![]() |
sumber :digaleri.com
|
Baim Lc*
Dia
tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi
pagi. Nominal yang tertulis pada amplop mengingatkannya pada periuk, ataupun
ember tempat menyimpan beras yang ada di rumah. Keningya berkerut, honornya
bulan itu memunculkan dilema dalam batinnya, peruntukkannya ke mana. Ah nominal
yang tak seberapa sebenarnya, sekarung beras 50 kg pun tak cukup. Apalagi
berniat untuk membeli beberapa potong daging ayam untuk dimasak sendirian atau kadang
anak-anak kampung yang biasa berkumpul di sore hari membantu menghabiskannya. Ataukah
dia belikan buku-buku untuk tambahan koleksi yang nantinya dibaca juga oleh
anak-anak kampungnya, ataupun dia sedekahkan sebagiannya untuk membantu
melunasi biaya pendidikan anak salah seorang tetangganya yang mendekati batas
tenggat pembayaran.
Samar-samar
ingatannya menerawang ketika dia bisa sampai menjadi bagian dari staf pengajar
pada institusi tersebut. Awalnya kegiatannya setiap sore mengumpulkan anak-anak
kampungnya dari berbagai jenjang pendidikan, lalu bersama-sama duduk melingkar
di teras rumah yang dia tempati sendiri, warisan dari orang tuanya. Salah satu
dari anak-anak tersebut akan berebut untuk memulai membuka suara, menceritakan
apa yang telah mereka baca dari buku-buku pinjaman darinya, yang dia koleksi
semasa kuliah.
Setiap
sore seperti biasa selepas shalat ashar dari surau kecil di sekitar rumahnya,
anak-anak pun sudah mulai berkumpul di halaman rumahnya. Dia pun disalami satu
per satu oleh anak-anak tadi sembari diarahkan menuju teras rumah dan meminta
beberapa orang dari mereka untuk menyapu teras tersebut. Setelah berganti
pakaian, dia pun keluar membawa dua kardus besar berisi buku-buku dengan
cetakan kertas buram, sementara anak-anak yang lain mulai juga mengeluarkan
buku yang mereka bawa, ada yang mengeluarkan dari tas, kantong plastik, ataupun
tas rajutan dari tikar pandan, bahkan yang menyelipkannya di belakang
punggungnya.
Buku-buku
yang dibawa anak-anak itu pun pinjaman darinya. Mereka diminta menyelesaikan
untuk membaca buku tersebut, nantinya itulah yang akan diceritakan pada
lingkaran sore, atau terkadang diminta untuk menuliskannya dalam selembar
kertas tulisan tangan. Namun sore itu bukan anak-anak itu yang bercerita, dia
yang menunjukkan satu persatu buku-buku dari kardus tersebut sembari
menceritakan sekilas isinya, lalu menawarkan atau terkadang dia menunjuk siapa
yang selanjutnya yang akan menjadi empu buku tersebut untuk diselesaikan selama
beberapa hari. Beberapa tampak antusias agar mendapat buku tersebut dibaca
selanjutnya, ada juga raut kecewa ternyata bukan salah satunya yang dapat. Anak-anak
kampung yang jauh dari riuhnya media sosial ataupun peralatan elektronik
lainnya, namun televisi tetap menjadi bagian dari malam mereka.
Halaman
rumah itu cukup luas untuk bermain, dan selalu diramaikan oleh anak-anak
kampungnya setiap sore, meski terkadang dia pun telat pulang. Anak-anak itu pun
sebenarnya mempunyai kegiatan yang cukup padat, sepulang sekolah ada yang
mencari rumput untuk pakan kambing atau sapi peliharaan orang tua mereka, ada
yang membantu mengantarkan makanan ke sawah, atau membantu 'muro', menghalau burung-burung yang mendatangi padi-padi yang
hampir menguning. Ada pula yang bergelut dengan cekatannya membelah batu apung
di lokasi pelebaran lahan yang tidak mereka tahu peruntukannya, yang jelas
orang tua mereka berada di sana mengumpulkan batu apung. Ada juga anak-anak itu
yang bergelut dengan cetakan bata dari tanah liat, orang tua mereka melakoni
sebagai buruh pembuatan bata, ataupun yang berendam di sungai lalu mengangkut
pasir untuk dikumpulkan di pinggir, sembari menunggu peruntungan kiranya hari
itu pasir mereka yang diangkut oleh truk-truk yang datang.
Keceriaan
dirinya meskipun anak-anak itu dengan kesibukan mereka sepulang sekolah, namun
masih tetap menyempatkan untuk datang sore hari ke rumahnya. Itulah yang
menjadi semangatnya untuk terus berbagi bersama anak-anak itu. Awalnya hanya
anak-anak tetangga sekitar rumahnya yang diajak, lalu anak-anak itu pun saling
mengajak ketika mereka berada di sekolah dengan diperlihatkan buku-buku yang
mereka dipinjamkan dari rumahnya. Kecerian anak-anak itu pun tetap tergambar
dengan terkadang diceritakan cerita lucu atau pun dengan tingkah dari mereka
yang membuat terbahak.
*****
Awalnya
dia pun kebingungan menjelang kelulusannya untuk jenjang pendidikan tinggi yang
kedua kalinya. Akhirnya dengan mantap memutuskan untuk pulang kampung mengurus
rumah dan beberapa petak lahan sepeninggal mendiang orang tuanya. Secara tak
sengaja melihat anak-anak kampungnya setiap sore banyak yang bermain di dekat
rumahnya, muncul inisiatif untuk mengajak mereka berkumpul di rumahnya, lalu
membagikan buku untuk dibaca di sana ataupun boleh dipinjam dengan dibatasi
hari untuk selesainya bacaan tersebut. Aktifitas sore itu pun berkembang terus
sembari bertambahnya anak-anak yang ikut bergabung. Tak jarang ia pun mulai
membeli stok permen untuk dibagikan setiap sore ketika mereka berkumpul, atau
meminta salah seorang dari mereka untuk membelikan makanan ringan di warung
seberang jalan.
Aktifitas
itu pun terus berjalan lebih dari empat bulan lamanya. Tiba-tiba suatu sore
salah seorang lelaki dengan penampilan rapi dan mengendarai mobil putih
berkunjung ke rumah tersebut. Dia pun menyambut tamunya, dipersilahkan duduk di
dalam rumah beralaskan tikar pandan, sementara anak-anak kampung tetap
melingkar melanjutkan mendengarkan salah seorang bercerita di antara mereka.
"Kiranya
apa yang membuat pelungguh berkenan
untuk meluangkan waktu berkunjung ke sini?". dia membuka percakapan
setelah kembali dari dapur untuk menjerang air panas.
"Owh
iya mohon maaf sebelumnya, tyang Hamid
dari Universitas Hijir, kebetulan sempat mendengar kabar dari kepala desa
tentang aktifitas ananda di kampung ini"
"owh
nggih". dia masih tetap menahan
diri menunggu penjelasan selanjutnya dari tamunya.
"Dengar-dengar
ananda baru menyelesaikan pendidikan tinggi untuk kedua kalinya, dan belum ada
tempat untuk mengabdi kan?".
"Kalau
secara formal memang belum ada ini Miq
(Mamiq), tapi pengabdian menurut tyang ya di sini bersama anak-anak pada
sore hari". Ucapannya sambil menghela nafas tanpa keraguan.
"Kalau
begitu kami meminta ananda untuk ikut bergabung menjadi tenaga pengajar di
kampus, dari pada ilmunya tidak diaplikasikan kan sayang"
Dia
mengerutkan kening, seolah tampak berpikir dengan tawaran tersebut, padahal
sejak kepulangannya dia berpikir keras untuk mencari basecamp tempat mengajar dengan mengandalkan ijazah pendidikan
tingginya yang kedua kali.
"Atau
ananda butuh waktu dulu untuk memikirkannya sebelum benar-benar menerima
tawaran ini". Ucapan tamunya menyadarkannya pada air jerangan di dapur
yang sepertinya sudah mendidih dari tadi. Dia pun meminta izin ke belakang,
lalu kembali dengan dua gelas kopi hitam pada nampan yang dibawa.
" Tyang sebenarnya butuh juga tempat
mengabdi, itu juga yang tyang
bingungkan sekembali ke sini. dan alhamdulillah tawaran pelungguh layaknya
semacam jawaban atas doa-doa tyang.
akan tetapi tyang juga butuh
penyesuaian sebelum masuk ke kampus, mengingat kegiatan tyang mengurus sawah dan anak-anak yang sedang semangat belajar ini
supaya tidak terbengkalai. Jadi kiranya tyang
butuh waktu untuk memutuskan boleh kah miq?".
"Owh
iya, silahkan, bagus juga untuk dipikirkan baik-baik sebelum ananda benar-benar
turun bergelut di dunia kampus".
"owh
iya, silahkan sambilan diminum pak". Sementara itu suara anak-anak di
teras masih terdengar lantang dan sesekali riuh tawa mengiringi.
"Jika
sudah mantap dengan putusannya, silahkan datang ke kampus atau hubungi tyang di sana nanti ya". Dia pun
menyanggupi, sementara pembicaraan berlanjut terkait pendidikannya dulu,
kehidupan di kampung saat ini, bahkan sampai tawaran jodoh yang pak Hamid siap
mencarikan jika dia siap, mengingat banyak pula mahasiswi yang akan lulus dan
mulai cemas ke depannya setelah keluar dari kampus.
Dia pun
mengiyakan untuk sesegera mungkin mengabarkan atau datang langsung ke kampus
menemui pak Hamid. Sepeninggal pak Hamid, anak-anak masih riuh saling bertanya
teka-teki dan menunggu dia keluar sebelum semuanya bubar. Jingga merah di sore
itu mengisyaratkan sebentar lagi gelap datang. Dia pun menemui anak-anak itu di
teras rumah dan meminta mereka untuk lebih awal berkumpul esok hari. Barulah
anak-anak itu pun bubar kembali ke rumah masing-masih, sembari sebelumnya
bersalaman kepadanya.
Keesokan
sorenya anak-anak itu pun sudah berkumpul kembali, mengabarkan kepada mereka
bahwa dia akan menjadi pengajar di salah satu kampus swasta di sana. Dan untuk
kegiatan sore mereka di rumah itu diharapkan tetap berjalan, meski dia juga
belum tahu jadwal mengajarnya seperti apa nantinya. Lalu dia pun meminta
beberapa orang dari mereka agar bersedia menjadi koordinator untuk pengumpulan
buku maupun peminjamannya.
Anak-anak
kampung itu pun tampak kebingungan, belum ada yang mengangkat tangan bersedia.
Dia pun menunjuk beberapa orang yang secara usia lebih besar dari yang lainnya,
sementara anak-anak yang lain pun menyetujui. Dia memberikan kunci kamar depan
tempat beberapa kardus buku tersimpan kepada salah seorang koordinator yang
bersedia menjadi mediator ketika peminjaman maupun pengumpulan kembali
buku-buku tersebut.
Dua hari
berselang setelah kunjungan itu dia pun berangkat ke kampus dengan membawa
beberapa berkas penting untuk menemui pak Hamid. Sesampainya di kampus ternyata
pak Hamid memang sudah menunggu kedatangannya.
"Bagaimana
ananda keputusannya?"
"tyang terima miq, makanya ini sekalian tyang
bawa berkas kelengkapan untuk pembuatan SK-nya". Pak Hamid pun menerima
berkas itu lalu dimasukkan ke salah satu map, dan mengajaknya menemui pimpinan
kampus agar cepat diproses dan selekasnya diberikan jadwal mengajar.
Dia
terlihat polos, dan hanya mengikuti instruksi pak Hamid. Setelah beberapa jam
tatap muka dengan pimpinan kampus dan ditanyakan bebepa kegiatannya saat ini,
dia pun menjawab apa adanya, dan akhirnya pimpinan kampus itu setelah berbisik
dengan orang disebelahnya memberikan putusan untuk diterimanya dia sebagai
tenaga pengajar di kampus tersebut. Jadwal pun langsung dibagikan saat itu juga
dengan dia diminta mengisi kekosongan saat salah satu pengampu mata kuliah itu sedang melanjutkan
studi ke jenjang yang lebih tinggi. Nama pengajar yang digantikan itu pun masih
bertengger di sana.
Minggu
pertama dia melakoni sebagai pengajar di dalam kelas tampak grogi, apalagi dia
langsung mendapatkan kelas berjalan pada semester 5 untuk mata kuliah yang
ditinggalkan oleh pengampunya. Namun berbekal pengalaman semasa PPL/PKL dia pun
secepatnya bisa menyesuaikan keadaan kelas. Dia pun tak merasa lebih dari pada
mahasiswanya sehingga diskusi di dalam kelas lebih diutamakan. Tugas baru
sebagai pengajar bukan hanya sekedar masuk kelas, akan tetapi kompetensi
keilmuan yang kontekstual mesti terus diasah dengan banyak bacaan lagi. Kompetensi
mengajar pun bukan hanya sebatas dia menyampaikan di kelas, akan tetapi kelas
intersubjektif yang dia harapkan bisa terlaksana dengan masing-masing siswa
mengungkapkan hal baru terkait mata kuliah semester tersebut.
Sepeninggal
kesibukannya memasuki kelas, kegiatan sore di teras rumahnya masih tetap
berjalan, karena terkadang jadwalnya
tidak sampai sore. Bahkan terkadang sehari hanya mengisi satu kelas di pagi
hari. Namun beberapa anak mulai tidak bisa hadir dengan dalih ada kesibukan
tambahan yang diminta oleh orang tua mereka.
Hingga
suatu siang ketika dia sedang berjalan ke warung untuk membeli sesuatu, dan
kebetulan tidak ada jadwal mengajar, dia mendengar percakapan di antara ibu-ibu
di warung terkait anak salah seorang tetangga mereka yang orang tuanya
kebingungan mencarikan biaya kuliah yang mesti dibayarkan dengan tenggang waktu
yang mepet sekali. Sempat dia mendengar nominal yang disebutkan oleh salah
seorang dari ibu-ibu tersebut, terdengar cukup besar untuk ukuran biaya di
institusi swasta.
"Bagaimana
tidak dada ibu Nawar akan berdegup kencang mendengar biaya yang akan
dikeluarkan anaknya, sementara penghasilan dari sawah atau menjual kambing pun
tidak menentu". Ucap salah seorang ibu di warung tersebut.
"Makanya
lebih murah kampus negeri, walaupun biaya kos juga yang dibayar kan tidak
sampai semahal itu". timpal yang lain.
Dia pun
terpikir juga melihat kondisi mahasiswa yang setiap menghadiri kelasnya hanya
berbekal buku catatan layaknya catatan anak SMA. Beberapa kali dia membawa buku
referensi yang kadang beberapa bab di dalamnya diminta salah seorang untuk
menggandakannya. Terkadang tidak semua mahasiswa mengikuti anjurannya untuk
membaca copy-an dari bab tersebut,
namun dia tetap membiarkan saja dan tidak terlalu memaksa peserta didiknya.
Hampir
dua bulan dia melakoni sebagai pengajar di institusi tersebut, keluhan dari
wali mahasiswa semakin banyak pula yang masuk ke telinga, terkait biaya kuliah,
ongkos ke kampus, bahkan sampai biaya tugas-tugas yang mesti dijilid baru
diperiksa oleh pengajar. Sementara dia mencoba menyajikan sesuatu yang berbeda,
baik terkait pembelajaran di kelas maupun pemberian tugas ke mahasiswanya.
Beberapa kali dia yang menggandakan lebih dulu bab yang ada dalam referensi
bacaannya dan dibagikan kepada mahasiswanya untuk bersama dibaca, lalu itu yang
menjadi bahan diskusi selama pertemuan hari itu. Begitu pula dengan tugas
tengah semester, dia hanya meminta mahasiswa menulis dalam selembar terkait
beberapa tema yang diminta untuk dipilih.
Menjelang
akhir semester barulah dia memberanikan diri untuk menanyakan terkait biaya
yang dikeluarkan mahasiswa di institusi tersebut. Rincian biaya menjelang
semester baru tiap angkatan teryata berbeda, dan angkatan baru tentunya yang
lebih mahal. Dia pun tercengang, institusi swasta yang berbasis rakyat malah
lebih elit dari segi biayanya. Biayanya hampir mendekati biaya pendidikan
tingginya yang kedua kali, yang syukurnya kata orang-orang di kampungnya
dibiayai dengan "kepeng datu" (uang raja/penguasa).
Sementara jenjang pendidikan tinggi pertama yang dijalaninya empat tahun lalu
di institusi negeri tidak sampai sekitar 1 kali biaya kos-kosannya perbulan.
Wajar
saja dengan biaya setinggi itu wali mahasiswa kebingungan mencari biaya
pendidikan anak-anak mereka. Padahal diakui biaya awal yang dulu tertera di
brosur tidak sampai semahal itu, lalu di tengah jalan dengan dalih sumbangan
pembangunan biaya ini itu-nya mulai bermunculan. Biaya kampus berbasis rakyat
sebanyak itu seharusnya dibarengi juga dengan fasilitas yang memadai dan tenaga
pengajar yang benar-benar peduli. Namun yang terjadi terkadang banyak pula
keluhan dari mahasiswa terkait beberapa pengajar yang lebih senang memberikan
tugas kepada mahasiswa, lalu itu menjadi acuan penilaian di akhir semester.
Dan
akhir semester itu pun dia bersiap untuk menggali lebih jauh terkait
keluhan-keluhan dari wali mahasiswa atas mahalnya biaya-biaya di institusi
tersebut. Sayangnya dia tidak dapat berbuat banyak, hanya sekedar tahu, pun
keluhan itu hanyalah celotehan di warung-warung di kampungnya yang kesusahan
dari wali mahasiswa menjadi tanggung jawab sendiri yang harus diselesaikan.
Jika tidak, bayangan putus tengah jalan dengan biaya sekian banyak yang telah
dikeluarkan akan menjadi kesia-siaan.
Lalu dia
teringat anak-anak kampung yang sudah sekian minggu tak lagi menapakkan kaki di
teras rumahnya sore hari. Sekian bulan dia menjadi pengajar di institusi
berbasis rakyat tersebut, justru membuat terbengkalai kegiatan sore di teras
rumahnya. Buku-buku koleksinya entah ke mana, sementara 2 kardus di kamar depan
tampak berdebu karena jarang dibuka. Riuhnya anak-anak membayang di teras itu,
namun nyatanya hanya riuh angin yang menggoyang daun-daun jambu di sana, dan
satu per satu mulai jatuh.
Institusi
berbasis rakyat yang telah mengakuinya sebagai pengajar, di baliknya ada derita
dan beragam keluhan dari penyandang dana swadaya, wali mahasiswa, yang petani,
tukang ojek, bahkan beberapa juga sebagai pekerja serabutan. Akan tetapi
pendidikan untuk anak-anak mereka yang diidamkan ternyata menguras tenaga
mereka untuk mendapatkan biaya. Maka sangat disayangkan olehnya ketika
mahasiswanya banyak yang lebih mengutamakan gaya dari pada keilmuan yang
seharusnya menjadi tujuan utama dan niatan orang tua mereka. Tak jarang
beberapa kali dia melihat mahasiswanya lebih banyak menghabiskan waktu dengan
duduk berlama-lama di cafe-cafe bernuansa elitis, dari pada berkumpul sesama
mahasiswa dengan berdiskusi di kampus, atau pun kantin-kanntin sederhana di
sekitar kampus. Jika saja para mahasiswa yang menjadi peserta didiknya mau
menyadari dan sedikit tergetuk hatinya untuk mengutamakan pendidikan mereka,
maka terbayarlah kemahalan itu dengan kepuasan untuk memenuhi kebutuhan ilmu
yang diharapkan.
Sayangnya
kiranya dia hanya sendirian, terpekur memikirkan itu. Seolah diamnya adalah
pengkhianatan turutnya melegitimasi atas ketimpangan dalam pendidikan yang dia
menjadi bagian dari institusi itu. Tak ada riuh mahasiswa menuntut tingginya biaya
tersebut, sementara yang pernah dia saksikan enam tahun lalu, ketika biaya naik
50 ribu saja untuk angkatan yang baru masuk, kawan-kawannya sudah ramai dengan
spanduk meramaikan halaman rektorat, menuntut untuk institusi tidak lagi
menaikkan biaya, dan penekanan melalui orasi itu pun tak jarang membuahkan
hasil dengan ketetapan biaya yang merata setiap angkatan.
Sementara
di institusi dengan basis rakyat tersebut, seolah semua mengamini saja tatkala
biaya setinggi yang dipatok hanya akan menadah ke wali mereka untuk dibayarkan.
Miris hatinya menyaksikan itu, dan diam seharusnya bukan satu-satunya jalan
untuk memikirkan ke depannya institusi itu jika ingin masih tetap berdiri dan
mendapatkan mahasiswa.
Lalu
bayangan anak-anak di teras rumahnya kembali menyeruak, datang kebanyakan tanpa
alas kaki dan baju lusuh mereka, membayang di depan matanya jika ke depannya
untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi harus membayar sedemikian mahal.
Sementara untuk makan sehari-hari saja dia pun menyaksikan tetangga-tetangganya
saling pinjam beras atau menukar dengan sayur-sayuran yang mereka dapat ketika
melakoni buruh tani dengan sepiring nasi dan semangkuk sayuran yang ditukarkan.
Hatinya berontak,
tak semestinya institusi yang menjadi basis untuk mencerdaskan anak bangsa
malah menjadikan peserta didiknya sebagai ‘sapi
perah’ untuk menghidupi gaya hidup
petinggi-petinggi maupun orang-orang yang (merasa) besar sebagai pengelola.
Celotehan ibu-ibu di warung tetangga tentang mahalnya biaya pendidikan di
institusi tempatnya mengajar bukan lagi menjadi rahasia umum. Karena itu dia
seolah merasa ikut menjadi bagian dari yang mengambil susu perahan dari
intitusi tersebut, padahal yang sebenarnya dia dapatkan kurang dari harga 50 kg
beras, yang amplopnya pun masih tergeletak di mejanya bersama tumpukan lembaran
tugas-tugas peserta didiknya.
Apalah
mau dikata, mundur untuk mengutuk itu, pun keadaan sudah berubah, anak-anak di
kampungnya entah ke mana pada sore harinya. Hanya sesekali berpapasan ketika
pagi mereka berangkat ke sekolah. Sementara institusi tempatnya mengajar malah
memberikannya jadwal lebih banyak lagi. Hingga persis tak ada lagi waktu
sekiranya untuk mengembalikan anak-anak di kampungnya untuk menapakkan kaki di
teras rumahnya sore hari.
*****
Selang
beberapa bulan pada semester baru, dia hanya terpekur memandangi hamparan tanah
yang kosong sepeninggal orang tuanya. Terbersit dalam bathinnya untuk
mengaktifkan kembali hamparan tanah kosong itu dengan hijaunya tumbuh-tumbuhan
yang akan muncul dari sana. Niat itu pun tak cukup lama dia pikirkan, lalu
meminta salah seorang tetangga yang biasanya mencangkul untuk membuat petak
sawah membantunya. Membersihkan rumput yang tumbuh sudah mulai meninggi, saran
penggunaan pestisida untuk mematikan rumput ditolaknya secara halus dengan
menjelaskan secara sederhana bahaya penggunaan pestisida bagi tanah untuk ke
depannya.
Dua
bulan berlalu, peserta didiknya mulai kebingungan ketika beberapa kali
pertemuan tidak dia isi. Hingga suatu sore yang teduh saat dia menyiangi rumput
di sela-sela tanaman jagungnya, beberapa peserta didiknya menemukan gubuknya,
lalu dipersilahkan memasuki teras rumahnya sembari dia mengehentikan
aktifitasnya dan bergegas mencuci tangan. Tujuan peserta didiknya datang menjenguknya
mengira dia sakit.
Dia pun
tergagap, alasan apa yang akan diutarakan kepada mereka. Setelah berpikir
panjang, dia pun mengutarakan yang sebenarnya, bahwa dia telah mengundurkan
diri secara lisan dari institusi itu, namun belum sempat untuk mengantarkan
secara tertulisnya atas hal itu. Para peserta didiknya yang datang berkunjung
itu mengira bahwa dia tidak mendapatkan penghasilan yang baik dari mengajar.
Lalu dengan tegas dia pun sampaikan alasan yang sebenarnya bahwa hatinya
berontak ketika mengetahui mahalnya biaya-biaya yang mereka keluarkan hanya
untuk pendidikan semacam itu. Lalu dia pun menawarkan kepada mereka bahwa dia
akan sangat senang jika mereka berkenan sekali waktu untuk datang berdiskusi ke
gubuknya.
Apa yang
diungkapkan justru menjadi tanda tanya besar bagi mantan peserta didiknya yang
datang berkunjung sore itu. Seharusnya lah mereka mulai belajar untuk peka
dengan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Sayangnya dia hanya sendirian
memikirkan itu, pun keadaan sudah berubah, anak-anak di kampungnya tidak lagi menapakkan
kaki di teras rumahnya sore hari, dia pun sudah tak lagi mengenakan pakaian
rapi menuju ke institusi berbasis rakyat dengan harga elit tersebut. Dia kini
bergelut dengan tanah, sementara harapannya masih ada, dengan ajakannya kepada
mantan peserta didiknya untuk datang berkunjung dan berbagi pengetahuan jika
mereka berkenan. Dan semoga anak-anak kampungnya juga masih ada yang berniat
kembali menapakkan kaki di teras rumahnya sore hari.
Seiring
sore mendekati senja, dia pun mengantar tamu-tamunya yang juga mantan peserta
didiknya sampai ke pinggiran jalan yang masing-masing berboncengan. Sayup-sayup
terdengar alunan lagu dari Tape tetangga.
"Yang jelas rakyat butuh
pendidikan, tapi pendidikan yang didapat, adalah rongsokan". Lagu iwan fals itu pun mengiringi
tamu-tamunya yang dia pandangi sampai tak terlihat lagi di turunan yang semakin
menjauh dari rumahnya. Hijaunya tanaman di tanah yang dia usahakan untuk
aktifkan kembali memberikan ketenangan yang selama ini justru kebanyakan
gejolak yang mengisi. Hingga azan makin jelas terdengar, lalu jingga awan di
atas kampung tersebut mengisyaratkan ketenangan yang selama ini entah ke mana,
seolah kembali ke peraduannya, di sana, pada hati yang selalu gundah dengan
ketimpangan-ketimpangan yang tak semestinya dia temui. (Lengkok, 23-02-18)
*Mahasiswa
Pascasarjana Departemen Media & Cultural Studies UGM.