![]() |
Karikatur : Okti Widayati |
Selayaknya kata yang mudahnya kau
tuangkan, begitulah cinta yang bermuara pada satu hati yang kau perjuangkan.
Pun jika kata itu terlalu sulit mereka pahami, maka cobalah sederhanakan mereka
dengan sajak-sajak seindah puisi. Sajakmu layaknya mantra yang menenangkan,
namun seperti tak bermakna jika tak mampu menembus hati yang kau idamkan.
Sajakmu tak kan indah, bila keindahan hanyalah semu yang membelenggu hakikat
kata yang kau rangkai. Maka bebaskanlah kata itu, sebagaimana bebasnya hatimu
menentukan pilihan pada hati yang kau tuju. Itulah sajakmu, yang tak perlu
indah bagi orang lain, akan tetapi cukup indah untuk membuktikkan bahwa dia
adalah takdirmu.
Mendung yang tadinya menggelayut
berubah menjadi tumpahan air langit yang cukup deras dan terpaksa menghentikan
laju sepeda motor Suparte dan mencari tempat berteduh di deretan ruko yang tak
berpenghuni. Siang itu selesai dari tempat mengajar dia sudah memantapkan hati
untuk mendatangi orang tua Ruminah bermaksud memintanya untuk menjadi calon
istri. Apalah daya, hujan siang itu menahannya untuk sementara waktu dengan
kegetiran janji yang telah dia ucapkan untuk datang selepas zuhur. Pastinya dia
tidak bisa datang tepat waktu, hal itulah yang akan menjadi beban dan membuat
bertanya orang-orang di rumah Ruminah yang menunggu kedatangannya. Menerobos
hujan tak mungkin, karena tak membawa persiapan jas hujan, dan yang menjadi
kekhawatiran, tas yang dibawa berisi berkas pentingnya akan basah kuyup juga
sebelum sempat dilihat orang tua Ruminah.
Jadilah ia menunggu beberapa
lamanya, sementara semakin banyak pula pengendara takut hujan yang menemaninya
di deretan ruko tadi. Wajah gelisah yang hanya dia sendiri yang tahu, tak
banyak kata walaupun sekedar menyapa orang-orang yang berteduh di sana. Ketika
hujan berubah rintik-rintik kecil, ia pun membuka jaket dan memasang tas
punggung sementara jaketnya jadi penutup dari hujan, dan langsung menerobos
mengejar ketertinggalan waktu kedatangan yang telah dia ucapkan.
Sesampainya di rumah Ruminah,
orang tua Ruminah telah menunggu di sangkok
(ruang keluarga). Disambutlah Suparte masuk, sementara Ruminah dan ibunya
berbalik ke belakang, sepertinya mempersiapkan minum. Suparte duduk menemani
bapaknya Ruminah dengan muka yang masih kusut karena tergesa-gesa menerobos
hujan. Kecanggungan Suparte pun mulai nampak ditambah kebingungannya menghadapi
orang yang akan menjadi orang tuanya pula nantinya jika berhasil.
" Dari sekolah nak?".
Bapaknya Ruminah mulai membuka suara yang hampir tidak kedengaran oleh Suparte.
"nggih (iya) Miq (MaMiq
: panggilan untuk gelar kebangsawanan), Tiyang
(saya, ucapan untuk menghormat) dari sekolah langsung ke sini". Suparte
mencoba sesopan mungkin.
" ngajar di mana?, sudah
jadi PNS?"
" Tiyang di MTs. Mislahul Ulum Miq,
masih honor sekalian bantu-bantu di sana"
" Apa kau bawa apa yang saya
pesankan dari Ruminah?"
" nggih Miq". Suparte mengambil tasnya lalu menyodorkan dua lembar
kertas kepada bapak Ruminah. Sejenak bapaknya Ruminah membaca dengan detail
yang tertulis di kertas tersebut.
" Pendidikan terakhir
sarjana, ngajar IPA, terus pekerjaan orang tuamu sekarang?". Pak tua itu
memulai semacam interviewnya kepada orang yang akan meminang anak gadisnya.
Belum sempat Suparte menjawab, Ruminah dan ibunya datang membawa minuman hangat
dan beberapa piring penganan ringan. Mereka berdua pun ikut duduk.
" Bapak sudah meninggal,
sedang ibu yang sekarang biasanya di sawah untuk mengelola sawah peninggalan
Almarhum bapak".
" Kenapa kamu tidak ikut
bergelut di sawah?"
" saya ikut juga membantu Miq, biasanya sore hari atau pas hari
libur". Seperti ada kekuatan untuk Suparte menjawab tegas pertanyaan yang
diajukan bapak Ruminah ketika Ruminah ikut pula duduk di sana.
" Lulus sarjana setahun
lalu, sedangkan Baiq. Ruminah (Baiq, gelar kebangsawanan sasak untuk anak perempuan, sedangkan
untuk anak-anak laki biasanya bergelar Lalu
atau Raden) lulus sarjana
kesehatannya dua setengah tahun lalu, apa kamu sudah cukup tabungan untuk
membina rumah tangga dengan anak saya?". Pak Tua tersebut mencoba
membandingkan lembaran yang disodorkan Suparte tadi dengan lembaran yang memang
sudah dia siapkan. Ruminah terlihat menunduk ketika bapaknya menanyakan tentang
itu.
" Kalau masalah tabungan
memang saya tidak memiliki cukup banyak Miq,
namun saya punya keteguhan dan merasa yakin bahwa saya sudah mampu untuk
berumah tangga".
" Yakin kamu tidak akan
kesulitan dengan kondisi kekurangan, sementara kamu sendiri masih honor di
sekolah, begitu juga Ruminah yang masih mengabdi juga di PKM"
" Saya akan mengusahakan
yang terbaik untuk keluarga saya Miq"
" Contohnya apa yang akan
kamu usahakan untuk yang terbaik seperti yang kamu ucapkan tadi"
" di samping sebagai guru
honor, saya dan para pemuda di kampung telah merencanakan beberapa program
usaha yang akan mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah, dari itu sebagai
tambahan penghasilan, selain itu saya juga akan mengelola sawah warisan
kami". Jawaban Suparte terdengar mantap, namun ternyata malah membuat
bapak Ruminah mengernyitkan dahi. Pertanyaan ini lebih berat dari ketika dia
menghadapi ujian skripsi.
" Apa kamu sudah mengenal Ruminah
secara baik dan begitupun Ruminah apa sudah mengenalmu cukup baik pula?"
" Nggih abah, Tiyang sudah mengenal kak Parte cukup
baik, Tiyang yakin dengan pilihan Tiyang abah". Kali ini Ruminah ikut
membuka suara meyakinkan sang bapak.
" saya sudah mengenal Ruminah
cukup lama Miq, sejak kami masih
sama-sama semester 3 walaupun kampus berbeda, dan kami masih bertahan menjalin
janji sampai selesai kuliah, dan sekarang saya datang untuk menepatinya". Suparte
menambahkan untuk semakin meyakinkan bapak Ruminah, sementara ibu Ruminah masih
terdiam menjadi pendengar setia.
Sepertinya ini lamaran paling
unik sepengetahuan Suparte, sampai-sampai dia diminta membawa CV (Daftar
Riwayat hidup) hanya untuk dibandingkan dengan CV anaknya yang telah
dipersiapkan juga. Sampai Suparte dipersilahkan mencicipi hidangan yang telah
disediakan belum juga ada kejelasan apakah dia diperkenankan untuk melamar Ruminah.
Seruputan demi seruputan teh hangat mencoba untuk menenangkan dirinya sementara
menunggu apa lagi yang akan keluar dari lidah sang bapak. Begitu juga bapak Ruminah
sepertinya cukup menikmati teh hangat siang itu, sementara di luar hujan masih
rintik-rintik terkadang diselingi bunyi guruh menggelegar menyaingi ketegangan
di dada Suparte.
" Nak, kamu sudah yakin
untuk membawa Ruminah untuk tinggal bersamamu?"
" Nggih Miq, Tiyang yakin dan
sudah memantapkan hati"
" bagaimana denganmu Nak,
apakah sudah mantap untuk meninggalkan rumah ini bersama dengan calon
suamimu?"
" Dengan Ridho dan Restu abah,
umi, Tiyang mantapkan hati untuk
menjadi pendamping kak Suparte". Ketegasan jawaban Ruminah berbuah
kelegaan di hati Suparte, terlihat dari raut mukanya yang mulai cerah.
" satu pesan umi,
berbaktilah pada suami, dan jika ada waktu luang selalu sempatkan datang ke
sini jenguk kami"
" Pasti Umi, Tiyang pasti akan selalu menjenguk
umi". Suparte kini terdiam, sepertinya diliputi kegirangan dalam hati,
namun masih was-was juga sebelum bapak Ruminah memberi kejelasan keputusan atas kedatangan lamarannya siang
itu. Ruminah pun masih terlihat menunduk dengan harap-harap cemas apa yang akan
diputuskan abahnya, walaupun dia sudah menjelaskan dengan mantap akan keteguhan
hatinya memilih Suparte.
" Baiklah, jika itu sudah
menjadi niatan kalian berdua, sudah memantapkan hati juga, Bapak hanya bisa
memberi restu semoga kalian benar-benar mendapat ridho juga dari Tuhan atas
niatan baik ini". Seperti halnya bahagia ketika mendapatkan pernyataan
kelulusan sarjana, ini lebih lagi bagi Suparte. Senyumnya terlihat merekah yang
diarahkan kepada Ruminah, begitupun Ruminah membalasnya dengan muka haru
bercampur kegembiraan.
" Selanjutnya bagaimana
setelah ini Miq?, apakah Tiyang perlu membawa keluarga lagi untuk
datang secara resminya?"
" Kalau adat kami di sini,
untuk lamaran saja seperti ini sudah cukup, tinggal engkau bawa Ruminah merariq (menikah, dengan perempuan yang
dibawa secara diam-diam) nanti kau titip di rumah keluargamu"
" Tapi Miq, di tempat saya tidak ada yang seperti itu, takutnya nama Tiyang yang jelek nantinya di kampung
jika membawa anak gadis lalu dititipkan di rumah keluarga, dan itu pun belum
jelas penentuan tanggal acaranya kami menikah". Agak berat bagi Suparte
untuk berdebat tentang adat merariq
seperti itu yang pernah dia dengar, bahkan pernah menyaksikan anak gadis di
kampungnya dibawa lari oleh lelaki yang beradat seperti itu.
" Justru kalau datang secara
ramai-ramai membawa keluarga, terus kami membiarkan anak gadis kami dibawa
seperti itu, kami yang malu, ibaratnya anak kami diminta macam kambing yang tak
dihargai".
" Astaghfirullah abah, kita
sudah hidup di zaman modern abah, apa perlu kita masih memegang teguh adat
seperti itu?". Ruminah sepertinya tak setuju juga dengan pendapat abahnya
yang menyebutkan lamaran seperti meminta anak gadis layaknya akad jual beli.
" Adat kita sudah seperti
itu nak, kalau kita mau menghindar kita yang dicemooh juga nantinya, saya rasa
ini hal biasa kok terjadi, kemarin saja ada anak desa Mapal yang melamar anak Pak Jinten walaupun adatnya tidak ada merariq juga, dia bersedia kok membawa
anak pak Jinten"
" Nak Parte, jika memang
niatmu sudah mantap untuk membawa Ruminah, silahkan dibawa saja sekarang kami
sudah merestui kalian berdua". Ibu Ruminah yang tadinya lebih banyak diam
sekarang ikut bicara agar perdebatannya cepat usai.
" Nggih Miq, Umi, Tiyang sudah
mantap untuk menikah dengan Ruminah, akan tetapi tidak adakah toleransi untuk
adat semacam ini bagi Tiyang yang
tidak beradat seperti di sini. Tiyang
hanya ingin yang terbaik, supaya perjalanan niatan mulia kami ini lancar-lancar
saja"
" Kalau begitu kan tinggal
kamu bawa Ruminah ke kampungmu, nanti dijelaskan kepada orang-orang di kampung
terutama kepala dusun, RT/RW bahwa adat kami di sini seperti itu untuk
lamarannya"
" Baiklah kalau begitu Miq, Tiyang
bersedia, lalu bagaimana dengan Sadean-nya?
(uang pelamar yang diberikan pihak pria kepada orang tua si perempuan).
" Nah kalau itu mesti
mendatangkan orang-orang tua dari pihak keluargamu dan kelurga kami juga,
sedangkan untuk maskawinnya, silahkan kalian diskusikan berdua dengan Ruminah,
apa maunya Ruminah yang akan menjadi maskawin yang bisa kamu berikan"
" Apakah tidak bisa sekalian
sekarang juga dibicarakan Miq untuk Sadeannya?". Suparte mulai
menampakkan keberaniannya untuk lebih jauh berbicara kepada orang tua Ruminah
terkait adat yang dirasa terlalu membelenggu mereka dalam hal pernikahan.
Bapaknya Ruminah terlihat tercengang mendengar ucapan Suparte yang tadi,
sepertinya ada kejanggalan yang dia rasakan.
" Kalau Sadean biasanya membutuhkan waktu yang cukup untuk membicarakannya,
apalagi kami juga belum mengundang keluarga yang lain untuk meminta
pertimbangan, begitu pula keluargamu pasti ada pertimbangan-pertimbangan yang
lebih baik yang bisa mereka tawarkan, untuk itu kamu tentukan saja waktu kapan
bisa datangkan keluargamu untuk pembicaraan lebih lanjutnya". Bapak Ruminah
seperti berkilah dengan jawaban ini, menimbulkan ketidakpuasan bagi Suparte,
namun dia tidak ingin membuat tersinggung Bapaknya Ruminah yang baru saja
memberikan keputusan diperkenannya dia untuk menikahi Ruminah.
Suparte pun mengangguk-ngangguk
saja, seperti menerima kekecewaan atas ketidakpuasan tersebut hanya karena
terbelenggu adat di kampung calon istrinya. Dia kembali menyeruput teh yang
sepertinya sudah tidak hangat lagi, mencicipi pisang goreng sembari memasng
muka yang setenang-tenangnya atas keputusan terakhir orang tua Ruminah. Pun Ruminah
sejak tadi hanya terdiam, kelu dengan perdebatan masalah adat antara bapaknya
dan Suparte.
" Kira-kira tanggal dan hari
baik untuk acaranya kapan ya Miq?".
Kali ini Suparte yang memulai membuka suara setelah jeda seruputan teh tadi.
" Ya lebih cepat lebih
bagus, kalau cepat selesai pembicaraan dengan keluargamu juga tinggal tentukan
harinya, biasanya kan hari minggu bagusnya untuk resepsi supaya banyak yang
bisa datang"
" Bisa tidak hari ahad
minggu ini Miq, supaya cepat selesai
juga". Kembali Suparte bernegosiasi, dengan pertimbangan supaya tidak
terlalu lama calon istrinya berada di rumah tetangga yang akan dititipi.
" Sekarang hari Selasa,
semoga saja bisa nak ya, nanti kita minta pertimbangan juga kepada orang yang
biasa menghitung Diwase (Perkiraan
hari baik)". Jelas saja jawaban ini terasa menggantung bagi Suparte,
padahal yang dia inginkan adalah kejelasan dan ketegasan dari orang tua Ruminah
agar pernikahan mereka cepat terlaksana dan tidak ada lagi beban bagi kedua
belah pihak.
Setelah berbasa-basi tentang hal
lainnya yang cukup lama juga untuk mencairkan suasana dan menjalin kedekatan
bagi Suparte dan keluarga Ruminah. Azan ashar pun berkumandang, bapak Ruminah
bersiap untuk ke masjid dengan terlebih dahulu menutup pembicaran dengan
berpesan kepada Suparte agar mendatangkan keluarganya karena masih ada
pembicaraan antar keluarga yang belum dilakukan, Lagi-lagi ini tentang adat
yang sepertinya tidak sah jika tidak dilakukan. Suparte hanya mengiyakan dan
mengatakan secepatnya untuk mendatangkan keluarganya. Bapaknya Ruminah pun
beranjak dari duduknya bergegas menuju masjid yang berjarak sekitar 5 rumah
dari sana.
Sepeninggal abahnya, Ruminah
bersama ibunya masih tetap menemani Suparte, membicarakan tentang rencana
selanjutnya bagi Suparte dan Ruminah. Ibu Ruminah pun sempat menceritakan
kejadian ketika ia pertama kali mengetahui adat merariq seperti itu saat dia dibawa oleh bapaknya Ruminah dahulu,
sedangkan adat di kampung ibunya Ruminah biasanya melakukan lamaran secara
baik-baik dengan mempertemukan secara langsung kedua keluarga. Sementara ibunya
Ruminah yang dulunya tidak mengetahui adat seperti itu seperti merasa terpaksa
tanpa meminta persetujuan orang tuanya terlebih dahulu untuk dibawa oleh calon
suaminya. Namun setelah dijelaskan oleh calon suaminya, dibarengi rasa cinta,
diapun menerima saja dititipkan di rumah tetangga calon suaminya. Sementara
kekhawatiran ibunya Ruminah akan orang tuanya yang tak sempat diberitahu bahwa
dia akan menikah dengan adat suaminya merariq
(dilarikan) seperti itu.
" Kalau sekarang kan gampang
saja jika ada gadis yang diajak merariq,
ada HP yang bisa digunakan untuk menghubungi orang tua si perempuan. kalau
dulu, jika perempuan diajak keluar oleh laki-laki yang bisa dikatakan pacarnya,
terus tidak dibawa pulang sampai malam, itu bisa dikatakan merariq sudah, walaupun besoknya dia dikembalikan lagi oleh si
laki-laki, ataupun kita tidak berburuk sangka tidak pernah terjadi apa-apa
antara mereka, tetap saja mereka harus merariq,
kalau tidak keluarga si perempuan tidak akan menerima dia lagi di keluarganya.
Meskipun bisa saja si perempuan menginap di rumah keluarganya diantar oleh
laki-laki yang menjemputnya dari rumah, namun adatnya dia harus menikahi si
perempuan jika tidak ingin terjadi konflik antar keluarga mereka". Papar
ibu Ruminah menjelaskan tentang adat mereka di sana, yang lambat laun dipahami
juga oleh ibu Ruminah setelah sekian lama di kampung tersebut.
Suparte teringat kejadian 3 tahun
lalu ketika kakak perempuannya pagi hari di jemput oleh calon suaminya dan
berpamitan kepada orang tuanya dengan dalih ke rumah teman kuliahnya. Sampai
magrib kakaknya belum pulang juga, sementara orang tua mereka sudah khawatir
dengan anak perempuannya. Barulah setelah isya, Suparte menerima SMS dari
kakaknya dia diminta untuk memberitahu orang tua mereka bahwa kakaknya telah
diajak merariq oleh calon suaminya
yang menjemput tadi pagi. Orang tua Suparte sepertinya keberatan, pun meminta
agar kakaknya dibawa pulang saja dahulu untuk lebih sopannya adat mereka
melamar. Namun Suparte yang juga seorang yang berpendidikan merasa perlu
menghormati adat masyarakat lain menjelaskan kepada orang tuanya bahwa itu
adalah adat yang biasa terjadi. Akhirnya orang tua Suparte mengalah dan
menunggu kedatangan keluarga calon suami kakaknya datang merundingkannya.
Sekarang yang dialami Suparte
justru terbalik, dia yang datang melamar secara baik-baik malah diminta untuk
melarikan calon istrinya. Bagaimana dia tidak kebingungan, membawa perempuan
yang belum mempunyai hubungan sah untuk tinggal di kampungnya dan dititipkan di
rumah keluarganya sampai beberapa hari yang belum pasti kapan akan diadakan
pernikahannya, tergantung perundingan antara kedua keluarga. Suparte
menerka-nerka perundingan selanjutnya yang akan diadakan, sepertinya tidak jauh
berkisar tawar menwar Sadean (uang
pelamar yang akan diberikan kepada orang tua si perempuan).
" Pertemuan dua keluarga
nantinya membicarakan apa umi?". Dia memberanikan diri bertanya pada Ibu Ruminah
yang sedang memeluk Ruminah dan bersandar di bahunya.
" Banyak nak, salah satunya
hari pelaksanaan pernikahan, undangan, dan tergantung lagi apa yang penting
untuk dibahas nantinya". Ibu Ruminah sama sekali tidak menyebutkan tentang
Sadean, sepertinya itu agak sensitif
untuk dibahas, Suparte pun segan dan mengurungkan niatnya menanyakan hal
tersebut.
" Ayo shalat dulu nak, sebelum
berkemas-kemas, sementara menunggu Bapak dari masjid juga". Ruminah
mengantarkan Suparte ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, sementara dia
kembali ke ruangan agak kecil yang biasa digunakan sebagai tempat shalat,
menggelar sajadah dan segera kembali ke kamar mandi, bertemu Suparte yang sudah
selesai wudhu.
" Tunggu kak ya, Kita
berjamaah, shalatnya di ruang dekat Sangkok
tadi, ada sajadah tergelar di sana". Suparte hanya mengangguk, tak lupa
memberikan senyum terbaiknya untuk Ruminah.
*****
Selesai shalat, bapak Ruminah
telah duduk kembali di sangkok tadi,
ibu Ruminah belum terlihat, Suparte pun ikut kembali duduk bersama bapak Ruminah.
setelah itu Ruminah masuk ke sebuah kamar untuk mempersiapkan perlengkapan yang
akan dibawa. Suparte dan bapak Ruminah kembali berbincang-bincang, lebih
tepatnya dia memberikan nasihat kepada Suparte bagaimana membina hubungan baik
dalam keluarga, terlebih mereka adalah orang-orang terdidik yang pernah
mengenyam pendidikan tinggi, sementara bapak Ruminah hanya sampai Diploma. Suparte
seperti terlarut dalam haru dan kebahagiaan sembari mendengar petuah-petuah
yang dikeluarkan bapak Ruminah. Ibu Ruminah masuk ke kamar yang dimasuki Ruminah
tadi, membantu mempersiapkan apa yang akan dibawa Ruminah ketika merariq.
Setelah beberapa jenak mereka
berdua pun keluar, dengan ransel ukuran sedang dijinjing oleh ibu Ruminah
diikuti Ruminah di belakangnya dengan tas kecil selempangnya. Bapak Ruminah
menghentikan petuahnya, lalu meminta Ruminah mendekat kepadanya. Sambil
memegang pundak Ruminah Dia pun memulai membaca doa namun tak terdengar, hanya
mulutnya yang terlihat bergerak, setelah itu ditiuplah ubun-ubun anaknya,
sebagai sebuah prosesi melepas anaknya yang akan menikah. Suparte dan Ruminah
pun berpamitan kepada kedua orang tua Ruminah. Di halaman depan sebelum Suparte
menyalakan sepeda motornya, mereka bertemu dengan adik perempuannya Ruminah
yang baru pulang dari sekolah. Seragam Putih-birunya terlihat sedikit basah
pada rok bagian bawahnya.
" Kak umi mau ke mana?"
" Ke rumah teman, kok
pakaiannya basah itu, sudah hujan-hujanan ya tadi di sekolah?". Sambil
mencium tangan kakaknya, Ruminten tampak
heran melihat kakaknya dan tak menjawab pertanyaan kakaknya tadi.
" Ke rumah teman kok kakak
bawa tas penuh gitu?".
" Mendingan masuk ke dalam
saja dulu, ganti pakaian sana". sambil mencium kening adiknya, giliran Ruminah
yang tak menghiraukan pertanyaan adiknya. Walaupun masih diliputi heran minten
pun beranjak masuk rumah.
****
Di perjalanan menuju rumahnya, Suparte
tak putusnya mengadakan pembicaraan dengan Ruminah, kalau tadi ke rumahnya Ruminah
dengan tergesa-gesa, kini setelah Ruminah berada di boncengannya, sepeda
motornya berjalan seperti siput yang merangkak menyusuri jalan di sekitar areal
persawahan yang hijau, semakin meneduhkan hati mereka berdua untuk melangkah
dengan pasti.
Sampainya di rumah, hari hampir
petang, ibu Suparte sempat terkejut sang anak membawa seorang gadis ke rumah.
Setelah berucap salam dan mencium kedua tangan ibunya diikuti Ruminah, barulah
dia mengajak ibunya duduk dan menjelaskan semua. Tanpa merundingkan terlebih
dahulu dengan ibunya perihal keinginannya datang melamar Ruminah, sang ibu
masih terdiam mendengar penjelasan Suparte dengan sedetail-detailnya. Sementara
Ruminah terlihat menunduk, ikut larut dalam keheningan diamnya ibu Suparte.
" Jika itu memang keputusan
yang menurutmu terbaik, tidak ada halangan bagi ibu untuk tidak menyetujui,
akan tetapi mengapa tidak nanti saja kau bawa Ruminah ke sini ketika sudah
jelas pembicaraan dengan keluarganya". Ibu Suparte mencoba menanggapi
sebijak mungkin.
" Bahkan orang tua Ruminah
sendiri yang meminta saya harus membawa Ruminah sekarang Inaq (Panggilan ibu, untuk perempuan Sasak), kita juga harus menghormati adat mereka yang tradisinya
seperti itu".
" Terus rencana mau kau
inapkan di mana Ruminah selama penantian ini?, kalau tinggal serumah dengan mu
takutnya nanti akan bermacam-macam pandangan orang terhadapmu"
" Bagaimana kalau di rumah Saiq Juma' saja?". (Saiq, panggilan untuk Bibi, lebah
tepatnya Inaq saiq).
" Tunggu dulu di sini, saya
panggilkan Pak Kadus dan Pak RT untuk lebih sopannya". Ibu Suparte
bergegas keluar rumah mencari orang yang disebutkan tadi. Ruminah yang tadinya
cukup berdiam dengan menundukkan kepala kini menegakkannya kembali sembari
memandang ke arah Suparte.
" Maaf Kak parte, hanya
karena urusan adat jadi merepotkn seperti ini, padahal saya tidak masalah
walaupun tetap menunggu di rumah, sampai pembicaraan keluarga selesai"
" Tidak apa-apa dek, ini
tidak merepotkan kok, hanya bagian dari proses". Suparte mencoba
menenangkan Ruminah.
Ibu Ruminah kembali dengan dua
orang bapak paruh baya bepeci hitam dan seorang perempuan yang lebih muda dari
ibu Suparte. Setelah mengucap salam dan disalami oleh Suparte dan Ruminah,
merekapun duduk bersama. Ibu Suparte kali ini mengambil alih untuk menjelaskan,
dua bapak tadi manggut-manggut saja, begitu juga Saiq juma' yang telah diundang oleh ibu Suparte. Dia tidak merasa
keberatan jika Ruminah untuk sementara tinggal bersamanya sementara menunggu
hari akadnya dilaksanakan.
" Kira-kira kapan rencana
untuk be-selabarnya nak Parte?".
Pak kepala dusun mulai membuka suara. (beselabar,
Prosesi lamaran dengan mempertemukan kedua keluarga).
" Kalau menurut Tiyang lebih cepat lebih bagus Tuaq (Panggilan untuk Paman), besok
kalau Pelungguh (Anda, ungkapan untuk
menghormat) ada waktu luang bisa kita berangkat ke rumahnya Ruminah"
" Bagus kalau begitu, nanti
paman-pamanmu yang lain juga diundang untuk membicarakannya, karena
bagaimanapun merekalah yang menjadi orang tuamu sekarang". Ungkap bapak
yang satunya lagi.
" Nggih Tuaq, Besok Tiyang
datangi mereka untuk meminta kesediaannya". Sementara hari semakin
beranjak petang ditandai dengan mulai riuhnya speaker-speaker masjid dengan
bacaan al Qur'an dari kaset-kaset ataupun radio yang disambungkan. Kesepakatan
sudah didapatkan besok siang mereka akan berkunjung ke rumahnya Ruminah, dan
malam ini Ruminah akan menginap untuk sementara di rumah Bibi Juma' diantar
oleh Suparte dan ibunya, yang berselang sekitar 4 rumah dari rumahnya Suparte.
*****
Kembali sepulang sekolah Suparte
menuju rumahnya Ruminah, kali ini diringi 2 sepeda motor lainnya. Dua orang
pamannya bersedia menjadi mediator ditemani orang yang ditokohkan di kampung
mereka. Mereka berenam beriringan menembus mendung di siang itu. Rumah Ruminah
tampak lengang, setelah mengucap salam barulah mereka disambut oleh Ibu Ruminah,
mempersilahkan mereka masuk dan menjelaskan bahwa suaminya tadi keluar untuk
shalat zuhur di masjid. Ibu Ruminah pun meminta mereka menunggu sejenak, lalu
beranjak ke rumah tetangga meminta tolong untuk dipanggilkan suaminya yang
sekiranya masih di masjid. Tak lama bapak Ruminah pun sudah sampai di rumahnya,
dia meminta ibu Ruminah memanggil beberapa orang yang dia sebutkan, membantunya
membicarakan pernikahan putrinya bersama keluarga Suparte.
" Mendadak sekali datangnya
Nak parte, ndak Telepon dulu tadi supaya kami persiapkan juga". Bapak Ruminah
membuka perbincangan untuk mencairkan suasana.
" Nggih Miq, Tiyang lupa telepon,
Tiyang sudah pesankan ke dek Ruminah
untuk menghubungi Pelungguh terkait
kedatangan kami. Ini paman Tiyang
semua ini Miq, Tuaq Galeh, Tuaq Jumarin,
Tuaq Safar, Tuaq Salim, Tuaq Saleh,
dan ini Sepupu Tiyang Sabri".
Perbincangan masih seputar basa-basi pengakraban kedua keluarga, belum menjurus
ke inti yang akan dibicarakan. Orang yang dipanggil oleh ibu Ruminah telah tiba
juga dan dipersilahkan masuk oleh bapak Ruminah. Dibantu tetangganya, ibu Ruminah
mempersiapkan minuman untuk para tamunya.
" Karena keluarga kami juga
sudah berkumpul, untuk efektifnya waktu kita mulaikan saja Nak, Silahkan
mungkin ada yang ingin disampaikan dari Pak Salim terlebih dahulu terkait tata
cara-tata cara kita dalam melamar, siapa tahu jika ada perbedaan kami juga bisa
menghormati dan mencari jalan tengah untuk baiknya". Lanjut Bapak Ruminah.
" Lebih bagusnya kita
tentukan saja dulu hari baiknya untuk pernikahan anak-anak kita, karena
menyegerakan ibadah juga hal yang sangat baik". Papar Tuaq salim.
" Menurut Tiyang hari ahad minggu ini baik juga
kok untuk acara akad digabung saja sekalian resepsinya, supaya sekali-kali
selesai prosesinya". Usul dari pak Jamran yang juga paman dari Ruminah.
" iya lebih cepat lebih
bagus, hari ahad minggu ini sepertinya cukup bagus, akan tetapi sebelum kita
putuskan tanggal tersebut apa tidak lebih baiknya kita rundingkan juga terkait Sadean-nya terlebih dahulu?". (uang
pelamar yang diserahkan ke orang tua Perempuan). Tuaq Galeh menambahkan secara langsung ke inti pembicaraan supaya
diskusinya tidak terlalu lama.
" Terkait Sadean bagaimana baiknya menurut Pelungguh sekalian?". Bapak Ruminah
melemparkan ke forum, sementara ibu Ruminah masuk menghidangkan minum dan
beberapa piring makanan ringan. Ibu Ruminah diminta untuk ikut duduk oleh
suaminya.
" Kami menunggu dari Pelungguh dulu yang menyebutkan
kira-kira berapa kisaran baiknya yang akan dikeluarkan pihak keluarga kami,
kita secara langsung saja Miq supaya
tidak ada tangguhan-tangguhan, toh juga niat kita berkumpul di sini kan memang
untuk membahas itu". Tuaq Galeh
yang lebih tua di antara mediator yang dibawa Suparte semakin tegas untuk mengarah
ke pembicaraan yang sebenarnya, namun tetap menjaga kesopanan mereka yang
bertamu.
" Bagaimana umi, kira-kira
standar Sadean yang biasa berlaku di
sini?". Bapak Ruminah malah mengalihkan ke istrinya.
" Kalau standar anak-anak
perempuan yang sarjana di sini biasanya berkisar 35 sampai 50 apalagi yang
perawat seperti Ruminah, akan tetapi untuk lebih baiknya kita tidak perlu
berbicara lebih jauh standar-standar Sadean
semacam itu, bagaimana baiknya saja untuk kelancaran rencana pernikahan
anak-anak kita". Paparan ibu Ruminah hampir membuat syok Suparte dengan
nominal-nominal sudah terstandar yang disebutkan ibu Ruminah, dia sudah bisa
menebak angka tersebut representasinya bernilai berapa. Sedangkan dia yang
hanya guru honor dari mana akan mendapatkan dana sebanyak itu.
" Lalu untuk lebih baiknya
kira-kira berapa nominal yang menurut keluarga Pelungguh paling baik untuk tercapainya kesepakatan kedua belah
pihak atas Sadean ini Miq". Tuaq salim yang tadi lebih banyak berdiam kini ikut membuka suara. Suparte
pun sepertinya was-was dalam dadanya, seakan menunggu putusan besar atas
langkahnya mengambil Ruminah sebagai calon istri. Apapun putusan itu dia akan
siap untuk mengusahakannya, namun terlebih dahulu menegosiasikannya.
" Untuk lebih baiknya dengan
perhitungan pembelian perabotan yang akan dibelikan ibunya Ruminah bagi
keluarga pengantin nantinya bagaimana jika kisarannya kita patok 30 saja dengan
beberapa pertimbangan yang telah kami rembug-kan bersama keluarga".
Akhirnya putusan itu pun keluar dari Bapaknya Ruminah, sedikit kelegaan bagi Suparte
dengan tersebutnya nominal yang diucapkan, namun tetap merasa berat selanjutnya
akan memikirkan bagaimana mendapatkan dana sebanyak itu untuk Sadeannya. Sementara untuk resepsi pun
masih membutuhkan dana yang tidak sedikit. Suasana tampak lengang, Suparte
meneguk minumannya, Tuaq salim
menghisap rokoknya dalam-dalam, begitu juga di pihak keluarga bapak Ruminah,
tampak masih tenang-tenang saja.
" jadi pertimbangan nominal
30 ini sudah sesuai pertimbangan penggunaan dana nantinya untuk keperluan
keluarga pengantin?". Tuaq galeh
seolah ingin mendapatkan kejelasan lebih.
" Iya pertimbangan dengan
keluarga-keluarga kami yang lain juga menyetujui seperti itu pak". Jawab
singkat bapaknya Ruminah.
" Apa tidak bisa kita
sederhanakan lagi nominal tersebut Miq,
apalagi kan kita sama-sama tahu penghasilan dari Nak Suparte yang baru honor
juga kan masih belum terlalu banyak simpanannya. Namun karena ini memang benar-benar
niat baiknya agar cepat membina rumah tangga, yang katanya juga untuk menepati
janjinya kepada Ruminah". Tuaq
saleh mencoba bernegosiasi sebijak mungkin.
" Nah itulah perlunya
pembicaraan antar keluarga lebih jauh lagi, makanya kan pas pertama nak Parte
datang sendiri sudah saya pesankan juga untuk memberitahukan ke keluarga
juga". Jawab bapak Ruminah.
" Maksud Tiyang nominal yang Pelungguh sebutkan tadi apa tidak bisa disederhanakan lagi, atau
bahasanya lebih rendah dari itu yang harus diusahakan oleh nak Parte untuk
memenuhinya". Lanjut Tuaq Saleh.
" Menurut Pelungguh sekalian kira-kira baiknya
berapa begitu?".
" Tiyang kira di bawah 20 sepertinya itu sudah terbaik yang bisa
diusahakan, terlebih nak parte juga masih mempunyai tanggungan atas ibunya yang
sendirian sekarang". Tegas Tuaq
galeh.
" Perkiraan perlengkapan
yang akan dibelikan untuk keluarga pengantin nantinya juga sepertinya masih
kekurangan dengan nominal segitu pak, akan tetapi kita mengikuti bagaimana
baiknya saja yang bisa diusahakan nak Parte". Bapak Ruminah kembali
sesopan mungkin atas putusannya.
Suparte masih terdiam memikirkan
bagaimana dia akan memperoleh dana sebesar itu sementara di tabungannya tidak
terlalu banyak yang dia siapkan. Mau mengandalkan siapa lagi, sementara dia tidak
mungkin mengandalkan paman-pamannya yang kehidupan mereka sederhana juga dari
hasil sawah. Sejak awal dia tidak terpikirkan dengan standar-standar Sadean yang berlaku pada adat kampung
calon istrinya. Mau mundur sungguh akan mencoreng arang di mukanya, terlebih
calon istrinya sudah berada di kampungnya sendiri.
Setelah berbicara cukup panjang
lebar antara kedua keluarga, diputuskanlah Sadean
yang akan diusahakan Suparte dengan mengambil jalan tengah nominal 25, putusan
terakhir dari keluarga Ruminah. Paman-paman Suparte yang menjadi mediator
saling berpandangan, dengan diamnya mereka seolah menyetujui namun tetap
bagaimana Suparte yang akan menyikapinya. Nominal 25 itu kini menjadi beban
pikiran bagi Suparte. Sementara putusan tanggal pelaksanaannya yang diusulkan
Ahad minggu ini tidak jadi diputuskan.
Sepulang dari rumah Ruminah,
mereka pun langsung menuju rumah Suparte untuk merundingkan lagi perihal Sadean tersebut yang dirasa cukup besar
bagi kehidupan sederhana mereka. Kali ini ibunya Suparte dan bibi Juma' ikut
terlibat, Ruminah masih berdiam di rumahnya. Mendengar penuturan Tuaq Galeh, ibunya Suparte pun terdiam.
" Dari mana kita akan
dapatkan dana segitu, Tiyang tidak
punya simpanan lagi selain ada satu cincin yang masih tersisa, mungkin bisa
dijual, atau kalau tidak sawah warisan amaq-mu
(Amaq, Bapak) bisa digadaikan dulu
sebagai jaminan untuk pinjaman jika kamu setuju". Suara ibu Ruminah
terdengar datar dan merendah.
" Tiyang akan usahakan inaq,
Tiyang tidak akan merepotkan side ( anda), Side berikan ridha dan restu saja untuk Tiyang"
" Tetap itu akan menjadi
pikiran Tiyang juga nak, ndak mungkin
Tiyang melepaskanmu memikirkannya
sendiri, mau mundur juga sudah kepalang tanggung, anak Gadis orang sudah kau
bawa di sini, alangkah malunya jika dipulangkan, bisa-bisa itu membuat stress
kalian berdua".
Sementara paman-pamannya yang
hadir ikut larut dalam diam, seperti kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan
ide mereka untuk mengatasi masalah Sadean
tersebut. Untuk menenangkan mereka Tuaq
salim pun mengusulkan untuk datang lagi ke orang tuanya Ruminah membicarakan
lagi Sadean tersebut untuk diperkecil
lagi nominal yang akan diusahakan oleh Suparte. Sementara Suparte juga berpikir
keras, memutar otak dari mana akan mendapatkan dana tersebut.
Berselang dua hari, Pertemuan
kedua antara dua keluarga itu untuk menegosiasikan memperkecil nominal Sadean itu pun masih tetap dengan
putusan bapak Ruminah, nominl 25 itu masih dipertahankan oleh keluarga Ruminah.
Malah yang menjadi putusan, Hari Ahad
minggu ini tidak jadi dilaksanakan akad dan resepsinya, pihak keluarga Suparte
yang meminta dimundurkan. Sebab dia masih kebingungan untuk mendapatkan
dananya, karena itu hari ahad ini pun rencananya akan digunakan dengan
mengumpulkan kayu bakar untuk Begawe
(Hajatan) nantinya. Kalau sudah sampai tahap pengumpulan kayu bakar untuk begawe, mau tidak mau pernikahannya
harus tetap dilaksanakan bagaimanapun beban pikiran terkait Sadean tersebut.
Sampai 3 kali pertemuan kedua
keluarga dicapailah putusan nominal Sadean-nya
20, terus akad nikahnya akan dilaksanakan pada hari Kamis siang, sementara
resepsinya yang hanya untuk berdiri di pelaminan selama beberapa jam menjadi
tontonan, akan dilaksanakan hari ahad. Hampir dua minggu bernegosiasi antar dua
keluarga. Ruminah masih setia menunggu di rumah bibi juma' dengan tetap
ditenangkan oleh Suparte untuk secepatnya menyelesaikan administratif ala adat
kampung calon istrinya. Suparte tampak tenang setelah mendapat ide bagaimana
mendapatkan dana untuk Sadeannya.
Dengan jaminan sepeda motornya
dan kumpulan pinjaman dari paman-pamannya terkumpullah dana Sadean yang bisa dia usahakan. Sementara
untuk dana resepsi dia mendapatkan bantuan dari banjar-banjar (Bantuan,
tolong-menolong dari keluarga ataupun tetangga sekitar semacam iuran bantuan
ketika ada warga yang menikah). Beberapa tetangga yang mempunyai kebun kelapa
menyumbangkan kelapa, yang mempunyai kebun pisang menyumbangkan pisang, terus
rempah-rempahan untuk bumbu seperti cabe, bawang dan sejenisnya. Begitu juga
kerabat dekat yang sedia menyumbangkan beras, Gula, minyak goreng serta uang pelangar (dana untuk membantu hajatan
atau begawe).
Pertemuan keempat sekaligus
mengundang untuk acara akad nikah bagi Suparte sangat mendebarkan. Sebab pada
pertemuan itu juga pihak keluarganya akan menyerahkan Sadean yang telah disepakati sebelum akad terlaksana. Dengan
penjelasan sedetail-detailnya dan sesopan mungkin keluarga Suparte diwakili Tuaq Galeh yang sudah cukup berumur dan
makan garam atas adat pernikahan menyerahkan nominal 15 yang mereka bawa. Masih
kurang 5 dan rencananya akan dicukupkan oleh Suparte setelah resepsi pernikahan
mereka. Sebab yang menjelaskan orang yang lebih berumur darinya, bapak Ruminah
pun manggut-manggut saja, lalu mencairkan suasana dengan mengalihkan
pembicaraan rencana pelaksanaan akad nikahnya esok lusa.
Kamis yang menjadi penantian
mereka pun tiba, Mushalla di kampung Suparte dihias semeriah mungkin, walaupun
tidak terlalu besar nampaknya cukup untuk menampung undangan dari kedua
keluarga dan tetangga-tetangganya. Hidangan untuk akad ini pun dipersiapkan
juga oleh keluarga Suparte dengan dulang
Nare (Nampan aluminium atasnya
tertutup dengan anyaman daun enau yang dicat merah). Selain itu biaya
administrasi dengan menghadirkan pihak KUA pun sudah diperhitungkan secara
detail.
Keluarga Ruminah sudah hadir di
Mushalla. Sebelum acara akad dimulai terlebih dahulu diberikan pengarahan dari
tetua yang ada di kampung, begitu juga bapak Ruminah diberitahu terlebih dahulu
sebelum mengijab kabulkan anaknya. Dia tampak terkejut ketika diberitahukan
tentang mahar yang disediakan untuk putrinya. Tak ada waktu untuk mendebatnya,
jadi dia tenangkan saja dirinya menghapalkan apa yang akan diucapkan untuk ijab
kabul putrinya. Beberapa tokoh masyarakat dari kampungnya yang diundang bapak Ruminah
telah berbaur dengan undangan-undangan yang dihadirkan keluarga Suparte. Para
tokoh agama yang diundang keluarga Suparte tampak khidmat menunggu prosesi
akad.
Pengantin pun dipanggil untuk
naik ke mushalla, diiringi dua orang perempuan yang membawa nampan di atasnya
terdapat sebuah bingkisan dan segelas air putih tertutup atasnya. Para hadirin
sepertinya bertanya-tanya dalam diri masing-masing perihal apa yang dibawa
pengiring tersebut. Setelah khutbah nikah dibacakan, tibalah prosesi ijab kabul
yang akan dibacakan oleh bapak Ruminah.
" Saya nikahkan engkau Suparte
dengan anak saya Baiq. Ruminah dengan maskawin satu buah kitab suci Al Qur'an
dan segelas Air putih dibayar tunai".
" Saya terima nikahnya baiq Ruminah dengan maskawin seperti
yang disebutkan tadi dibayar tunai". Diulang sekali lagi Suparte diminta
untuk menyebutkan juga detail maskawin yang diberikan dan menjabat erat tangan
bapak Ruminah di akhirnya. Hadirin pun menyatakan sah, dan masih tampak takjub
dengan keheranan akan segelas air putih yang dibawa pengiring pengantin tadi.
Setelah penandatanganan buku nikah, selanjutnya penyerahan maskawin dari
mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Ruminah pun langsung meminum air
yang menjadi maskawinnya tersebut disaksikan oleh orang tuanya yang masih
menampakkan raut kebingungan di wajah mereka.
Selesai uraian hikmah pernikahan
dari Tuan Guru (Tokoh Agama) yang diundang, dilanjutkan dengan syukuran akad
tersebut dengan menghidangkan dulang-dulang untuk para hadirin. Barulah
selesai menikmati hidangan, bapak Ruminah menyusul ke rumah Suparte untuk
melihat putrinya. Terlihat rona kebahagiaan yang cukup besar di wajah Ruminah
ketika ditemui oleh kedua orang tua dan kerabatnya yang lain. Lebih 10 hari
menunggu di rumah bibi juma' terasa penantian yang cukup panjang baginya sebab
tidak tahu menahu akan pembicaraan yang dilakukan oleh keluarganya dan keluarga
Suparte.
Sampai Suparte memberitahukan
padanya perihal hadits dari Sunnah Rasul yang menganjurkan mahar itu yang
sederhana. Ruminah pun menyetujui tawaran Suparte dengan maskawin tersebut
asalkan secepatnya untuk dilaksanakan akadnya. Sementara perihal Sadean (Uang pelamar) Suparte tidak
pernah memberitahukan kepada Ruminah, bagaimana perjuangannya mengusahakan dana
tersebut, dibiarkan menjadi tanggung jawabnya sendiri.
Dengan pelaminan sederhana
rancangan kawan-kawan pemudanya jadilah resepsi pernikahan mereka diadakan. tak
ada tenda sewaan, sekedar terpal yang jadi atap dan pinjaman kursi plastik dari
kantor desa. Begitu juga pakaian pengantin mereka, tanpa make up berlebihan
yang biasanya pada acara-acara resepsi, wajah mereka justru terlihat lebih
cerah dan bahagia. Suparte dengan kegigihannya mengumpulkan dana semampunya
agar pernikahannya terlaksana dengan lancar, telah memanage pendanaannya sebaik mungkin. Tidak berlebihan, namun jelas
kekurangan. Pun Sampai selesai resepsi dia masih menanggung Hutang.
Ironi pernikahan yang begitu
mudahnya dianjurkan oleh penulis-penulis kata-kata manis yang biasa dibagikan
di media sosial, sungguh tidak sesuai dengan kenyataan. Ketika menikah
dihadapkan dengan kurangnya pendanaan, dan persiapan yang belum terlalu baik, maka
jalan spekulasi dengan menanggung hutang inilah sepertinya jalan keluar
tercepat untuk pemecahannya. Namun Suparte masih menyimpan percaya bahwa
menikah juga salah satu jalan menjemput rizki, seperti yang dia sering
dengarkan pada kata-kata hikmah ceramah pernikahan.
Menikah yang begitu mudah
diucapkan ternyata lebih membutuhkan penjelasan secara lebih terperinci lagi
dari pada sajak yang biasa dijadikan penyair sebagai tujuan atas pikirnya.
Menikah tidak hanya kata belaka, namun makna tersiratnya lebih dahsyat dari
pada mantra. Menikah bukanlah lelucon yang dijadikan tawaan, akan tetapi sebuah
ungkapan pembuktian bahwa cinta itu benar-benar akan bermuara pada satu hati
untuk selamanya. Ijab kabul bukanlah seperti melafalkan sajak, namun lebih
sakral yang akan menyatukan dua hati yang berjanji. Sajak-sajak cinta begitu
indah, menyemangati hati untuk terus memperjuangkannya, meski beban tak jadi
hirauan.
(Baim Lc, Lombok 22-04-2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar