KOREKSI KE-PLIN-PLANAN PENGUASA
DALAM PERSEPSI RAKYAT KECIL TERHADAP KENAIKAN HARGA BBM.
Dalam kurun waktu mendekati 70
tahun Indonesia merdeka masalah BBM selalu menjadi trending topic yang
selalu hangat menjadi headline di tiap media baik lokal maupun nasional. entah
itu ketika dinaikkan maupun penurunan harga. selama masa pemerintahan 6
presiden terdahulu, bisa dikatakan masa pemerintahan presiden saat inilah yang
paling fenomenal dalam masalah perubahan harga BBM. kurang dari 3 bulan harga
BBM telah mengalami perubahan selama 4 kali, kalau dulu masa pemerintahan SBY
(priode kedua) perubahan harga terjadi selama 2 kali dan itupun dalam jarak
waktu yang cukup lama, dan ketika akan berakhir masa jabatan, beliau hendak
menaikkan kembali harga namun dapat digagalkan dengan aksi besar-besaran dari
semua kalangan untuk menolak kenaikan harga. Namun pada masa awal pemerintahan
Jokowi-JK kenaikan melaju dengan kencangnya dari 6500 menjadi 8500, aksi
besar-besaran tak mempunyai efek untuk menolak kenaikan harga tersebut. setelah
rakyat cukup redam dengan kenaikan drastis tersebut sang penguasa kembali
mencuatkan sensasi dengan menurunkan harga dari 8500 menjadi Rp. 7500 lalu
menurun lagi pada harga Rp. 6.600 itupun kurang dari tenggang waktu 2 bulan,
namun penurunan harga tak cukup mampu menahan laju bahan pokok yang sudah
terlanjur melejit dengan kenaikan pertama.
Selanjutnya menyusul peringatan
serangan umum 1 Maret, operasi senyap kenaikan harga BBM kembali digulirkan
dari 6600 menjadi 6800, namun tak banyak warga yang antusias ataupun heboh
menggunjingkan kenaikan tersebut karena yang menjadi patokan mereka harga-harga
telah terlanjur naik dan harga BBM ecer mengalami ketetapan harga pada Rp. 8.000.
di tengah gonjang-ganjingnya aksi menuntut janji penguasa untuk kesejahteraan
rakyat dan kenaikan BBM tepat sasaran, penutupan Maret 2015 sensasional
kenaikan harga BBM kembali menguak, tepat pada tanggal 28 Maret pukul 00.00 Wib
BBM diputuskan mengalami kenaikan harga sebesar Rp. 500, premium dari Rp. 6.800
menjadi Rp. 7.300 dan solar dari Rp. 6.400 menjadi Rp. 6.900, dalam waktu 1
bulan harga BBM mengalami 2 kali kenaikan harga, diawali dengan kenaikan dan
diakhiri dengan kenaikan pula (Maret perubahan). Tetapi tak banyak media yang
menggunjingkannya mungkin karena sudah bosan dengan ke-plin-plan-an penguasa
terhadap harga BBM yang telah beberapa kali mengalami perubahan. begitu juga
dengan rakyat, semakin kebingungan dengan ketidak teguh pendirian penguasa
terkait harga BBM yang berdampak besar pada kenaikan harga-harga bahan pokok
yang tidak terkontrol.
Sebelum kenaikan harga
diputuskan, isu tentang kenaikan harga
telah diketahui oleh massa, lalu disusul dengan aksi besar-besaran dengan tajuk
memulangkan Jokowi ke solo, di jawa timur aksi mahasiswa mengusung tema raport
merah untuk Jokowi-JK, namun sayangnya seperti tag-tag yang disebar netizen di wall facebook maupun twitter,
aksi-aksi tersebut luput dari liputan media-media nasional atau mungkin karena
keberpihakan media terhadap kebijakan-kebijakan penguasa namun dirasakan
menyengsarakan rakyat, lalu massa pun menyebarkan aksi dan gerak tersebut
melalui media populer dan yang pasti gratis seperti facebook, twitter maupun
forum-forum diskusi tulis menulis yang tersebar di internet.
Masa kampanye semua media heboh
memberitakan sang calon presiden, namun ketika kebijakan yang diambil cukup
kontroversial bagi rakyat, media seakan bungkam untuk menyuarakannya, bahkan
aksi-aksi massa maupun mahasiswa yang berjuang atas nama rakyatpun seolah bukan
lagi hal menarik untuk dijadikan tema berita mereka.
Memang lumrahnya setiap ada
kebijakan yang digulirkan penguasa pasti menuai kritik dari rakyat, ada yang
mengutuk namun tidak sedikit juga yang memikirkan pertimbangan atas kebijakan
tersebut. seperti halnya BBM ini, bagi rakyat kecil yang tak mengerti masalah
politik, masalah kenaikan minyak dunia, masalah penukaran kurs dolar yang
semakin anjlok kenaikan harga BBM yang cukup signifikan pasti memunculkan kata-kata
pedas bahkan umpatan terhadap sang penguasa yang secara tidak langsung
berdampak pada psikologi mereka yang selalu berfikir bahwa kesejahteraan itu
seolah-olah selalu bersumber dari penguasa, maka ketika ada kebijakan yang
diambil sang penguasa yang sekiranya memiliki dampak dengan menurunnya
kesejahteraan rakyat, maka rakyatpun akan berang, berpikir penguasa semakin
membuat rakyat sengsara, hal seperti ini memang sepenuhnya tidak salah karena
tugas utama penyelenggara negara seperti ungkapan janji-janji penguasa sebelum
terpilih pasti mengusung program kesejahteraan rakyat, akan tetapi
kesejahteraan itupun masih memiliki kekaburan makna yang cukup tinggi, begitu
juga rakyat yang mana fokus kesejahteraan tersebut masih belum jelas. oleh
karena itu ketika pemutusan sautu kebijakan publik dari sang penguasa hendaknya
memang benar-benar memiliki dampak atas peningkatan kesejahteraan rakyat bukan
sebaliknya.
Lalu bagi rakyat yang cukup
berpengetahuan, masalah kenaikan harga BBM setidaknya mereka telah membaca
situasi tentang kenaikan harga tersebut, misalnya tentang minyak dunia yang
kembali tinggi, penukaran dolar terhadap rupiah yang semakin anjlok dan salah
satu antisipasi untuk mengoptimalkan keadaan yaitu dengan menaikkan harga BBM, namun ketika kebijakan tersebut memang
benar-benar berdampak besar terhadap penurunan kesejahteraan rakyat, maka tidak
jarang juga mereka mencemooh terhadap kebijakan yang diambil penguasa tersebut,
walaupun dampak terhadap kebijakan tersebut masih belum bisa diprediksi terjadi
atau tidaknya, bahkan tidak menutup kemungkinan jika keadaan semakin memburuk,
maka kenaikan-kenaikan harga BBM maupun bahan pokok akan kembali terjadi, hal
seperti inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan bagi pembuat kebijakan
sehingga tidak ada lagi kata-kata pedas, umpatan kasar terhadap penguasa.
Dampak yang cukup besar dialami
rakyat ketika terjadi kenaikan-kenaikan harga seperti ini yaitu dampak
psikologis, kita merasakan semua serba sulit, semua serba uang disebabkan
perilaku konsumtif dan selalu mencari yang siap saji, namun ini tidak
sepenuhnya salah karena sektor-sektor produksi yang seharusnya mensejahterakan
rakyat malah terlebih dahulu menjadi lahan investasi bagi pihak asing maupun
orang-orang ber-uang. sementara rakyat-rakyat kecil hanyalah sebagai kuli dan
tenaga harian lepas yang ketika proyek selesai mereka kehilangan pekerjaan
kemudian kebingungan mencari penghidupan, ujung-ujungnya merantau ke luar
negeri. Disusul lagi tingginya jumlah pengangguran disebabkan lapangan kerja
yang tak banyak, lalu solusinya kita dengan mudah berkata kreatif menciptakan
lapangan pekerjaan sendiri atau enterpreneurship,
namun itu tidak semudah kita beretorika, tanpa modal dan skill yang cukup
semuanya hanya bisa jadi angan-angan apalagi tidak didukung dengan kerja tim
ataupun dukungan pihak lain yang cukup berpengaruh terhadap kelangsungan dari
apa yang kita gagas. Setidaknya kita masih memiliki semangat pengabdian, lalu
berharap dengan pengabdian tersebut dilirik oleh pihak yang berkuasa dan
diberikan bantuan ataupun donasi secara masif terhadap pengabdian kita seperti
yang kita sering nikmati pada acara-acara televisi.
Kenaikan harga-harga bahan pokok
maupun yang lainnya selalu berpatokan pada harga BBM, ini disebabkan tidak
adanya regulasi penetapan harga dari pemerintah yang mengatur sistem
perdagangan sehingga pedagang dengan semena-mena membuat harga dengan dalih BBM
naik, di sinilah letak persaingan antar pengusaha dengan produk yang sama dan
rakyat sebagai konsumen pasti memilih yang lebih murah walaupun tingkat
perbedaannya sangat kecil. tingkat kenaikan harga juga bergantung pada
produksi, namun ketika produksi melimpah, dengan harga yang sudah tinggi dan
menguntungkan, pedagang enggan menurunkan harga, inilah yang seharusnya menjadi
pegawasan pemerintah terhadap penetapan harga. atau juga ketika bahan inpor
yang menjadi kebutuhan mengalami kekurangan stok disebabkan distribusi yang
kurang, pedagang semena-mena menaikkan harga, yang diketahui akan tetap dibeli
melihat itu sebagai suatu kebutuhan, seperti semen, pupuk dan lain-lain.
Idealnya sebuah kebijakan publik
hendaknya memang benar-benar berafiliasi untuk kesejahteraan rakyat walaupun
itu membuat bingung, geram, kesal, entah itu dengan menaikkan harga BBM atau
menurunkannya (yang pasti penurunan selalu membuat bahagia dari pada kenaikan)
akan tetapi ketika dampak dari kebijakan tersebut telah dirasakan manfaatnya
oleh rakyat, pasti yang awalnya mengutuk kebijakan tersebut perlahan akan
menutup muka sendiri karena malu atas apa yang mereka kutuk, akan tetapi ketika
kebijakan semena-mena yang diambil semakin membuat rakyat sengsara dan susah,
maka umpatan pedas maupun aksi demo besar-besaran memang layak digulirkan untuk
mengingatkan janji-janji dan omong kosong belaka sang penguasa sebelum
terpilih. untuk itu sebelum mengutuk kebijakan pemerintah atas apa yang telah
diputuskan seyogyanya rakyat memikirkan terlebih dahulu kelanjutan atas
kebijakan tersebut dengan melihat masa percobaan berlakunya kebijakan.
penilaian memang ada di tangan rakyat karena konsepsi demokrasi memang seperti
itu, namun seiring berjalannya roda pemerintahan demokrasi yang
digaung-gaungkan belum pernah dipahami secara universal oleh kita (khususnya
kami rakyat kecil).
Jadi, inti dari pemutusan suatu
kebijakan dari pemerintah pada dasarnya memang bertujuan untuk suatu perubahan,
berangkat dari harapan baik itulah kita sebagai rakyat dituntut untuk jeli
menilai dan mengawasi kebijakan tersebut serta dampaknya terhadap
keberlangsungan dan kemajuan negara, bukan hanya langsung mengutuk, mengumpat,
karena memang semua orang bisa mengkritik namun kritik yang membangun itulah
yang menjadi prioritas kita bersama. akan tetapi jika dampak dari suatu
kebijakan yang diambil tersebut jelas nampak terhadap minimnya kesejahteraan rakyat,
maka i'tikad baik kita sebagai warga negara yang cinta tanah air, cinta
perdamaian tidak seharusnya tercoreng dengan melakukan aksi-aksi yang tidak
seharusnya demi menuntut hak rakyat. kesantunan dalam menuntut hak rakyat
seyogyanya kita prioritaskan. ketika hal-hal baik seperti itu tidak menuai
hasil, apa boleh buat, rakyat sebagai inti komponen dari suatu negara dan dasar
dalam demokrasi, tidak seharusnya menutup mata dan acuh terhadap
ketimpangan-ketimpangan tersebut.
Lalu terkait ke-plin-planan penguasa
terkait perubahan harga BBM ini cukup sebagai indikator penilaian rakyat apakah
memang pemerintah tersebut benar-benar mempunyai i'tikad baik demi
kesejahteraan rakyat. mungkin saja bagi mereka pembuat kebijakan yang
notabenenya tidak ada yang miskin, harga sebesar itu pasti mampu mereka beli
bahkan untuk puluhan mobil mewah mereka, namun tidak demikian bagi rakyat
kecil. mereka tidak akan pernah tahu bagaimana membuat rakyat sejahtera kalau
mereka belum merasakan penderitaan rakyat yang belum merasakan namanya
sejahtera, para pembuat kebijakan selalu berdalih demi kebaikan rakyat, akan
tetapi mereka yang tetap dalam kondisi tetap baik tidak pernah tahu penderitaan
rakyat yang dalam kondisi tidak baik. oleh karena itu, kata demi kesejahteraan
rakyat seperti yang mereka gaungkan masih dan akan tetap menjadi tanda tanya
besar di benak rakyat, apakah kesejahteraan rakyat seperti yang mereka pikirkan
sama dengan kesejahteraan rakyat seperti yang diinginkan rakyat yang
sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar