Ilustrasi, sumber : greatfon.com |
Meja
reyot itu kini setengah miring di pojok belakang ruang tempat shalat. Beban di
atasnya berupa lembaran-lembaran yang tercecer dan buku lusush, kusam yang
hampir lepas jilidannya. Delapan kitab kuning Shahih Bukhari dengan hardcover
berwarna merah muda yang sudah tidak merah muda lagi bersusun sebagai
penyeimbang di sebelah kanan, supaya meja tersebut tidak roboh ke kiri. Lalu di
bawah meja, TV kotak berbahan triplek dan layar hitam putih yang sudah tidak
menyala lagi berada di sana. Di antara semrawutnya susunan buku-buku usang dan
lembar-lembar yang sudah tercecer tersebut, ada satu yang bersampul plastik
karet, tertulis dengan huruf arab tanpa harakat. Namun di dalamnya berisi
tulisan tangan.
Buku-buku
itulah peninggalan dari almarhum bapak, yang dulunya cukup banyak dan sekarang
hampir setengahnya entah ke mana. Akan tetapi syukurnya kali ini yang saya
temukan buku bersampul plastik karet tersebut yang berisi catatan-catatan
beliau dari semasa mengikuti pengajian-pengajian sampai ketika melanjutkan
pendidikan di IAIN Sunan ampel, seperti yang tertera pada pojok atas catatan di
salah satu lembarnya.
Masih
kuingat betul ketika belum memasuki bangku sekolah, menjelang tidur beliau
sering bercerita tentang kisah nabi-nabi, sahabat-sahabatnya, cerita tentang
asal mula kampung-kampung di sana, dan tak jarang cerita tentang kampung
tersebut yang masih diliputi tentang maling, hantu-hantu yang berkeliaran pada
malam hari atau yang disebut Tuselaq
dalam bahasa Sasak.
Waktu itu
memang masih banyak bahan bacaan yang tertata di kamar beliau. Dan saya pun
belum memahami tentang buku-buku itu, terkadang sesekali membuka lalu melihat
gambar-gambarnya. Terkadang sepulang mengajar beliau juga membawa beberapa buku
sebagai tambahan koleksi yang menghiasi meja tempat biasa beliau terpekur
selepas isya.
Menjelang
memasuki bangku sekolah untuk tahun ajaran baru, ada tradisi yang menarik di
pondok pesantren bagi santri yang akan masuk. Ungkapan idiomatik milu-milu bawang (ikut-ikutan tetapi
belum secara resmi diakui) masuk sekolah bersama salah seorang misan waktu itu
saya ikuti langsung di kelas 2. Seorang calon santri sebelum mulai ajaran tahun
baru penerimaan santri dibolehkan untuk ikut masuk percobaan di kelas 1 bersama
kawan atau sanak famili yang bisa bertanggung jawab mengawasinya selama milu-milu bawang.
Meskipun
di kelas 2 tersebut masih pelajaran dasar juga yang diberikan, akan tetapi
pertimbangan pengajar saya diminta untuk lebih baiknya ikut di kelas 1 saja.
Ternyata bukan hanya saya sebagai santri milu
bawang di kelas 1 tersebut, ada beberapa juga yang datang dari
kampung-kampung lain yang menempuh perjalanan sekitar 2 kilometer berjalan kaki
dari rumahnya di usia sekecil itu untuk mendapatkan pendidikan di Pondok Pesantren
tersebut. Sementara saya, dengan rumah hanya beberapa meter dari Ponpes, baru
kali ini mengikuti kelas sebagai santri milu
bawang, padahal ada 2 orang kakak yang lebih dahulu masuk di sana, serta
beberapa misan yang siap menjaga selama di Madrasah.
Hingga
tiba tahun ajaran baru, penerimaan santri dengan diantar langsung oleh orang
tua mereka terlihat ramai di depan ruangan yang menjadi kantor tenaga pengajar
di Ponpes. Dengan membawa beras dan 1 KG gula pasir, pendaftaran santri di
Ponpes seperti itu menjadi tradisi turun temurun seperti yang diceritakan Ibu
yang mengantarkanku waktu itu. Sebab semua kakak yang pernah mendapatkan
didikan di sana seperti itu pula model pendaftarannya. Sumbangan beras dari
pendaftaran akan diakomodasi untuk anak-anak yatim dan santri dari luar daerah
yang tinggal di Panti Asuhan. Beberapa bungkus gula pasir juga akan dibagikan
kepada tenaga pengajar untuk dibawa pulang.
Pendaftaran
tidak hanya sampai di situ, setelah penyerahan dari para orang tua, tes
selanjutnya sebelum memasuki kelas yaitu pertanyaan tentang umur, pengukuran
tinggi badan, dan tes untuk memegang telinga kiri dengan tangan kanan melewati
atas kepala apakah sampai atau tidaknya tangan ke telinga tersebut.
Sampai
saya lulus 9 tahun dari Ponpes tidak pernah mengetahui makna dari tes tersebut,
dan para orang tua juga tidak ada yang menanyakan hal tersebut, sebab yang
terpenting anak mereka mendapat pendidikan di sana dan menjadi tanggung jawab
para pendidik. Tentu saja waktu itu masih ada iuran bulanan yang dibayarkan ke
pihak madrasah yang jika dibandingkan dengan nilai uang sekarang, iuran
per-bulannya tidak cukup untuk membeli 2 gorengan tahu isi.
Dari tes
memegang telinga tersebut beberapa yang tidak sampai ditetapkan masih sebagai
santri milu bawang. Ada juga yang
bisa sampai memegang telinga akan tetapi karena pertimbangan umur masih
ditetapkan juga sebagai santri milu
bawang. Standar umur untuk masuk kelas 1 yaitu 5 sampai 7 tahun, ada juga
yang lebih dari 7 tahun. Seingatku waktu itu umurku 5 tahun, dan bisa sampai
memegang telinga juga. Santri yang ditetapkan sebagai milu bawang mengikuti saja kewenangan dari pihak sekolah, begitu
juga dengan orang tua mereka.
Menjelang
akhir catur wulan ketiga (waktu itu
masih menggunakan 4 bulan utk tiap tahap, belum tahap semesteran atau 6 bulan)
saya sudah mulai bisa mengeja huruf latin. Tulisan-tulisan dari apapun yang
bisa dieja akan kami coba. Tak jarang itu sebagai perlombaan untuk menunjukkan
siapa yang lebih mahir dalam membaca. Dan ketika sudah ngotot sama-sama merasa benar dengan cara membaca
masing-masing, barulah yang lebih senior akan memberitahu bunyi bacaan
sebenarnya. Sementara untuk huruf arab yang dibimbing intensif di Mushalla
setiap malam masih belum bisa saya kuasai, beberapa surat saja yang diminta
menghafal dengan mengikuti bacaan dari guru ngaji.
Ujian
akhir catur wulan ketiga dimulai,
ujian menghafal, berhitung, membaca, menulis dan menyanyi. Yang terakhir sempat
membuahkan beberapa tetes keringat untuk melewatinya. Sebab mengeluarkan suara
untuk menyanyi sangatlah berat. Berbeda halnya ketika menghafal, membaca atau
menjawab pertanyaan dari guru, kesemuanya bisa terlewati dengan tenang. Selesai
ujian, acara madrasah diisi dengan perlombaan-perlombaan antar kelas atau yang
belakangan terkenal dengan trend class meeting,
sementara menunggu para guru memeriksa hasil ujian dan mengisi raport.
tiba
waktunya pembagian raport dan tabungan, beberapa kawan yang lebih besar dariku
dinyatakan naik ke kelas 2, sementara saya dinyatakan tetap tinggal di kelas 1,
dengan alasan belum ada raport, padahal sudah bisa membaca, walaupun tulisan
masih perlu ketelitian untuk bisa dibaca orang lain. Hal yang paling
menyesakkan di akhir tahun itu saya alami ketika pembagian raport dan tabungan.
Beberapa dari kami hanya sebagai penonton ketika yang lain dibagikan uang
tabungan mereka.
Saya
tidak tahu kalau menabung itu akan dibagikan di akhir tahun, sementara saya di
awal masuk tidak pernah diberikan uang untuk menabung, uang belanja pun jarang.
Dengan dekatnya rumah dengan Ponpes, ketika waktu istirahat ( red. keluar main)
itulah saya manfaatkan untuk pulang meminta uang belanja atau sarapan dengan
apa yang ada di rumah.
Belakangan
saya ketahui bahwa saya tidak diperkenankan naik ke kelas 2 dengan alasan belum
lancar membaca, itu atas permintaan dari bapak untuk menetapkan saya dididik
lagi di kelas 1. Saya hanya mengikuti saja. Sementara waktu itu juga koleksi
buku yang ada di meja bapak makin bertambah sebagai bahan untuk memperlancar
kemampuan membaca. Di madrasah tiap keluar main, kami disodorkan majalah
anak-anak berjudul Asyik dengan tokoh
Utamanya Asyik si kucing, Cici si kelinci, Danil Si kuda nil dan beberapa lagi
yang mengisi cerita bergambar dalam majalah tersebut.
Bacaan
yang paling menarik dari majalah tersebut terletak pada halaman terkahir dan
sampul belakangnya. Di sana biasa dimuat cerita-cerita rakyat dari berbagai
daerah di Nusantara dengan gambar-gambar menarik yang memikat mata untuk
membacanya. Sayangnya waktu itu majalah tersebut hanya bisa dibaca di sekolah.
Dari sanalah mulai semakin gencar saya memulai untuk memperlancar membaca.
Pun
begitu dengan koleksi-koleksi bacaan bergambar yang ada di rumah mulai saya
dekati. Tak lupa bacaan paling banyak yang tersimpan di rumah yang berjudul Media Amal Bakti, berisi foto-foto orang
lalu di bawahnya tertulis kegiatan yang sedang dilakukan orang yang selalu
muncul di majalah tersebut. Belakangan saya ketahui bernama Pak Soeharto,
sebagai presiden di Indonsesia waktu itu. Tak dipungkiri ketertarikan akan
bacaan waktu itu dimulai dengan melihat gambar yang ada di dalamnya. Ini
mengakar dari kebiasaan membaca majalah Asyik
yang bergambar, bahkan buku-buku pelajaran di madrasah pun banyak yang berisi
gambar juga.
Memasuki
kelas 3 MI (Madrasah Ibtidaiyah) mulailah merengkuh koleksi-koleksi bacaan di
meja bapak, saat siang ketika permainan terhenti kala anak-anak yang lain juga
kembali ke rumah masing-masing. Atau saat sore harinya walau hanya sekilas
membaca tulisan-tulisan sebagai keterangan gambar. Masih teringat cerita
bergambar yang menjadi awal ketertarikan saya yaitu serial buku sahabat
Rasulullah yang sebelum bisa membaca sering diceritakan bapak sebelum tidur.
Lalu serial riwayat hidup 4 Imam madzhab
yang cukup terkenal dalam rujukan-rujukan Fiqh, kurang dari 1 bulan bisa
terselesaikan.
Koleksi-koleksi
buku agama juga cukup banyak, namun waktu itu masih membaca-baca sekilas
sebagai tambahan dari materi yang saya dapatkan dari madrasah. Tak dipungkiri
saat-saat sedang geliatnya mulai menyukai bacaan, Yang menjadi saingan waktu
membaca yaitu ketika mendengar ribut-ribut di siang hari kawan-kawan bermain di
halaman rumah yang waktu itu masih berjejer pohon jambu, mangga dan ada juga
kelapa gading. Tergoda untuk bergabung bermain, tak jarang sampai memudarkan
geliat-geliat untuk menekuni bacaan.
Syukurnya
juga waktu itu ada sumbangan untuk madrasah sebagai tambahan bacaan dari
pemerintah yang entah saya tidak tahu dari mana. Sebelum dihantarkan ke sekolah
karena belum ada tempat, buku-buku tersebut didiamkan dulu di rumah kepala
sekolah MTs, sekaligus sebagai Paman yang rumahnya di depan rumah saya. Di
sanalah kami sebagai pencicip awal buku-buku tersebut, dan sejenak musim-musim
permainan (entah karet gelang, kelereng atau kertas gambaran) terhenti sejenak
untuk mulai menekuni hal baru, yaitu membaca.
*****
Bangunan
Madrasah yg terdiri dari MI dan MTs yang berbentuk L dengan tanah lapang di
tengahnya sebagai tempat bermain, dan di sebagian dekat MTs ada satu bangunan
yang semula sebagai mushalla, kini dipersiapkan untuk perpusatakaan dan ruangan
kepala MTs. Buku-buku yang ada di rumah Kepala MTs kini berpindah ke Madrasah.
Semua santri bisa mengakses, namun belum bisa untuk pinjam dibawa pulang.
Setiap hari ruangan tersebut selalu penuh dan kadang harus rela mengantri untuk
meminjam buku untuk dibaca di areal sekolah, dan sebelum pulang harus
dikembalikan lagi ke perpustakaan.
Hingga
tibalah ketika saya memasuki kelas 4 MI dan bapak sudah pensiun, dana pensiun
yang didapat tiba-tiba terpikir olehnya untuk merenovasi rumah, meninggikan
temboknya, mengganti atasnya, serta beberapa pelebaran untuk dibuat ruangan
baru. Pohon-pohon di depan halaman juga ditebang. Buku-buku koleksi yang
senantiasa tertata rapi di meja beliau, entah diungsikan ke mana untuk
sementara. Persis saat itu saya tidak lagi menekuni bacaan, sibuk ikut membantu
pekerjaan rumah atau kadang pergi bermain. Begitu juga dengan perpustakaan di
madrasah, tiba-tiba untuk sementara dihentikan, dengan dalih untuk inventarisir dan pembuatan cap sebagai
perpustakaan Ponpes.
Bahan
bacaan yang terbaca berkurang drastis, bacaan buku pelajaran pun hanya sebatas
di kelas ketika kegiatan belajar mengajar. Menonton televisi mulai marak waktu
itu sebagai hiburan paling digemari. Bahkan tak jarang rela membayar ketika
menonton di TV tetangga. Buku kini mulai asing sebagai hiburan. Bahkan
berkembang menjadi tradisi lisan saling menceritakan atau berkomentar tentang
acara TV yang telah ditonton bersama.
Renovasi
rumah pun usai, buku-buku koleksi bapak yang masih tersisa hampir tinggal
setengahnya. Itu pun buku-buku bacaan berat dan kitab-kitab kuning yang menjadi
pusaka beliau. Setelah pensiun, tidak ada lagi tambahan buku koleksi di meja
bapak. Hanya yang tersisa saat renovasi rumah telah rampung. Beliau pun diminta
untuk mengajar di Ponpes di tingkat MI, waktu itu pun saya masih di MI kelas 5
dan sebentar lagi akan naik ke kelas 6.
Karena
kekosongan yang terjadi dalam hal bacaan, buku-buku koleksi bapak yang tersisa
itu pun mulai saya dekati. Karena jarangnya bacaan ringan kala itu, maka setiap
kawan yang punya buku cerita bagus pasti menjadi pameran menarik, dan seolah
dia yang lebih dulu membaca menjadi pembicara untuk menceritakan isi buku yang
telah dia baca, tentu saja dengan dilebih-lebihkan pula untuk menambah
penasaran agar yang lain berminat untuk membaca juga. Di sinilah peran sogokan
menggunakan sesuatu entah berupa makanan, atau barang menjadi penting agar bisa
menjadi pembaca kedua untuk meminjam buku tersebut. Akan tetapi tetap saja saya
kalah, karena yang lebih dahulu meminjam adalah misan-misan saya yang lebih
senior.
Entah
tiba-tiba juga buku-buku yang ada pada salah satu ruangan di Madrasah tersebut
kini dipindahkan ke ruangan guru MTs, dan ruangan tersebut akan dimanfaatkan
kembali sebagai mushalla, untuk Dhuha dan Zuhur-nya. Sejak MTs itulah minat
membaca mulai kembali lagi meski siang sepulang sekolah mulai ikut-ikutan
dengan kawan yang lain untuk mendapatkan tambahan belanja sebagai pekerja,
mengangkut pasir dari sungai di areal tambang pasir berjarak setengah kilo dari
rumah.
Malam
harinya seusai dari mushalla, terkadang mulai lagi membuka-buka buku koleksi
bapak. Pada waktu MTs, untuk dapat mengakses bahan bacaan yang tersimpan di
ruang guru tersebut, biasanya saya manfaatkan jadwal piket untuk membersihkan
ruang guru tersebut, lalu meminjam 1 atau 2 buku dengan judul yang paling
menarik untuk nanti saya selesaikan baca di rumah. Pengembaliannya pun ketika
sudah selesai, pagi harinya saat kawan
lain bertugas piket untuk membersihkan ruang guru, saya kembalikan lagi lalu
meminjam lagi yang lain.
Hal ini
terus berlangsung sampai kelas 3 MTs, dan saya merasa tidak ada lagi judul
menarik dari koleksi-koleksi di ruang guru tersebut. Begitu pula dengan koleksi
yang ada di meja bapak, tak ada yang bertambah. Namun untuk mengisi kekosongan
itulah, kembali lagi salah satu dari koleksi tersebut mulai kurengkuh.
*****
Berbeda
halnya ketika SMA, memasuki sekolah
negeri. Akses untuk masuk ke perpustakaannya dengan koleksi yang cukup banyak
di ruangan cukup besar tersebut cukup membahagiakan bagi saya. Meski sistem
yang diadakan di sekolah tersebut mewajibkan untuk Les tambahan sejak kelas 1.
Maka tak jarang sebutan sekolah 6 tahun di SMA tersebut mulai tersemat.
Dengan
salah seorang kawan beda kampung, namun masih dalam satu desa, mulailah kembali
kami menekuni buku sebagai pengisi waktu istirahat. Lalu menjelang bel tanda
masuk bahkan tak jarang bel sudah berbunyi, saat itulah kami manfaatkan untuk
ke kantin, karena saat itu tidak terlalu ramai, dan tidak perlu
berdesak-desakan. Sementara ketika baru mulai jam istirahat, itulah puncak
berhamburannya siswa ke kantin.
Pernah
suatu ketika karena desak-desakan di kantin itulah salah satu kawan itu dipukul
oleh kakak kelas 2 (waktu itu kami kelas 1),
dan ditantang kelahi. Sebab mereka lebih banyak, terpaksa kawan itu pun
mengalah. Lalu siang harinya, sepulang istirahat ke kos-an, dia pun
memberitahukan ke anak-anak kelas 3 yang kebetulan juga nge-kos di sana.
Keesokan harinya, satu kelas anak program Bahasa teman kos kawan tadi
ramai-ramai mendatangi ruangan kelas anak kelas 2 yang memukul kawan tersebut.
Mereka pun meminta maaf dengan dalih tidak menyangka kalau dia bukan teman
senior mereka.
Sejak
itulah kami memutuskan untuk menunggu siswa agak longgar kalau mau ke kantin, dan
waktunya ya itu, menjelang bel masuk pertanda istirahat sudah usai yang akan
dilanjutkan dengan pelajaran Ketiga. Bahkan tak jarang juga kami manfaatkan
waktu untuk ke kantin ketika pergantian jam antara pelajaran ke-1 dan Ke-2 atau
juga saat selesai shalat zuhur yang akan dilanjutkan dengan pelajaran ke-4 yang
masih tersisa setengah jam-nya lagi.
Di
perpustakaan itulah kami mulai berkenalan dengan majalah Sastra Horison, buku-buku sastra terbitan Balai
Pustaka, dan berbagai koleksi yang lain untuk memuaskan hasrat untuk membaca.
Di kelas pun cukup banyak juga yang gemar membaca buku, dari sanalah mulai
tukar-pinjam berlangsung, dengan batas tertentu yang disepakati bersama.
Karena
koleksi bacaan di rumah berupa bacaan-bacaan berat, saya tidak bisa menawarkan
apa-apa selain sebagai peminjam yang sabar untuk menunggu giliran. Akan tetapi,
Begitu diumumkan untuk pembuatan kartu perpusatakaan, kami pun bergegas untuk
mendaftar sebagai anggota.
Saat itu
kami tidak lagi harus tiap hari mengunjungi perpustakaan untuk dapat membaca.
karena kartu anggota sudah di tangan, kami pun mulai rutin meminjam buku untuk
dibaca di luar, meskipun bacanya juga masih di sekitar area perpustakaan,
semisal di terasnya, atau taman depan perpustakaan tersebut.
Ada hal
yang menarik dari sistem disiplin di sekolah tersebut yaitu ketika siswa yang
telat kalau di awal-awal masuk dulu tidak diperbolehkan masuk sekolah, gerbang
langsung ditutup, dan mereka harus membayar denda karena tidak masuk atas
keterlambatan tersebut.
Perlahan
sistem itu pun berubah, bagi yang terlambat tidak lagi disuruh pulang, akan
tetapi pada jam pelajaran pertama tidak diizinkan untuk mengikuti kelas, dan
selama jam pelajaran pertama itu berlangsung, siswa yang terlambat tersebut
disekap di perpustakaan untuk membaca buku, akan tetapi tidak diperbolehkan
membawa tas, karena ditakutkan buku-buku koleksi akan dimasukkan ke dalam
tasnya.
Sejak
mempunyai kartu perpustakaan itulah saya mulai rutin meminjam buku,
memanfaatkan fasilitas di sekolah tersebut yang bisa dikatakan sudah bayar
cukup mahal untuk SPP-nya. Ketika membawa pulang buku untuk diselesaikan baca
di rumah, kakak perempuan saya yang
sudah menikah dan tak jauh rumahnya, mulai gemar juga membaca buku-buku yang
saya pinjam. Sementara koleksi buku di rumah tetap saja tidak ada yang
bertambah, akan tetapi sesekali juga saya buka koleksi dari buku-buku yang ada
di meja bapak, yang saat itu sudah mulai jarang saya bongkar-balik karena telah
menemukan koleksi buku yang lebih menarik di sekolah.
Saat itu
yang menjadi koleksi di mejaku hanyalah buku-buku pelajaran yang diwariskan
oleh kakak-kakak misan yang sudah menamatkan MA (Madrasah Aliyah) di Pondok
Pesantren. Koleksi lainnya berupa buku-buku LKS yang kami diwajibkan untuk
membelinya dari pihak sekolah. Kini buku-buku koleksi bapak yang beliaupun
jarang menyentuhnya kini saya alihkan ke meja belajar di kamarku. Sewaktu-waktu
ketika ingin membaca tentang itu, dengan lebih mudah untuk diraih tanpa perlu
ke meja bapak.
Sayangnya
menjelang lulus dari SMA keengganan untuk menyentuh buku-buku bacaan mulai
menghampiri, ketika TV dan Handphone
mulai menyergap. Padahal sebelumnya tak jarang buku sebagai pengantar tidur dan
menelungkup sebagai penutup wajah dari cahaya lampu kamar. Maka tak heran
ketika lulus SMA koleksi buku tidak semakin bertambah dan membaca pun sudah
mulai agak berat dengan kehadiran Handphone
sebagai sarana hiburan utama.
Inilah
seperti tesisnya Marc Prensky tentang Digital
Natives dan Digital Immigrants.
Dan generasi kami sebagai Digital
Immigrants, Peralihan dari sebelumnya tidak begitu massif dengan teknologi,
kini lebih gandrung untuk memiliki alat-alat elektronik lainnya dari pada buku.
Padahal masa-masa awal untuk memasuki kampus menjadi sangat penting untuk
kembali menekuni buku bacaan secara serius.
Hingga
lulus dari jeratan kampus pun hanya beberapa koleksi yang bertambah, disebabkan
biaya hidup untuk beli buku lebih teralihkan untuk penyambung hidup. Dengan
dalih buku di perpustakaan milik pemerintah daerah masih cukup kokoh sebagai
penunjang untuk mendapatkan referensi perkuliahan. Akan tetapi terkadang juga
sebagai tambahan koleksi buku, beberapa dosen mewajibkan untuk membeli buku,
entah itu karya mereka sendiri maupun karya orang lain yang harus dibeli
melalui mereka.
Kini
setelah almarhum bapak telah tiada sejak beberapa tahun lalu, buku tersebut
semakin berkurang setelah kembali lagi renovasi rumah kedua kalinya atas
inisiatif kakak. Buku-buku tersebut bukan hanya berkurang, akan tetapi lusuh,
berdebu dan tercecer tidak menentu dan hanya diletakan di pojok belakang
ruangan kecil tempat shalat.
Buku-buku
koleksi pusaka almarhum bapak tersebut hanya menjadi tumpukan kertas yang
menjadi pengingat bahwa itu sebagai saksi perjuangan beliau melewati
pendidikan-pedidikan yang telah dijalaninya. Buku-buku itu kini hanya pajangan
bisu, tanpa ada yang pernah menyentuhnya lagi. Dan kini seolah ketika beliau
telah tiada, buku itu pun seolah-olah tak ada di sana.
(Baim Lc, Sleman 10-03-17)