Rabu, 30 Desember 2015

Gerakan Perpustakan Anak Nusantara : Mengabdi Dari Hati Untuk Indonesia Berbudaya


Salah satu staf Pengajar Di UGM yang pernah mendapat kesempatan untuk belajar di daratan Eropa pernah bercerita kepada kami, bahwa orang-orang Barat itu hebat dalam segala hal bukan karena mereka lebih pintar dari segi intelektualitas, akan tetapi mereka lebih rajin dalam segala hal, salah satunya lebih diporsir waktunya untuk membaca. Dengan kebiasaan membaca secara tidak langsung wawasan dan ide kreatif itu lebih mudah dikembangkan karena referensi yang pernah mereka telan cukup banyak.

Membaca merupakan proses vital dalam membangun intelektualitas dan pengembangan wawasan kita, maka sudah seharusnya perintah membaca yang diturunkan Tuhan sebagai ayat pertama dalam Al Qur'an kita jadikan sebagai intervensi untuk meningkatkan hal tersebut, dengan membaca kita mengetahui hal-hal baru dalam kehidupan yang dapat memperluas wawasan, di samping itu membaca merupakan proses menuntut ilmu secara autodidak melalui buku.

Beranjak dari keprihatinan kurangnya minat baca generasi muda kita, membuat salah seorang kawan (Imam Arifa'illah) tergerak untuk membentuk sebuah gerakan perubahan demi terwujudnya generasi muda yang peka terhadap minat baca. Alumni Pendidikan Geografi Universitas Negeri Malang ini pun mulai menggagas sebuah gerakan yang dinamakan "Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara" (GPAN) yang pertama kali bergerak di bidang penyedia bahan bacaan untuk anak-anak desa dan memberikan bimbingan belajar yang dimulai di Lamongan, Malang tempat tinggal kawan tersebut. Buku-buku yang disediakan oleh Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara berasal dari sumbangan kawan-kawannya yang peduli akan gerakan perubahan untuk generasi muda kita, di samping sebagai penyedia bahan bacaan untuk membudayakan Membaca, GPAN Malang ini pun mulai membentuk Tim dengan beberapa program yang dicanangkan, seperti bimbingan belajar intensif untuk anak-anak desa di Lamongan, Perpustakaan desa, Kunjungan ke beberapa daerah terpencil untuk berbagi inspirasi dan lain-lainnya.

Untuk melebarkan sayap perjuangan dan Pengabdian melalui Gerakan Perpustakan Anak Nusantara ini, sang penggagas mulai membidik ke kota besar yang terkenal dengan Kota pendidikan, Yogyakarta. Sang Penggagas yang juga sebagai penerima Beasiswa Magister dari LPDP dan sedang menjalani Program pengayaan dari penyedia Beasiswa di UGM, mulai membangun koordinasi dengan mengajak penerima beasiswa (Awardee) lainnya agar ikut terlibat dalam pengabdian ini. Maka dibentuklah "Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara Regional Yogyakarta" dengan berorientasi pada semangat pengabdian untuk bersama-sama membangun intelektualitas generasi bangsa, sederhananya untuk membudayakan Membaca melalui program-program yang akan digagas lebih lanjut.

GPAN Regional Yogyakarta ini masih dalam tahap merangkak, dan sangat membutuhkan dukungan bagi yang ingin ikut terlibat dalam gerakan pengabdian ini. GPAN Regional Yogyakarta ini membuka kesempatan seluas-luasnya bagi semua pihak yang mempunyai komitmen dan keikhlasan untuk mengabdi membangun bangsa, beberapa divisi yang telah disepakati masih membutuhkan Tim yang bersedia untuk ambil peran dalam pengabdian ini. GPAN di samping sebagai wadah pengabdian juga sebagai wadah silaturahmi untuk membahas Tips-tips meraih Beasiswa, karena rata-rata anggota yang terlibat di dalamnya merupakan Awardee/penerima beasiswa seperti Bidik Misi dan LPDP. Selain itu juga sebagai wadah untuk berbagi Inspirasi agar semakin banyak menularkan motivasi dan semangat untuk mengabdi, walaupun itu melalui hal sederhana namun bermanfaat, sekalipun itu hanya untuk diri sendiri, lebih-lebih bermanfaat untuk orang lain.
Untuk itu bagi yang ingin berkontribusi dalam pengabdian ini dapat mengajukan diri melalui borang Rekrutmen yang disediakan atau menghubungi kontak di bawah ini.
Salam Pengabdian, untuk Indonesia lebih mendunia.

Borang Rekrutmen : goo.gl/VSlOmh
email : gpanregionaljogja@gmail.com
Instagram : @gpanjogja
Facebook : Gpan Jogja
CP/WA : 085733438854 (Imam)
085853329449 (Retno)

Jumat, 18 Desember 2015

Kejujuran, Modal Sosial Yang Sangat Berharga Saat Ini




Selepas shalat Ashar di Masjid samping RS. Sardjito UGM, di halaman masjid terlihat seorang bapak tua bertopi hampir menutupi sebagian mukanya, duduk dengan beberapa tumpuk keset di depannya. Salah seorang Jamaah yang baru selesai shalat menghampirinya, menanyakan harga keset tersebut. Jamaah itu rupanya jadi membeli sebuah keset dari bapak Tua tadi. Ketika akan membayar, jamaah tadi mengeluarkan lembaran 50 ribuan dari dompetnya.

" Ini bayarnya pak". Ucap jamaah tadi sambil menyodorkan ke tangan bapak tua tersebut.
" Kembali pak ya?". Jawab bapak tua itu seolah ragu untuk mengambil uang tersebut dan membuat saya kebingungan kenapa dia bertanya seperti itu kepada pembeli. Lantas dijawab oleh jamaah tadi dengan mengiyakan saja.

"Tadi Lima Puluhan itu pak, oh ya ada plastiknya tidak pak untuk bungkusnya?". Jamaah (pembeli) tersebut meminta plastik, namun sepertinya tidak didengar oleh bapak tua tadi. Dia sibuk meraba kantong bajunya untuk mengambil kembalian untuk pembeli. Tak sengaja dari kantong baju sebelah kiri dia mengeluarkan lembaran 100 ribuan.

" Itu 100 ribuan pak". jamaah tadi mengingatkan, barulah saya sadar ternyata bapak tua penjual keset tersebut tidak bisa melihat. Uang tersebut kembali dimasukkan ke dalam kantong sebelah kiri bajunya, lalu kembali meraba kantong baju sebelah kanan. Ketika bapak tua tadi mengeluarkan lembaran dari kantong bajunya, sang pembeli yang menyebutkan nominal uang yang diraba tersebut. Dan itu berulang hampir sampai 5 kali, barulah sang pembeli mendapatkan uang yang pas untuk kembaliannya. Harga 1 keset yang dijual 10 ribu saja.

Sungguh perjuangan yang luar biasa bagi bapak Tua dengan langkah meraba-raba, namun masih sanggup berjuang mencari nafkah dengan berjualan keset. Dia sama sekali tidak khawatir akan salah memberi uang kembalian kepada pembeli, karena sangat percaya bahwa rizki Tuhan terhampar luas bagi yang berusaha. Rizki itu pun dicari melalui berjualan keset oleh bapak Tua tersebut, karena dia yakin itu yang mampu dia lakukan. Istiqomahnya walaupun tidak terlalu banyak untung menjadikan saya seolah merasa kecil, lemah, tidak ada artinya dibanding bapak tadi. Begitu keras perjuangan seorang laki-laki untuk keluarganya, meski dalam keadaan seperti itu, tanggung jawab yang dia emban memintanya untuk terjun ke jalanan dengan Setumpuk keset yang dia jinjing.

Setelah meletakkan dagangannya di tangga masjid, dia pun meraba-raba kembali tembok masjid menuju tempat Wudhu. Sepertinya dia sudah mengenal area masjid tersebut, Beruntungnya juga salah seorang jamaah yang baru selesai wudhu menuntunnya ke tempat wudhu dan membukakannya kran air. Sungguh pelajaran yang luar biasa sore ini.

Sekembali dari Masjid, di tengah perjalanan menuju Kos salah seorang teman, kami menemukan sepeda tergeletak dengan beberapa bungkusan plastik putih. Sementara kami berhenti memperhatikan sepeda tergeletak tersebut, Ada bapak-bapak menghampiri sambil berucap " Kalau mau ambil dek", kami masih terdiam. Bapak tersebut membangunkan sepedanya yang tergeletak, sementara kami membantu mengangkat bungkusan besar tersebut ke atas sepeda, isinya ternyata Rambutan. Ada satu bungkusan yang sobek dan banyak terjatuh isinya, salah seorang teman mengangkatnya ke keranjang sepeda sementara isinya yang tergeletak diminta kami untuk mengambilnya saja. Bapak tadi menawarkan lagi agar kami mengambil Rambutan dari plastik yang telah diangkat sebagai tambahan. Namun kami mengatakan sudah cukup, karena memang rambutan yang tergeletak di jalan tadi sudah cukup banyak, jika diperkirakan hampir mencapai 2 kiloan.

Niat saya untuk dapat mencicipi Rambutan akhirnya tercapai juga, karena setiap berangkat ke kampus biasanya hanya bisa melihat Rambutan yang memerah menggoda tersebut di halaman rumah warga. Bahkan ketika selesai makan siang tadi kami melintasi rumah warga yang buah rambutannya cukup lebat dan dahannya sudah lewat dari halamannya, menjulur ke jalanan. Kalau di kampung, jika ada Pepohonan yang dahannya menjulur ke luar jalan melewati halaman Rumah pemiliknya, berarti buah di dahan yang menjulur ke Jalanan tersebut bisa diambil oleh umum, dan pemiliknya tidak boleh memarahi orang yang mengambil (seharusnya).
Selalu ada pelajaran berharga di tiap kesempatan, bukankah orang yang berpikir itu selalu bisa melihat sesuatu dari sisi kebaikan, dan itulah sebaik-baik prasangka yang akan mendatangkan kebaikan pula, baik yang akan didapatkan secara langsung atau ditangguhkan dan akan kita dapatkan tanpa disangka-sangka. Marilah tetap menebar kebaikan sekecil apapun itu.

Tepung Paleng, Kue Brownies Zaman Dulu di Kampung.




Di sela-sela istirahat jam pertama pengayaan di UGM, Peserta biasanya ramai memadati sekitar Dispenser yang hanya 1 disediakan di antara 3 kelas pengayaan tersebut. Jam istirahat pertama diselingi dengan minum kopi atau teh yang juga disediakan pengelola pengayaan, maka tak heran di antara sekian banyak peserta yang membutuhkan air panas untuk membuat kopi atau teh ada yang tidak kebagian dan harus menunggu supaya air yang di dispenser tersebut panas dulu. Secara tidak sengaja salah seorang kawan dari sulawesi yang tidak mendapat air panas untuk membuat kopi, padahal gula dan kopi sudah diisi pada gelas, akhirnya berinisiatif untuk menambahkan sedikit air ke dalam gelasnya lalu mengaduk gula dan kopi tersebut menjadi adonan dan berwarna coklat seperti kue brownies.

Melihat adonan kopi dan gula tersebut imajinasi saya melayang ke waktu kecil (sekitar tahun 1996), masa-masa indah kami menunggu adonan kopi tersebut menjadi senikmat brownies yang dinikmati anak-anak masa sekarang. Kebiasaan minum kopi di kampung, entah itu bagi pekerja kantoran, petani, buruh dan lainnya mengharuskan ibu rumah tangga menyediakan kopi di rumah masing-masing jika sewaktu-waktu ada pula keluarga yang bertamu. Waktu dulu, Menyajikan segelas kopi lebih sederhana dari pada menyajikan teh, karena membuat teh harus menggunakan penyaring dengan daun teh yang telah diiris kecil-kecil di atasnya, lalu dituangkan air panas, tidak seperti sekarang yang sudah beredar teh celup, atau teh cair.

Ibu-ibu rumah tangga yng menyediakan kopi hitam bubuk, biasanya mengolah sendiri biji kopi yang dibeli, walaupun di kampung saya masyarakatnya rata-rata penikmat kopi, jarang yang berinisiatif untuk menanam pohon kopi di sekitar pekarangan, di sawah atau ladang mereka. Proses membuat kopi hitam bubuk ini melalui beberapa tahapan, biji kopi terlebih dahulu dijemur sehingga keringnya benar-benar merata. Selain biji kopi, campuran untuk membuat kopi bubuk hitam ala kampung saya yaitu beras dan irisan kelapa. Beras direndam terlebih dahulu supaya menjadi lembek, perbandingan beras dan kopi diperkirakan secukupnya saja. Jika biji kopi setengah kilo, maka berasnya seperempat kilo, atau seperempat kilo beras dalam istilah orang kampung disebut " Sekobokan", diukur dengan nampan seukuran lebar telapak tangan.

setelah beras yang direndam dirasa tidak terlalu keras, barulah ditiriskan dan dicampur dengan biji kopi dan irisan kelapa sebagai pengharum, Campuran tersebut siap untuk digoreng, tidak menggunakan minyak goreng dan harus menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat. Pengaduknya berbentuk sendok dari kayu dan bagian adukannya dari batok kelapa. Proses menggoreng kopi ini membutuhkan waktu sekitar 30-40 menit dan membutuhkan ketelitian agar semua bahan campuran tadi matangnya merata ditandai dengan kehitamannya dan mulai menebarkan semerbak khas bau kopi. Setelah itu didinginkan terlebih dahulu supaya kadar campurannya menyatu.

Proses selanjutnya yaitu menumbuk campuran yang telah digoreng tadi menggunakan Lisong (wadah dari kayu berbentuk lonjong di bagian tengahnya terdapt ruang untuk menumbuk), karena memang dulu belum ada mesin penggiling seperti sekarang. Lisong itulah sebagai penggiling untuk berbagai keperluan waktu dulu, seperti menumbuk beras supaya menjadi tepung, menumbuk bumbu masakan dalam jumlah besar pada acara hajatan (Begawe). Pada proses penumbukan campuran kopi yang telah digoreng inilah wangi khas kopi mulai menebar, mengundang kami yang masih kecil biasanya berkumpul mengelilingi lisong tersebut dan secara bergantian menumbuk campuran tadi, walau hanya sekedar tumbukan 2 atau 3 kali.

Pada proses penumbukan untuk mendapatkan bubuk kopi hitam harus benar-benar lembut,  sehingga kopi yang dihasilkan ketika diseduh (dibuat) tidak banyak ampas yang mengapung. Lalu Yang kami tunggu dari proses penumbukan kopi tersebut, biasanya di dasar lisong kayu ada kerak sisa tumbukan yang masih melekat dan tidak sehalus bubuk kopi yang telah dikorek. Kerak sisa tumbukan itulah oleh orang Sasak dinamakan Tepung Paleng, berasal dari kata "tepung" yaitu "tepung/sesuatu yang sudah dihaluskan" dan " Paleng" yang secara gramatikal makna yaitu "pingsan". Jadi Tepung paleng secara keseluruhan maknanya bukan tepung yang pingsan, tetap sisa dari tumbukan kopi tadi.

Selanjutnya kerak sisa tersebut diungkit terlebih dahulu dari dasar lisong, walupun berbentuk lembut tetapi karena berada dibawah sehingga mengendap dan hampir padat. Sisa kerak atau tepung paleng ini dicampur dengan gula pasir lalu diaduk seperti membuat adonan kue, bentuknya persis seperti kue brownies yang kita temukan sekarang, bedanya brownies dari biji coklat sedangkan tepung paleng dari biji kopi. Barulah dibagikan kepada anak-anak kecil yang mengelilingi lisong tadi walaupun sama-sama sedikit yang penting harus semua kebagian. Makanan khas seperti itu jarang kami nikmati karena tidak setiap hari ada warga yang menumbuk kopi. Masa-masa itu mengingatkan betapa nilai kekeluargaan masih sangat erat digenggam, karena biasanya setelah kopi bubuk didapatkan, warga yang menumbuk kopi tadi membagikan hasil tumbukan tadi walau hanya segelas bubuk kopi hitam kepada tetangganya.


Sekarang tidak ada lagi kita temukan orang yang menumbuk kopi, karena mesin penggiling yang cukup banyak beredar dan dijadikan usaha penggilingan. Rata-rata warga juga lebih memilih menggunakan mesin penggiling agar bubuk kopi cepat jadi, di samping itu tidak semua memiliki lisong. Artinya jika akan menumbuk kopi mereka harus meminjam pada tetangga yang punya. Bahkan sekarang lisong kayu entah ke mana perginya, dahulu di rumah masih tersimpan satu, namun karena sering terkena hujan akhirnya mulai retak dan dalamnya tidak cukup bersih, lalu berakhir menjadi kayu bakar. Warga yang mengadakan hajatan mulanya menumbuk bumbu menggunakan lisong kini beralih ke mesin penggiling, Blender, hasilnya memang lebih lembut serta lebih cepat.

Jika menilik dari segi aroma, memang kopi hasil tumbukan jauh lebih beraroma dari pada hasil gilingan. Tingkat penyusutan bahan campuran kopi ketika digiling juga lebih besar dari pada ditumbuk. Namun kepraktisan menggunakan mesin penggiling tidak bisa lagi dibantah, padahal bagi penikmat kopi, menumbuk menggunakan lisong secara tidak langsung berolahraga. Pantas saja orang-orang dulu sehat-sehat karena semua dilakukan mengunakan kemampuan mereka, tanpa campur tangan mesin.

Setidaknya kenangan indah itu pernah kami alami, masa-masa di mana kopi menjadi minuman praktis yang orang-orang tua kami selalu nikmati. Bahkan saat sarapan, waktu kecil kopi bisa menjadi kuah untuk nasi, walaupun terasa manis, lidah kecil kami cukup menikmatinya. Satu lagi hal yang selalu kami nantikan, ketika ada acara hajatan (begawe) selalu disediakan makanan khas, Renggi yang terbuat dari ketan dibentuk menjadi bulatan lalu dijemur, setelah kering barulah digoreng. Makanan khas ini bisa dikatakan tidak pisah dari kopi ketika ada acara begawe. Nikmatnya juga ketika renggi dicelupkan ke kopi menambah ciri khas kopi sajian kopi sebagai tradisi orang begawe.

Sekarang hal tersebut jarang kita temukan, dan hanya menjadi cerita untuk generasi selanjutnya. Namun Kopi adalah bagian dari tradisi yang tak kan pudar dan terus dinikmati secara berkelanjutan.

Jalan Sunyi Si Pendidik

sumber :digaleri.com Baim Lc*  Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal ya...