Gelap masih menyelimuti, bahkan
kokok ayam pun belum terdengar, hanya sesekali bunyi tokek yang menggelegar
bersembunyi di antara tiang-tiang penyangga atap rumah tanpa langit-langit.
Lampu redup aliran dari listrik tetangga sengaja tidak dia matikan, dengkuran
anak-anaknya tergolek dengan nyenyaknya walau beralaskan tikar pandan anyaman
sendiri. Inaq Mar segera bangkit, bergegas menuju dapur
tempat penyimpanan perlengkapannya untuk menambang pasir. Sebuah nampan plastik
berlubang semacam ayakan dan sekop menjadi peralatan hariannya, lalu berjalan
ke luar rumah meninggalkan anak-anaknya yang masih pulas.
Keluar dari gang-gang yang
lengang menuju jalan kampung, di sana sudah menunggu dua orang lainnya. Siap
menjalankan rutinitas di pagi buta mereka, tiga ibu-ibu yang telah ditinggal
mati suami itu biasa bertemu di belokan persimpangan, tempat strategis untuk
mereka saling menunggu. Inaq Mar, Inaq
Icah dan Inaq Ran selanjutnya
berangkat menuju lokasi penambangan pasir di sungai yang berjarak sekitar 800
meter dari kampung mereka. Kadang mereka berangkat berlima atau berempat
bersama Inaq Min, Inaq
Ida, namun yang rutin tiap pagi buta
hanya mereka bertiga. Lahan kosong sekitar sungai milik seorang janda pula yang
ditinggal mati suaminya akibat sakit yang tak kunjung sembuh.
Pagi buta mereka berangkat
menambang pasir, selesai shalat shubuh di lokasi penambangan mereka melanjutkan
sebagai pembuat bata merah di tanah lapang milik seorang pengusaha di kampung
tersebut. Lakon hidup seperti itu sudah lama mereka jalani, bahkan sejak suami
mereka masih ada. Hanya selingannya ketika musim tanam padi suami mereka lebih
banyak dibutuhkan sebagai buruh tani, begitu juga ketika musim tanam tembakau
dan cabe, tenaga mereka yang sudah cukup lama sebagai buruh tani cukup
diandalkan oleh pemilik lahan untuk mencangkul, sampai menyiangi rumput
(Ngeder) pada tanaman tembakau dan cabe mereka.
Kalau dahulu uang dari hasil
buruh tani suami mereka bisa sebagai tambahan memenuhi kebutuhan harian, sekarang
mereka harus berjuang sendiri menanggung kebutuhan-kebutuhan itu. Inaq Mar dengan 3 tanggungan anaknya yang masih
sekolah setingkat MI dan MTs. merasa tidak betah jika harus menyerahkan ketiga
anaknya untuk tinggal di Panti Asuhan, maka dia lebih memilih untuk mengurus
mereka di samping membantu juga ketika mereka pulang sekolah sebagai penambang
pasir, namun nama mereka tetap terdaftar di Panti Asuhan tersebut. Begitu juga
dengan Inaq Icah, dua anaknya yang sekarang duduk di
bangku MTs. dan MA, anak mereka lebih memilih untuk tinggal bersamanya dari
pada di Panti asuhan. Sedangkan Inaq Ran anaknya sudah tidak ada lagi yang sekolah,
akan tetapi jauh, merantau sebagai TKI di negeri tetangga.
Menjelang pukul setengah 4 pagi
sebelum sampai di lokasi penambangan, di tanah lapang yang dulunya banyak
tumbuh pohon akasia dan Imbe mereka melihat beberapa orang dengan pakaian hitam
dan ikat kepala sedang berjalan tertatih-tatih menuju arah yang mereka tuju
juga. Tak sedikitpun mereka khawatir akan orang-orang itu dan terus saja
melangkahkan kaki, dan sekarang hanya berjarak 10 meter dari mereka. Namun
sebelum mereka melangkahkan kaki lebih dekat, orang-orang itu lebih dulu
berbalik arah menghadang mereka. Sontak mereka kaget, wajah-wajah asing yang
tidak terlalu jelas terlihat, awalnya mereka kira dari kampung sebelah,
sehingga mereka tenang saja melanjutkan perjalanan. Naas orang-orang tersebut
rata-rata membawa golok yang lebih panjang dari lengan-lengan mereka.
"kalian mau ke mana
bawa-bawa sekop?". mereka bertiga bertiga masih terdiam karena takut,
gerombolan itu lebih dahulu menyapa dengan golok yang digenggam sekarang sudah
tidak lagi bersarung. Dalam kepercayaan orang kampung, jika bertemu dengan
orang yang tidak dikenal pada tengah malam di kampung mereka, tidak dianjurkan
untuk menyapa terlebih dahulu. Kepercayaan yang melekat di masyarakat, jika itu
adalah pencari rizki malam hari (Maling), bisa-bisa mereka mendapatkan
kesialan, dan orang yang menyapa itulah biasanya tempat mereka menyimpan
dendam.
" Mohon maaf mamiq-Mamiq
(bapak-bapak), kami tidak tahu apa-apa, kami hanya akan ke sungai untuk
menambang pasir, untuk cari makan juga". Inaq Mar memberanikan
menjawab sambil gemetaran, memelas pada gerombolan tersebut setelah dibentak
beberapa kali.
" Kalian tahu jalan ke mana
tembusan jika menelusuri sungai ini?". Salah satu dari mereka mulai tampak
tenang nada bicaranya, namun golok di tangan tetap siaga.
Inaq
Mar mencoba menjelaskan dengan terbata-bata
sepengetahuannya tentang jalur-jalur tembusan ke beberapa kampung tetangga yang
dipisahkan oleh sungai dan area perbukitan tempat mereka di hadang tersebut.
" Kalian tahu desa gampingan
tidak?, siapa yang terkenal hebat jadi pepadu (jagoan) di sana?". Orang
yang cukup tua mengarahkan senter sambil membentak mereka dengan interogasinya.
Jelas saja membuat ibu-ibu tersebut semakin menggigil ketakutan, tak disangka
mereka akan menemukan kejadian seperti itu ditengah perjuangan mereka untuk
mencari rizki di tambang pasir.
" Mohon maaf mamiq ndak kami
tahu apa-apa di sini, kami sekedar keluar malam untuk ke sungai, ndak kami
pernah tahu pepadu-pepadu juga, kami sekedar cari rizki juga mamiq". Kali
ini Inaq Ran yang menjawab sambil tersengguk-sengguk
gemetaran karena golok diarahkan kepadanya, tampak mengkilat disorot senter
mereka.
" kalau begitu kalian tahu
pak asdak tidak, katanya dia juga pepadu di kampung Klabang, dekat kampung
kalian, atau kalian salah satu saudaranya juga". Sepertinya mereka menaruh
dendam pada nama yang disebutkan tersebut.
" Kami hanya pendatang mamiq
di kampung ini, kami tidak kenal banyak orang, sebab kami banyak bekerja di
luar rumah untuk mencari nafkah, kampung klabang juga kami tidak tahu
orang-orang di sana". Inaq Ran tambah memelas dengan jawabannya, namun
tak membuat para gerombolan itu beranjak dari tempat mereka.
" ayo kita lanjutkan saja
perjalanan kalau begitu, nanti keburu pagi". salah seorang dari mereka
mengusulkan, sebab sudah terdengar dari jauh kokok ayam dari kampung sebelah.
" Sebentar, kita tanya jalan
dulu supaya lebih cepat sampai"
" jangan sampai ibu-ibu ini
bercerita kepada yang lain. kalian tahu jalan lebih cepat ke kampung sari
tidak?". Orang yang lebih tua itu semakin membentak.
" Lewat sungai ini bisa miq,
lurus saja menelusurinya atau jalan lewat hutan itu juga bisa". Inaq Mar seperti tertarik untuk menjelaskan lebih
jauh tentang jalur tersebut. Dia sempat terpikir barangkali gerombolan tersebut
memang berasal dari kampung yang disebutkan, sebab kampung tersebut cukup dekat
dengan kampung mereka. Namun kenapa mereka bertanya jalur ke sana, jika mereka
memang berasal dari sana. Kebingungan membayanginya.
" tinggalkan saja ibu-ibu
ini, gajo, jili kalian berdua angkat mato, sime gendong si baha". Orang
yang cukup tua tadi segera memerintah.
" Kenapa tidak tinggalkan
saja mato di sini?". ucap salah seorang dari mereka. Namun pimpinan mereka
tadi langsung melayangkan tangan ke arah orang yang berbicara tadi. Sempat
terjadi perdebatan, gerombolan itupun berjalan ke arah jalur menuju sungai
tempat menambang pasir, namun mereka berbelok masuk ke hutan akasia, tidak
sampai menuruni sungai.
Sementara Inaq Icah sejak awal hanya
terdiam dan menjongkok. Tiba-tiba dihadang di tempat yang sepi oleh
segerombolan orang tak dikenal dengan senjata tajam, jelas saja semakin membuat
lutut tuanya lemas seakan terlepas dari persendiannya. Syukurnya mereka hanya
diinterogasi dengan bentakan, tidak kena sabet ataupun pukulan dari gerombolan
tersebut. Setelah gerombolan itu menghilang Inaq
Icah langsung memuntahkan isi
perutnya yang sejak tadi berusaha ditahan. Dia melihat dengan jelas isi perut
anggota gerombolan tadi yang robek perutnya dan dingkat oleh dua orang temannya
dengan sarung yang sudah bersimbah darah. Sementara yang digendong itu terluka
parah di bagian punggung dan pahanya, baju yang dikenakan tampak basah
bersimbah darah segar.
Keringat dingin mereka yang sejak
tadi tertahan terasa semakin dingin tertiup angin. Mereka saling membantu
memapah Inaq Icah yang terduduk lemas setelah muntah tadi. Inaq Ran menyarankan agar mereka kembali saja ke
rumah membawa Inaq Icah yang masih lemas, namun Inaq Icah bersikukuh agar mereka melanjutkan saja
perjalanan ke sungai yang sudah cukup dekat. Suara loudspeaker dari
masjid-masjid sudah mulai terdengar mendengungkan bacaan-bacaan Qur'an dari
kaset yang disetel. Walaupun masih shock dengan kejadian tadi, namun mereka langsung saja terjun ke sungai.
Dengan ayakan plastik mereka mengorek pasir yang terkumpul di dalamnya lalu
ditumpuk di pinggir sungai.
Tak lama adzan shubuh pun
berkumandang, mereka bertiga keluar dari sungai sejenak mengunggu sampai adzan
selesai. Waktu adzan berkumandang adalah panggilan sakral yang harus mereka
penuhi sesibuk apapun itu. Itu sudah mereka pegang teguh sejak mereka
mendapatkan pendidikan agama waktu kecil. Meskipun pendidikan mereka
rendah, namun perjuangan dan
keistiqomahan mereka menjalankan perintah agama sangat mereka jaga. Secara
bergantian mereka pun shalat shubuh di dekat tebing yang di sana tersedia
berugak dengan bale-bale bambu jadi alasnya dan anyaman ketaring dari daun
kelapa di atas bale-bale tersebut. Sajadah dan mukenah rupanya sengaja
ditinggalkan di sana.
Belum cukup untuk satu truk pasir
yang dikumpulkan, kumandang shalawatan dari masjid-masjid menandakan selesainya
acara shubuh dan mtahari hampir menyingsing di ufuk timur. Ibu-ibu tersebut
sepertinya mesti meninggalkan lokasi penambangan. Satu persatu keluar dari
sungai, biasanya waktu seperti itu penambang lainnya juga sudah datang ke sana,
namun saat itu hanya ada mereka bertiga, bahkan sampai mentari sedikit-demi
sedikit menampakkan merahnya masih juga belum ada yang datang.
Ketika melewati tempat kejadian
tadi pagi mereka saling pandang, melihat darah yang masih berceceran di rumput
yang menguning sebab hujan belum juga turun. Bau amis darah mulai tercium
memaksa mereka mempercepat langkah. Sampai di lokasi pembuatan bata merah
matahari sudah cukup terang, barulah mereka sadar ternyata muka mereka bertiga
masih terlihat pucat. Hawa ketakutan tadi pagi masih belum hilang dari kepala
mereka. Namun begitu tanpa membuang waktu mereka segera mengolah adonan tanah
liat yang telah direndam sejak siang kemarin, lalu dicampur dengan tanah yng
telah diayak sore harinya siap dicetak menjadi bata dengan cetakan kayu yang
telah siap untuk mereka di masing-masing lahan. Anak-anak mereka dengan peci
dan mukenah masih terpakai, sepulang dari mengaji shubuh segera menemui mereka
di tempat pembuatan bata dan ikut membantu semampunya sebelum berangkat ke
sekolah.
Mungkin hanya itulah keahlian
yang mereka miliki untuk mempertahankan hidup. Perjuangan itu cukup mereka
nikmati selama ketenangan hidup bersama anak-anaknya untuk makan 2 kali sehari
sudah dapat terpenuhi. Tak peduli program-program pemerintah yang
heboh-hebohnya tentang Jaminan kesehatan, kartu pintar, kartu miskin ataupun
rumah kumuh seperti yang mereka dengar namun tak kunjung didapat. Mereka masih
istiqomah bangun pagi buta dan melanjutkan sebagai pembuat bata merah, selesi
masak untuk makan siang sampai malam mereka datang kembali ke lokasi
penambangan. Peluh tak terkira, tenaga dan tekad tetap mereka kuras demi
mendapatkan untuk beli makanan yang layak bagi anak-anak mereka. Tak jarang
dari mereka sembari menunggu kantuk di malam hari masih dilanjutkan dengan
membuat anyaman tikar pandan yang dihargai 12 -15 ribu, itu pun bisa jadi dalam
jangka 2 sampai 3 hari.
Perjuangan mereka yang tak kenal
lelah, istirahat hanya sekedarnya, inilah yang patut disematkan, istirahat bagi
mereka hanyalah ketika sudah menginjakkan kaki di surga. Mereka dan orang-orang
sekitarnya jadi saksi atas itu, walaupun kadang banyak dari orang sekitarnya
yang acuh dan menganggap biasa perjuangan mereka. Namun mereka tak peduli,
Cukuplah Tuhan menjadi saksi atas keikhlasan mereka.
Dua hari berlalu setelah kejadian
itu, siang hari yang lengang tiba-tiba gempar ketika salah seorang warga
kampung yang sedang mencari rumput untuk ternaknya membeberkan pada orang
kampung dia menemukan mayat yang ditutupi oleh dedaunan di dekat sungai sekitar
areal perbukitan tempat pemakaman Umum. Bau busuk yang menyengat tak
menyurutkannya untuk terus menyabit rumput sekitar sungai, alangkah kagetnya
ketika yang diinjak semakin memunculkan bau menyengat, setelah dibongkar
terlihatlah mata terbelalak, dengan muka yang hamipr hancur tak dikenali.
Seketika warga kampung geger dan bergerombol menuju tempat penemuan mayat
tersebut meski panas menyengat dan harus menyusuri areal pemakaman untuk sampai
di sana.
" Mau ke mana ibu-ibu, ndak
ikut melihat mayat katanya di kuburan?". Salah seorang ibu-ibu menegur
mereka ketika berpapasan menuju arah yang berlawanan.
" Iya memang mayat tempatnya
di kuburan kan bu". jawab mereka sekenanya.
Di saat warga berbondong-bondong
untuk menyaksikan penemuan langka yang menjadi tontonan tersebut, tidak bagi
mereka bertiga, siang itu mereka tetap melanjutkan perjalanan menuju sungai
tempat menambang pasir. Tidak ada rasa penasaran, bahkan untuk memastikan
apakah mayat tersebut sama dengan mayat yang mereka temui pada kejadian malam
itu. Tak peduli kehebohan itu yang penting mereka harus tetap bekerja,
barangkali siang itu nasib baik berpihak, pasir mereka ada yang membeli. Sampai
langit sore hampir memudar barulah mereka beranjak untuk pulang, mensyukuri
hari itu bahwa mereka masih mendapatkan kesempatan untuk terus berjuang melawan
kerasnya hidup untuk menanggungng anak-anak mereka.
Kegigihan, keteguhan dan
perjuangan menyiratkan takluknya derita pada diri mereka. Hal besar yang bisa
diusahakan perempuan-perempuan kampung di tengah tekanan hidup menyusul
tingginya kebutuhan yang harus mereka penuhi. Malam pun semakin merangkak
membawa kidung cerita mereka bersama riuhnya binatang malam di kampung
terpencil itu.