang masih tersisa setengah jam-nya lagi.
Di perpustakaan itulah kami mulai berkenalan dengan majalah Sastra Horison, buku-buku sastra terbitan Balai Pustaka, dan berbagai koleksi yang lain untuk memuaskan hasrat untuk membaca. Di kelas pun cukup banyak juga yang gemar membaca buku, dari sanalah mulai tukar-pinjam berlangsung, dengan batas tertentu yang disepakati bersama.
Karena koleksi bacaan di rumah berupa bacaan-bacaan berat, saya tidak bisa menawarkan apa-apa selain sebagai peminjam yang sabar untuk menunggu giliran. Akan tetapi, Begitu diumumkan untuk pembuatan kartu perpusatakaan, kami pun bergegas untuk mendaftar sebagai anggota.
Saat itu kami tidak lagi harus tiap hari mengunjungi perpustakaan untuk dapat membaca. karena kartu anggota sudah di tangan, kami pun mulai rutin meminjam buku untuk dibaca di luar, meskipun bacanya juga masih di sekitar area perpustakaan, semisal di terasnya, atau taman depan perpustakaan tersebut.
Ada hal yang menarik dari sistem disiplin di sekolah tersebut yaitu ketika siswa yang telat kalau di awal-awal masuk dulu tidak diperbolehkan masuk sekolah, gerbang langsung ditutup, dan mereka harus membayar denda karena tidak masuk atas keterlambatan tersebut.
Perlahan sistem itu pun berubah, bagi yang terlambat tidak lagi disuruh pulang, akan tetapi pada jam pelajaran pertama tidak diizinkan untuk mengikuti kelas, dan selama jam pelajaran pertama itu berlangsung, siswa yang terlambat tersebut disekap di perpustakaan untuk membaca buku, akan tetapi tidak diperbolehkan membawa tas, karena ditakutkan buku-buku koleksi akan dimasukkan ke dalam tasnya.
Sejak mempunyai kartu perpustakaan itulah saya mulai rutin meminjam buku, memanfaatkan fasilitas di sekolah tersebut yang bisa dikatakan sudah bayar cukup mahal untuk SPP-nya. Ketika membawa pulang buku untuk diselesaikan baca di rumah, kakak  perempuan saya yang sudah menikah dan tak jauh rumahnya, mulai gemar juga membaca buku-buku yang saya pinjam. Sementara koleksi buku di rumah tetap saja tidak ada yang bertambah, akan tetapi sesekali juga saya buka koleksi dari buku-buku yang ada di meja bapak, yang saat itu sudah mulai jarang saya bongkar-balik karena telah menemukan koleksi buku yang lebih menarik di sekolah.
Saat itu yang menjadi koleksi di mejaku hanyalah buku-buku pelajaran yang diwariskan oleh kakak-kakak misan yang sudah menamatkan MA (Madrasah Aliyah) di Pondok Pesantren. Koleksi lainnya berupa buku-buku LKS yang kami diwajibkan untuk membelinya dari pihak sekolah. Kini buku-buku koleksi bapak yang beliaupun jarang menyentuhnya kini saya alihkan ke meja belajar di kamarku. Sewaktu-waktu ketika ingin membaca tentang itu, dengan lebih mudah untuk diraih tanpa perlu ke meja bapak.
Sayangnya menjelang lulus dari SMA keengganan untuk menyentuh buku-buku bacaan mulai menghampiri, ketika TV dan Handphone mulai menyergap. Padahal sebelumnya tak jarang buku sebagai pengantar tidur dan menelungkup sebagai penutup wajah dari cahaya lampu kamar. Maka tak heran ketika lulus SMA koleksi buku tidak semakin bertambah dan membaca pun sudah mulai agak berat dengan kehadiran Handphone sebagai sarana hiburan utama.
Inilah seperti tesisnya Marc Prensky tentang Digital Natives dan Digital Immigrants. Dan generasi kami sebagai Digital Immigrants, Peralihan dari sebelumnya tidak begitu massif dengan teknologi, kini lebih gandrung untuk memiliki alat-alat elektronik lainnya dari pada buku. Padahal masa-masa awal untuk memasuki kampus menjadi sangat penting untuk kembali menekuni buku bacaan secara serius.
Hingga lulus dari jeratan kampus pun hanya beberapa koleksi yang bertambah, disebabkan biaya hidup untuk beli buku lebih teralihkan untuk penyambung hidup. Dengan dalih buku di perpustakaan milik pemerintah daerah masih cukup kokoh sebagai penunjang untuk mendapatkan referensi perkuliahan. Akan tetapi terkadang juga sebagai tambahan koleksi buku, beberapa dosen mewajibkan untuk membeli buku, entah itu karya mereka sendiri maupun karya orang lain yang harus dibeli melalui mereka.
Kini setelah almarhum bapak telah tiada sejak beberapa tahun lalu, buku tersebut semakin berkurang setelah kembali lagi renovasi rumah kedua kalinya atas inisiatif kakak. Buku-buku tersebut bukan hanya berkurang, akan tetapi lusuh, berdebu dan tercecer tidak menentu dan hanya diletakan di pojok belakang ruangan kecil tempat shalat.
Buku-buku koleksi pusaka almarhum bapak tersebut hanya menjadi tumpukan kertas yang menjadi pengingat bahwa itu sebagai saksi perjuangan beliau melewati pendidikan-pedidikan yang telah dijalaninya. Buku-buku itu kini hanya pajangan bisu, tanpa ada yang pernah menyentuhnya lagi. Dan kini seolah ketika beliau telah tiada, buku itu pun seolah-olah tak ada di sana.
(Baim Lc, Sleman 10-03-17)





Minggu, 08 Januari 2017

Sajakku Tak Pernah Indah

Karikatur : Okti Widayati


Selayaknya kata yang mudahnya kau tuangkan, begitulah cinta yang bermuara pada satu hati yang kau perjuangkan. Pun jika kata itu terlalu sulit mereka pahami, maka cobalah sederhanakan mereka dengan sajak-sajak seindah puisi. Sajakmu layaknya mantra yang menenangkan, namun seperti tak bermakna jika tak mampu menembus hati yang kau idamkan. Sajakmu tak kan indah, bila keindahan hanyalah semu yang membelenggu hakikat kata yang kau rangkai. Maka bebaskanlah kata itu, sebagaimana bebasnya hatimu menentukan pilihan pada hati yang kau tuju. Itulah sajakmu, yang tak perlu indah bagi orang lain, akan tetapi cukup indah untuk membuktikkan bahwa dia adalah takdirmu.
Mendung yang tadinya menggelayut berubah menjadi tumpahan air langit yang cukup deras dan terpaksa menghentikan laju sepeda motor Suparte dan mencari tempat berteduh di deretan ruko yang tak berpenghuni. Siang itu selesai dari tempat mengajar dia sudah memantapkan hati untuk mendatangi orang tua Ruminah bermaksud memintanya untuk menjadi calon istri. Apalah daya, hujan siang itu menahannya untuk sementara waktu dengan kegetiran janji yang telah dia ucapkan untuk datang selepas zuhur. Pastinya dia tidak bisa datang tepat waktu, hal itulah yang akan menjadi beban dan membuat bertanya orang-orang di rumah Ruminah yang menunggu kedatangannya. Menerobos hujan tak mungkin, karena tak membawa persiapan jas hujan, dan yang menjadi kekhawatiran, tas yang dibawa berisi berkas pentingnya akan basah kuyup juga sebelum sempat dilihat orang tua Ruminah.
Jadilah ia menunggu beberapa lamanya, sementara semakin banyak pula pengendara takut hujan yang menemaninya di deretan ruko tadi. Wajah gelisah yang hanya dia sendiri yang tahu, tak banyak kata walaupun sekedar menyapa orang-orang yang berteduh di sana. Ketika hujan berubah rintik-rintik kecil, ia pun membuka jaket dan memasang tas punggung sementara jaketnya jadi penutup dari hujan, dan langsung menerobos mengejar ketertinggalan waktu kedatangan yang telah dia ucapkan.
Sesampainya di rumah Ruminah, orang tua Ruminah telah menunggu di sangkok (ruang keluarga). Disambutlah Suparte masuk, sementara Ruminah dan ibunya berbalik ke belakang, sepertinya mempersiapkan minum. Suparte duduk menemani bapaknya Ruminah dengan muka yang masih kusut karena tergesa-gesa menerobos hujan. Kecanggungan Suparte pun mulai nampak ditambah kebingungannya menghadapi orang yang akan menjadi orang tuanya pula nantinya jika berhasil.
" Dari sekolah nak?". Bapaknya Ruminah mulai membuka suara yang hampir tidak kedengaran oleh Suparte.
"nggih (iya) Miq (MaMiq : panggilan untuk gelar kebangsawanan), Tiyang (saya, ucapan untuk menghormat) dari sekolah langsung ke sini". Suparte mencoba sesopan mungkin.
" ngajar di mana?, sudah jadi PNS?"
" Tiyang di MTs. Mislahul Ulum Miq, masih honor sekalian bantu-bantu di sana"
" Apa kau bawa apa yang saya pesankan dari Ruminah?"
" nggih Miq". Suparte mengambil tasnya lalu menyodorkan dua lembar kertas kepada bapak Ruminah. Sejenak bapaknya Ruminah membaca dengan detail yang tertulis di kertas tersebut.
" Pendidikan terakhir sarjana, ngajar IPA, terus pekerjaan orang tuamu sekarang?". Pak tua itu memulai semacam interviewnya kepada orang yang akan meminang anak gadisnya. Belum sempat Suparte menjawab, Ruminah dan ibunya datang membawa minuman hangat dan beberapa piring penganan ringan. Mereka berdua pun ikut duduk.
" Bapak sudah meninggal, sedang ibu yang sekarang biasanya di sawah untuk mengelola sawah peninggalan Almarhum bapak".
" Kenapa kamu tidak ikut bergelut di sawah?"
" saya ikut juga membantu Miq, biasanya sore hari atau pas hari libur". Seperti ada kekuatan untuk Suparte menjawab tegas pertanyaan yang diajukan bapak Ruminah ketika Ruminah ikut pula duduk di sana.
" Lulus sarjana setahun lalu, sedangkan Baiq. Ruminah (Baiq, gelar kebangsawanan sasak untuk anak perempuan, sedangkan untuk anak-anak laki biasanya bergelar Lalu atau Raden) lulus sarjana kesehatannya dua setengah tahun lalu, apa kamu sudah cukup tabungan untuk membina rumah tangga dengan anak saya?". Pak Tua tersebut mencoba membandingkan lembaran yang disodorkan Suparte tadi dengan lembaran yang memang sudah dia siapkan. Ruminah terlihat menunduk ketika bapaknya menanyakan tentang itu.
" Kalau masalah tabungan memang saya tidak memiliki cukup banyak Miq, namun saya punya keteguhan dan merasa yakin bahwa saya sudah mampu untuk berumah tangga".
" Yakin kamu tidak akan kesulitan dengan kondisi kekurangan, sementara kamu sendiri masih honor di sekolah, begitu juga Ruminah yang masih mengabdi juga di PKM"
" Saya akan mengusahakan yang terbaik untuk keluarga saya Miq"
" Contohnya apa yang akan kamu usahakan untuk yang terbaik seperti yang kamu ucapkan tadi"
" di samping sebagai guru honor, saya dan para pemuda di kampung telah merencanakan beberapa program usaha yang akan mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah, dari itu sebagai tambahan penghasilan, selain itu saya juga akan mengelola sawah warisan kami". Jawaban Suparte terdengar mantap, namun ternyata malah membuat bapak Ruminah mengernyitkan dahi. Pertanyaan ini lebih berat dari ketika dia menghadapi ujian skripsi.
" Apa kamu sudah mengenal Ruminah secara baik dan begitupun Ruminah apa sudah mengenalmu cukup baik pula?"
" Nggih abah, Tiyang sudah mengenal kak Parte cukup baik, Tiyang yakin dengan pilihan Tiyang abah". Kali ini Ruminah ikut membuka suara meyakinkan sang bapak.
" saya sudah mengenal Ruminah cukup lama Miq, sejak kami masih sama-sama semester 3 walaupun kampus berbeda, dan kami masih bertahan menjalin janji sampai selesai kuliah, dan sekarang saya datang untuk menepatinya". Suparte menambahkan untuk semakin meyakinkan bapak Ruminah, sementara ibu Ruminah masih terdiam menjadi pendengar setia.
Sepertinya ini lamaran paling unik sepengetahuan Suparte, sampai-sampai dia diminta membawa CV (Daftar Riwayat hidup) hanya untuk dibandingkan dengan CV anaknya yang telah dipersiapkan juga. Sampai Suparte dipersilahkan mencicipi hidangan yang telah disediakan belum juga ada kejelasan apakah dia diperkenankan untuk melamar Ruminah. Seruputan demi seruputan teh hangat mencoba untuk menenangkan dirinya sementara menunggu apa lagi yang akan keluar dari lidah sang bapak. Begitu juga bapak Ruminah sepertinya cukup menikmati teh hangat siang itu, sementara di luar hujan masih rintik-rintik terkadang diselingi bunyi guruh menggelegar menyaingi ketegangan di dada Suparte.
" Nak, kamu sudah yakin untuk membawa Ruminah untuk tinggal bersamamu?"
" Nggih Miq, Tiyang yakin dan sudah memantapkan hati"
" bagaimana denganmu Nak, apakah sudah mantap untuk meninggalkan rumah ini bersama dengan calon suamimu?"
" Dengan Ridho dan Restu abah, umi, Tiyang mantapkan hati untuk menjadi pendamping kak Suparte". Ketegasan jawaban Ruminah berbuah kelegaan di hati Suparte, terlihat dari raut mukanya yang mulai cerah.
" satu pesan umi, berbaktilah pada suami, dan jika ada waktu luang selalu sempatkan datang ke sini jenguk kami"
" Pasti Umi, Tiyang pasti akan selalu menjenguk umi". Suparte kini terdiam, sepertinya diliputi kegirangan dalam hati, namun masih was-was juga sebelum bapak Ruminah memberi kejelasan  keputusan atas kedatangan lamarannya siang itu. Ruminah pun masih terlihat menunduk dengan harap-harap cemas apa yang akan diputuskan abahnya, walaupun dia sudah menjelaskan dengan mantap akan keteguhan hatinya memilih Suparte.
" Baiklah, jika itu sudah menjadi niatan kalian berdua, sudah memantapkan hati juga, Bapak hanya bisa memberi restu semoga kalian benar-benar mendapat ridho juga dari Tuhan atas niatan baik ini". Seperti halnya bahagia ketika mendapatkan pernyataan kelulusan sarjana, ini lebih lagi bagi Suparte. Senyumnya terlihat merekah yang diarahkan kepada Ruminah, begitupun Ruminah membalasnya dengan muka haru bercampur kegembiraan.
" Selanjutnya bagaimana setelah ini Miq?, apakah Tiyang perlu membawa keluarga lagi untuk datang secara resminya?"
" Kalau adat kami di sini, untuk lamaran saja seperti ini sudah cukup, tinggal engkau bawa Ruminah merariq (menikah, dengan perempuan yang dibawa secara diam-diam) nanti kau titip di rumah keluargamu"
" Tapi Miq, di tempat saya tidak ada yang seperti itu, takutnya nama Tiyang yang jelek nantinya di kampung jika membawa anak gadis lalu dititipkan di rumah keluarga, dan itu pun belum jelas penentuan tanggal acaranya kami menikah". Agak berat bagi Suparte untuk berdebat tentang adat merariq seperti itu yang pernah dia dengar, bahkan pernah menyaksikan anak gadis di kampungnya dibawa lari oleh lelaki yang beradat seperti itu.
" Justru kalau datang secara ramai-ramai membawa keluarga, terus kami membiarkan anak gadis kami dibawa seperti itu, kami yang malu, ibaratnya anak kami diminta macam kambing yang tak dihargai".
" Astaghfirullah abah, kita sudah hidup di zaman modern abah, apa perlu kita masih memegang teguh adat seperti itu?". Ruminah sepertinya tak setuju juga dengan pendapat abahnya yang menyebutkan lamaran seperti meminta anak gadis layaknya akad jual beli.
" Adat kita sudah seperti itu nak, kalau kita mau menghindar kita yang dicemooh juga nantinya, saya rasa ini hal biasa kok terjadi, kemarin saja ada anak desa Mapal yang melamar anak Pak Jinten walaupun adatnya tidak ada merariq juga, dia bersedia kok membawa anak pak Jinten"
" Nak Parte, jika memang niatmu sudah mantap untuk membawa Ruminah, silahkan dibawa saja sekarang kami sudah merestui kalian berdua". Ibu Ruminah yang tadinya lebih banyak diam sekarang ikut bicara agar perdebatannya cepat usai.
" Nggih Miq, Umi, Tiyang sudah mantap untuk menikah dengan Ruminah, akan tetapi tidak adakah toleransi untuk adat semacam ini bagi Tiyang yang tidak beradat seperti di sini. Tiyang hanya ingin yang terbaik, supaya perjalanan niatan mulia kami ini lancar-lancar saja"
" Kalau begitu kan tinggal kamu bawa Ruminah ke kampungmu, nanti dijelaskan kepada orang-orang di kampung terutama kepala dusun, RT/RW bahwa adat kami di sini seperti itu untuk lamarannya"
" Baiklah kalau begitu Miq, Tiyang bersedia, lalu bagaimana dengan Sadean-nya? (uang pelamar yang diberikan pihak pria kepada orang tua si perempuan).
" Nah kalau itu mesti mendatangkan orang-orang tua dari pihak keluargamu dan kelurga kami juga, sedangkan untuk maskawinnya, silahkan kalian diskusikan berdua dengan Ruminah, apa maunya Ruminah yang akan menjadi maskawin yang bisa kamu berikan"
" Apakah tidak bisa sekalian sekarang juga dibicarakan Miq untuk Sadeannya?". Suparte mulai menampakkan keberaniannya untuk lebih jauh berbicara kepada orang tua Ruminah terkait adat yang dirasa terlalu membelenggu mereka dalam hal pernikahan. Bapaknya Ruminah terlihat tercengang mendengar ucapan Suparte yang tadi, sepertinya ada kejanggalan yang dia rasakan.
" Kalau Sadean biasanya membutuhkan waktu yang cukup untuk membicarakannya, apalagi kami juga belum mengundang keluarga yang lain untuk meminta pertimbangan, begitu pula keluargamu pasti ada pertimbangan-pertimbangan yang lebih baik yang bisa mereka tawarkan, untuk itu kamu tentukan saja waktu kapan bisa datangkan keluargamu untuk pembicaraan lebih lanjutnya". Bapak Ruminah seperti berkilah dengan jawaban ini, menimbulkan ketidakpuasan bagi Suparte, namun dia tidak ingin membuat tersinggung Bapaknya Ruminah yang baru saja memberikan keputusan diperkenannya dia untuk menikahi Ruminah.
Suparte pun mengangguk-ngangguk saja, seperti menerima kekecewaan atas ketidakpuasan tersebut hanya karena terbelenggu adat di kampung calon istrinya. Dia kembali menyeruput teh yang sepertinya sudah tidak hangat lagi, mencicipi pisang goreng sembari memasng muka yang setenang-tenangnya atas keputusan terakhir orang tua Ruminah. Pun Ruminah sejak tadi hanya terdiam, kelu dengan perdebatan masalah adat antara bapaknya dan Suparte.
" Kira-kira tanggal dan hari baik untuk acaranya kapan ya Miq?". Kali ini Suparte yang memulai membuka suara setelah jeda seruputan teh tadi.
" Ya lebih cepat lebih bagus, kalau cepat selesai pembicaraan dengan keluargamu juga tinggal tentukan harinya, biasanya kan hari minggu bagusnya untuk resepsi supaya banyak yang bisa datang"
" Bisa tidak hari ahad minggu ini Miq, supaya cepat selesai juga". Kembali Suparte bernegosiasi, dengan pertimbangan supaya tidak terlalu lama calon istrinya berada di rumah tetangga yang akan dititipi.
" Sekarang hari Selasa, semoga saja bisa nak ya, nanti kita minta pertimbangan juga kepada orang yang biasa menghitung Diwase (Perkiraan hari baik)". Jelas saja jawaban ini terasa menggantung bagi Suparte, padahal yang dia inginkan adalah kejelasan dan ketegasan dari orang tua Ruminah agar pernikahan mereka cepat terlaksana dan tidak ada lagi beban bagi kedua belah pihak.
Setelah berbasa-basi tentang hal lainnya yang cukup lama juga untuk mencairkan suasana dan menjalin kedekatan bagi Suparte dan keluarga Ruminah. Azan ashar pun berkumandang, bapak Ruminah bersiap untuk ke masjid dengan terlebih dahulu menutup pembicaran dengan berpesan kepada Suparte agar mendatangkan keluarganya karena masih ada pembicaraan antar keluarga yang belum dilakukan, Lagi-lagi ini tentang adat yang sepertinya tidak sah jika tidak dilakukan. Suparte hanya mengiyakan dan mengatakan secepatnya untuk mendatangkan keluarganya. Bapaknya Ruminah pun beranjak dari duduknya bergegas menuju masjid yang berjarak sekitar 5 rumah dari sana.
Sepeninggal abahnya, Ruminah bersama ibunya masih tetap menemani Suparte, membicarakan tentang rencana selanjutnya bagi Suparte dan Ruminah. Ibu Ruminah pun sempat menceritakan kejadian ketika ia pertama kali mengetahui adat merariq seperti itu saat dia dibawa oleh bapaknya Ruminah dahulu, sedangkan adat di kampung ibunya Ruminah biasanya melakukan lamaran secara baik-baik dengan mempertemukan secara langsung kedua keluarga. Sementara ibunya Ruminah yang dulunya tidak mengetahui adat seperti itu seperti merasa terpaksa tanpa meminta persetujuan orang tuanya terlebih dahulu untuk dibawa oleh calon suaminya. Namun setelah dijelaskan oleh calon suaminya, dibarengi rasa cinta, diapun menerima saja dititipkan di rumah tetangga calon suaminya. Sementara kekhawatiran ibunya Ruminah akan orang tuanya yang tak sempat diberitahu bahwa dia akan menikah dengan adat suaminya merariq (dilarikan) seperti itu.
" Kalau sekarang kan gampang saja jika ada gadis yang diajak merariq, ada HP yang bisa digunakan untuk menghubungi orang tua si perempuan. kalau dulu, jika perempuan diajak keluar oleh laki-laki yang bisa dikatakan pacarnya, terus tidak dibawa pulang sampai malam, itu bisa dikatakan merariq sudah, walaupun besoknya dia dikembalikan lagi oleh si laki-laki, ataupun kita tidak berburuk sangka tidak pernah terjadi apa-apa antara mereka, tetap saja mereka harus merariq, kalau tidak keluarga si perempuan tidak akan menerima dia lagi di keluarganya. Meskipun bisa saja si perempuan menginap di rumah keluarganya diantar oleh laki-laki yang menjemputnya dari rumah, namun adatnya dia harus menikahi si perempuan jika tidak ingin terjadi konflik antar keluarga mereka". Papar ibu Ruminah menjelaskan tentang adat mereka di sana, yang lambat laun dipahami juga oleh ibu Ruminah setelah sekian lama di kampung tersebut.
Suparte teringat kejadian 3 tahun lalu ketika kakak perempuannya pagi hari di jemput oleh calon suaminya dan berpamitan kepada orang tuanya dengan dalih ke rumah teman kuliahnya. Sampai magrib kakaknya belum pulang juga, sementara orang tua mereka sudah khawatir dengan anak perempuannya. Barulah setelah isya, Suparte menerima SMS dari kakaknya dia diminta untuk memberitahu orang tua mereka bahwa kakaknya telah diajak merariq oleh calon suaminya yang menjemput tadi pagi. Orang tua Suparte sepertinya keberatan, pun meminta agar kakaknya dibawa pulang saja dahulu untuk lebih sopannya adat mereka melamar. Namun Suparte yang juga seorang yang berpendidikan merasa perlu menghormati adat masyarakat lain menjelaskan kepada orang tuanya bahwa itu adalah adat yang biasa terjadi. Akhirnya orang tua Suparte mengalah dan menunggu kedatangan keluarga calon suami kakaknya datang merundingkannya.
Sekarang yang dialami Suparte justru terbalik, dia yang datang melamar secara baik-baik malah diminta untuk melarikan calon istrinya. Bagaimana dia tidak kebingungan, membawa perempuan yang belum mempunyai hubungan sah untuk tinggal di kampungnya dan dititipkan di rumah keluarganya sampai beberapa hari yang belum pasti kapan akan diadakan pernikahannya, tergantung perundingan antara kedua keluarga. Suparte menerka-nerka perundingan selanjutnya yang akan diadakan, sepertinya tidak jauh berkisar tawar menwar Sadean (uang pelamar yang akan diberikan kepada orang tua si perempuan).
" Pertemuan dua keluarga nantinya membicarakan apa umi?". Dia memberanikan diri bertanya pada Ibu Ruminah yang sedang memeluk Ruminah dan bersandar di bahunya.
" Banyak nak, salah satunya hari pelaksanaan pernikahan, undangan, dan tergantung lagi apa yang penting untuk dibahas nantinya". Ibu Ruminah sama sekali tidak menyebutkan tentang Sadean, sepertinya itu agak sensitif untuk dibahas, Suparte pun segan dan mengurungkan niatnya menanyakan hal tersebut.
" Ayo shalat dulu nak, sebelum berkemas-kemas, sementara menunggu Bapak dari masjid juga". Ruminah mengantarkan Suparte ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, sementara dia kembali ke ruangan agak kecil yang biasa digunakan sebagai tempat shalat, menggelar sajadah dan segera kembali ke kamar mandi, bertemu Suparte yang sudah selesai wudhu.
" Tunggu kak ya, Kita berjamaah, shalatnya di ruang dekat Sangkok tadi, ada sajadah tergelar di sana". Suparte hanya mengangguk, tak lupa memberikan senyum terbaiknya untuk Ruminah.
                                       *****
Selesai shalat, bapak Ruminah telah duduk kembali di sangkok tadi, ibu Ruminah belum terlihat, Suparte pun ikut kembali duduk bersama bapak Ruminah. setelah itu Ruminah masuk ke sebuah kamar untuk mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa. Suparte dan bapak Ruminah kembali berbincang-bincang, lebih tepatnya dia memberikan nasihat kepada Suparte bagaimana membina hubungan baik dalam keluarga, terlebih mereka adalah orang-orang terdidik yang pernah mengenyam pendidikan tinggi, sementara bapak Ruminah hanya sampai Diploma. Suparte seperti terlarut dalam haru dan kebahagiaan sembari mendengar petuah-petuah yang dikeluarkan bapak Ruminah. Ibu Ruminah masuk ke kamar yang dimasuki Ruminah tadi, membantu mempersiapkan apa yang akan dibawa Ruminah ketika merariq.
Setelah beberapa jenak mereka berdua pun keluar, dengan ransel ukuran sedang dijinjing oleh ibu Ruminah diikuti Ruminah di belakangnya dengan tas kecil selempangnya. Bapak Ruminah menghentikan petuahnya, lalu meminta Ruminah mendekat kepadanya. Sambil memegang pundak Ruminah Dia pun memulai membaca doa namun tak terdengar, hanya mulutnya yang terlihat bergerak, setelah itu ditiuplah ubun-ubun anaknya, sebagai sebuah prosesi melepas anaknya yang akan menikah. Suparte dan Ruminah pun berpamitan kepada kedua orang tua Ruminah. Di halaman depan sebelum Suparte menyalakan sepeda motornya, mereka bertemu dengan adik perempuannya Ruminah yang baru pulang dari sekolah. Seragam Putih-birunya terlihat sedikit basah pada rok bagian bawahnya.
" Kak umi mau ke mana?"
" Ke rumah teman, kok pakaiannya basah itu, sudah hujan-hujanan ya tadi di sekolah?". Sambil mencium tangan kakaknya, Ruminten tampak heran melihat kakaknya dan tak menjawab pertanyaan kakaknya tadi.
" Ke rumah teman kok kakak bawa tas penuh gitu?".
" Mendingan masuk ke dalam saja dulu, ganti pakaian sana". sambil mencium kening adiknya, giliran Ruminah yang tak menghiraukan pertanyaan adiknya. Walaupun masih diliputi heran minten pun beranjak masuk rumah.
                                              ****
Di perjalanan menuju rumahnya, Suparte tak putusnya mengadakan pembicaraan dengan Ruminah, kalau tadi ke rumahnya Ruminah dengan tergesa-gesa, kini setelah Ruminah berada di boncengannya, sepeda motornya berjalan seperti siput yang merangkak menyusuri jalan di sekitar areal persawahan yang hijau, semakin meneduhkan hati mereka berdua untuk melangkah dengan pasti.
Sampainya di rumah, hari hampir petang, ibu Suparte sempat terkejut sang anak membawa seorang gadis ke rumah. Setelah berucap salam dan mencium kedua tangan ibunya diikuti Ruminah, barulah dia mengajak ibunya duduk dan menjelaskan semua. Tanpa merundingkan terlebih dahulu dengan ibunya perihal keinginannya datang melamar Ruminah, sang ibu masih terdiam mendengar penjelasan Suparte dengan sedetail-detailnya. Sementara Ruminah terlihat menunduk, ikut larut dalam keheningan diamnya ibu Suparte.
" Jika itu memang keputusan yang menurutmu terbaik, tidak ada halangan bagi ibu untuk tidak menyetujui, akan tetapi mengapa tidak nanti saja kau bawa Ruminah ke sini ketika sudah jelas pembicaraan dengan keluarganya". Ibu Suparte mencoba menanggapi sebijak mungkin.
" Bahkan orang tua Ruminah sendiri yang meminta saya harus membawa Ruminah sekarang Inaq (Panggilan ibu, untuk perempuan Sasak), kita juga harus menghormati adat mereka yang tradisinya seperti itu".
" Terus rencana mau kau inapkan di mana Ruminah selama penantian ini?, kalau tinggal serumah dengan mu takutnya nanti akan bermacam-macam pandangan orang terhadapmu"
" Bagaimana kalau di rumah Saiq Juma' saja?". (Saiq, panggilan untuk Bibi, lebah tepatnya Inaq saiq).
" Tunggu dulu di sini, saya panggilkan Pak Kadus dan Pak RT untuk lebih sopannya". Ibu Suparte bergegas keluar rumah mencari orang yang disebutkan tadi. Ruminah yang tadinya cukup berdiam dengan menundukkan kepala kini menegakkannya kembali sembari memandang ke arah Suparte.
" Maaf Kak parte, hanya karena urusan adat jadi merepotkn seperti ini, padahal saya tidak masalah walaupun tetap menunggu di rumah, sampai pembicaraan keluarga selesai"
" Tidak apa-apa dek, ini tidak merepotkan kok, hanya bagian dari proses". Suparte mencoba menenangkan Ruminah.
Ibu Ruminah kembali dengan dua orang bapak paruh baya bepeci hitam dan seorang perempuan yang lebih muda dari ibu Suparte. Setelah mengucap salam dan disalami oleh Suparte dan Ruminah, merekapun duduk bersama. Ibu Suparte kali ini mengambil alih untuk menjelaskan, dua bapak tadi manggut-manggut saja, begitu juga Saiq juma' yang telah diundang oleh ibu Suparte. Dia tidak merasa keberatan jika Ruminah untuk sementara tinggal bersamanya sementara menunggu hari akadnya dilaksanakan.
" Kira-kira kapan rencana untuk be-selabarnya nak Parte?". Pak kepala dusun mulai membuka suara. (beselabar, Prosesi lamaran dengan mempertemukan kedua keluarga).
" Kalau menurut Tiyang lebih cepat lebih bagus Tuaq (Panggilan untuk Paman), besok kalau Pelungguh (Anda, ungkapan untuk menghormat) ada waktu luang bisa kita berangkat ke rumahnya Ruminah"
" Bagus kalau begitu, nanti paman-pamanmu yang lain juga diundang untuk membicarakannya, karena bagaimanapun merekalah yang menjadi orang tuamu sekarang". Ungkap bapak yang satunya lagi.
" Nggih Tuaq, Besok Tiyang datangi mereka untuk meminta kesediaannya". Sementara hari semakin beranjak petang ditandai dengan mulai riuhnya speaker-speaker masjid dengan bacaan al Qur'an dari kaset-kaset ataupun radio yang disambungkan. Kesepakatan sudah didapatkan besok siang mereka akan berkunjung ke rumahnya Ruminah, dan malam ini Ruminah akan menginap untuk sementara di rumah Bibi Juma' diantar oleh Suparte dan ibunya, yang berselang sekitar 4 rumah dari rumahnya Suparte.
                    *****
Kembali sepulang sekolah Suparte menuju rumahnya Ruminah, kali ini diringi 2 sepeda motor lainnya. Dua orang pamannya bersedia menjadi mediator ditemani orang yang ditokohkan di kampung mereka. Mereka berenam beriringan menembus mendung di siang itu. Rumah Ruminah tampak lengang, setelah mengucap salam barulah mereka disambut oleh Ibu Ruminah, mempersilahkan mereka masuk dan menjelaskan bahwa suaminya tadi keluar untuk shalat zuhur di masjid. Ibu Ruminah pun meminta mereka menunggu sejenak, lalu beranjak ke rumah tetangga meminta tolong untuk dipanggilkan suaminya yang sekiranya masih di masjid. Tak lama bapak Ruminah pun sudah sampai di rumahnya, dia meminta ibu Ruminah memanggil beberapa orang yang dia sebutkan, membantunya membicarakan pernikahan putrinya bersama keluarga Suparte.
" Mendadak sekali datangnya Nak parte, ndak Telepon dulu tadi supaya kami persiapkan juga". Bapak Ruminah membuka perbincangan untuk mencairkan suasana.
" Nggih Miq, Tiyang lupa telepon, Tiyang sudah pesankan ke dek Ruminah untuk menghubungi Pelungguh terkait kedatangan kami. Ini paman Tiyang semua ini Miq, Tuaq Galeh, Tuaq Jumarin, Tuaq Safar, Tuaq Salim, Tuaq Saleh, dan ini Sepupu Tiyang Sabri". Perbincangan masih seputar basa-basi pengakraban kedua keluarga, belum menjurus ke inti yang akan dibicarakan. Orang yang dipanggil oleh ibu Ruminah telah tiba juga dan dipersilahkan masuk oleh bapak Ruminah. Dibantu tetangganya, ibu Ruminah mempersiapkan minuman untuk para tamunya.
" Karena keluarga kami juga sudah berkumpul, untuk efektifnya waktu kita mulaikan saja Nak, Silahkan mungkin ada yang ingin disampaikan dari Pak Salim terlebih dahulu terkait tata cara-tata cara kita dalam melamar, siapa tahu jika ada perbedaan kami juga bisa menghormati dan mencari jalan tengah untuk baiknya". Lanjut Bapak Ruminah.
" Lebih bagusnya kita tentukan saja dulu hari baiknya untuk pernikahan anak-anak kita, karena menyegerakan ibadah juga hal yang sangat baik". Papar Tuaq salim.
" Menurut Tiyang hari ahad minggu ini baik juga kok untuk acara akad digabung saja sekalian resepsinya, supaya sekali-kali selesai prosesinya". Usul dari pak Jamran yang juga paman dari Ruminah.
" iya lebih cepat lebih bagus, hari ahad minggu ini sepertinya cukup bagus, akan tetapi sebelum kita putuskan tanggal tersebut apa tidak lebih baiknya kita rundingkan juga terkait Sadean-nya terlebih dahulu?". (uang pelamar yang diserahkan ke orang tua Perempuan). Tuaq Galeh menambahkan secara langsung ke inti pembicaraan supaya diskusinya tidak terlalu lama.
" Terkait Sadean bagaimana baiknya menurut Pelungguh sekalian?". Bapak Ruminah melemparkan ke forum, sementara ibu Ruminah masuk menghidangkan minum dan beberapa piring makanan ringan. Ibu Ruminah diminta untuk ikut duduk oleh suaminya.
" Kami menunggu dari Pelungguh dulu yang menyebutkan kira-kira berapa kisaran baiknya yang akan dikeluarkan pihak keluarga kami, kita secara langsung saja Miq supaya tidak ada tangguhan-tangguhan, toh juga niat kita berkumpul di sini kan memang untuk membahas itu". Tuaq Galeh yang lebih tua di antara mediator yang dibawa Suparte semakin tegas untuk mengarah ke pembicaraan yang sebenarnya, namun tetap menjaga kesopanan mereka yang bertamu.
" Bagaimana umi, kira-kira standar Sadean yang biasa berlaku di sini?". Bapak Ruminah malah mengalihkan ke istrinya.
" Kalau standar anak-anak perempuan yang sarjana di sini biasanya berkisar 35 sampai 50 apalagi yang perawat seperti Ruminah, akan tetapi untuk lebih baiknya kita tidak perlu berbicara lebih jauh standar-standar Sadean semacam itu, bagaimana baiknya saja untuk kelancaran rencana pernikahan anak-anak kita". Paparan ibu Ruminah hampir membuat syok Suparte dengan nominal-nominal sudah terstandar yang disebutkan ibu Ruminah, dia sudah bisa menebak angka tersebut representasinya bernilai berapa. Sedangkan dia yang hanya guru honor dari mana akan mendapatkan dana sebanyak itu.
" Lalu untuk lebih baiknya kira-kira berapa nominal yang menurut keluarga Pelungguh paling baik untuk tercapainya kesepakatan kedua belah pihak atas Sadean ini Miq". Tuaq salim yang tadi lebih banyak berdiam kini ikut membuka suara. Suparte pun sepertinya was-was dalam dadanya, seakan menunggu putusan besar atas langkahnya mengambil Ruminah sebagai calon istri. Apapun putusan itu dia akan siap untuk mengusahakannya, namun terlebih dahulu menegosiasikannya.
" Untuk lebih baiknya dengan perhitungan pembelian perabotan yang akan dibelikan ibunya Ruminah bagi keluarga pengantin nantinya bagaimana jika kisarannya kita patok 30 saja dengan beberapa pertimbangan yang telah kami rembug-kan bersama keluarga". Akhirnya putusan itu pun keluar dari Bapaknya Ruminah, sedikit kelegaan bagi Suparte dengan tersebutnya nominal yang diucapkan, namun tetap merasa berat selanjutnya akan memikirkan bagaimana mendapatkan dana sebanyak itu untuk Sadeannya. Sementara untuk resepsi pun masih membutuhkan dana yang tidak sedikit. Suasana tampak lengang, Suparte meneguk minumannya, Tuaq salim menghisap rokoknya dalam-dalam, begitu juga di pihak keluarga bapak Ruminah, tampak masih tenang-tenang saja.
" jadi pertimbangan nominal 30 ini sudah sesuai pertimbangan penggunaan dana nantinya untuk keperluan keluarga pengantin?". Tuaq galeh seolah ingin mendapatkan kejelasan lebih.
" Iya pertimbangan dengan keluarga-keluarga kami yang lain juga menyetujui seperti itu pak". Jawab singkat bapaknya Ruminah.
" Apa tidak bisa kita sederhanakan lagi nominal tersebut Miq, apalagi kan kita sama-sama tahu penghasilan dari Nak Suparte yang baru honor juga kan masih belum terlalu banyak simpanannya. Namun karena ini memang benar-benar niat baiknya agar cepat membina rumah tangga, yang katanya juga untuk menepati janjinya kepada Ruminah". Tuaq saleh mencoba bernegosiasi sebijak mungkin.
" Nah itulah perlunya pembicaraan antar keluarga lebih jauh lagi, makanya kan pas pertama nak Parte datang sendiri sudah saya pesankan juga untuk memberitahukan ke keluarga juga". Jawab bapak Ruminah.
" Maksud Tiyang nominal yang Pelungguh sebutkan tadi apa tidak bisa disederhanakan lagi, atau bahasanya lebih rendah dari itu yang harus diusahakan oleh nak Parte untuk memenuhinya". Lanjut Tuaq Saleh.
" Menurut Pelungguh sekalian kira-kira baiknya berapa begitu?".
" Tiyang kira di bawah 20 sepertinya itu sudah terbaik yang bisa diusahakan, terlebih nak parte juga masih mempunyai tanggungan atas ibunya yang sendirian sekarang". Tegas Tuaq galeh.
" Perkiraan perlengkapan yang akan dibelikan untuk keluarga pengantin nantinya juga sepertinya masih kekurangan dengan nominal segitu pak, akan tetapi kita mengikuti bagaimana baiknya saja yang bisa diusahakan nak Parte". Bapak Ruminah kembali sesopan mungkin atas putusannya.
Suparte masih terdiam memikirkan bagaimana dia akan memperoleh dana sebesar itu sementara di tabungannya tidak terlalu banyak yang dia siapkan. Mau mengandalkan siapa lagi, sementara dia tidak mungkin mengandalkan paman-pamannya yang kehidupan mereka sederhana juga dari hasil sawah. Sejak awal dia tidak terpikirkan dengan standar-standar Sadean yang berlaku pada adat kampung calon istrinya. Mau mundur sungguh akan mencoreng arang di mukanya, terlebih calon istrinya sudah berada di kampungnya sendiri.
Setelah berbicara cukup panjang lebar antara kedua keluarga, diputuskanlah Sadean yang akan diusahakan Suparte dengan mengambil jalan tengah nominal 25, putusan terakhir dari keluarga Ruminah. Paman-paman Suparte yang menjadi mediator saling berpandangan, dengan diamnya mereka seolah menyetujui namun tetap bagaimana Suparte yang akan menyikapinya. Nominal 25 itu kini menjadi beban pikiran bagi Suparte. Sementara putusan tanggal pelaksanaannya yang diusulkan Ahad minggu ini tidak jadi diputuskan.
Sepulang dari rumah Ruminah, mereka pun langsung menuju rumah Suparte untuk merundingkan lagi perihal Sadean tersebut yang dirasa cukup besar bagi kehidupan sederhana mereka. Kali ini ibunya Suparte dan bibi Juma' ikut terlibat, Ruminah masih berdiam di rumahnya. Mendengar penuturan Tuaq Galeh, ibunya Suparte pun terdiam.
" Dari mana kita akan dapatkan dana segitu, Tiyang tidak punya simpanan lagi selain ada satu cincin yang masih tersisa, mungkin bisa dijual, atau kalau tidak sawah warisan amaq-mu (Amaq, Bapak) bisa digadaikan dulu sebagai jaminan untuk pinjaman jika kamu setuju". Suara ibu Ruminah terdengar datar dan merendah.
" Tiyang akan usahakan inaq, Tiyang tidak akan merepotkan side ( anda), Side berikan ridha dan restu saja untuk Tiyang"
" Tetap itu akan menjadi pikiran Tiyang juga nak, ndak mungkin Tiyang melepaskanmu memikirkannya sendiri, mau mundur juga sudah kepalang tanggung, anak Gadis orang sudah kau bawa di sini, alangkah malunya jika dipulangkan, bisa-bisa itu membuat stress kalian berdua".
Sementara paman-pamannya yang hadir ikut larut dalam diam, seperti kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan ide mereka untuk mengatasi masalah Sadean tersebut. Untuk menenangkan mereka Tuaq salim pun mengusulkan untuk datang lagi ke orang tuanya Ruminah membicarakan lagi Sadean tersebut untuk diperkecil lagi nominal yang akan diusahakan oleh Suparte. Sementara Suparte juga berpikir keras, memutar otak dari mana akan mendapatkan dana tersebut.
Berselang dua hari, Pertemuan kedua antara dua keluarga itu untuk menegosiasikan memperkecil nominal Sadean itu pun masih tetap dengan putusan bapak Ruminah, nominl 25 itu masih dipertahankan oleh keluarga Ruminah. Malah yang menjadi putusan,  Hari Ahad minggu ini tidak jadi dilaksanakan akad dan resepsinya, pihak keluarga Suparte yang meminta dimundurkan. Sebab dia masih kebingungan untuk mendapatkan dananya, karena itu hari ahad ini pun rencananya akan digunakan dengan mengumpulkan kayu bakar untuk Begawe (Hajatan) nantinya. Kalau sudah sampai tahap pengumpulan kayu bakar untuk begawe, mau tidak mau pernikahannya harus tetap dilaksanakan bagaimanapun beban pikiran terkait Sadean tersebut.
Sampai 3 kali pertemuan kedua keluarga dicapailah putusan nominal Sadean-nya 20, terus akad nikahnya akan dilaksanakan pada hari Kamis siang, sementara resepsinya yang hanya untuk berdiri di pelaminan selama beberapa jam menjadi tontonan, akan dilaksanakan hari ahad. Hampir dua minggu bernegosiasi antar dua keluarga. Ruminah masih setia menunggu di rumah bibi juma' dengan tetap ditenangkan oleh Suparte untuk secepatnya menyelesaikan administratif ala adat kampung calon istrinya. Suparte tampak tenang setelah mendapat ide bagaimana mendapatkan dana untuk Sadeannya.
Dengan jaminan sepeda motornya dan kumpulan pinjaman dari paman-pamannya terkumpullah dana Sadean yang bisa dia usahakan. Sementara untuk dana resepsi dia mendapatkan bantuan dari banjar-banjar (Bantuan, tolong-menolong dari keluarga ataupun tetangga sekitar semacam iuran bantuan ketika ada warga yang menikah). Beberapa tetangga yang mempunyai kebun kelapa menyumbangkan kelapa, yang mempunyai kebun pisang menyumbangkan pisang, terus rempah-rempahan untuk bumbu seperti cabe, bawang dan sejenisnya. Begitu juga kerabat dekat yang sedia menyumbangkan beras, Gula, minyak goreng serta uang pelangar (dana untuk membantu hajatan atau begawe).
Pertemuan keempat sekaligus mengundang untuk acara akad nikah bagi Suparte sangat mendebarkan. Sebab pada pertemuan itu juga pihak keluarganya akan menyerahkan Sadean yang telah disepakati sebelum akad terlaksana. Dengan penjelasan sedetail-detailnya dan sesopan mungkin keluarga Suparte diwakili Tuaq Galeh yang sudah cukup berumur dan makan garam atas adat pernikahan menyerahkan nominal 15 yang mereka bawa. Masih kurang 5 dan rencananya akan dicukupkan oleh Suparte setelah resepsi pernikahan mereka. Sebab yang menjelaskan orang yang lebih berumur darinya, bapak Ruminah pun manggut-manggut saja, lalu mencairkan suasana dengan mengalihkan pembicaraan rencana pelaksanaan akad nikahnya esok lusa.
Kamis yang menjadi penantian mereka pun tiba, Mushalla di kampung Suparte dihias semeriah mungkin, walaupun tidak terlalu besar nampaknya cukup untuk menampung undangan dari kedua keluarga dan tetangga-tetangganya. Hidangan untuk akad ini pun dipersiapkan juga oleh keluarga Suparte dengan dulang Nare (Nampan aluminium atasnya tertutup dengan anyaman daun enau yang dicat merah). Selain itu biaya administrasi dengan menghadirkan pihak KUA pun sudah diperhitungkan secara detail.
Keluarga Ruminah sudah hadir di Mushalla. Sebelum acara akad dimulai terlebih dahulu diberikan pengarahan dari tetua yang ada di kampung, begitu juga bapak Ruminah diberitahu terlebih dahulu sebelum mengijab kabulkan anaknya. Dia tampak terkejut ketika diberitahukan tentang mahar yang disediakan untuk putrinya. Tak ada waktu untuk mendebatnya, jadi dia tenangkan saja dirinya menghapalkan apa yang akan diucapkan untuk ijab kabul putrinya. Beberapa tokoh masyarakat dari kampungnya yang diundang bapak Ruminah telah berbaur dengan undangan-undangan yang dihadirkan keluarga Suparte. Para tokoh agama yang diundang keluarga Suparte tampak khidmat menunggu prosesi akad.
Pengantin pun dipanggil untuk naik ke mushalla, diiringi dua orang perempuan yang membawa nampan di atasnya terdapat sebuah bingkisan dan segelas air putih tertutup atasnya. Para hadirin sepertinya bertanya-tanya dalam diri masing-masing perihal apa yang dibawa pengiring tersebut. Setelah khutbah nikah dibacakan, tibalah prosesi ijab kabul yang akan dibacakan oleh bapak Ruminah.
" Saya nikahkan engkau Suparte dengan anak saya Baiq. Ruminah dengan maskawin satu buah kitab suci Al Qur'an dan segelas Air putih dibayar tunai".
" Saya terima nikahnya baiq Ruminah dengan maskawin seperti yang disebutkan tadi dibayar tunai". Diulang sekali lagi Suparte diminta untuk menyebutkan juga detail maskawin yang diberikan dan menjabat erat tangan bapak Ruminah di akhirnya. Hadirin pun menyatakan sah, dan masih tampak takjub dengan keheranan akan segelas air putih yang dibawa pengiring pengantin tadi. Setelah penandatanganan buku nikah, selanjutnya penyerahan maskawin dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Ruminah pun langsung meminum air yang menjadi maskawinnya tersebut disaksikan oleh orang tuanya yang masih menampakkan raut kebingungan di wajah mereka.
Selesai uraian hikmah pernikahan dari Tuan Guru (Tokoh Agama) yang diundang, dilanjutkan dengan syukuran akad tersebut dengan menghidangkan dulang-dulang untuk para hadirin. Barulah selesai menikmati hidangan, bapak Ruminah menyusul ke rumah Suparte untuk melihat putrinya. Terlihat rona kebahagiaan yang cukup besar di wajah Ruminah ketika ditemui oleh kedua orang tua dan kerabatnya yang lain. Lebih 10 hari menunggu di rumah bibi juma' terasa penantian yang cukup panjang baginya sebab tidak tahu menahu akan pembicaraan yang dilakukan oleh keluarganya dan keluarga Suparte.
Sampai Suparte memberitahukan padanya perihal hadits dari Sunnah Rasul yang menganjurkan mahar itu yang sederhana. Ruminah pun menyetujui tawaran Suparte dengan maskawin tersebut asalkan secepatnya untuk dilaksanakan akadnya. Sementara perihal Sadean (Uang pelamar) Suparte tidak pernah memberitahukan kepada Ruminah, bagaimana perjuangannya mengusahakan dana tersebut, dibiarkan menjadi tanggung jawabnya sendiri.
Dengan pelaminan sederhana rancangan kawan-kawan pemudanya jadilah resepsi pernikahan mereka diadakan. tak ada tenda sewaan, sekedar terpal yang jadi atap dan pinjaman kursi plastik dari kantor desa. Begitu juga pakaian pengantin mereka, tanpa make up berlebihan yang biasanya pada acara-acara resepsi, wajah mereka justru terlihat lebih cerah dan bahagia. Suparte dengan kegigihannya mengumpulkan dana semampunya agar pernikahannya terlaksana dengan lancar, telah memanage pendanaannya sebaik mungkin. Tidak berlebihan, namun jelas kekurangan. Pun Sampai selesai resepsi dia masih menanggung Hutang.
Ironi pernikahan yang begitu mudahnya dianjurkan oleh penulis-penulis kata-kata manis yang biasa dibagikan di media sosial, sungguh tidak sesuai dengan kenyataan. Ketika menikah dihadapkan dengan kurangnya pendanaan, dan persiapan yang belum terlalu baik, maka jalan spekulasi dengan menanggung hutang inilah sepertinya jalan keluar tercepat untuk pemecahannya. Namun Suparte masih menyimpan percaya bahwa menikah juga salah satu jalan menjemput rizki, seperti yang dia sering dengarkan pada kata-kata hikmah ceramah pernikahan.
Menikah yang begitu mudah diucapkan ternyata lebih membutuhkan penjelasan secara lebih terperinci lagi dari pada sajak yang biasa dijadikan penyair sebagai tujuan atas pikirnya. Menikah tidak hanya kata belaka, namun makna tersiratnya lebih dahsyat dari pada mantra. Menikah bukanlah lelucon yang dijadikan tawaan, akan tetapi sebuah ungkapan pembuktian bahwa cinta itu benar-benar akan bermuara pada satu hati untuk selamanya. Ijab kabul bukanlah seperti melafalkan sajak, namun lebih sakral yang akan menyatukan dua hati yang berjanji. Sajak-sajak cinta begitu indah, menyemangati hati untuk terus memperjuangkannya, meski beban tak jadi hirauan.

(Baim Lc, Lombok 22-04-2016)

Jalan Sunyi Si Pendidik

sumber :digaleri.com Baim Lc*  Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal ya...