Jumat, 18 Desember 2015

Tepung Paleng, Kue Brownies Zaman Dulu di Kampung.




Di sela-sela istirahat jam pertama pengayaan di UGM, Peserta biasanya ramai memadati sekitar Dispenser yang hanya 1 disediakan di antara 3 kelas pengayaan tersebut. Jam istirahat pertama diselingi dengan minum kopi atau teh yang juga disediakan pengelola pengayaan, maka tak heran di antara sekian banyak peserta yang membutuhkan air panas untuk membuat kopi atau teh ada yang tidak kebagian dan harus menunggu supaya air yang di dispenser tersebut panas dulu. Secara tidak sengaja salah seorang kawan dari sulawesi yang tidak mendapat air panas untuk membuat kopi, padahal gula dan kopi sudah diisi pada gelas, akhirnya berinisiatif untuk menambahkan sedikit air ke dalam gelasnya lalu mengaduk gula dan kopi tersebut menjadi adonan dan berwarna coklat seperti kue brownies.

Melihat adonan kopi dan gula tersebut imajinasi saya melayang ke waktu kecil (sekitar tahun 1996), masa-masa indah kami menunggu adonan kopi tersebut menjadi senikmat brownies yang dinikmati anak-anak masa sekarang. Kebiasaan minum kopi di kampung, entah itu bagi pekerja kantoran, petani, buruh dan lainnya mengharuskan ibu rumah tangga menyediakan kopi di rumah masing-masing jika sewaktu-waktu ada pula keluarga yang bertamu. Waktu dulu, Menyajikan segelas kopi lebih sederhana dari pada menyajikan teh, karena membuat teh harus menggunakan penyaring dengan daun teh yang telah diiris kecil-kecil di atasnya, lalu dituangkan air panas, tidak seperti sekarang yang sudah beredar teh celup, atau teh cair.

Ibu-ibu rumah tangga yng menyediakan kopi hitam bubuk, biasanya mengolah sendiri biji kopi yang dibeli, walaupun di kampung saya masyarakatnya rata-rata penikmat kopi, jarang yang berinisiatif untuk menanam pohon kopi di sekitar pekarangan, di sawah atau ladang mereka. Proses membuat kopi hitam bubuk ini melalui beberapa tahapan, biji kopi terlebih dahulu dijemur sehingga keringnya benar-benar merata. Selain biji kopi, campuran untuk membuat kopi bubuk hitam ala kampung saya yaitu beras dan irisan kelapa. Beras direndam terlebih dahulu supaya menjadi lembek, perbandingan beras dan kopi diperkirakan secukupnya saja. Jika biji kopi setengah kilo, maka berasnya seperempat kilo, atau seperempat kilo beras dalam istilah orang kampung disebut " Sekobokan", diukur dengan nampan seukuran lebar telapak tangan.

setelah beras yang direndam dirasa tidak terlalu keras, barulah ditiriskan dan dicampur dengan biji kopi dan irisan kelapa sebagai pengharum, Campuran tersebut siap untuk digoreng, tidak menggunakan minyak goreng dan harus menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat. Pengaduknya berbentuk sendok dari kayu dan bagian adukannya dari batok kelapa. Proses menggoreng kopi ini membutuhkan waktu sekitar 30-40 menit dan membutuhkan ketelitian agar semua bahan campuran tadi matangnya merata ditandai dengan kehitamannya dan mulai menebarkan semerbak khas bau kopi. Setelah itu didinginkan terlebih dahulu supaya kadar campurannya menyatu.

Proses selanjutnya yaitu menumbuk campuran yang telah digoreng tadi menggunakan Lisong (wadah dari kayu berbentuk lonjong di bagian tengahnya terdapt ruang untuk menumbuk), karena memang dulu belum ada mesin penggiling seperti sekarang. Lisong itulah sebagai penggiling untuk berbagai keperluan waktu dulu, seperti menumbuk beras supaya menjadi tepung, menumbuk bumbu masakan dalam jumlah besar pada acara hajatan (Begawe). Pada proses penumbukan campuran kopi yang telah digoreng inilah wangi khas kopi mulai menebar, mengundang kami yang masih kecil biasanya berkumpul mengelilingi lisong tersebut dan secara bergantian menumbuk campuran tadi, walau hanya sekedar tumbukan 2 atau 3 kali.

Pada proses penumbukan untuk mendapatkan bubuk kopi hitam harus benar-benar lembut,  sehingga kopi yang dihasilkan ketika diseduh (dibuat) tidak banyak ampas yang mengapung. Lalu Yang kami tunggu dari proses penumbukan kopi tersebut, biasanya di dasar lisong kayu ada kerak sisa tumbukan yang masih melekat dan tidak sehalus bubuk kopi yang telah dikorek. Kerak sisa tumbukan itulah oleh orang Sasak dinamakan Tepung Paleng, berasal dari kata "tepung" yaitu "tepung/sesuatu yang sudah dihaluskan" dan " Paleng" yang secara gramatikal makna yaitu "pingsan". Jadi Tepung paleng secara keseluruhan maknanya bukan tepung yang pingsan, tetap sisa dari tumbukan kopi tadi.

Selanjutnya kerak sisa tersebut diungkit terlebih dahulu dari dasar lisong, walupun berbentuk lembut tetapi karena berada dibawah sehingga mengendap dan hampir padat. Sisa kerak atau tepung paleng ini dicampur dengan gula pasir lalu diaduk seperti membuat adonan kue, bentuknya persis seperti kue brownies yang kita temukan sekarang, bedanya brownies dari biji coklat sedangkan tepung paleng dari biji kopi. Barulah dibagikan kepada anak-anak kecil yang mengelilingi lisong tadi walaupun sama-sama sedikit yang penting harus semua kebagian. Makanan khas seperti itu jarang kami nikmati karena tidak setiap hari ada warga yang menumbuk kopi. Masa-masa itu mengingatkan betapa nilai kekeluargaan masih sangat erat digenggam, karena biasanya setelah kopi bubuk didapatkan, warga yang menumbuk kopi tadi membagikan hasil tumbukan tadi walau hanya segelas bubuk kopi hitam kepada tetangganya.


Sekarang tidak ada lagi kita temukan orang yang menumbuk kopi, karena mesin penggiling yang cukup banyak beredar dan dijadikan usaha penggilingan. Rata-rata warga juga lebih memilih menggunakan mesin penggiling agar bubuk kopi cepat jadi, di samping itu tidak semua memiliki lisong. Artinya jika akan menumbuk kopi mereka harus meminjam pada tetangga yang punya. Bahkan sekarang lisong kayu entah ke mana perginya, dahulu di rumah masih tersimpan satu, namun karena sering terkena hujan akhirnya mulai retak dan dalamnya tidak cukup bersih, lalu berakhir menjadi kayu bakar. Warga yang mengadakan hajatan mulanya menumbuk bumbu menggunakan lisong kini beralih ke mesin penggiling, Blender, hasilnya memang lebih lembut serta lebih cepat.

Jika menilik dari segi aroma, memang kopi hasil tumbukan jauh lebih beraroma dari pada hasil gilingan. Tingkat penyusutan bahan campuran kopi ketika digiling juga lebih besar dari pada ditumbuk. Namun kepraktisan menggunakan mesin penggiling tidak bisa lagi dibantah, padahal bagi penikmat kopi, menumbuk menggunakan lisong secara tidak langsung berolahraga. Pantas saja orang-orang dulu sehat-sehat karena semua dilakukan mengunakan kemampuan mereka, tanpa campur tangan mesin.

Setidaknya kenangan indah itu pernah kami alami, masa-masa di mana kopi menjadi minuman praktis yang orang-orang tua kami selalu nikmati. Bahkan saat sarapan, waktu kecil kopi bisa menjadi kuah untuk nasi, walaupun terasa manis, lidah kecil kami cukup menikmatinya. Satu lagi hal yang selalu kami nantikan, ketika ada acara hajatan (begawe) selalu disediakan makanan khas, Renggi yang terbuat dari ketan dibentuk menjadi bulatan lalu dijemur, setelah kering barulah digoreng. Makanan khas ini bisa dikatakan tidak pisah dari kopi ketika ada acara begawe. Nikmatnya juga ketika renggi dicelupkan ke kopi menambah ciri khas kopi sajian kopi sebagai tradisi orang begawe.

Sekarang hal tersebut jarang kita temukan, dan hanya menjadi cerita untuk generasi selanjutnya. Namun Kopi adalah bagian dari tradisi yang tak kan pudar dan terus dinikmati secara berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalan Sunyi Si Pendidik

sumber :digaleri.com Baim Lc*  Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal ya...