Sabtu, 11 Maret 2017

Rumah Tanpa Buku


Ilustrasi, sumber : greatfon.com


Meja reyot itu kini setengah miring di pojok belakang ruang tempat shalat. Beban di atasnya berupa lembaran-lembaran yang tercecer dan buku lusush, kusam yang hampir lepas jilidannya. Delapan kitab kuning Shahih Bukhari dengan hardcover berwarna merah muda yang sudah tidak merah muda lagi bersusun sebagai penyeimbang di sebelah kanan, supaya meja tersebut tidak roboh ke kiri. Lalu di bawah meja, TV kotak berbahan triplek dan layar hitam putih yang sudah tidak menyala lagi berada di sana. Di antara semrawutnya susunan buku-buku usang dan lembar-lembar yang sudah tercecer tersebut, ada satu yang bersampul plastik karet, tertulis dengan huruf arab tanpa harakat. Namun di dalamnya berisi tulisan tangan.
Buku-buku itulah peninggalan dari almarhum bapak, yang dulunya cukup banyak dan sekarang hampir setengahnya entah ke mana. Akan tetapi syukurnya kali ini yang saya temukan buku bersampul plastik karet tersebut yang berisi catatan-catatan beliau dari semasa mengikuti pengajian-pengajian sampai ketika melanjutkan pendidikan di IAIN Sunan ampel, seperti yang tertera pada pojok atas catatan di salah satu lembarnya.
Masih kuingat betul ketika belum memasuki bangku sekolah, menjelang tidur beliau sering bercerita tentang kisah nabi-nabi, sahabat-sahabatnya, cerita tentang asal mula kampung-kampung di sana, dan tak jarang cerita tentang kampung tersebut yang masih diliputi tentang maling, hantu-hantu yang berkeliaran pada malam hari atau yang disebut Tuselaq dalam bahasa Sasak.
Waktu itu memang masih banyak bahan bacaan yang tertata di kamar beliau. Dan saya pun belum memahami tentang buku-buku itu, terkadang sesekali membuka lalu melihat gambar-gambarnya. Terkadang sepulang mengajar beliau juga membawa beberapa buku sebagai tambahan koleksi yang menghiasi meja tempat biasa beliau terpekur selepas isya.
Menjelang memasuki bangku sekolah untuk tahun ajaran baru, ada tradisi yang menarik di pondok pesantren bagi santri yang akan masuk. Ungkapan idiomatik milu-milu bawang (ikut-ikutan tetapi belum secara resmi diakui) masuk sekolah bersama salah seorang misan waktu itu saya ikuti langsung di kelas 2. Seorang calon santri sebelum mulai ajaran tahun baru penerimaan santri dibolehkan untuk ikut masuk percobaan di kelas 1 bersama kawan atau sanak famili yang bisa bertanggung jawab mengawasinya selama milu-milu bawang.
Meskipun di kelas 2 tersebut masih pelajaran dasar juga yang diberikan, akan tetapi pertimbangan pengajar saya diminta untuk lebih baiknya ikut di kelas 1 saja. Ternyata bukan hanya saya sebagai santri milu bawang di kelas 1 tersebut, ada beberapa juga yang datang dari kampung-kampung lain yang menempuh perjalanan sekitar 2 kilometer berjalan kaki dari rumahnya di usia sekecil itu untuk mendapatkan pendidikan di Pondok Pesantren tersebut. Sementara saya, dengan rumah hanya beberapa meter dari Ponpes, baru kali ini mengikuti kelas sebagai santri milu bawang, padahal ada 2 orang kakak yang lebih dahulu masuk di sana, serta beberapa misan yang siap menjaga selama di Madrasah.
Hingga tiba tahun ajaran baru, penerimaan santri dengan diantar langsung oleh orang tua mereka terlihat ramai di depan ruangan yang menjadi kantor tenaga pengajar di Ponpes. Dengan membawa beras dan 1 KG gula pasir, pendaftaran santri di Ponpes seperti itu menjadi tradisi turun temurun seperti yang diceritakan Ibu yang mengantarkanku waktu itu. Sebab semua kakak yang pernah mendapatkan didikan di sana seperti itu pula model pendaftarannya. Sumbangan beras dari pendaftaran akan diakomodasi untuk anak-anak yatim dan santri dari luar daerah yang tinggal di Panti Asuhan. Beberapa bungkus gula pasir juga akan dibagikan kepada tenaga pengajar untuk dibawa pulang.
Pendaftaran tidak hanya sampai di situ, setelah penyerahan dari para orang tua, tes selanjutnya sebelum memasuki kelas yaitu pertanyaan tentang umur, pengukuran tinggi badan, dan tes untuk memegang telinga kiri dengan tangan kanan melewati atas kepala apakah sampai atau tidaknya tangan ke telinga tersebut.
Sampai saya lulus 9 tahun dari Ponpes tidak pernah mengetahui makna dari tes tersebut, dan para orang tua juga tidak ada yang menanyakan hal tersebut, sebab yang terpenting anak mereka mendapat pendidikan di sana dan menjadi tanggung jawab para pendidik. Tentu saja waktu itu masih ada iuran bulanan yang dibayarkan ke pihak madrasah yang jika dibandingkan dengan nilai uang sekarang, iuran per-bulannya tidak cukup untuk membeli 2 gorengan tahu isi.
Dari tes memegang telinga tersebut beberapa yang tidak sampai ditetapkan masih sebagai santri milu bawang. Ada juga yang bisa sampai memegang telinga akan tetapi karena pertimbangan umur masih ditetapkan juga sebagai santri milu bawang. Standar umur untuk masuk kelas 1 yaitu 5 sampai 7 tahun, ada juga yang lebih dari 7 tahun. Seingatku waktu itu umurku 5 tahun, dan bisa sampai memegang telinga juga. Santri yang ditetapkan sebagai milu bawang mengikuti saja kewenangan dari pihak sekolah, begitu juga dengan orang tua mereka.
Menjelang akhir catur wulan ketiga (waktu itu masih menggunakan 4 bulan utk tiap tahap, belum tahap semesteran atau 6 bulan) saya sudah mulai bisa mengeja huruf latin. Tulisan-tulisan dari apapun yang bisa dieja akan kami coba. Tak jarang itu sebagai perlombaan untuk menunjukkan siapa yang lebih mahir dalam membaca. Dan ketika sudah ngotot  sama-sama merasa benar dengan cara membaca masing-masing, barulah yang lebih senior akan memberitahu bunyi bacaan sebenarnya. Sementara untuk huruf arab yang dibimbing intensif di Mushalla setiap malam masih belum bisa saya kuasai, beberapa surat saja yang diminta menghafal dengan mengikuti bacaan dari guru ngaji.
Ujian akhir catur wulan ketiga dimulai, ujian menghafal, berhitung, membaca, menulis dan menyanyi. Yang terakhir sempat membuahkan beberapa tetes keringat untuk melewatinya. Sebab mengeluarkan suara untuk menyanyi sangatlah berat. Berbeda halnya ketika menghafal, membaca atau menjawab pertanyaan dari guru, kesemuanya bisa terlewati dengan tenang. Selesai ujian, acara madrasah diisi dengan perlombaan-perlombaan antar kelas atau yang belakangan terkenal dengan trend class meeting, sementara menunggu para guru memeriksa hasil ujian dan mengisi raport.
tiba waktunya pembagian raport dan tabungan, beberapa kawan yang lebih besar dariku dinyatakan naik ke kelas 2, sementara saya dinyatakan tetap tinggal di kelas 1, dengan alasan belum ada raport, padahal sudah bisa membaca, walaupun tulisan masih perlu ketelitian untuk bisa dibaca orang lain. Hal yang paling menyesakkan di akhir tahun itu saya alami ketika pembagian raport dan tabungan. Beberapa dari kami hanya sebagai penonton ketika yang lain dibagikan uang tabungan mereka.
Saya tidak tahu kalau menabung itu akan dibagikan di akhir tahun, sementara saya di awal masuk tidak pernah diberikan uang untuk menabung, uang belanja pun jarang. Dengan dekatnya rumah dengan Ponpes, ketika waktu istirahat ( red. keluar main) itulah saya manfaatkan untuk pulang meminta uang belanja atau sarapan dengan apa yang ada di rumah.
Belakangan saya ketahui bahwa saya tidak diperkenankan naik ke kelas 2 dengan alasan belum lancar membaca, itu atas permintaan dari bapak untuk menetapkan saya dididik lagi di kelas 1. Saya hanya mengikuti saja. Sementara waktu itu juga koleksi buku yang ada di meja bapak makin bertambah sebagai bahan untuk memperlancar kemampuan membaca. Di madrasah tiap keluar main, kami disodorkan majalah anak-anak berjudul Asyik dengan tokoh Utamanya Asyik si kucing, Cici si kelinci, Danil Si kuda nil dan beberapa lagi yang mengisi cerita bergambar dalam majalah tersebut.
Bacaan yang paling menarik dari majalah tersebut terletak pada halaman terkahir dan sampul belakangnya. Di sana biasa dimuat cerita-cerita rakyat dari berbagai daerah di Nusantara dengan gambar-gambar menarik yang memikat mata untuk membacanya. Sayangnya waktu itu majalah tersebut hanya bisa dibaca di sekolah. Dari sanalah mulai semakin gencar saya memulai untuk memperlancar membaca.
Pun begitu dengan koleksi-koleksi bacaan bergambar yang ada di rumah mulai saya dekati. Tak lupa bacaan paling banyak yang tersimpan di rumah yang berjudul Media Amal Bakti, berisi foto-foto orang lalu di bawahnya tertulis kegiatan yang sedang dilakukan orang yang selalu muncul di majalah tersebut. Belakangan saya ketahui bernama Pak Soeharto, sebagai presiden di Indonsesia waktu itu. Tak dipungkiri ketertarikan akan bacaan waktu itu dimulai dengan melihat gambar yang ada di dalamnya. Ini mengakar dari kebiasaan membaca majalah Asyik yang bergambar, bahkan buku-buku pelajaran di madrasah pun banyak yang berisi gambar juga.
Memasuki kelas 3 MI (Madrasah Ibtidaiyah) mulailah merengkuh koleksi-koleksi bacaan di meja bapak, saat siang ketika permainan terhenti kala anak-anak yang lain juga kembali ke rumah masing-masing. Atau saat sore harinya walau hanya sekilas membaca tulisan-tulisan sebagai keterangan gambar. Masih teringat cerita bergambar yang menjadi awal ketertarikan saya yaitu serial buku sahabat Rasulullah yang sebelum bisa membaca sering diceritakan bapak sebelum tidur. Lalu serial riwayat hidup 4 Imam madzhab yang cukup terkenal dalam rujukan-rujukan Fiqh, kurang dari 1 bulan bisa terselesaikan.
Koleksi-koleksi buku agama juga cukup banyak, namun waktu itu masih membaca-baca sekilas sebagai tambahan dari materi yang saya dapatkan dari madrasah. Tak dipungkiri saat-saat sedang geliatnya mulai menyukai bacaan, Yang menjadi saingan waktu membaca yaitu ketika mendengar ribut-ribut di siang hari kawan-kawan bermain di halaman rumah yang waktu itu masih berjejer pohon jambu, mangga dan ada juga kelapa gading. Tergoda untuk bergabung bermain, tak jarang sampai memudarkan geliat-geliat untuk menekuni bacaan.
Syukurnya juga waktu itu ada sumbangan untuk madrasah sebagai tambahan bacaan dari pemerintah yang entah saya tidak tahu dari mana. Sebelum dihantarkan ke sekolah karena belum ada tempat, buku-buku tersebut didiamkan dulu di rumah kepala sekolah MTs, sekaligus sebagai Paman yang rumahnya di depan rumah saya. Di sanalah kami sebagai pencicip awal buku-buku tersebut, dan sejenak musim-musim permainan (entah karet gelang, kelereng atau kertas gambaran) terhenti sejenak untuk mulai menekuni hal baru, yaitu membaca.
                   *****
Bangunan Madrasah yg terdiri dari MI dan MTs yang berbentuk L dengan tanah lapang di tengahnya sebagai tempat bermain, dan di sebagian dekat MTs ada satu bangunan yang semula sebagai mushalla, kini dipersiapkan untuk perpusatakaan dan ruangan kepala MTs. Buku-buku yang ada di rumah Kepala MTs kini berpindah ke Madrasah. Semua santri bisa mengakses, namun belum bisa untuk pinjam dibawa pulang. Setiap hari ruangan tersebut selalu penuh dan kadang harus rela mengantri untuk meminjam buku untuk dibaca di areal sekolah, dan sebelum pulang harus dikembalikan lagi ke perpustakaan.
Hingga tibalah ketika saya memasuki kelas 4 MI dan bapak sudah pensiun, dana pensiun yang didapat tiba-tiba terpikir olehnya untuk merenovasi rumah, meninggikan temboknya, mengganti atasnya, serta beberapa pelebaran untuk dibuat ruangan baru. Pohon-pohon di depan halaman juga ditebang. Buku-buku koleksi yang senantiasa tertata rapi di meja beliau, entah diungsikan ke mana untuk sementara. Persis saat itu saya tidak lagi menekuni bacaan, sibuk ikut membantu pekerjaan rumah atau kadang pergi bermain. Begitu juga dengan perpustakaan di madrasah, tiba-tiba untuk sementara dihentikan, dengan dalih untuk inventarisir dan pembuatan cap sebagai perpustakaan Ponpes.
Bahan bacaan yang terbaca berkurang drastis, bacaan buku pelajaran pun hanya sebatas di kelas ketika kegiatan belajar mengajar. Menonton televisi mulai marak waktu itu sebagai hiburan paling digemari. Bahkan tak jarang rela membayar ketika menonton di TV tetangga. Buku kini mulai asing sebagai hiburan. Bahkan berkembang menjadi tradisi lisan saling menceritakan atau berkomentar tentang acara TV yang telah ditonton bersama.
Renovasi rumah pun usai, buku-buku koleksi bapak yang masih tersisa hampir tinggal setengahnya. Itu pun buku-buku bacaan berat dan kitab-kitab kuning yang menjadi pusaka beliau. Setelah pensiun, tidak ada lagi tambahan buku koleksi di meja bapak. Hanya yang tersisa saat renovasi rumah telah rampung. Beliau pun diminta untuk mengajar di Ponpes di tingkat MI, waktu itu pun saya masih di MI kelas 5 dan sebentar lagi akan naik ke kelas 6.
Karena kekosongan yang terjadi dalam hal bacaan, buku-buku koleksi bapak yang tersisa itu pun mulai saya dekati. Karena jarangnya bacaan ringan kala itu, maka setiap kawan yang punya buku cerita bagus pasti menjadi pameran menarik, dan seolah dia yang lebih dulu membaca menjadi pembicara untuk menceritakan isi buku yang telah dia baca, tentu saja dengan dilebih-lebihkan pula untuk menambah penasaran agar yang lain berminat untuk membaca juga. Di sinilah peran sogokan menggunakan sesuatu entah berupa makanan, atau barang menjadi penting agar bisa menjadi pembaca kedua untuk meminjam buku tersebut. Akan tetapi tetap saja saya kalah, karena yang lebih dahulu meminjam adalah misan-misan saya yang lebih senior.
Entah tiba-tiba juga buku-buku yang ada pada salah satu ruangan di Madrasah tersebut kini dipindahkan ke ruangan guru MTs, dan ruangan tersebut akan dimanfaatkan kembali sebagai mushalla, untuk Dhuha dan Zuhur-nya. Sejak MTs itulah minat membaca mulai kembali lagi meski siang sepulang sekolah mulai ikut-ikutan dengan kawan yang lain untuk mendapatkan tambahan belanja sebagai pekerja, mengangkut pasir dari sungai di areal tambang pasir berjarak setengah kilo dari rumah.
Malam harinya seusai dari mushalla, terkadang mulai lagi membuka-buka buku koleksi bapak. Pada waktu MTs, untuk dapat mengakses bahan bacaan yang tersimpan di ruang guru tersebut, biasanya saya manfaatkan jadwal piket untuk membersihkan ruang guru tersebut, lalu meminjam 1 atau 2 buku dengan judul yang paling menarik untuk nanti saya selesaikan baca di rumah. Pengembaliannya pun ketika sudah selesai,  pagi harinya saat kawan lain bertugas piket untuk membersihkan ruang guru, saya kembalikan lagi lalu meminjam lagi yang lain.
Hal ini terus berlangsung sampai kelas 3 MTs, dan saya merasa tidak ada lagi judul menarik dari koleksi-koleksi di ruang guru tersebut. Begitu pula dengan koleksi yang ada di meja bapak, tak ada yang bertambah. Namun untuk mengisi kekosongan itulah, kembali lagi salah satu dari koleksi tersebut mulai kurengkuh.
                   *****
Berbeda halnya ketika  SMA, memasuki sekolah negeri. Akses untuk masuk ke perpustakaannya dengan koleksi yang cukup banyak di ruangan cukup besar tersebut cukup membahagiakan bagi saya. Meski sistem yang diadakan di sekolah tersebut mewajibkan untuk Les tambahan sejak kelas 1. Maka tak jarang sebutan sekolah 6 tahun di SMA tersebut mulai tersemat.
Dengan salah seorang kawan beda kampung, namun masih dalam satu desa, mulailah kembali kami menekuni buku sebagai pengisi waktu istirahat. Lalu menjelang bel tanda masuk bahkan tak jarang bel sudah berbunyi, saat itulah kami manfaatkan untuk ke kantin, karena saat itu tidak terlalu ramai, dan tidak perlu berdesak-desakan. Sementara ketika baru mulai jam istirahat, itulah puncak berhamburannya siswa ke kantin.
Pernah suatu ketika karena desak-desakan di kantin itulah salah satu kawan itu dipukul oleh kakak kelas 2 (waktu itu kami kelas 1),  dan ditantang kelahi. Sebab mereka lebih banyak, terpaksa kawan itu pun mengalah. Lalu siang harinya, sepulang istirahat ke kos-an, dia pun memberitahukan ke anak-anak kelas 3 yang kebetulan juga nge-kos di sana. Keesokan harinya, satu kelas anak program Bahasa teman kos kawan tadi ramai-ramai mendatangi ruangan kelas anak kelas 2 yang memukul kawan tersebut. Mereka pun meminta maaf dengan dalih tidak menyangka kalau dia bukan teman senior mereka.
Sejak itulah kami memutuskan untuk menunggu siswa agak longgar kalau mau ke kantin, dan waktunya ya itu, menjelang bel masuk pertanda istirahat sudah usai yang akan dilanjutkan dengan pelajaran Ketiga. Bahkan tak jarang juga kami manfaatkan waktu untuk ke kantin ketika pergantian jam antara pelajaran ke-1 dan Ke-2 atau juga saat selesai shalat zuhur yang akan dilanjutkan dengan pelajaran ke-4 yang masih tersisa setengah jam-nya lagi.
Di perpustakaan itulah kami mulai berkenalan dengan majalah Sastra Horison, buku-buku sastra terbitan Balai Pustaka, dan berbagai koleksi yang lain untuk memuaskan hasrat untuk membaca. Di kelas pun cukup banyak juga yang gemar membaca buku, dari sanalah mulai tukar-pinjam berlangsung, dengan batas tertentu yang disepakati bersama.
Karena koleksi bacaan di rumah berupa bacaan-bacaan berat, saya tidak bisa menawarkan apa-apa selain sebagai peminjam yang sabar untuk menunggu giliran. Akan tetapi, Begitu diumumkan untuk pembuatan kartu perpusatakaan, kami pun bergegas untuk mendaftar sebagai anggota.
Saat itu kami tidak lagi harus tiap hari mengunjungi perpustakaan untuk dapat membaca. karena kartu anggota sudah di tangan, kami pun mulai rutin meminjam buku untuk dibaca di luar, meskipun bacanya juga masih di sekitar area perpustakaan, semisal di terasnya, atau taman depan perpustakaan tersebut.
Ada hal yang menarik dari sistem disiplin di sekolah tersebut yaitu ketika siswa yang telat kalau di awal-awal masuk dulu tidak diperbolehkan masuk sekolah, gerbang langsung ditutup, dan mereka harus membayar denda karena tidak masuk atas keterlambatan tersebut.
Perlahan sistem itu pun berubah, bagi yang terlambat tidak lagi disuruh pulang, akan tetapi pada jam pelajaran pertama tidak diizinkan untuk mengikuti kelas, dan selama jam pelajaran pertama itu berlangsung, siswa yang terlambat tersebut disekap di perpustakaan untuk membaca buku, akan tetapi tidak diperbolehkan membawa tas, karena ditakutkan buku-buku koleksi akan dimasukkan ke dalam tasnya.
Sejak mempunyai kartu perpustakaan itulah saya mulai rutin meminjam buku, memanfaatkan fasilitas di sekolah tersebut yang bisa dikatakan sudah bayar cukup mahal untuk SPP-nya. Ketika membawa pulang buku untuk diselesaikan baca di rumah, kakak  perempuan saya yang sudah menikah dan tak jauh rumahnya, mulai gemar juga membaca buku-buku yang saya pinjam. Sementara koleksi buku di rumah tetap saja tidak ada yang bertambah, akan tetapi sesekali juga saya buka koleksi dari buku-buku yang ada di meja bapak, yang saat itu sudah mulai jarang saya bongkar-balik karena telah menemukan koleksi buku yang lebih menarik di sekolah.
Saat itu yang menjadi koleksi di mejaku hanyalah buku-buku pelajaran yang diwariskan oleh kakak-kakak misan yang sudah menamatkan MA (Madrasah Aliyah) di Pondok Pesantren. Koleksi lainnya berupa buku-buku LKS yang kami diwajibkan untuk membelinya dari pihak sekolah. Kini buku-buku koleksi bapak yang beliaupun jarang menyentuhnya kini saya alihkan ke meja belajar di kamarku. Sewaktu-waktu ketika ingin membaca tentang itu, dengan lebih mudah untuk diraih tanpa perlu ke meja bapak.
Sayangnya menjelang lulus dari SMA keengganan untuk menyentuh buku-buku bacaan mulai menghampiri, ketika TV dan Handphone mulai menyergap. Padahal sebelumnya tak jarang buku sebagai pengantar tidur dan menelungkup sebagai penutup wajah dari cahaya lampu kamar. Maka tak heran ketika lulus SMA koleksi buku tidak semakin bertambah dan membaca pun sudah mulai agak berat dengan kehadiran Handphone sebagai sarana hiburan utama.
Inilah seperti tesisnya Marc Prensky tentang Digital Natives dan Digital Immigrants. Dan generasi kami sebagai Digital Immigrants, Peralihan dari sebelumnya tidak begitu massif dengan teknologi, kini lebih gandrung untuk memiliki alat-alat elektronik lainnya dari pada buku. Padahal masa-masa awal untuk memasuki kampus menjadi sangat penting untuk kembali menekuni buku bacaan secara serius.
Hingga lulus dari jeratan kampus pun hanya beberapa koleksi yang bertambah, disebabkan biaya hidup untuk beli buku lebih teralihkan untuk penyambung hidup. Dengan dalih buku di perpustakaan milik pemerintah daerah masih cukup kokoh sebagai penunjang untuk mendapatkan referensi perkuliahan. Akan tetapi terkadang juga sebagai tambahan koleksi buku, beberapa dosen mewajibkan untuk membeli buku, entah itu karya mereka sendiri maupun karya orang lain yang harus dibeli melalui mereka.
Kini setelah almarhum bapak telah tiada sejak beberapa tahun lalu, buku tersebut semakin berkurang setelah kembali lagi renovasi rumah kedua kalinya atas inisiatif kakak. Buku-buku tersebut bukan hanya berkurang, akan tetapi lusuh, berdebu dan tercecer tidak menentu dan hanya diletakan di pojok belakang ruangan kecil tempat shalat.
Buku-buku koleksi pusaka almarhum bapak tersebut hanya menjadi tumpukan kertas yang menjadi pengingat bahwa itu sebagai saksi perjuangan beliau melewati pendidikan-pedidikan yang telah dijalaninya. Buku-buku itu kini hanya pajangan bisu, tanpa ada yang pernah menyentuhnya lagi. Dan kini seolah ketika beliau telah tiada, buku itu pun seolah-olah tak ada di sana.
(Baim Lc, Sleman 10-03-17)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalan Sunyi Si Pendidik

sumber :digaleri.com Baim Lc*  Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal ya...