Di sela-sela istirahat jam pertama pengayaan di UGM, Peserta
biasanya ramai memadati sekitar Dispenser yang hanya 1 disediakan di antara 3
kelas pengayaan tersebut. Jam istirahat pertama diselingi dengan minum kopi
atau teh yang juga disediakan pengelola pengayaan, maka tak heran di antara
sekian banyak peserta yang membutuhkan air panas untuk membuat kopi atau teh
ada yang tidak kebagian dan harus menunggu supaya air yang di dispenser
tersebut panas dulu. Secara tidak sengaja salah seorang kawan dari sulawesi
yang tidak mendapat air panas untuk membuat kopi, padahal gula dan kopi sudah
diisi pada gelas, akhirnya berinisiatif untuk menambahkan sedikit air ke dalam
gelasnya lalu mengaduk gula dan kopi tersebut menjadi adonan dan berwarna
coklat seperti kue brownies.
Melihat adonan kopi dan gula tersebut imajinasi saya
melayang ke waktu kecil (sekitar tahun 1996), masa-masa indah kami menunggu
adonan kopi tersebut menjadi senikmat brownies yang dinikmati anak-anak masa
sekarang. Kebiasaan minum kopi di kampung, entah itu bagi pekerja kantoran,
petani, buruh dan lainnya mengharuskan ibu rumah tangga menyediakan kopi di
rumah masing-masing jika sewaktu-waktu ada pula keluarga yang bertamu. Waktu
dulu, Menyajikan segelas kopi lebih sederhana dari pada menyajikan teh, karena
membuat teh harus menggunakan penyaring dengan daun teh yang telah diiris
kecil-kecil di atasnya, lalu dituangkan air panas, tidak seperti sekarang yang
sudah beredar teh celup, atau teh cair.
Ibu-ibu rumah tangga yng menyediakan kopi hitam bubuk,
biasanya mengolah sendiri biji kopi yang dibeli, walaupun di kampung saya
masyarakatnya rata-rata penikmat kopi, jarang yang berinisiatif untuk menanam
pohon kopi di sekitar pekarangan, di sawah atau ladang mereka. Proses membuat
kopi hitam bubuk ini melalui beberapa tahapan, biji kopi terlebih dahulu
dijemur sehingga keringnya benar-benar merata. Selain biji kopi, campuran untuk
membuat kopi bubuk hitam ala kampung saya yaitu beras dan irisan kelapa. Beras
direndam terlebih dahulu supaya menjadi lembek, perbandingan beras dan kopi
diperkirakan secukupnya saja. Jika biji kopi setengah kilo, maka berasnya
seperempat kilo, atau seperempat kilo beras dalam istilah orang kampung disebut
" Sekobokan", diukur dengan nampan seukuran lebar telapak tangan.
setelah beras yang direndam dirasa tidak terlalu keras,
barulah ditiriskan dan dicampur dengan biji kopi dan irisan kelapa sebagai pengharum,
Campuran tersebut siap untuk digoreng, tidak menggunakan minyak goreng dan
harus menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat. Pengaduknya berbentuk
sendok dari kayu dan bagian adukannya dari batok kelapa. Proses menggoreng kopi
ini membutuhkan waktu sekitar 30-40 menit dan membutuhkan ketelitian agar semua
bahan campuran tadi matangnya merata ditandai dengan kehitamannya dan mulai
menebarkan semerbak khas bau kopi. Setelah itu didinginkan terlebih dahulu
supaya kadar campurannya menyatu.
Proses selanjutnya yaitu menumbuk campuran yang telah
digoreng tadi menggunakan Lisong (wadah dari kayu berbentuk lonjong di bagian
tengahnya terdapt ruang untuk menumbuk), karena memang dulu belum ada mesin
penggiling seperti sekarang. Lisong itulah sebagai penggiling untuk berbagai
keperluan waktu dulu, seperti menumbuk beras supaya menjadi tepung, menumbuk
bumbu masakan dalam jumlah besar pada acara hajatan (Begawe). Pada proses
penumbukan campuran kopi yang telah digoreng inilah wangi khas kopi mulai menebar,
mengundang kami yang masih kecil biasanya berkumpul mengelilingi lisong
tersebut dan secara bergantian menumbuk campuran tadi, walau hanya sekedar
tumbukan 2 atau 3 kali.
Pada proses penumbukan untuk mendapatkan bubuk kopi hitam
harus benar-benar lembut, sehingga kopi
yang dihasilkan ketika diseduh (dibuat) tidak banyak ampas yang mengapung. Lalu
Yang kami tunggu dari proses penumbukan kopi tersebut, biasanya di dasar lisong
kayu ada kerak sisa tumbukan yang masih melekat dan tidak sehalus bubuk kopi yang
telah dikorek. Kerak sisa tumbukan itulah oleh orang Sasak dinamakan Tepung
Paleng, berasal dari kata "tepung" yaitu "tepung/sesuatu yang
sudah dihaluskan" dan " Paleng" yang secara gramatikal makna
yaitu "pingsan". Jadi Tepung paleng secara keseluruhan maknanya bukan
tepung yang pingsan, tetap sisa dari tumbukan kopi tadi.
Selanjutnya kerak sisa tersebut diungkit terlebih dahulu
dari dasar lisong, walupun berbentuk lembut tetapi karena berada dibawah
sehingga mengendap dan hampir padat. Sisa kerak atau tepung paleng ini dicampur
dengan gula pasir lalu diaduk seperti membuat adonan kue, bentuknya persis
seperti kue brownies yang kita temukan sekarang, bedanya brownies dari biji
coklat sedangkan tepung paleng dari biji kopi. Barulah dibagikan kepada anak-anak
kecil yang mengelilingi lisong tadi walaupun sama-sama sedikit yang penting
harus semua kebagian. Makanan khas seperti itu jarang kami nikmati karena tidak
setiap hari ada warga yang menumbuk kopi. Masa-masa itu mengingatkan betapa
nilai kekeluargaan masih sangat erat digenggam, karena biasanya setelah kopi
bubuk didapatkan, warga yang menumbuk kopi tadi membagikan hasil tumbukan tadi
walau hanya segelas bubuk kopi hitam kepada tetangganya.
Sekarang tidak ada lagi kita temukan orang yang menumbuk kopi,
karena mesin penggiling yang cukup banyak beredar dan dijadikan usaha
penggilingan. Rata-rata warga juga lebih memilih menggunakan mesin penggiling
agar bubuk kopi cepat jadi, di samping itu tidak semua memiliki lisong. Artinya
jika akan menumbuk kopi mereka harus meminjam pada tetangga yang punya. Bahkan
sekarang lisong kayu entah ke mana perginya, dahulu di rumah masih tersimpan
satu, namun karena sering terkena hujan akhirnya mulai retak dan dalamnya tidak
cukup bersih, lalu berakhir menjadi kayu bakar. Warga yang mengadakan hajatan
mulanya menumbuk bumbu menggunakan lisong kini beralih ke mesin penggiling,
Blender, hasilnya memang lebih lembut serta lebih cepat.
Jika menilik dari segi aroma, memang kopi hasil tumbukan
jauh lebih beraroma dari pada hasil gilingan. Tingkat penyusutan bahan campuran
kopi ketika digiling juga lebih besar dari pada ditumbuk. Namun kepraktisan
menggunakan mesin penggiling tidak bisa lagi dibantah, padahal bagi penikmat
kopi, menumbuk menggunakan lisong secara tidak langsung berolahraga. Pantas
saja orang-orang dulu sehat-sehat karena semua dilakukan mengunakan kemampuan
mereka, tanpa campur tangan mesin.
Setidaknya kenangan indah itu pernah kami alami, masa-masa
di mana kopi menjadi minuman praktis yang orang-orang tua kami selalu nikmati.
Bahkan saat sarapan, waktu kecil kopi bisa menjadi kuah untuk nasi, walaupun
terasa manis, lidah kecil kami cukup menikmatinya. Satu lagi hal yang selalu
kami nantikan, ketika ada acara hajatan (begawe) selalu disediakan makanan
khas, Renggi yang terbuat dari ketan dibentuk menjadi bulatan lalu dijemur,
setelah kering barulah digoreng. Makanan khas ini bisa dikatakan tidak pisah
dari kopi ketika ada acara begawe. Nikmatnya juga ketika renggi dicelupkan ke
kopi menambah ciri khas kopi sajian kopi sebagai tradisi orang begawe.
Sekarang hal tersebut jarang kita temukan, dan hanya menjadi
cerita untuk generasi selanjutnya. Namun Kopi adalah bagian dari tradisi yang
tak kan pudar dan terus dinikmati secara berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar