"Jika Kamu bukan seorang Kaya, bukan juga seorang
Bangsawan maka menulislah, maka dunia akan mengenang Namamu (Imam Syafi'i).
Di era teknologi yang berkembang pesat dengan kehadiran
ponsel pintar (gawai) yang kian hari semakin marak ragamnya, bisa dikatakan
sebagai pendobrak yang menjadikan masyarakat kita sebagai masyarakat pembaca.
Bayangkan di setiap momen kita melihat sebagian besar orang akan berkutat
dengan ponsel pintarnya, entah itu membaca berita, atau sekedar membaca pesan
atau membaca kabar berita di facebook. Bahkan ketika berkumpul bersama
kawan-kawan yang seharusnya menjadikan kita untuk akrab mengobrol bersama mereka,
kadang kita hanya sibuk sendiri membaca di ponsel pintar.
Ketika masyarakat kita yang telah gandrung membaca, maka
sudah seharusnya juga menjadi masyarakat penulis sebagai penuangan dari isi
bacaan yang telah diserap. Penyaluran minat menulis saat ini tidak terlalu
susah untuk mendapatkan pembacanya. Media-media warga yang berbasis Online
dengan kemudahan yang disajikan menjadi pilihan untuk publikasi tulisan. Budaya
menulis saat ini sedang mengalami geliat di masyarakat kita terbukti dengan
intensitas pengguna facebook update status yang berisi ungkapan hati, catatan
perjalanan, kritik, tak jarang berbagi inspirasi atas apa yang telah mereka
alami.
Jika kita menilik ke belakang beberapa puluh tahun lalu
sebelum media Online bertebaran seperti saat ini, budaya menulis juga pernah
menjadi trend dan mampu menghasilkan karya-karya besar melalui buku saku yang
dikenal dengan "Diary". Sebut saja catatan perjalanan Nugroho
Notosusanto ketika menjadi bagian dari tentara pelajar untuk perjuangan kemerdekaan,
catatan tersebut menjadi buku kumpulan Cerpen yang berisi sejarah dan
menginformasikan kepada pembaca bagaimana gerak perjuangan para pahlawan kita.
Begitu pula dengan catatan perjalanan Agustinus Wibowo yang dibukukan menjadi
Novel "Titik Nol" dan "Selimut Debu".
Selain itu budaya menulis masyarakat penuntut ilmu di waktu
dulu juga sangat menarik untuk membaca diary mereka. Secara tidak sengaja
ketika sedang mencari arsip untuk akte kelahiran di tumpukan buku-buku yang
bahkan sebagian besarnya termakan rayap, saya menemukan Buku bersampul plastik
yang tampak kusam, lembaran-lembaran di dalamnya pun hampir berubah warna. Dari
lembar pertama tertulis nama pemiliknya disertai tanda tangan, ternyata itu
buku harian Almarhum Bapak yang tertumpuk di antara buku-buku lama tersebut.
Lalu pada lembar kedua berisi catatan beliau ketika mengikuti pengajian sewaktu
di Pesantren dengan sistim Hauqalah (bersila). Tertulis tanggal 7 Maret 1961 di
salah satu Mushalla yang disebut Al Abror, pada catatan tersebut beliau menulis
poin-poin isi pengajian pada hari itu serta di akhirnya dibubuhkan Mahfuzhat
(kata mutiara) yang menjadi penutup pengajian. Lembar demi lembar pada buku
harian tersebut seakan bercerita bagaimana beliau menjadikan buku harian
tersebut sebagai pengikat Ilmu yang telah didapatkan dari gurunya.
Salah satu mahfuzhat yang cukup berkesan saya baca pada buku
harian tersebut yang kira-kira terjemahannya " Ilmu ibarat binatang
buruan, maka ikatlah binatang buruanmu dengan kuat, yaitu dengan Tulisan".
Karena dengan menulislah buku harian 50 tahun lalu masih bisa saya baca pada
saat ini, isi tulisan itu pun sangat bermanfaat, tentang hukum-hukum fiqh
disertai dalil yang kuat yang dirangkum oleh beliau. Tradisi tersebut terus
berlanjut juga di antara saudara-saudara saya yang mendapatkan didikan di
pesantren dengan sistim hauqalah ( salah satunya Mahad Darul Qur'an Wal
Hadits), buku catatan harian mereka masih tersimpan, bentuk catatan tersebut
persis seperti yang terdapat pada diary Almarhum Bapak. Dari segi isinya catatan
harian saudara-saudara saya lebih update dengan kondisi zamannya ketika
mengikuti pengajian tersebut, namun ketika membahas tentang hukum, dalilnya pun
tetap sama.
Budaya menulis juga pernah menjadi penyumbang terbesar
sebagai media inspirasi dalam berkarya. Buku-buku terbitan tahun 90-an sampai
2004 banyak kita temukan di sampul depannya tertulis "Milik Negara Tidak
Diperjual Belikan", atau di dalamnya juga terdapat informasi bahwa buku
tersebut merupakan Pemenang Sayembara Penulisan Naskah, atau Juara dalam lomba
mengarang yang biasanya diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Buku-buku terbitan tersebut merupakan salah satu
bentuk apresiasi karya yang secara langsung diterbitkan oleh pusat perbukuan
sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan peserta didik. Maka tak jarang
buku-buku seperti itu banyak kita temui di berbagai perpustakaan Lembaga
Pendidikan, karena ketika sudah diterbitkan oleh pusat perbukuan maka akan
didistribusikan langsung kepada lembaga-lembaga pendidikan, sekaligus sebagai
sebuah promosi atas karya tersebut.
Salah satu media yang cukup inspiratif waktu dulu (sekitar
tahun 95) sebagai tempat menyalurkan minat menulis yaitu majalah Asyik, dengan tokoh utama si kucing. Majalah Asyik
bisa dikatakan majalah Favorit yang selalu ditunggu-tunggu untuk setiap
edisinya, lebih-lebih dengan sajian konten lokal yang sarat dengan nilai
inspirasi, menjadikan majalah tersebut sebagai bacaan wajib untuk anak-anak
sekolah dasar. Pada Rubrik sastra juga banyak diterbitkan kiriman-kiriman
tulisan dari siswa-siswa yang menjadi kebanggan bagi suatu sekolah yang karya
siswa mereka dimuat di majalah Asyik. Namun sangat disayangkan majalah tersebut
tidak bertahan cukup lama, tergeser dengan budaya visual televisi, yang sempat
menjadikan anak-anak sekolah menjadi malas membaca dan lebih gandrung dengan
acara-acara televisi yang lebih banyak menjadikan karakter siswa kita menjadi
hedonis dengan konten-konten yang ditampilkan di TV.
"Menulis adalah salah satu jalan mengabadikan nama kita
untuk dikenang" ( Baim Lc),
setidaknya kata-kata inilah yang menjadi motto yang saya tuliskan dalam
lembar motto dan persembahan skripsi. Jika saja filsuf-filsuf besar, Ilmuan
Muslim, ataupun ilmuan besar lainnya tidak menulis, maka tidak ada yang akan
mengenang mereka. Imam Gazhali dengan Ihya' ulumuddin yang tersohor sampai
dijadikan rujukan oleh filsuf-filsuf besar lainnya, nama beliau masih tetap
hidup sampai sekarang karena budaya menulis yang beliau tanamkan pada diri
sendiri. begitu pula Ibnu Sina, al farabi, Ibnu Rusyd, Al kindi dan lainnya
dapat kita kenal sampai saat ini karena mereka menulis dan mencatatkan nama
mereka di antara jajaran Ilmuan muslim yang mempunyai karya besar dan relevan
sampai sekarang.
Bahkan Al Qur'an yang agung dapat kita kaji sampai detik ini
dalam bentuk Utuhnya sebuah kitab, muncul karena budaya Menulis yang ditakutkan
akan hilang jika tidak ditulis. Karena wahyu yang diterima Rasulullah bukan
dalam bentuk tulisan akan tetapi ilham-ilham maupun bisikan (lisan) yang langsung dapat dihapal oleh
beliau. Barulah ketika masa khalifah Abu Bakar setelah terjadinya perang
Yamamah (Perang melawan Nabi Palsu, Musailimah Al Kadzab), banyak di antara
penghafal Al Qur'an yang wafat, ketakutan akan hilangnya Al qur'an inilah yang
membuat Umar Bin Khattab tergerak untuk mengumpulkan para sahabat penghapal Al
Qur'an untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Ilham untuk menuliskan Al
Qur'an ini sudah pasti dari Allah SWT sesuai dengan firman-Nya "
Sesungguhnya kami lah yang menurunkan Al Qur'an dan kami pula yang akan
menjaganya (Al Hijr : 9). Secara tersirat penulisan al qur'an ini sebagai ibroh
( pelajaran) bahwa dengan tulisan sesuatu dapat bertahan bahkan dalam kurun
waktu yang cukup lama.
Sebut saja penulis-penulis besar yang cukup berpengaruh di
Indonesia dalam dunia kepenulisan, seperti Buya Hamka, Chairil Anwar,
Pramoedya, A.A Navis dan lainnya, nama mereka sampai saat ini masih menjadi
rujukan dalam kajian-kajian keilmuan, baik sejarah maupun semangat gerakan
perjuangan yang digaungkan melalui tulisan mereka. Melalui Tulisan, Pramoedya
membingkai sejarah revolusi bangsa kita yang sekarang telah dikenal luas, sehingga melejitkan nama Pram dengan
slogan, Dari Indonesia Untuk Dunia.
Dengan tulisan pula semangat perjuangan yang digaungkan para pahlawan bangsa
kita dapat kita tahu dan tergerak untuk mengenangnya. Karena sejarah yang tidak
dituliskan hanya akan menjadi ingatan yang hilang ditelan zaman.
Maka pantas saja salah seorang Budayawan NTB, Salman Faris,
dengan novel budaya dan novel sejarah yang dibingkai dengan sastra pernah
mengatakan, " Tulisan itu lebih abadi, bahkan melebihi anak kita
sendiri", dan itu sudah terbukti, tulisan-tulisan ber-abad-abad lalu masih
dapat kita nikmati sampai saat ini. Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa
penulis sudah pasti orang yang berilmu, bukan orang bodoh, dan janji Allah
sudah pasti bagi orang yang berilmu " Sesungguhnya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu beberapa derajat". (Al
Mujadalah : 11), karena tulisanlah banyak orang-orang biasa yang bukan orang
kaya atau pun bangsawan dapat dikenal luas, sebagaimana halnya mahfuzhat Imam
Syafi'i di atas.
Menulis merupakan salah satu cara mengorganisir pikiran,
maka tidak menutup kemungkinan menulis juga merupakan salah satu refleksi untuk
menenangkan pikiran. Dengan menuangkannya melalui tulisan setidaknya pikiran
yang menjadi beban akan terasa lebih ringan walaupun hanya dibaca oleh diri
kita sendiri. Menulis bukan hanya untuk mendapatkan pujian, atau juga
kepedulian dari pembaca, akan tetapi dengan menulis, pikiran maupun ide-ide
yang tersimpan dalam otak kita mendapatkan ruangnya untuk ditumpahkan dan
seakan lebih hidup dari pada hanya tersimpan di otak.
Salah satu Buku "menyikapi krisis Inovasi Daerah, yang
merupakan buah karya dari seorang birokrat, mantan Wakil Gubernur NTB, Badrul
Munir menuliskan tentang Inovasi-inovasi yang seharusnya dilakukan oleh daerah
sebagai sebuah strategi dalam percepatan pembangunan, lebih khusus pada buku
tersebut tentang pembangunan sosial dan pengentasan kemiskinan. Salah satu sub
judul isi buku tersebut yaitu " Kaya sarjana Miskin Karya", setiap
tahun kampus-kampus kita di daerah mengeluarkan ribuan sarjana, namun butuh
bertahun-tahun menunggu satu orang yang mengeluarkan karya besar. Perguruan
Tinggi pun hendaknya melakukan Inovasi untuk mencetak sarjana-sarjana yang
menyumbangkan karya untuk daerah.
Jika dalam buku tersebut yang dibahas hanya inovasi dalam
bidang sosial dan pengentasan kemiskinan, maka inovasi dalam bidang Pendidikan,
Literasi dan Budaya hendaknya dipertimbangkan juga untuk tercapainya percepatan
pembangunan. Salah satu Inovasi dalam bidang pendidikan dan Budaya yaitu budaya
menulis yang seharusnya mendapat ruang apresiasi dan diakomodir oleh pemerintah
Daerah yang notabenenya sebagai wakil dari Negara untuk membentuk sebuah
lembaga sebagai wadah apresiasi suatu karya.
Penyediaan wadah apresiasi dari sebuah karya dapat dilakukan
dengan menyediakan penerbitan berskala Nasional yang merupakan bagian dari lembaga
Kepemerintahan Daerah, serta dengan diintensifkannya lomba-lomba penulisan
karya. Secara sederhananya Pusat Perbukuan untuk daerah merupakan sebuah
Inovasi yang cukup baik untuk membangun budaya Literasi. Banyak kita temukan
penulis-penulis daerah yang bertalenta
berbagi inspirasi melalui tulisan menerbitkan karyanya pada penerbit-penerbit
luar yang didominasi di pulau Jawa. Itupun kadang menggunakan Biaya sendiri
dengan sistem penjualan pribadi dari karya tersebut, padahal kapasitas
Pemerintah Daerah untuk mengelola penerbit sendiri yang berskala Nasional bisa
saja digulirkan di bawah pengawasan lembaga Pemerintah Daerah seperti BAPPEDA,
Perpustakaan Daerah, atau Kantor Bahasa yang membidangi Literasi.
Maka budaya menulis tersebut sangat representative sebagai
sebuah Inovasi dalam berbagi Inspirasi yang sudah sewajarnya mendapat dukungan
dari semua pihak, lebih-lebih pemerintah daerah. Pun, demikian dengan Media
online di NTB yang digulirkan bertajuk Kampung Media, kadang tidak semua
lapisan masyarakat mampu menikmati fasilitas untuk akses website tersebut yang
memang banyak pula berbagi inspirasi di dalamnya. Untuk itu inovasi untuk pusat
perbukuan daerah dengan penyediaan Penerbitan berskala nasional akan sangat
banyak mendapatkan apresiasi dan antusias,
sehingga geliat masyarakat untuk membudayakan literasi dalam berbagi
inspirasi akan menemukan titik temunya, dan melalui pusat perbukuan daerah
dengan distribusi buku hasil karya warga daerah akan semakin membuka wawasan
generasi muda daerah untuk gemar membaca demi tercapainya pemerataan pendidikan
yang memadai di tiap daerah.
Di samping itu pengadaan Lomba/sayembara penulisan naskah
merupakan sebuah wadah untuk apresiasi semangat literasi di daerah, yang akan mampu mendobrak minat dan penekunan
budaya menulis sebagai sebuah langkah awal dalam berbagi inspirasi. Untuk itu
program Kelas Menulis, Bedah Karya atau Sekolah Menulis seperti yang telah
dicanangkan BAPEDA termasuk sebuah Inovasi dalam membangun budaya. Hal ini
sejalan dengan rancangan Peraturan Gubernur yang pernah digaungkan tentang
habitus membaca sastra, karena melalui gemar membaca, keluasan wawasan
masyarakat akan sangat membantu demi terwujudnya pendidikan yang baik.
Apatah lagi sekarang ini kita tergerak membangun budaya
Literasi, membaca saja bukan lagi hal menarik bagi generasi muda di tingkat
pelajar, sebab banyak membaca akan tergerak pula ide untuk menulis. Lebih
banyak kita temukan siswa-siswa kita lebih tekun duduk di tepan TV dari pada
terpekur menikmati buku. Untuk itu dengan semangat Inovasi dalam membangun
budaya baik ini, sudah sewajarnya digaungkan gerakan-gerakan kreatif seperti
yang diungkap di atas demi terwujudnya tujuan ini.
(Lengkok, 10 November 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar