Rabu, 21 Oktober 2015
Ideologi Itu Masih Ada dan Selamanya Terjaga
“Saat ini aku berada di persimpangan jalan
Apakah aku harus berjalan di atas kebenaran ataukah kedamaian
Ternyata aku lebih memilih kebenaran
Walaupun kebenaran itu penuh darah dan nanah
mereka sengaja memberikan mimpi tentang kedamaian,
sementara kebenaran telah dirobek-robek
jiwa dan raga kita telah tercabik-cabik,
terbuang dalam lautan debu yang sangat hitam” (Wiji Thukul – Kabar Untuk Anak).
Penggalan syair wiji thukul yang mencoba mengungkap kebobrokan penguasa kala itu yang berakhir dengan penghilangan Wiji Thukul yang sampai sekarang tidak diketahui nasibnya. Begitu juga yang dialami oleh seorang jurnalis media local (san jose mercury news), Garry Webb yang mencoba mengungkap persekongkolan instansi pemerintah (CIA) atas perlindungan penjualan Narkotika secara besar-besaran di Amerika Tengah tahun1996, dengan Investigasi yang cukup membahayakan dirinya Garry Webb berhasil menemui narasumber jaringan-jaringan sindikat penjualan narkotika yang titik temunya pada persekongkolan CIA dengan pemberontak Nikaragua yang ingin membentuk Negara sendiri, mereka menjual Narkotika secara besar-besaran dan dananya digunakan untuk membeli senjata persiapan pemberontakan ke pemerintahan AS kala itu.
Ancaman CIA terhadap dirinya dan keluarga memicu Garry Webb semakin ingin mengungkap kejahatan atas persekongkolan tersebut dan akhirnya menerbitkan tulisan Invesstigasinya yang cukup menggemparkan Amerika waktu itu dan sempat diundang pada acara-acara televisi untuk ulasan tulisannya tersebut, namun berbagai macam terror yang dilancarkan kepada Garry webb dan dalih-dalih yang meyakinkan, serta dengan terror kepada narasumber yang telah didatangi Garry Webb, CIA mampu membantah ulasan Garry web tentang persengkongkolan gelap tersebut dan mengatakan Garry web menulis investigasi tersebut berdasarkan persepsi ribadi saja, sementara narasumber yang pernah didatangi bungkam suara bahkan mengatakan hal berbalik dengan apa yang pernah dikatakan kepada Garry Webb.
Terror semakin gencar dilancarkan kepada Garry web yang membuatnya meninggalkan keluarganya untuk sementara waktu, pada saat pengasingan diri itulah dia didatangi oleh seorang agen CIA yang membeberkan semua hal tersebut kepadanya. Sementara itu dia semakin didesak oleh redaksinya untuk menarik ulasan yang telah diterbitkan dengan mengatakan bahwa itu hanyalah persepsinya sendiri, namun Garry webb tetap bersikukuh dengan pendiriannya untuk mengungkap kebenaran apa adanya.
Menanggapi semakin rumitnya hal tersebut, Direktur CIA (John Deutch) mengadakan pertemuan dengan public terkait ualasan yang ditulis Garry web, dan banyak hal yang tak mampu dijawab dan disembunyikan dari public oleh CIA terkait Persekongkolan Gelap tersebut. Sebulan kemudian John Deutch mengundurkan diri dari CIA, lalu CIA menerbitkan sebuah buku tentang keterlibatannya atas persekongkola n penjaualan narkoba dan suplai senjata dengan pihak contra, inilah yang menjadi titik terang atas kasus tersebut, namun malang bagi sang jurnalis sejak terbuktinya kasus tersebut dia tidak pernah menulis lagi, dan 7 tahun setelah itu, di tempat pengasingannya dia ditemukan tewas dengan 2 tembakan di kepala. Opini public kembali disetting bahwa dia melakukan bunuh diri. (Berdasarkan kisah nyata – “Kill The Messenger”).
lalu bagaimana di negara kita, apakah semua media sudah tidak idealis lagi, menanggapi salah satu tayangan salah satu stasiun TV swasta tentang wawancara dengan bandar narkoba yang membeberkan terlibatnya aparat kita yang sengaja membiarkan Narkoba masuk Lapas bahkan oknum sipir dan Ka Lapas pun terlibat dalam konsumsi maupun penjualannya, bahkan bandar narkoba sendiri mengatakan tak mungkin memberantas kong-kalikong antara bandar dengan aparat tersebut.
kadang saya sering berpikir, banyaknya kasus penggerebekan pesta sabu, dan lainnya,justru semakin membuat marak kasus serupa yang bahkan merambah ke tingkat-tingkat lokal, lalu pernahkah kita menyaksikan secara langsung pemusnahan barang bukti tersebut terkait kasus yang telah diungkap. (asumsi pribadi).
Meninjau Komitmen Pemerintah dalam Mendukung Ekonomi Kreatif
Meninjau Komitmen Pemerintah dalam Mendukung Ekonomi Kreatif
Sejak awal terbentuknya kelompok pemuda di kampung kami, sudah beberapa proposal permohonan kerja sama maupun permohonan bantuan dana telah kami layangkan berharap ada lirikan dari pihak Pemda untuk menindak lanjuti program yang kami usung baik dalam bentuk bantuan dana, maupun penyediaan bahan atau alat yang kami harapkan. Lalu ada yang menyarankan untuk mengajukan proposal dengan meminta rekomendasi dari anggota dewan melalui dana aspirasi dewan dengan sistem berbagi persenan sesuai perjanjian jika dananya sudah keluar.
Sejak awal terbentuknya kelompok pemuda di kampung kami, sudah beberapa proposal permohonan kerja sama maupun permohonan bantuan dana telah kami layangkan berharap ada lirikan dari pihak Pemda untuk menindak lanjuti program yang kami usung baik dalam bentuk bantuan dana, maupun penyediaan bahan atau alat yang kami harapkan. Lalu ada yang menyarankan untuk mengajukan proposal dengan meminta rekomendasi dari anggota dewan melalui dana aspirasi dewan dengan sistem berbagi persenan sesuai perjanjian jika dananya sudah keluar.
Rekomendasi
pun kami dapatkan dari anggota dewan yang berasal dari Lombok Timur,
karena sebenarnya dia juga yang menyarankan untuk membentuk usaha
kreatif pemuda di kampung kami. Berbekal uang patungan kami pun membuat
stempel dan membuka rekening baru untuk 2 buah proposal yang akan kami
ajukan. Proposal telah terkirim dan kami menunggu, bagaikan nelayan yang
telah menebar jaring menunggu hasil.
Sembari berharap menunggu dana tembus, komunitas pemuda yang kami gagas ini pun mencoba membuka usaha kecil-kecilan sebagai awal, seperti berjualan pulsa, jualan bensin dan program-program pembinaan seperti pendidikan, olahraga dan kepemudaan. Seiring lama berjalannya waktu usaha tersebut tidak berjalan dengan baik, sementara dana yang kami harapkan tak kunjung datang, satu persatu anggota komunitas pemuda kami beranjak mengadu nasib, merantau ke luar daerah, ada juga yang menjadi TKI ke negara tetangga dengan harapan mencari kehidupan yang lebih baik untuk ke depannya, namun untuk tetap mengeksiskan komunitas ini, program-program pendidikan kami usahakan untuk tetap berjalan.
Setelah pengajuan proposal yang pertama tidak jelas kabarnya, kembali kami mengajukan proposal melalui anggota dewan yang lain dengan janji secepatnya dana akan keluar, pada pengajuan kedua ini kami diminta untuk tidak melampirkan rekening komunitas dengan alasan mungkin saja akan diberikan secara tunai. Kami pun menunggu lagi masih dengan harapan yang sama meskipun beberapa anggota banyak yang telah pergi merantau. Proposal kedua ini pun mengalami nasib yang sama, tanpa kabar dan tindak lanjut pemberitahuan, apa yang mesti kami perbaiki dari usulan proposal kami agar mendapatkan perhatian dari pihak Pemda.
Namun kami tidak putus asa setelah keduanya tak mendatangkan hasil, walaupun satu persatu juga anggota komunitas kami direkrut menjadi penjaga (Red : karyawan) untuk usaha-usaha kolektif maupun pribadi yang dibuka orang lain. Usulan selanjutnya kami mengajukan proposal melalui lembaga milik yayasan yang menjadi pengusung terpilihnya kepala Pemda saat ini, informan kami menyarankan untuk mengusung nama yayasan tersebut sebagai tempat bernaung karena pengajuan ini diprioritaskan untuk komunitas/kelompok yang bernaung di bawah yayasan **, kami pun mengiyakan untuk mengusung nama yayasan dan satu tambahan lagi proposal program pada pengajuan ini yaitu program Rumah Belajar dan Taman Baca.
Namun sayangnya, beberapa hari setelahnya, proposal tersebut dikembalikan dengan catatan hal-hal yang tidak substansial untuk perbaikan yang salah satunya diminta untuk menaruh tanggalan Hijriyah dahulu baru diikuti tanggalan Masehi, dan yang lainnya berkaitan dengan tanda tangan yang harus mengetahui kepala desa, karena memang pada proposal tersebut kami mengusung pejabat yang mengetahui yaitu kepala dusun. perbaikan pun selesai, proposal kami antar kembali melalui anggota dari lembaga milik yayasan tadi.
Beberapa hari setelahnya kami kembali mendapatkan kekecewaan, proposal perbaikan yang kami ajukan melalui lembaga yayasan ini dikembalikan lagi, dan setelah ini saya selaku ketua tak menghiraukan lagi perbaikan yang diminta, harapan untuk mendapatkan dana dari Pemda saya pikir ibarat mendulang air dengan ayakan. Keseriusan pihak Pemda untuk membantu program-program pemuda hanyalah hegemoni semu yang digulirkan supaya masyarakat menilai bahwa mereka peduli terhadap progresifitas pemuda, namun kecewanya saya dengan asumsi pribadi karena memang kami mengusung pluralitas pada program-program kami dan tidak terlalu moderatisasi yayasan, lalu Proposal yang kami ajukan tak pernah ada tindak lanjut, sementara yang mengajukan di bawah naungan yayasan milik kepala Pemda kadang mulus saja, meski itu dengan jumlah bantuan mencapai miliaran.
Komitmen pihak Pemda untuk menumbuh kembangkan ekonomi kreatif masyarakat perlu dikritisi bersama, jangan sampai APBD yang ada hanya digunakan untuk membiayai perjalanan wisata pejabat daerah, atau hanya untuk disimpan sehingga memberi peluang untuk dikorupsi oknum-oknum haus kekayaan atau untuk membiayai satu mega proyek yang sekiranya menguras APBD, sementara masyarakat kita tetap sebagai pekerja keras, bahkan sampai matipun keadaan tetap-tetap saja tanpa ada perubahan.
Kehidupan semakin keras, lapangan kerja semakin menyusut, jikapun ada kebanyakan berada di pusat perkotaan yang membuat warga desa semakin berduyun-duyun meninggalkan desa, padahal seharusnya desa atau warganya perlu mendapatkan pembinaan yang berprospek untuk kemajuan dan kesejahteraan warga, khususnya dengan ekonomi-ekonomi kreatif yang sudah semestinya mendapat perhatian dari Pemerintah, sehingga desa tetap makmur, angka kriminalitas menurun, yang nantinya berimplikasi juga pada tingkat pendidikan/intelektualitas warga desa, khususnya generasi muda sebagai SDM untuk ke depannya yang lebih maju. Melalui stimulasi dana bantuan yang digulirkan Pemerintah setidaknya akan ada program Pemuda yang dapat berjalan seperti harapan mereka.
Sembari berharap menunggu dana tembus, komunitas pemuda yang kami gagas ini pun mencoba membuka usaha kecil-kecilan sebagai awal, seperti berjualan pulsa, jualan bensin dan program-program pembinaan seperti pendidikan, olahraga dan kepemudaan. Seiring lama berjalannya waktu usaha tersebut tidak berjalan dengan baik, sementara dana yang kami harapkan tak kunjung datang, satu persatu anggota komunitas pemuda kami beranjak mengadu nasib, merantau ke luar daerah, ada juga yang menjadi TKI ke negara tetangga dengan harapan mencari kehidupan yang lebih baik untuk ke depannya, namun untuk tetap mengeksiskan komunitas ini, program-program pendidikan kami usahakan untuk tetap berjalan.
Setelah pengajuan proposal yang pertama tidak jelas kabarnya, kembali kami mengajukan proposal melalui anggota dewan yang lain dengan janji secepatnya dana akan keluar, pada pengajuan kedua ini kami diminta untuk tidak melampirkan rekening komunitas dengan alasan mungkin saja akan diberikan secara tunai. Kami pun menunggu lagi masih dengan harapan yang sama meskipun beberapa anggota banyak yang telah pergi merantau. Proposal kedua ini pun mengalami nasib yang sama, tanpa kabar dan tindak lanjut pemberitahuan, apa yang mesti kami perbaiki dari usulan proposal kami agar mendapatkan perhatian dari pihak Pemda.
Namun kami tidak putus asa setelah keduanya tak mendatangkan hasil, walaupun satu persatu juga anggota komunitas kami direkrut menjadi penjaga (Red : karyawan) untuk usaha-usaha kolektif maupun pribadi yang dibuka orang lain. Usulan selanjutnya kami mengajukan proposal melalui lembaga milik yayasan yang menjadi pengusung terpilihnya kepala Pemda saat ini, informan kami menyarankan untuk mengusung nama yayasan tersebut sebagai tempat bernaung karena pengajuan ini diprioritaskan untuk komunitas/kelompok yang bernaung di bawah yayasan **, kami pun mengiyakan untuk mengusung nama yayasan dan satu tambahan lagi proposal program pada pengajuan ini yaitu program Rumah Belajar dan Taman Baca.
Namun sayangnya, beberapa hari setelahnya, proposal tersebut dikembalikan dengan catatan hal-hal yang tidak substansial untuk perbaikan yang salah satunya diminta untuk menaruh tanggalan Hijriyah dahulu baru diikuti tanggalan Masehi, dan yang lainnya berkaitan dengan tanda tangan yang harus mengetahui kepala desa, karena memang pada proposal tersebut kami mengusung pejabat yang mengetahui yaitu kepala dusun. perbaikan pun selesai, proposal kami antar kembali melalui anggota dari lembaga milik yayasan tadi.
Beberapa hari setelahnya kami kembali mendapatkan kekecewaan, proposal perbaikan yang kami ajukan melalui lembaga yayasan ini dikembalikan lagi, dan setelah ini saya selaku ketua tak menghiraukan lagi perbaikan yang diminta, harapan untuk mendapatkan dana dari Pemda saya pikir ibarat mendulang air dengan ayakan. Keseriusan pihak Pemda untuk membantu program-program pemuda hanyalah hegemoni semu yang digulirkan supaya masyarakat menilai bahwa mereka peduli terhadap progresifitas pemuda, namun kecewanya saya dengan asumsi pribadi karena memang kami mengusung pluralitas pada program-program kami dan tidak terlalu moderatisasi yayasan, lalu Proposal yang kami ajukan tak pernah ada tindak lanjut, sementara yang mengajukan di bawah naungan yayasan milik kepala Pemda kadang mulus saja, meski itu dengan jumlah bantuan mencapai miliaran.
Komitmen pihak Pemda untuk menumbuh kembangkan ekonomi kreatif masyarakat perlu dikritisi bersama, jangan sampai APBD yang ada hanya digunakan untuk membiayai perjalanan wisata pejabat daerah, atau hanya untuk disimpan sehingga memberi peluang untuk dikorupsi oknum-oknum haus kekayaan atau untuk membiayai satu mega proyek yang sekiranya menguras APBD, sementara masyarakat kita tetap sebagai pekerja keras, bahkan sampai matipun keadaan tetap-tetap saja tanpa ada perubahan.
Kehidupan semakin keras, lapangan kerja semakin menyusut, jikapun ada kebanyakan berada di pusat perkotaan yang membuat warga desa semakin berduyun-duyun meninggalkan desa, padahal seharusnya desa atau warganya perlu mendapatkan pembinaan yang berprospek untuk kemajuan dan kesejahteraan warga, khususnya dengan ekonomi-ekonomi kreatif yang sudah semestinya mendapat perhatian dari Pemerintah, sehingga desa tetap makmur, angka kriminalitas menurun, yang nantinya berimplikasi juga pada tingkat pendidikan/intelektualitas warga desa, khususnya generasi muda sebagai SDM untuk ke depannya yang lebih maju. Melalui stimulasi dana bantuan yang digulirkan Pemerintah setidaknya akan ada program Pemuda yang dapat berjalan seperti harapan mereka.
Tahfidz Bukan Sekedar Menghafalkan Bacaan
Beberapa hari lalu di salah satu TPQ di kampung, kami mengadakan
evaluasi tahfidz untuk Juzz 1 yang diikuti oleh santri yang telah lancar
membaca Al qur'an. Tenggang waktu para santri menghafal selama satu
minggu, dengan setiap harinya adalah 5 ayat, waktu evaluasinya kami
adakan setiap malam ahad ba'da magrib. Pada minggu ini kami memberikan
tugas untuk menghafal sampai ayat 30 pada juzz 1. Sempat terjadi tawar
menawar jumlah ayat yang akan dihafalkan, namun kami tetapkan saja
minimal sampai ayat 30, boleh lebih. Protes dari para santri tak membuat
kami surut untuk memfokuskan mereka menghafal.
Evaluasi malam itu kami mulai dengan sama-sama mengulang dari awal sampai ayat 30, sementara mereka mengulang saya menyiapkan papan dan menulis keterangan proses penilaian yang akan kami lakukan, yang terdiri dari nama, jumlah ayat, 2 pertanyaan jika tidak dapat menghafal sampai ayat 30, kesalahan dalam hafalan, dan terakhir nilai dalam bentuk huruf. Santri pertama yang menghafal tak sampai ayat 10 sudah kebingungan lanjutan ayatnya walaupun saya bacakan ayat awalnya, pertanyaan pun tidak ada yang dapat dilanjutkan, penilaian tidak saya tuliskan. lalu dilanjutkan dengan santri ke-2 hanya hafal sampai ayat ke-14, pertanyaan hanya 1 dapat dilanjutkan dari ayat yang saya bacakan, nilainya pun saya tulis C.
Dari total 10 santri yang hadir untuk setor hafalan pada malam itu, ada 3 orang yang dapat menghafalkan sampai ayat 30. santriwati yang masih duduk di bangku kelas 1 MTs. tsb lancar sampai ayat 14, lalu saya bacakn satu kata awalnya dan dilanjutkan dengan lancar pula, namun kesalahan kata pada lanjutan ayat tetap saya hitung sebagai sebuah kesalahan. meskipun dia hafal sampai ayat 30 namun total kesalahan pada bacaannya yaitu 6 point, saya pun memuji dan memberikan semangat atas komitmennya menghafal, nilai saya tuliskan B+. selanjutnya yang hafal sampai ayat 30 ada santriwan yg duduk di bangku kelas 2 MTs., hafalannya pun tidak jauh beda dengan yang tadi, namun total kesalahan bacaannya 13 point, nilai saya tuliskan C+. Santriwati selanjutnya yang hafal sampai ayat 30 total kesalahannya 9 point, nilai yang saya berikan B.
Karena waktu yang kami targetkan sampai adzan isya berkumandang, dan azan isya telah lama dikumandangkan, bahkan jamaah di masjid hampir selesai, akhirnya saya putuskan 4 santri yang tersisa untuk mengahafal sampai ayat 15 dan dilanjutkan degan 4 pertanyaan untuk melanjutkan ayat. Pada proses menghafal dengan melanjutkan ayat ini ada 2 santri yang ketika saya tanyakan apakah hafalan mereka sudah sampai ayat 30, mereka menjawab Insyaallah, pada kolom jumlah ayat tsb saya tambahkan huruf I yang berarti insyaallah. Pertanyaan pun dilanjutkan, santriwati pertama pada proses kedua ini mampu melanjutkan ayat dari 4 pertanyaan yang saya ajukan, namun kesalahan pada bacaan ada 3 point, nilai saya tuliskan A. Santriwati selanjutnya pada proses kedua ini pun tak jauh beda, kesalahan bacaannya ada 4 point, nilai saya tuliskan A juga.
Melihat dua santri dengan proses berbeda dari cara evaluasi mereka, 3 santri yang mendapat B+, C+ dan B tadi langsung saja mengajukan protes tentang sistem penilaian yang saya berikan, Namun karena masih ada 2 santri yang belum mendapat giliran, proses setor hafalan saya lanjutkan, dan coba menenangkan protes mereka, dan 2 santri terakhir tsb ternyata tidak hafal sampai ayat 30 walaupun sudah saya bacakan awalnya, nilai mereka saya tulis c. Setelah semua santri selesai evaluasi hafalan, santri yang tadi kembali mengajukan protes tentang sistem penilaian, mereka beralasan proses hafalan dengan sistem pertanyaan tadi dirasa tidak fair sedangkan mereka telah capek-capek menghafal dari awal, nilaipun lebih banyak didapatkan mereka yang menggunakan pertanyaan. Dalam hati saya juga merasa seperti itu, apakah saya cukup adil dalam menilai.
Alasan pertama saya kemukakan tentang perbedaan nilai tersebut karena frekuensi kesalahan bacaan mereka yang menjadi patokan saya untuk mengakumulasi nilai akhir mereka, lalu alasan masalah jumlah ayat yang mereka hafal antara yang menghafal dari ayat 1-30 dengan mereka yang menghafal sampai ayat 15 tapi ditambah empat pertanyaan untuk melanjutkan ayat, pada pertanyaan tersebut ayat yang saya minta untuk dilanjutkan bacaannya yaitu melebihi ayat 30 yang ditargetkan dan mereka mampu melanjutkannya, maka saya menyimpulkan mereka hafal sampai ayat 30. Namun Alasan tersebut tampaknya belum cukup memuaskan terkait perbedaan nilai antara mereka yang mendapat nilai B+ melaui proses menghafal dari ayat 1-30, dengan mereka yang menghafal sampai ayat 15.
Saya lanjutkan memberikan support bahwa yang menghafal penuh dari ayat 1-30 mendapatkan nilai plus yang saya tuliskan (E) yang bermakna Excelent untuk 3 santri yang protes tadi, dengan nilai plus tersebut barulah mereka semangat lagi dengan nilai yang sudah ada. Namun dalam hati saya sendiri juga masih berpikir, benarkah penilaian yang saya berikan seperti ini yang ujung-ujungnya membuat mereka menghafal hanya untuk tinggi-tinggian nilai dan berkompetisi sekedar mencari gengsi dengan banyak-banyakan hafalan sementara makna satu ayatpun belum sempurna dipahami, termasuk saya juga.
Setelah shalat isya kembali lagi saya tegaskan bahwa proses menghafal seperti ini jangan sekali-kali membuat mereka ria' dengan menceritakan hafalan-hafalan mereka kepada orang lain, lalu dengan nilai yang saya berikan jangan sampai itu menjadi tujuan utama menghafal, karena itu bisa saja sebuah penilaian objektif yang mengandung subjektivitas yang tidak saya sadari ketika menyimak ataupun memberikan pertanyaan untuk melanjutkan ayat. Setidaknya semangat mereka untuk menghafal sudah kami sama-sama tanamkan bukan sekedar mencari gengsi atau mengikuti mainstream publik yang menjadikan tahfidz sebagai legitimasi untuk menjaring persepsi masyarakat supaya memandang mereka sebagai yang terbaik, namun penilaian yang sesungguhnya kami serahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa. Suatu saat saya berjanji pada diri sendiri untuk memahami dan membahas ayat-ayat tersebut lebih dalam, baik melalui studi literatur yang sudah ada ataupun mengundang ahli pada bidang tafsir, sehingga nilai-nilai dalam Al Qur'an benar-benar mampu kami serap untuk diamalkan.
Saya jelaskan terkait protes yang tadi untuk selanjutnya akan saya usahakan untuk memberikan evaluasi yang sama bagi semua santri sehingga tidak ada lagi kecemburuan dengan penilaian yang saya berikan, namun tetap memperhatikan esensi bacaan dan frekuensi salah baca maupun salah kata yang mereka lanjutkan, kami niatkan ini sebagai awal untuk membina generasi-generasi Qur'ani yang berkomitmen dan memiliki integritas untuk progresifnya intelektualitas keagamaan generasi kami.
Evaluasi malam itu kami mulai dengan sama-sama mengulang dari awal sampai ayat 30, sementara mereka mengulang saya menyiapkan papan dan menulis keterangan proses penilaian yang akan kami lakukan, yang terdiri dari nama, jumlah ayat, 2 pertanyaan jika tidak dapat menghafal sampai ayat 30, kesalahan dalam hafalan, dan terakhir nilai dalam bentuk huruf. Santri pertama yang menghafal tak sampai ayat 10 sudah kebingungan lanjutan ayatnya walaupun saya bacakan ayat awalnya, pertanyaan pun tidak ada yang dapat dilanjutkan, penilaian tidak saya tuliskan. lalu dilanjutkan dengan santri ke-2 hanya hafal sampai ayat ke-14, pertanyaan hanya 1 dapat dilanjutkan dari ayat yang saya bacakan, nilainya pun saya tulis C.
Dari total 10 santri yang hadir untuk setor hafalan pada malam itu, ada 3 orang yang dapat menghafalkan sampai ayat 30. santriwati yang masih duduk di bangku kelas 1 MTs. tsb lancar sampai ayat 14, lalu saya bacakn satu kata awalnya dan dilanjutkan dengan lancar pula, namun kesalahan kata pada lanjutan ayat tetap saya hitung sebagai sebuah kesalahan. meskipun dia hafal sampai ayat 30 namun total kesalahan pada bacaannya yaitu 6 point, saya pun memuji dan memberikan semangat atas komitmennya menghafal, nilai saya tuliskan B+. selanjutnya yang hafal sampai ayat 30 ada santriwan yg duduk di bangku kelas 2 MTs., hafalannya pun tidak jauh beda dengan yang tadi, namun total kesalahan bacaannya 13 point, nilai saya tuliskan C+. Santriwati selanjutnya yang hafal sampai ayat 30 total kesalahannya 9 point, nilai yang saya berikan B.
Karena waktu yang kami targetkan sampai adzan isya berkumandang, dan azan isya telah lama dikumandangkan, bahkan jamaah di masjid hampir selesai, akhirnya saya putuskan 4 santri yang tersisa untuk mengahafal sampai ayat 15 dan dilanjutkan degan 4 pertanyaan untuk melanjutkan ayat. Pada proses menghafal dengan melanjutkan ayat ini ada 2 santri yang ketika saya tanyakan apakah hafalan mereka sudah sampai ayat 30, mereka menjawab Insyaallah, pada kolom jumlah ayat tsb saya tambahkan huruf I yang berarti insyaallah. Pertanyaan pun dilanjutkan, santriwati pertama pada proses kedua ini mampu melanjutkan ayat dari 4 pertanyaan yang saya ajukan, namun kesalahan pada bacaan ada 3 point, nilai saya tuliskan A. Santriwati selanjutnya pada proses kedua ini pun tak jauh beda, kesalahan bacaannya ada 4 point, nilai saya tuliskan A juga.
Melihat dua santri dengan proses berbeda dari cara evaluasi mereka, 3 santri yang mendapat B+, C+ dan B tadi langsung saja mengajukan protes tentang sistem penilaian yang saya berikan, Namun karena masih ada 2 santri yang belum mendapat giliran, proses setor hafalan saya lanjutkan, dan coba menenangkan protes mereka, dan 2 santri terakhir tsb ternyata tidak hafal sampai ayat 30 walaupun sudah saya bacakan awalnya, nilai mereka saya tulis c. Setelah semua santri selesai evaluasi hafalan, santri yang tadi kembali mengajukan protes tentang sistem penilaian, mereka beralasan proses hafalan dengan sistem pertanyaan tadi dirasa tidak fair sedangkan mereka telah capek-capek menghafal dari awal, nilaipun lebih banyak didapatkan mereka yang menggunakan pertanyaan. Dalam hati saya juga merasa seperti itu, apakah saya cukup adil dalam menilai.
Alasan pertama saya kemukakan tentang perbedaan nilai tersebut karena frekuensi kesalahan bacaan mereka yang menjadi patokan saya untuk mengakumulasi nilai akhir mereka, lalu alasan masalah jumlah ayat yang mereka hafal antara yang menghafal dari ayat 1-30 dengan mereka yang menghafal sampai ayat 15 tapi ditambah empat pertanyaan untuk melanjutkan ayat, pada pertanyaan tersebut ayat yang saya minta untuk dilanjutkan bacaannya yaitu melebihi ayat 30 yang ditargetkan dan mereka mampu melanjutkannya, maka saya menyimpulkan mereka hafal sampai ayat 30. Namun Alasan tersebut tampaknya belum cukup memuaskan terkait perbedaan nilai antara mereka yang mendapat nilai B+ melaui proses menghafal dari ayat 1-30, dengan mereka yang menghafal sampai ayat 15.
Saya lanjutkan memberikan support bahwa yang menghafal penuh dari ayat 1-30 mendapatkan nilai plus yang saya tuliskan (E) yang bermakna Excelent untuk 3 santri yang protes tadi, dengan nilai plus tersebut barulah mereka semangat lagi dengan nilai yang sudah ada. Namun dalam hati saya sendiri juga masih berpikir, benarkah penilaian yang saya berikan seperti ini yang ujung-ujungnya membuat mereka menghafal hanya untuk tinggi-tinggian nilai dan berkompetisi sekedar mencari gengsi dengan banyak-banyakan hafalan sementara makna satu ayatpun belum sempurna dipahami, termasuk saya juga.
Setelah shalat isya kembali lagi saya tegaskan bahwa proses menghafal seperti ini jangan sekali-kali membuat mereka ria' dengan menceritakan hafalan-hafalan mereka kepada orang lain, lalu dengan nilai yang saya berikan jangan sampai itu menjadi tujuan utama menghafal, karena itu bisa saja sebuah penilaian objektif yang mengandung subjektivitas yang tidak saya sadari ketika menyimak ataupun memberikan pertanyaan untuk melanjutkan ayat. Setidaknya semangat mereka untuk menghafal sudah kami sama-sama tanamkan bukan sekedar mencari gengsi atau mengikuti mainstream publik yang menjadikan tahfidz sebagai legitimasi untuk menjaring persepsi masyarakat supaya memandang mereka sebagai yang terbaik, namun penilaian yang sesungguhnya kami serahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa. Suatu saat saya berjanji pada diri sendiri untuk memahami dan membahas ayat-ayat tersebut lebih dalam, baik melalui studi literatur yang sudah ada ataupun mengundang ahli pada bidang tafsir, sehingga nilai-nilai dalam Al Qur'an benar-benar mampu kami serap untuk diamalkan.
Saya jelaskan terkait protes yang tadi untuk selanjutnya akan saya usahakan untuk memberikan evaluasi yang sama bagi semua santri sehingga tidak ada lagi kecemburuan dengan penilaian yang saya berikan, namun tetap memperhatikan esensi bacaan dan frekuensi salah baca maupun salah kata yang mereka lanjutkan, kami niatkan ini sebagai awal untuk membina generasi-generasi Qur'ani yang berkomitmen dan memiliki integritas untuk progresifnya intelektualitas keagamaan generasi kami.
Hijab : Antara Tabarruj Dan Komitmen Memperbaiki Akhlak
Siapa yang tidak ingin tampil
cantik dengan gamis dan jilbab indah yang menjadi trend bagi wanita-wanita
stylish masa kini, namun di balik indahnya pakaian tersebut mereka harus berani
merogoh kantong di atas standar untuk tampil dengan style hijab seperti yang
disebut kebanyakan orang sekarang. sedangkan hijab yang sebenarnya masih perlu
mendapat pemahaman yang lebih mendalam sehingga tidak salah kaprah dengan
menjadikan upaya-upaya berhijab tersebut sebagai legitimasi atas tabarruj
(berlebihan dalam berhias) yang mereka lakukan.
Banyaknya trend-trend jilbab
modern yang diusung oleh desainer-desainer jilbab semakin menjadikan fenomena
hijab ini menjadi semakin jauh dari makna hijab yang sebenarnya, bahkan
sampai-sampai diadakan seminar-seminar tutorial hijab yang dihadiri oleh mereka
yang berdandan nampaknya boneka mainan yang dililitkan jilbab macam ular di
badan mereka, tak terkecuali masyarakat kampus (mahasiswi) yang seharusnya
lebih jeli memfilter budaya-budaya mana yang berkenaan dengan syariat yang
sebenarnya malah ikut arus mengadakan lomba-lomba hijab wanita muslimah, lantas
kalau hijab saja sudah dijadikan ajang untuk saling pamer, di mana letak nilai
komitmen untuk menjalankan anjuran Tuhan terkait hijab seperti yg tertuang
dalam Q.S. Al Ahzab ayat 59 tersebut.
Kalau beberapa waktu lalu mencuat
fenomena jilboobs (jilbab tetapi aurat vital kelihatan), jipon (jilbab poni),
kerdus (kerudung dusta), kerpun (kerudung punuk) atau kerbus (kerudung busuk)
kesemuanya merupakan contoh lepasnya makna esensi hijab dari yang sebenarnya,
dan sekarang fenomena berlebihannya bentuk penggunanaan jilbab yang secara
esensi sebagai penutup aurat menjadi topik hangat yang kembali mencuat dengan
isu tabarruj di kalangan para muslimah yang mendahulukan style dari pada
fungsi.
Hijab yang secara bahasa bermakna
penghalang/penutup mengalami penyempitan makna yang dipahami secara khusus bagi
wanita yang mengenakan gamis maupun jilbab besar yang menjadi style atau lebih
familiar disebut dengan hijab syar'i. secara syariat hijab dimaknai sebagai
pakaian yang menutup aurat yang tidak mengundang syahwat bagi orang yang
memandangnya dengan tetap berpedoman pada fungsi hijab yang sesuai syariat
bukan sebagai alat untuk bertabarruj atau agar dipuji orang lain karena
kecantikan/keindahan orang yang mengenakannya, sehingga wanita muslimah yang
ingin berhijab benar-benar karena keinginan untuk mengikuti anjuran Tuhan
supaya menutup aurat bukan karena mereka lebih memperhatikan gaya-gayaan/style
dari pada syariat yang dianjurkan.
Terkait dengan beberapa bentuk
penggunaan jilbab/hijab seperti disebutkan di atas itu merupakan bentuk
pemahaman masing-masing individu terhadap style jilbab yang mereka ikuti, di
samping itu juga maraknya jenis-jenis jilbab atau style penggunaan jilbab
dimotori oleh budaya masyarakat kita yang selalu meniru (follower) hal-hal baru
yang kadang secara substansial tidak memberi manfaat apa-apa namun cukup ampuh
merubah pola pikir masyarakat tentang suatu hal. seperti contoh jilbab ini,
beberapa waktu lalu dengan boomingnya film-film tema percintaan berbalut
religi, para aktor/aktris dengan nampak anggunnya mengenakan pakaian-pakaian
gemerlap yang mereka sebut hijab juga, lalu masyarakat dengan paradigma untuk
selalu eksis tampil cantik juga ikut-ikutan mengenakan kostum seperti itu,
entahlah dengan niat untuk mengikuti syariat anjuran menutup aurat atau
mengikuti tabiat artist di film tersebut (hanya Tuhan yang tahu niat seseorang),
bahkan aktris-aktris pada film tersebut menjadi pemandu tutorial hijaber yang
lumayan menguras waktu untuk mengenakannya seperti yang pernah saya saksikan
melalui youtube.
Saya pernah berkunjung ke salah
satu toko perlengkapan hijab di wilayah Mataram yang secara bersamaan juga
menjual beberapa kitab-kitab/buku islami, iseng-iseng saya lirik-lirik juga
beberapa pakaian muslimah yang paketan dari gamis sampai jilbabnya, karena
tidak dipungkiri saya juga senang melihat wanita muslimah dengan pakaian
seperti itu, bukan saja terlihat cantik tetapi aura-aura shalihahnya itu nampak
juga, seperti beberapa mahasiswi di kampus FKIP tempat saya kuliah dulu.
awalnya saya tidak yakin dengan bandrol yang tersemat di beberapa pakaian
tersebut, setelah saya lirik jenis-jenis yang lain juga ternyata harganya tidak
jauh beda rata-rata di atas Rp. 500.000, yang paling murah saya perhatikan
berada pada kisaran harga Rp. 350.000. sempat terpikir juga pada waktu itu,
mahasiswi-mahasiswi yang tampil berhijab syar'i seperti yang mereka sebut
ternyata lumayan merogoh kantong juga sehingga tampil anggun seperti itu,
sementara mahasiswi-mahasiswi dengan kostum standar ala anak kuliahan mungkin
saja mereka sebenarnya ingin tampil syar'i juga, namun tak cukup uang untuk memboyong
pakaian-pakaian hijab seperti itu, dan memutuskan untuk tampil standar seperti
mahasiswi kebanyakan dengan jeans lalu pakaian katun longgar dan jilbab.
Sekiranya paradigma berhijab yang
mereka pahami dengan menggunakan gamis dan jilbab besar seperti itu, maka
rata-rata mungkin kebanyakan mahasiswi agak berat untuk membelinya, bagi
mahasiswa yang orang tuanya berpenghasilan menengah ke atas harga tersebut
mungkin bisa saja mereka bayar, namun mahasiswi dengan kantong pas-pasan
mungkin mereka akan mikir 1000 kali untuk memutuskan keinginan tampil dengan
hijab syar'i seperti yang mereka sebutkan.
Lalu berkenaan dengan munculnya
beberapa macam jilbab dan cara mengenakannya yang aneh-aneh juga tidak lepas
dari peran media yang menumbuh suburkan budaya-budaya untuk tampil eksis dengan
bermacam gaya dari pada fungsi jilbab yang sebenarnya. memang diakui pasti
semua wanita ingin tampil cantik entah itu ketika di dalam rumah maupun ketika
bepergian. lantas ketika para wanita berlomba-lomba untuk selalu tampil lebih
cantik di hadapan umum sehingga membuat orang lain selalu menujukan pandangan
kepadanya, rata-rata laki-laki normal pasti menimbulkan pemikiran dalam benak
mereka mulai dari kekaguman, ujung-ujungnya ingin tahu siapa namanya, lama-lama
muncul pikiran seandainya dia jadi pacar/istri. ini memanglah hal wajar,
walaupun Rasulullah SAW. mengingatkan bagi seseorang yang akan membina rumah
tangga dengan 4 kriteria yang disuguhkan, namun tak dipungkiri yang paling
dominan dilihat sekarang adalah kecantikan maupun kekayaan, sementara agama
mungkin dilihat pada urutan yang ketiga atau kedua.
Kemudian muncul beberapa statemen
publik tentang berbedanya antara jilbab dengan akhlak, seseorang yang berjilbab
namun akhlaknya masih belum bisa dijaga seperti ghibah/membicarakan keburukan
orang lain, fitnah, atau tampil dengan mesranya di hadapan publik bersama
seorang yang bukan mahram, sehingga memunculkan fenomena kerdus (kerudung
dusta) atau kerbus (kerudung busuk), lalu banyak yang berdalih "jika
seorang perempuan berjilbab namun belum bisa menjaga sikap, jangan dianggap
lebih buruk karena semata-mata dia berjilbab, namun murni karena kepribadian
mereka, perempuan berjilbab (menutup aurat) belum tentu berakhlak, perempuan
berakhlak pasti berjilbab (menutup aurat)".
Kalau sekarang fenomena
digembar-gemborkannya seruan untuk berhijab namun muncul wacana seperti itu
tentang terlepasnya makna jilbab dengan akhlak, lantas apakah jilbab tersebut
hanya dijadikan gaya-gayaan untuk memikat lawan jenis supaya lebih mengagumi
mereka sementara akhlak tidak turut untuk dibenahi, atau bentuk-bentuk hijab
tersebut sebagai alat untuk tabarruj
padahal dalam Al Qur'an jelas-jelas Tuhan melarang Tabarruj seperti dalam firman-Nya "Janganlah engkau berlebihan dalam berhias seperti berhiasnya orang-orang
jahiliyah. (Q.S Al Ahzab : 33)", atau apakah jilbab yang dikenakan
sekedar mengikuti trend berjilbab karena fenomena follower yang sedang booming-boomingnya.
Bahkan beberapa waktu lalu saya
pernah mengikuti suatu kuliah, lalu di depan ada seorang perempuan, adik
tingkat dengan dandanan tampak rapi ala Kerpun (kerudung punuk) datang dengan
tergesa-gesa, sekilas tak ada yang aneh dengan dandanannya karena kebanyakan
mahasiswi berdandan seperti itu juga, secara tidak sengaja salah seorang teman
di samping saya menunjuk ke jilbab adik tingkat tersebut, saya masih belum
menangkap apa yang dia maksud, setelah saya perhatikan lebih detail pada jilbab
yang dikenakan, ternyata pada jilbab abu tersebut di ujung bawahnya dibordir
berbagai macam logo jejaring sosial yang pernah ada dan booming di internet
seperti facebook, twitter, Yahoo
Messenger, BBM, youtube, google chrome, blogger, google play, firefox, gmail,
Ymail, safari, Itunes, ebay,dan lainnya yang saya lupa juga, dan seingat
saya pada waktu itu satu yang tidak ada pada jilbab tersebut yaitu Internet Explorer. sekarang dengan lebih banyaknya lagi jenis jejaring
sosial yang ada mungkin telah ditambahkan bordirannya oleh si empunya jilbab
karena pada waktu itu sekitar tahun 2013 belum muncul instagram, path, LinkedIn, google +, dan lainnya.
Setelah menemukan kejadian
seperti itu, pada keesokan harinya saya menonton sebuah tayangan program Khazanah yang membahas tentang fenomena
maraknya jilbab punuk yang menyerupai tanduk atau punuk unta sebagai pertanda
akhir zaman, sekilas saya melihat juga jilbab aksesoris yang dikenakan salah
seorang artist remaja dengan bordiran aksesoris jejaring sosial persis seperti
yang dikenakan adik tingkat waktu itu.
Kembali kepada topik tentang
jilbab dan akhlak, secara substansi syariat antara anjuran menutup aurat
(berhijab) dengan anjuran berakhlak mulia memang sepadan sebagai bentuk
pemuliaan manusia sebagai makhluk yang sempurna, jika kemudian muncul persepsi
tentang pemisahan keduanya sebagai legitimasi untuk tetap eksis dengan style
tampil cantik yang sesuai dengan zaman, maka hal itulah yang seharusnya mejadi
fokus pemahaman bersama tentang bagaimana kita membiasakan antara anjuran
menutup aurat dengan komitmen untuk memperbaiki akhlak, baik akhlak kepada
sesama manusia maupun akhlak kepada Tuhan.
Ketika seseorang telah berniat
tulus untuk berhijab mengikuti anjuran Tuhan maka secara tidak langsung
perbaikan-perbaikan pada tingkat yang lain akan mengikuti, akan tetapi ketika
niat berhijab untuk sekedar mengikuti trend atau berhias agar dipuji atau hanya
untuk terlihat tampil cantik di muka umum maka itulah yang memunculkan jilbab
hanya dijadikan alat tabarruj, berlebihan dalam berhias dengan make up dan
jilbab aneh beraneka dandanan yang kadang tak jarang juga memunculkan cibiran
miring atau bahan tertawaan bagi yang lain seperti contoh jilbab punuk jejaring
sosial tadi.
Hijab yang sederhananya memenuhi
syar'i dan tidak terkesan bertabarruj, kadang tidak butuh biaya mahal asal memiliki
komitmen juga untuk tampil sederhana seperti yang banyak dikenakan oleh
remaji-remaji santri pada umumnya,
seperti dengan menggunakan rok lalu pakaian longgar dan jilbab rapi yang
menutupi bagian kepala sampai dada atau jilbab besar yang menutupi sampai bawah
pada badan bagian belakang. Namun bagi para pemudi yang masih belum percaya
diri untuk tampil seperti itu, dengan dandanan seperti biasanya asalkan
tertutup rapi aurat, sehingga tidak menimbulkan nafsu syahwat bagi yang
memandang dan tetap menjaga akhlak itupun juga termasuk sudah berhijab pada
dasarnya. Oleh karena itu komitmen untuk berhijab dan memperbaiki akhlak harus
disinergikan secara tepat sehingga tidak muncul lagi statemen seperti kerudung dusta, kerudung busuk tadi demi
terwujudnya muslimah-muslimah sejati yang bahkan sampai disebut-sebut sebagai
tiang negara.
Maka sudah sewajarnya
generasi-generasi remaja putri yang sedang geliat-geliatnya berdandan supaya
tampil cantik dibentengi dengan anjuran untuk mensinergikan antara akhlak dan
komitmen untuk berhijab sehingga mereka tidak saja memperhatikan dandanan namun
di balik itu nilai akhlak, dan generasi Qur'ani terpatri dalam diri mereka.
Wallahu a'lam.
Nb : Tulisan ini bukan bermaksud
untuk menggurui, namun semata-mata sebagai bentuk penuangan kegelisahan atas
fenomena yang ada.
Nilai Solidaritas dalam Menyambut Calon Haji

Selain itu paradigma yang tertanam dalam masyarakat Lombok bahwa melaksanakan Haji sebagai panggilan resmi dari Allah SWT untuk berkunjung ke Baitullah. Banyak orang yang mempunyai kelebihan harta tetapi belum dapat melaksanakan ibadah Haji, persepsi masyarakat kita merujuk karena mereka belum mendapatkan panggilan dari Tuhan untuk berhaji. Lebih-lebih di saat sekarang kuota haji yang dari Indonesia mendapatkan pengurangan dari pihak pemerintah Arab Saudi, jadi jika ingin melaksanakan ibadah Haji harus menunggu 10 sampai 12 tahun untuk dapat berangkat. Akan tetapi lamanya menunggu, tingginya biaya penyelenggaraan ibadah haji tak melemahkan semangat masyarakat kita untuk tetap mendaftarkan diri menjadi calon jamaah haji. Banyak kisah yang membuktikan bahwa haji itu merupakan benar-benar panggilan dari Allah SWT untuk para tamu-Nya. Beberapa waktu lalu jamaah yang sudah mengantri sekitar 5 tahun dan tepat pada tahun ke-enam namanya keluar sebagai calon jamaah haji telah mempersiapkan segala sesuatunya lebih awal, namun pas akan berangkat ke Arab Saudi diberitakan bahwa visanya tidak keluar yang menyebabkan tertundanya pemberangkatan, hal seperti itu sebagai cobaan berat bagi calon jamaah haji, bahkan ada yang sampai stress hilang akal.
Di Lombok (sekali lagi tepatnya di Lombok Timur) tradisi masyarakat kita untuk menyambut keberangkatan calon jamaah haji cukup beragam. Di Lombok Timur misalnya, sebelum memasuki bulan Ramadhan warga sudah beramai-ramai ikut membantu mengumpulkan kayu bakar persiapan untuk acara syukuran atau begawe pada hari yang telah ditentukan atau istilahnya mbau kayuq, sebenarnya acara mbau kayuq ini juga biasa dilaksanakan tiap ada orang yang akan melaksanakan begawe, baik itu acara pernikahan, khitanan, aqiqah ( molang maliq), peringatan 9 hari kematian dan lainnya. Namun berbeda dengan penyambutan keberangkatan calon jamaah haji ini, mbau kayuq tersebut sebagai pertanda awal, masih banyak tahapan acara yang lain yang akan dilaksanakan sampai menjelang tibanya keberangkatan calon Haji. Lalu 4 atau 5 hari setelah Ramadhan warga kembali diberitahukan melalui pengumuman dengan pengeras suara dari masjid pada hari yang telah ditentukan, warga diminta berkumpul untuk pembuatan ketaring (teratak) sebagai peneduh di sekitar rumah calon haji dan berbagai macam hiasan bernuansa islami pertanda akan berangkat haji salah satu dari warga di masyarakat tersebut. Bahkan dengan kecanggihan teknologi saat ini rata-rata calon jamaah haji memajang baliho/spanduk beserta fotonya disertai kata-kata doa untuk mendapatkan haji mabrur.
Setelah pembuatan teratak di rumah calon haji sudah
selesai, kembali lagi dari pengeras suara di masjid warga diberitahukan
pelaksanaan acara ziarah maqam bersama calon haji akan dilaksanakan pada hari
yang telah ditentukan, biasanya 1 atau 2 minggu setelah pembuatan teratak tadi,
tergantung hari baik menurut pertimbangan dari orang yang mempunyai kelebihan
untuk melihat pertimbangan hari-hari pelaksanaan acara, istilahnya disebut diwase jelo. Hal yang menarik dari
pelaksanaan ziarah maqam ini, di samping sebagai acara syukuran untuk berdoa
mengunjungi maqam-maqam Auliya' - Alim yang tersebar letaknya di sekitaran
Lombok, juga merupakan acara rekreasi keagamaan bagi warga yang ikut, karena
biasanya konsumsi untuk warga yang ikut telah disediakan oleh calon haji. Maka
tak jarang ketika acara ziarah maqam bersama calon haji di kampung selalu ramai
yang mengikuti, bahkan tokoh-tokoh agama dari kampung tetangga juga diundang
untuk ikut memberikan doa pada acara ziarah maqam ini.
Acara ziarah ke maqam para alim
ulama' yang ada di Lombok ini dihajatkan sebagai pelatihan bagi calon jamaah
haji. Memang Ibadah haji secara substansial pelaksanaannya berisi ziarah atau
berkunjung ke tempat-tempat bersejarah dalam agama islam, maka melalui ziarah
maqam sebelum keberangkatan, calon haji mendapatkan pembelajaran dari rumah
sebelum berziarah ke tempat-tempat bersejarah sesuai tuntunan pelaksanaan haji.
Maqam-maqam yang diziarahi calon haji ini pun beragam, seperti yang kita
ketahui di Lombok terdapat berbagai organisasi islam, dan tiap organisasi itu
pasti memiliki Tuan Guru yang ditokohkan sebagai pendiri atau pengelola Yayasan,
maqam Tuan Guru inilah yang diziarahi oleh calon haji untuk memanjatkan doa
keselamatan dan keberkahan sebelum berangkat melaksanakan ibadah haji.
Selain maqam-maqam Tuan Guru pendiri
Yayasan, banyak pula maqam Tuan Guru atau maqam tokoh-tokoh yang telah berjasa
menyebarkan agama Islam di tanah Lombok yang diziarahi calon haji, namun tetap
mendahulukan ziarah ke maqam Tuan Guru pendiri Yayasan atau organisasi Islam yang
calon haji masuk sebagai anggota di dalamnya atau tergantung kedekatan lokasi
maqam tersebut dari rumah calon haji. Misalnya, Calon Haji Lombok Timur dari Ormas
Nahdhatul Wathan ketika melakukan Ziarah, maqam yang pertama kali diziarahi
maqam Tuan Guru Kiyai Haji M. Zainuddin Abd. Majid (Hamzanwadi) di Pancor,
karena seperti yang kita tahu beliau cukup besar jasanya menyebarkan Islam di
tanah Lombok melalui pendidikan dengan sistem Pondok Pesantren dan
Halaqah-halaqah agama. Beliau juga termasuk pejuang Kemerdekaan Negara Indonesia
dari Lombok, serta pernah terlibat langsung dalam peperangan mengusir tentara
NICA di Selong (dalam buku Biografi Maulanasyaikh TGKH. M. Zainuddin Abd. Majid
karangan H. Hayyi Nu'man).
Setelah Selesai berdoa di Maqam
Hamzanwadi dilanjutkan dengan berziarah ke maqam Raja-raja Selaparang di
Selaparang kecamatan Suela Lombok Timur. Kerajaan Selaparang merupakan Kerajaan
Islam yang pernah berdiri di Lombok jauh sebelum kedatangan penjajah ke Nusantara.
Di maqam Selaparang ini bentuk maqam tersusun rapi dari bebatuan yang sudah
melekat dan tampak alami tanpa sentuhan teknologi bahan bangunan seperti
sekarang. Maqam-maqam bersejarah lainnya yang masih berada di kawasan Lombok
Timur yang biasa diziarahi calon haji yaitu maqam TGH. Saleh Sungkar, Maqam
Tuan Guru Ahmad Tretetet dan lainnya. Usai dari maqam-maqam yang berada di
kawasan Lombok Timur barulah beranjak ke maqam-maqam bersejarah lainnya, di
Lombok Tengah misalnya, ada maqam Tuan Guru Haji Lopan, lalu dilanjutkan ke
maqam loang baloq di Tanjung Karang dan terakhir ke maqam batu layar di kawasan
batu Layar Lombok barat. Pada maqam yang terakhir ini biasanya dilanjutkan
dengan rekreasi ke pantai senggigi menikmati bekal yang dibawa dari rumah, maka
tak heran perjalanan satu hari penuh untuk berziarah itu menjadi momen besar
bagi calon haji. Bahkan ada yang lebih antusias lagi tak cukup dengan maqam
yang ada di kawasan Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, calon haji
kadang mengundang tokoh-tokoh agama dengan rombongan kecil bersama keluarga
berziarah ke maqam-maqam bersejarah lainnya yang tak sempat dilakukan pada saat
rombongan besar, seperti maqam-maqam yang ada di bagian Jerowaru, Pujut lalu
terakhir ke maqam Masjid Kuno yang ada di bayan.
Selanjutnya calon Haji yang dari
Organisasi islam Maraqitta'limat, maqam yang pertama diziarahi yaitu maqam TGH.
Zainuddin Arsyad sebagai pendiri Yayasan Maraqitta'limat yang terletak di
Pekuburan Umum Mamben Lauk, Yayasan Maraqitta'limat ini juga sudah berusia
cukup tua sebagai organisasi Islam di Lombok yang berpusat di Mamben Lauk.
Setelah selesai berdoa di maqam yang ada di mamben lauk, ziarah dilanjutkan ke
maqam raja-raja selaparang, maqam TGH. Saleh Sungkar, barulah beranjak ke
maqam-maqam yang lain seperti yang dilakukan calon Haji dari organisasi
Nahdhatul Wathan di atas.
Adapun calon haji dari organisasi
Islam Al Mukhtariyah Al islamiyah, maqam pertama yang diziarahi yaitu maqam
TGH. Afifuddin Adnan sebagai pendiri, lokasi maqam ini juga terletak di Mamben
lauk, Pusat Yayasan ini pun berada di Mamben lauk juga. Setelah usai berdoa di
maqam pendiri yayasan ini, lazimnya ziarah dilanjutkan ke maqam TGKH. M.
Zainuddin Abd. Majid di Pancor, karena awalnya pendiri yayasan ini merupakan
saudara angkat dari Maulanasyaikh. TGKH. M. Zainuddin Abd. Majid, Pendiri
yayasan ini pun dikabarkan pernah belajar pada Maulanasyaikh. Selanjutnya
Ziarah dilanjutkan ke maqam-maqam bersejarah lainnya seperti yang dilakukan
organisasi islam yang di atas.
Begitu pula dengan organisasi
islam Nahdhatul Ulama yang ada di Lombok Timur, maqam-maqam yang diziarahi juga
tak jauh beda, maqam yang pertama diziarahi biasanya maqam Hamzanwadi di Pancor
barulah beranjak ke maqam-maqam yang lainnya. Karena awal terbentuknya
Nahdhatul Wathan mengadopsi semangat perjuangan dari Ormas Nahdhatul Ulama, tak
heran Nahdhatul Ulama yang berpusat di Jawa memiliki banyak kesamaan dalam hal Fiqhiyah dengan Nahdhatul Wathan yang
berpusat di Lombok.
Beragamnya organisasi massa Islam
yang berkembang di masyarakat lantas tidak langsung menyebabkan perpecahan atau
renggangnya ukhuwah dalam kehidupan
sosial di masyarakat, namun itu dijadikan sebagai ajang untuk fastabiqul khairat karena semua organisasi Islam ini memotivasi untuk selalu beramar ma'ruf dan nahi munkar dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam
perkembangannya selalu berinovasi dalam upaya memajukan semangat kebaikan.
Acara ziarah maqam ini juga merupakan sarana pemersatu masyarakat yang beragam
tadi, dalam satu kampung misalnya ada salah satu calon haji dari beberapa
organisasi tadi, maka yang mengikuti ziarah maqam bukan hanya yang dari
simpatisan organisasi yang dimasuki calon haji tadi, akan tetapi semua warga di kampung tersebut
yang mempunyai kesempatan untuk ikut akan disambut baik atas kehadirannya ikut
mendoakan calon haji.
Acara ziarah maqam calon haji ini
bisa dikatakan rekreasi atau wisata Syariah
masyarakat yang mengharap dapat imbas berkesempatan seperti calon haji mendapat
panggilan Allah SWT. Sugesti masyarakat kita yang tetap tertanam semangat fastabiqul khairat ( berlomba-lomba dalam kebaikan) salah satunya melalui
ziarah ke maqam-maqam bersejarah para alim ulama' dan peninggalan budaya Islam yang
terdahulu, sebagai bentuk masih melekatnya budaya Islam dalam masyarakat
kita, di tengah maraknya budaya
barat/budaya glamour yang merambah ke masyarakat kita saat ini.
Ziarah maqam ini merupakan
tradisi turun temurun bernilai ibadah, walaupun sebagian aliran Madzhab mengatakan tidak boleh bertawassul (berdoa melalui perantara)
di maqam-maqam para Ulama, Ulama fiqh dalam Mazhab Syafii yang dikuti rata-rata
organisasi islam di Nusantara mengatakan itu hal yang dibolehkan berdoa
mengunjungi maqam para alim-ulama untuk mendoakan mereka lebih-lebih mendoakan
diri sendiri dan para jamaah yang ikut berziarah. Di samping itu ziarah ke maqam-maqam
bersejarah tersebut sebagai bentuk pelestarian peninggalan budaya dahulu agar
tetap eksis sebagai bagian dari khazanah keragaman budaya kita. Jika maqam-maqam
maupun tempat bersejarah tersebut tidak lagi dikunjungi maka tak heran
tempat-tempat tersebut akan hilang dengan sendirinya karena tidak ada lagi yang
mengenang dan merawatnya, jadi kontribusi penziarah juga sangat besar dalam
pelestarian warisan budaya ini.
Prosesi selanjutnya yang diadakan
oleh calon haji yaitu acara syukuran atau begawe
Haji dengan mengundang seluruh warga untuk membantu mempersiapkan segala
macamnya. Acara syukuran ini pun mengundang seluruh kerabat calon haji baik
yang dekat maupun yang jauh. Tamu yang diundang atau orang yang datang begawe ini yang perempuan biasanya membawa
beras dalam wadah baskom dan nampan aluminium kecil di atasnya tempat gula
pasir, lalu tamu yang laki-laki lebih simple hanya membawa amplop yang telah
diisi dan di masukkan ke kotak yang telah disediakan. Menghadiri undangan begawe ini istilah dalam bahasa sasaknya
disebut langar dan barang atau amplop
yang dibawa tamu itu disebut pelangar.
Acara begawe syukuran calon haji ini
biasanya dilaksanakan maksimal sebulan sebelum keberangkatan calon haji,
tergantung pada kesiapan calon haji dan keluarganya.
Adapun dalam masa menunggu
keberangkatan setelah diadakannya begawe, calon haji tetap mendapatkan
kunjungan-kunjungan dari kerabatnya sebagai bentuk ucapan selamat atas
kesempatan mendapat panggilan Allah SWT untuk melaksanakan haji. Lalu satu
minggu sebelum keberangkatan diadakanlah acara Tahlilan di rumah calon haji
sebagai bentuk sumbangan doa, acara tahlilan sebelum keberangkatan haji ini
istilah sasaknya disebut berame-rame.
Ketika mengahdiri acara berame-rame
warga yang berkunjung akan melakukan salaman dengan calon haji, masih dengan
harapan yang sama semoga memperoleh kesempatan berhaji seperti calon haji yang
disalami. Calon Haji biasanya duduk di dekat jalan masuk sebelum ke tempat berame-rame yang telah disediakan agar
memudahkan orang yang akan salaman kepadanya. Acara berame-rame ini biasanya dilaksanakan sampai 2 hari setelah keberangkatan atau setelah calon haji
sampai di kota Makkah. Acara berame-rame
setelah diisi dengan Tahlil dan Doa, lalu diikuti dengan pembacaan
hikayat-hikayat berisi perjalanan hidup Rasulullah SAW dari kitab-kitab
terdahulu yang menggunakan Bahasa Sasak. Pembacaannya pun berirama seperti
lagu, ada yang membaca secara termaktub dalam kitab hikayat tersebut, lalu ada
yang bertugas sebagai penterjemah dan jamaah lainnya yang hadir bertugas
meramaikan pada saat pembacaan Shalawat, pembacaan hikayat ini dalam bahasa
sasaknya disebut monyeh atau memace nya’er.
Selanjutnya pada hari
keberangkatan calon haji ke tanah suci Makkah semakin ramai yang berkunjung
kepada calon haji. Warga pun tak ketinggalan ikut mengantarkan, ada yang sampai
ke tempat berkumpulnya Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH), ada yang sampai
ke Asrama Haji yang ada di daerah, Keluarga dekat dan Tokoh-tokoh Agama maupun
Tokoh Masyarakat biasanya mengantarkan sampai ke bandara atau pelabuhan, ketika
perjalanan masih menggunakan kapal laut seperti yang diceritakan orang-orang
tua kita dulu. Doa pun tetap teriring untuk jamaah haji yang telah
diberangkatkan tersebut.
Ketika jamaah haji sudah kembali
ke kampung halaman pun tak kalah ramainya disambut warga, salamanpun tak
henti-hentinya untuk mereka. Lalu warga berkumpul kembali di rumah Haji
tersebut, bukannya bermaksud mendapatkan oleh-oleh akan tetapi ingin mendengar
cerita keindahan dan perjuangan selama melaksanakan ibadah haji. Untuk itu
jamaah haji yang pulang juga dituntut untuk bisa bercerita dan berbagi
pengalaman, motivasi, di samping gelar kegamaan yang telah tersemat dalam
dirinya. Barulah ketika koper jamaah haji telah sampai ke rumahnya 2 atau 3
hari setelah kepulangan, acara selanjutnya yaitu berbagi oleh-oleh dari Makkah
seperti air Zam-zam, Kurma, Sajadah, Tasbih, Surban untuk warga yang sudah
berhaji, dan mainan-mainan bernuansa Arab untuk anak-anak kecil keluarga dekat
jamaah haji.
Tradisi-tradisi baik seperti ini
seyogyanya tetap terjaga dalam masyarakat kita sebagai bentuk nilai solidaritas
dalam membangun persatuan dan merekatkan ukhuwah
dalam masyarakat kita. Untuk itu sebagai generasi muda yang sadar dan peduli
akan khazanah budaya kita, semangat untuk pelestariannya perlu ditanamkan dari
sekarang sebagai pembelajaran dalam menjaga khazanah tersebut
Langganan:
Postingan (Atom)
Jalan Sunyi Si Pendidik
sumber :digaleri.com Baim Lc* Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal ya...

-
ANALISIS NILAI PENDIDIKAN YANG TERDAPAT DALAM NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA Oleh : ...
-
JURNAL ANALISIS BENTUK DAN MAKNA IDIOM BAHASA SASAK DIALEK [A-E] DI DESA LENGKOK LENDANG KECAMATAN WANASABA LOMBOK TIMUR ...
-
ANALISIS MAKNA KONOTASI DALAM LAGU BUTIRAN DEBU KARYA RUMOR *Abdul Rahim (Alumni FKIP UNRAM-PBSID) 1. Pendahuluan 1.1 Latar...