Jumat, 18 Desember 2015

Kejujuran, Modal Sosial Yang Sangat Berharga Saat Ini




Selepas shalat Ashar di Masjid samping RS. Sardjito UGM, di halaman masjid terlihat seorang bapak tua bertopi hampir menutupi sebagian mukanya, duduk dengan beberapa tumpuk keset di depannya. Salah seorang Jamaah yang baru selesai shalat menghampirinya, menanyakan harga keset tersebut. Jamaah itu rupanya jadi membeli sebuah keset dari bapak Tua tadi. Ketika akan membayar, jamaah tadi mengeluarkan lembaran 50 ribuan dari dompetnya.

" Ini bayarnya pak". Ucap jamaah tadi sambil menyodorkan ke tangan bapak tua tersebut.
" Kembali pak ya?". Jawab bapak tua itu seolah ragu untuk mengambil uang tersebut dan membuat saya kebingungan kenapa dia bertanya seperti itu kepada pembeli. Lantas dijawab oleh jamaah tadi dengan mengiyakan saja.

"Tadi Lima Puluhan itu pak, oh ya ada plastiknya tidak pak untuk bungkusnya?". Jamaah (pembeli) tersebut meminta plastik, namun sepertinya tidak didengar oleh bapak tua tadi. Dia sibuk meraba kantong bajunya untuk mengambil kembalian untuk pembeli. Tak sengaja dari kantong baju sebelah kiri dia mengeluarkan lembaran 100 ribuan.

" Itu 100 ribuan pak". jamaah tadi mengingatkan, barulah saya sadar ternyata bapak tua penjual keset tersebut tidak bisa melihat. Uang tersebut kembali dimasukkan ke dalam kantong sebelah kiri bajunya, lalu kembali meraba kantong baju sebelah kanan. Ketika bapak tua tadi mengeluarkan lembaran dari kantong bajunya, sang pembeli yang menyebutkan nominal uang yang diraba tersebut. Dan itu berulang hampir sampai 5 kali, barulah sang pembeli mendapatkan uang yang pas untuk kembaliannya. Harga 1 keset yang dijual 10 ribu saja.

Sungguh perjuangan yang luar biasa bagi bapak Tua dengan langkah meraba-raba, namun masih sanggup berjuang mencari nafkah dengan berjualan keset. Dia sama sekali tidak khawatir akan salah memberi uang kembalian kepada pembeli, karena sangat percaya bahwa rizki Tuhan terhampar luas bagi yang berusaha. Rizki itu pun dicari melalui berjualan keset oleh bapak Tua tersebut, karena dia yakin itu yang mampu dia lakukan. Istiqomahnya walaupun tidak terlalu banyak untung menjadikan saya seolah merasa kecil, lemah, tidak ada artinya dibanding bapak tadi. Begitu keras perjuangan seorang laki-laki untuk keluarganya, meski dalam keadaan seperti itu, tanggung jawab yang dia emban memintanya untuk terjun ke jalanan dengan Setumpuk keset yang dia jinjing.

Setelah meletakkan dagangannya di tangga masjid, dia pun meraba-raba kembali tembok masjid menuju tempat Wudhu. Sepertinya dia sudah mengenal area masjid tersebut, Beruntungnya juga salah seorang jamaah yang baru selesai wudhu menuntunnya ke tempat wudhu dan membukakannya kran air. Sungguh pelajaran yang luar biasa sore ini.

Sekembali dari Masjid, di tengah perjalanan menuju Kos salah seorang teman, kami menemukan sepeda tergeletak dengan beberapa bungkusan plastik putih. Sementara kami berhenti memperhatikan sepeda tergeletak tersebut, Ada bapak-bapak menghampiri sambil berucap " Kalau mau ambil dek", kami masih terdiam. Bapak tersebut membangunkan sepedanya yang tergeletak, sementara kami membantu mengangkat bungkusan besar tersebut ke atas sepeda, isinya ternyata Rambutan. Ada satu bungkusan yang sobek dan banyak terjatuh isinya, salah seorang teman mengangkatnya ke keranjang sepeda sementara isinya yang tergeletak diminta kami untuk mengambilnya saja. Bapak tadi menawarkan lagi agar kami mengambil Rambutan dari plastik yang telah diangkat sebagai tambahan. Namun kami mengatakan sudah cukup, karena memang rambutan yang tergeletak di jalan tadi sudah cukup banyak, jika diperkirakan hampir mencapai 2 kiloan.

Niat saya untuk dapat mencicipi Rambutan akhirnya tercapai juga, karena setiap berangkat ke kampus biasanya hanya bisa melihat Rambutan yang memerah menggoda tersebut di halaman rumah warga. Bahkan ketika selesai makan siang tadi kami melintasi rumah warga yang buah rambutannya cukup lebat dan dahannya sudah lewat dari halamannya, menjulur ke jalanan. Kalau di kampung, jika ada Pepohonan yang dahannya menjulur ke luar jalan melewati halaman Rumah pemiliknya, berarti buah di dahan yang menjulur ke Jalanan tersebut bisa diambil oleh umum, dan pemiliknya tidak boleh memarahi orang yang mengambil (seharusnya).
Selalu ada pelajaran berharga di tiap kesempatan, bukankah orang yang berpikir itu selalu bisa melihat sesuatu dari sisi kebaikan, dan itulah sebaik-baik prasangka yang akan mendatangkan kebaikan pula, baik yang akan didapatkan secara langsung atau ditangguhkan dan akan kita dapatkan tanpa disangka-sangka. Marilah tetap menebar kebaikan sekecil apapun itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalan Sunyi Si Pendidik

sumber :digaleri.com Baim Lc*  Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal ya...