Selasa, 26 April 2016

Mayat-mayat Busuk



Gelap masih menyelimuti, bahkan kokok ayam pun belum terdengar, hanya sesekali bunyi tokek yang menggelegar bersembunyi di antara tiang-tiang penyangga atap rumah tanpa langit-langit. Lampu redup aliran dari listrik tetangga sengaja tidak dia matikan, dengkuran anak-anaknya tergolek dengan nyenyaknya walau beralaskan tikar pandan anyaman sendiri. Inaq  Mar segera bangkit, bergegas menuju dapur tempat penyimpanan perlengkapannya untuk menambang pasir. Sebuah nampan plastik berlubang semacam ayakan dan sekop menjadi peralatan hariannya, lalu berjalan ke luar rumah meninggalkan anak-anaknya yang masih pulas.
Keluar dari gang-gang yang lengang menuju jalan kampung, di sana sudah menunggu dua orang lainnya. Siap menjalankan rutinitas di pagi buta mereka, tiga ibu-ibu yang telah ditinggal mati suami itu biasa bertemu di belokan persimpangan, tempat strategis untuk mereka saling menunggu. Inaq  Mar, Inaq  Icah dan Inaq  Ran selanjutnya berangkat menuju lokasi penambangan pasir di sungai yang berjarak sekitar 800 meter dari kampung mereka. Kadang mereka berangkat berlima atau berempat bersama Inaq  Min, Inaq  Ida, namun yang rutin tiap pagi buta hanya mereka bertiga. Lahan kosong sekitar sungai milik seorang janda pula yang ditinggal mati suaminya akibat sakit yang tak kunjung sembuh.
Pagi buta mereka berangkat menambang pasir, selesai shalat shubuh di lokasi penambangan mereka melanjutkan sebagai pembuat bata merah di tanah lapang milik seorang pengusaha di kampung tersebut. Lakon hidup seperti itu sudah lama mereka jalani, bahkan sejak suami mereka masih ada. Hanya selingannya ketika musim tanam padi suami mereka lebih banyak dibutuhkan sebagai buruh tani, begitu juga ketika musim tanam tembakau dan cabe, tenaga mereka yang sudah cukup lama sebagai buruh tani cukup diandalkan oleh pemilik lahan untuk mencangkul, sampai menyiangi rumput (Ngeder) pada tanaman tembakau dan cabe mereka.
Kalau dahulu uang dari hasil buruh tani suami mereka bisa sebagai tambahan memenuhi kebutuhan harian, sekarang mereka harus berjuang sendiri menanggung kebutuhan-kebutuhan itu. Inaq  Mar dengan 3 tanggungan anaknya yang masih sekolah setingkat MI dan MTs. merasa tidak betah jika harus menyerahkan ketiga anaknya untuk tinggal di Panti Asuhan, maka dia lebih memilih untuk mengurus mereka di samping membantu juga ketika mereka pulang sekolah sebagai penambang pasir, namun nama mereka tetap terdaftar di Panti Asuhan tersebut. Begitu juga dengan Inaq  Icah, dua anaknya yang sekarang duduk di bangku MTs. dan MA, anak mereka lebih memilih untuk tinggal bersamanya dari pada di Panti asuhan. Sedangkan Inaq  Ran anaknya sudah tidak ada lagi yang sekolah, akan tetapi jauh, merantau sebagai TKI di negeri tetangga.
Menjelang pukul setengah 4 pagi sebelum sampai di lokasi penambangan, di tanah lapang yang dulunya banyak tumbuh pohon akasia dan Imbe mereka melihat beberapa orang dengan pakaian hitam dan ikat kepala sedang berjalan tertatih-tatih menuju arah yang mereka tuju juga. Tak sedikitpun mereka khawatir akan orang-orang itu dan terus saja melangkahkan kaki, dan sekarang hanya berjarak 10 meter dari mereka. Namun sebelum mereka melangkahkan kaki lebih dekat, orang-orang itu lebih dulu berbalik arah menghadang mereka. Sontak mereka kaget, wajah-wajah asing yang tidak terlalu jelas terlihat, awalnya mereka kira dari kampung sebelah, sehingga mereka tenang saja melanjutkan perjalanan. Naas orang-orang tersebut rata-rata membawa golok yang lebih panjang dari lengan-lengan mereka.
"kalian mau ke mana bawa-bawa sekop?". mereka bertiga bertiga masih terdiam karena takut, gerombolan itu lebih dahulu menyapa dengan golok yang digenggam sekarang sudah tidak lagi bersarung. Dalam kepercayaan orang kampung, jika bertemu dengan orang yang tidak dikenal pada tengah malam di kampung mereka, tidak dianjurkan untuk menyapa terlebih dahulu. Kepercayaan yang melekat di masyarakat, jika itu adalah pencari rizki malam hari (Maling), bisa-bisa mereka mendapatkan kesialan, dan orang yang menyapa itulah biasanya tempat mereka menyimpan dendam.
" Mohon maaf mamiq-Mamiq (bapak-bapak), kami tidak tahu apa-apa, kami hanya akan ke sungai untuk menambang pasir, untuk cari makan juga". Inaq  Mar memberanikan menjawab sambil gemetaran, memelas pada gerombolan tersebut setelah dibentak beberapa kali.
" Kalian tahu jalan ke mana tembusan jika menelusuri sungai ini?". Salah satu dari mereka mulai tampak tenang nada bicaranya, namun golok di tangan tetap siaga.
Inaq  Mar mencoba menjelaskan dengan terbata-bata sepengetahuannya tentang jalur-jalur tembusan ke beberapa kampung tetangga yang dipisahkan oleh sungai dan area perbukitan tempat mereka di hadang tersebut.
" Kalian tahu desa gampingan tidak?, siapa yang terkenal hebat jadi pepadu (jagoan) di sana?". Orang yang cukup tua mengarahkan senter sambil membentak mereka dengan interogasinya. Jelas saja membuat ibu-ibu tersebut semakin menggigil ketakutan, tak disangka mereka akan menemukan kejadian seperti itu ditengah perjuangan mereka untuk mencari rizki di tambang pasir.
" Mohon maaf mamiq ndak kami tahu apa-apa di sini, kami sekedar keluar malam untuk ke sungai, ndak kami pernah tahu pepadu-pepadu juga, kami sekedar cari rizki juga mamiq". Kali ini Inaq  Ran yang menjawab sambil tersengguk-sengguk gemetaran karena golok diarahkan kepadanya, tampak mengkilat disorot senter mereka.
" kalau begitu kalian tahu pak asdak tidak, katanya dia juga pepadu di kampung Klabang, dekat kampung kalian, atau kalian salah satu saudaranya juga". Sepertinya mereka menaruh dendam pada nama yang disebutkan tersebut.
" Kami hanya pendatang mamiq di kampung ini, kami tidak kenal banyak orang, sebab kami banyak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah, kampung klabang juga kami tidak tahu orang-orang di sana". Inaq  Ran tambah memelas dengan jawabannya, namun tak membuat para gerombolan itu beranjak dari tempat mereka.
" ayo kita lanjutkan saja perjalanan kalau begitu, nanti keburu pagi". salah seorang dari mereka mengusulkan, sebab sudah terdengar dari jauh kokok ayam dari kampung sebelah.
" Sebentar, kita tanya jalan dulu supaya lebih cepat sampai"
" jangan sampai ibu-ibu ini bercerita kepada yang lain. kalian tahu jalan lebih cepat ke kampung sari tidak?". Orang yang lebih tua itu semakin membentak.
" Lewat sungai ini bisa miq, lurus saja menelusurinya atau jalan lewat hutan itu juga bisa". Inaq  Mar seperti tertarik untuk menjelaskan lebih jauh tentang jalur tersebut. Dia sempat terpikir barangkali gerombolan tersebut memang berasal dari kampung yang disebutkan, sebab kampung tersebut cukup dekat dengan kampung mereka. Namun kenapa mereka bertanya jalur ke sana, jika mereka memang berasal dari sana. Kebingungan membayanginya.
" tinggalkan saja ibu-ibu ini, gajo, jili kalian berdua angkat mato, sime gendong si baha". Orang yang cukup tua tadi segera memerintah.
" Kenapa tidak tinggalkan saja mato di sini?". ucap salah seorang dari mereka. Namun pimpinan mereka tadi langsung melayangkan tangan ke arah orang yang berbicara tadi. Sempat terjadi perdebatan, gerombolan itupun berjalan ke arah jalur menuju sungai tempat menambang pasir, namun mereka berbelok masuk ke hutan akasia, tidak sampai menuruni sungai.
Sementara Inaq  Icah sejak awal hanya terdiam dan menjongkok. Tiba-tiba dihadang di tempat yang sepi oleh segerombolan orang tak dikenal dengan senjata tajam, jelas saja semakin membuat lutut tuanya lemas seakan terlepas dari persendiannya. Syukurnya mereka hanya diinterogasi dengan bentakan, tidak kena sabet ataupun pukulan dari gerombolan tersebut. Setelah gerombolan itu menghilang Inaq  Icah langsung memuntahkan isi perutnya yang sejak tadi berusaha ditahan. Dia melihat dengan jelas isi perut anggota gerombolan tadi yang robek perutnya dan dingkat oleh dua orang temannya dengan sarung yang sudah bersimbah darah. Sementara yang digendong itu terluka parah di bagian punggung dan pahanya, baju yang dikenakan tampak basah bersimbah darah segar.
Keringat dingin mereka yang sejak tadi tertahan terasa semakin dingin tertiup angin. Mereka saling membantu memapah Inaq  Icah yang terduduk lemas setelah muntah tadi. Inaq  Ran menyarankan agar mereka kembali saja ke rumah membawa Inaq  Icah yang masih lemas, namun Inaq  Icah bersikukuh agar mereka melanjutkan saja perjalanan ke sungai yang sudah cukup dekat. Suara loudspeaker dari masjid-masjid sudah mulai terdengar mendengungkan bacaan-bacaan Qur'an dari kaset yang disetel. Walaupun masih shock dengan kejadian tadi,  namun mereka langsung saja terjun ke sungai. Dengan ayakan plastik mereka mengorek pasir yang terkumpul di dalamnya lalu ditumpuk di pinggir sungai.
Tak lama adzan shubuh pun berkumandang, mereka bertiga keluar dari sungai sejenak mengunggu sampai adzan selesai. Waktu adzan berkumandang adalah panggilan sakral yang harus mereka penuhi sesibuk apapun itu. Itu sudah mereka pegang teguh sejak mereka mendapatkan pendidikan agama waktu kecil. Meskipun pendidikan mereka rendah,  namun perjuangan dan keistiqomahan mereka menjalankan perintah agama sangat mereka jaga. Secara bergantian mereka pun shalat shubuh di dekat tebing yang di sana tersedia berugak dengan bale-bale bambu jadi alasnya dan anyaman ketaring dari daun kelapa di atas bale-bale tersebut. Sajadah dan mukenah rupanya sengaja ditinggalkan di sana.
Belum cukup untuk satu truk pasir yang dikumpulkan, kumandang shalawatan dari masjid-masjid menandakan selesainya acara shubuh dan mtahari hampir menyingsing di ufuk timur. Ibu-ibu tersebut sepertinya mesti meninggalkan lokasi penambangan. Satu persatu keluar dari sungai, biasanya waktu seperti itu penambang lainnya juga sudah datang ke sana, namun saat itu hanya ada mereka bertiga, bahkan sampai mentari sedikit-demi sedikit menampakkan merahnya masih juga belum ada yang datang.
Ketika melewati tempat kejadian tadi pagi mereka saling pandang, melihat darah yang masih berceceran di rumput yang menguning sebab hujan belum juga turun. Bau amis darah mulai tercium memaksa mereka mempercepat langkah. Sampai di lokasi pembuatan bata merah matahari sudah cukup terang, barulah mereka sadar ternyata muka mereka bertiga masih terlihat pucat. Hawa ketakutan tadi pagi masih belum hilang dari kepala mereka. Namun begitu tanpa membuang waktu mereka segera mengolah adonan tanah liat yang telah direndam sejak siang kemarin, lalu dicampur dengan tanah yng telah diayak sore harinya siap dicetak menjadi bata dengan cetakan kayu yang telah siap untuk mereka di masing-masing lahan. Anak-anak mereka dengan peci dan mukenah masih terpakai, sepulang dari mengaji shubuh segera menemui mereka di tempat pembuatan bata dan ikut membantu semampunya sebelum berangkat ke sekolah.
Mungkin hanya itulah keahlian yang mereka miliki untuk mempertahankan hidup. Perjuangan itu cukup mereka nikmati selama ketenangan hidup bersama anak-anaknya untuk makan 2 kali sehari sudah dapat terpenuhi. Tak peduli program-program pemerintah yang heboh-hebohnya tentang Jaminan kesehatan, kartu pintar, kartu miskin ataupun rumah kumuh seperti yang mereka dengar namun tak kunjung didapat. Mereka masih istiqomah bangun pagi buta dan melanjutkan sebagai pembuat bata merah, selesi masak untuk makan siang sampai malam mereka datang kembali ke lokasi penambangan. Peluh tak terkira, tenaga dan tekad tetap mereka kuras demi mendapatkan untuk beli makanan yang layak bagi anak-anak mereka. Tak jarang dari mereka sembari menunggu kantuk di malam hari masih dilanjutkan dengan membuat anyaman tikar pandan yang dihargai 12 -15 ribu, itu pun bisa jadi dalam jangka 2 sampai 3 hari.
Perjuangan mereka yang tak kenal lelah, istirahat hanya sekedarnya, inilah yang patut disematkan, istirahat bagi mereka hanyalah ketika sudah menginjakkan kaki di surga. Mereka dan orang-orang sekitarnya jadi saksi atas itu, walaupun kadang banyak dari orang sekitarnya yang acuh dan menganggap biasa perjuangan mereka. Namun mereka tak peduli, Cukuplah Tuhan menjadi saksi atas keikhlasan mereka.
Dua hari berlalu setelah kejadian itu, siang hari yang lengang tiba-tiba gempar ketika salah seorang warga kampung yang sedang mencari rumput untuk ternaknya membeberkan pada orang kampung dia menemukan mayat yang ditutupi oleh dedaunan di dekat sungai sekitar areal perbukitan tempat pemakaman Umum. Bau busuk yang menyengat tak menyurutkannya untuk terus menyabit rumput sekitar sungai, alangkah kagetnya ketika yang diinjak semakin memunculkan bau menyengat, setelah dibongkar terlihatlah mata terbelalak, dengan muka yang hamipr hancur tak dikenali. Seketika warga kampung geger dan bergerombol menuju tempat penemuan mayat tersebut meski panas menyengat dan harus menyusuri areal pemakaman untuk sampai di sana.
" Mau ke mana ibu-ibu, ndak ikut melihat mayat katanya di kuburan?". Salah seorang ibu-ibu menegur mereka ketika berpapasan menuju arah yang berlawanan.
" Iya memang mayat tempatnya di kuburan kan bu". jawab mereka sekenanya.
Di saat warga berbondong-bondong untuk menyaksikan penemuan langka yang menjadi tontonan tersebut, tidak bagi mereka bertiga, siang itu mereka tetap melanjutkan perjalanan menuju sungai tempat menambang pasir. Tidak ada rasa penasaran, bahkan untuk memastikan apakah mayat tersebut sama dengan mayat yang mereka temui pada kejadian malam itu. Tak peduli kehebohan itu yang penting mereka harus tetap bekerja, barangkali siang itu nasib baik berpihak, pasir mereka ada yang membeli. Sampai langit sore hampir memudar barulah mereka beranjak untuk pulang, mensyukuri hari itu bahwa mereka masih mendapatkan kesempatan untuk terus berjuang melawan kerasnya hidup untuk menanggungng anak-anak mereka.
Kegigihan, keteguhan dan perjuangan menyiratkan takluknya derita pada diri mereka. Hal besar yang bisa diusahakan perempuan-perempuan kampung di tengah tekanan hidup menyusul tingginya kebutuhan yang harus mereka penuhi. Malam pun semakin merangkak membawa kidung cerita mereka bersama riuhnya binatang malam di kampung terpencil itu.

Jalan Sunyi Si Pendidik

sumber :digaleri.com Baim Lc*  Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal ya...