Senin, 30 November 2015

Keikhlasan Rutinitas




Saat masih MTs. , malam Jumat biasanya mengaji di rumah, karena Mushalla dipakai oleh jamaah Muslimah untuk pembacaan Hizib (Hiziban). Dari kebiasaan yang sudah lazim di kampung, mengaji malam jumat diawali dengan membaca surat Ya siin, begitu juga saya yang sering improvisasi bunyi bacaan sebaik mungkin kala itu. Selesai surat Ya siin kadang saya lanjutkan dengan menghapal ayat-ayat pendek atau terkadang dicukupkan dan mulai membaca buku yang lain. Namun berbeda dengan kakak perempuan saya yang selesai membaca Ya siin dilanjutkan dengan membaca surat yang bunyi akhir tiap ayatnya seperti berirama sama. Saya hanya menyimak dan mencoba memahami maknanya sebatas Ilmu nahwu dan Bahasa Arab yang sudah saya dapatkan sejak MI.

Lalu kakak saya menjelaskan, dia membaca surat Al Kahfi setiap malam Jumat, bahwa nilai bacaan untuk satu surat tersebut Pahalanya sampai Jumat yang akan datang, itu berdasarkan Ilmu yang telah dia dapatkan dari Pengajian-pengajian Halaqah di Pondok Pesantren. Semenjak itu saya mulai tertarik membaca surat Al Kahfi setelah Ya Siin, tentu saja karena tertarik dengan besar balasan yang kita dapatkan walaupun itu hal abstrak yang kita tidak tahu sampai atau tidaknya bacaan kita. Memang,  melakukan suatu kebaikan hanya karena mengharap balasan, belakangan saya tahu bisa juga dicap bukan sebuah keikhlasan. Namun kala itu saya tertarik untuk terus menjadikan rutinitas membaca surat Al Kahfi pada malam Jumat,  saya akui sebagai ibadah untuk mengharap balasan pahala sampai satu minggu ke depan.

Jika kita berpikir kalkulasi nilai pahala, itu akan sangat membingungkan bagaimana menghitung untuk nilai bacaan sampai satu minggu ke depan. Saya pun tidak mencoba mencari jawaban bagaimana menghitung pahala satu minggu ke depan tersebut, namun tetap menjalani rutinitas untuk membaca surat tersebut tetap setiap malam jumat. Begitu juga sampai memasuki bangku kuliah, di tengah kesibukan saya sebagai mahasiswa yang tinggal di kampus dan kadang mengikuti kajian malam Jumat di beberapa Masjid, tak jarang membuat saya tidak dapat membaca surat Al Kahfi pada malamnya usai Maghrib, sebagai gantinya saya membacanya sesusai shubuh bahkan menyempatkan pada pada waktu dhuha atau sebelum khutbah di mulai ketika mengikuti shalat Jumat.

Ternyata Al Marhum bapak juga menjadikan amalan bacaan surat Al Kahfi sebagai wirid setiap malam Jumat, saya tahu itu ketika malam Jumat pada Ramadhan beberapa tahun lalu beliau terdengar melantunkan bacaannya sehabis tarawih. Setelah beberapa tahun mengintensifkan mengaji surat Al Kahfi setiap malam Jumat, ketika tidak sempat atau bahkan lupa mengaji seakan ada yang kurang dan terasa sekali perbedaannya antara Jumat ketika membaca surat Al Kahfi pada malamnya dengan malam Jumat yang saya tidak sempat membaca. Seperti ada energi positif yang menarik ingatan saya untuk menyempatkan diri membaca surat Al Kahfi tersebut sekalipun ketika sibuk atau sedang berkumpul bersama teman-teman waktu di kampus.

Perlahan demi perlahan setelah mengintensifkan bacaan,  saya pun mencoba menelaah isi Surat Al Kahfi tersebut. Mulai dari ebook terjemahan tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Jalalain, saya mendapatkan makna yang sangat besar berisi kisah luar biasa yang terjadi pada hamba-hamba pilihan sebagai sebuah Ibroh bagi umat masa kini. Mulai dari keteguhan Para Pemuda mempertahankan Iman, dan bersembunyi di gua sampai ketika terbangun tidak ada yang tahu berapa lama mereka di sana. akan tetapi mereka merasa hanya seperti sehari semalam saja. lalu kisah Nabi Musa yang berguru pada hamba Allah yang diberikan kelebihan Ilmu ( Nabi Khidir),  dan disebutkan tentang arus air yang bertemu di satu titik,  tiba-tiba ikan di dalam tempayan sebagai bekal meloncat ke air dan langsung hidup, maka di sanalah letak tempat yang dicari-cari, walaupun nabi Musa gagal untuk menimba Ilmu pada Hamba Allah tersebut disebabkan ketidak sabarannya untuk tidak bertanya terlebih dahulu sebelum hamba tersebut menjelaskan padanya.

Tempat pertemuan titik air itu pun diadopsi ke dalam sebuah film produksi hollywood yaitu "The Pirates of Carribean : Stranger tides", bagaimana mereka mencari titik pertemuan air tersebut yang dikatakan sebagai air untuk kekekalan. walau bagaimanapun adopsi ide ceritanya hampir sama namun tak sehebat apa yang diceritakan dalam Al Qur'an dan dibahas pada kitab tafsir tersebut. Kisah luar biasa selanjutnya yang dikabarkan dalam surat Al Kahfi tentang seorang yang pernah menguasai dunia dari Masyriq sampai Maghrib, yaitu Dzul Karnain. Dalam beberapa ayat terakhir surat Al Kahfi juga menjelaskan bagaimana Dzul Karnain yang diminta membangun tembok untuk menghalau Ya'juj dan Ma'juj yang dikatakan sebagai bala tentara dajjal. Kisah Luar biasa Iskandar Dzulkarnain ini pun diadopsi oleh pihak barat dengan menciptakan tokoh sendiri yang dianamakan Alexander the great. Walau bagaimanapun itu hanyalah fiksi mereka yang kebenaran sejatinya dicontek dari ayat Al Qur'an yang mulia di Surat Al Kahfi tersebut.

Karena itu walau bagaimanapun seringnya kita membaca surat Al Kahfi setiap Jumat pasti tetap tersentuh dengan uraian ayat-ayat mulia itu yang akan terus diwariskan kisahnya turun temurun pada generasi kita sampai hari akhir. Sekian lama menelaah kandungan isi Surat Alkahfi tersebut dan sampai saat ini pun belum juga tuntas, sudah terlupakan paradigma mengaji Surat Al kahfi hanya untuk mendapatkan pahala sampai jumat berikutnya, dan saya mulai mencoba membangun sebuah pribadi ikhlas yang beribadah bukan semata-mata untuk balasan pahala,  tetapi benar-benar ikhlas sebagai hamba yang menghiba dan berserah diri. 

Secara tak sengaja membaca uraian hikmah yang ditulis salah seorang teman di facebook tentang apa yang didengar dari Emha Ainun Najib bagaimana ikhlas beribadah, beramal yang sebenarnya. Cak Nun mengurai bahwa ketika ibadah jangan sampai hati berharap lebih dari ibadah yang kita lakukan, karena itu bukan lagi bernilai ibadah tetapi niat jualan untuk mendapat pahala atau balasan rizki yang lebih besar, dan secara tidak langsung memojokkan hati kita dengan sistem bisnis modal kecil, laba besar. padahal jelas, secara nyata Tuhan menginstruksikan dalam firmannya pada surat Al bayyinah " dan tidaklah sekali-kali mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah kepada Allah dengan keihklasan untuk memurnikan agama yang lurus (5) ".

Keikhklasan itu memang bisa menjadi hal tersulit yang harus kita usahakan, namun buah manisnya akan sangat terasa jika sudah terbiasa melekatkannya dalam diri kita. Begitu juga halnya dengan rutinitas Membaca surat Al Kahfi pada malam jumat, dari awal saya meng-iming-imingi diri dengan pahala besar sampai jumat berikutnya, namun seiring kedewasaan berpikir pahala itu bisa menjadi hal sekian dalam prioritas, bahkan dianggap sebagai bonus dari Tuhan jika keikhlasan beribadah itu dapat kita usahakan.
Saya rasa demikian pula halnya dengan ibadah Muaakkad lainnya, ketika kita sudah terbiasa dan menjadikannya sebagi sebuah rutinitas, maka pada saat tidak dapat melaksanakannya dalam sekali saja, terasa ada yang janggal dalam diri kita. Dari hal inilah kita berbaik sangka pada Tuhan bahwa harapan balasan bukan pula sebagai prioritas mutlak yang harus diijabah, namun keikhlasan dan ketguhan hati kita lah yang menjadikan prasangka bahwa Tuhan tidak akan pernah memungkiri janji-Nya pada Hamba yang telah berusaha dan Ikhlas menjadikan ibadah bukan hanya tunai kewajiban dan mengharap balasan. Tetapi benar-benar ikhlas hanya Untuk-Nya.





Selfie : Sebuah Trend dan Tradisi Ria'




Tiga tahun terakhir penulis pernah berprofesi sebagai PNS (Pencari Nafkah Serabutan) dengan melakoni jual beli online di grup-grup facebook atau situs jual beli lainnya. Sebut saja jual beli online Handphone second, biasanya hal pertama yang ditanyakan pembeli yang tertarik dengan postingan kita yaitu apakah handphone yang akan kita jual memiliki kamera depan atau tidak. Semenjak tenarnya tongkat "sakti" narsis untuk selfie, kamera depan seolah menjadi prioritas ketika seseorang akan membeli handphone. Selfie semakin merebak seiring dengan berkembangnya aplikasi-aplikasi kamera untuk membuat gambar lebih baik, atau banyak yang disebut sebagai kamera fitnah.

Budaya foto sendiri atau foto barengan dengan kamera depan seolah ingin menunjukkan eksistensi diri yang ingin dipuji dan pamer, sehingga orang lain yang melihat foto tersebut akan kagum atau penasaran dengan tempat di mana foto selfie tersebut di ambil, jika itu suatu tempat wisata, atau untuk menonjolkan kelebihan yang ada pada dirinya semisal ketika itu foto unik. Namun selfie tak selamanya akan mendapat pujian, ada juga yang mendapat kecaman dari orang yang melihat foto tersebut di media sosial. Seperti kecaman netizen untuk warga yang berbondong-bondong datang ke tempat jatuhnya pesawat Hercules beberapa waktu lalu, tidak sedikit yang upload foto selfie di media sosial dengan kepulan asap dari pesawat jatuh di belakangnya.

Sama halnya dengan kecaman baru-baru ini yang ditujukan kepada orang-orang yang selfie di taman bunga Amarylis Gunung Kidul, Yogyakarta. Salah seorang teman di grup Whattsapp dengan antusias membagikan informasi tentang taman bunga yang hanya bermekaran di awal musim penghujan akhir tahun ini. Komentar untuk persiapan bersama-sama menuju taman bunga itu pun sudah dibicarakan dengan baik, alangkah kagetnya hari Sabtu kemarin beberapa media online seperti merdeka.com, tribunnews menulis berita tentang hancurnya taman bunga tersebut disebabkan ramainya pengunjung yang tidak bisa menjaga dengan baik, disertai foto selfie mereka ketika berada di tengah menginjak-injak bunga, ada yang sedang menduduki bunga-bunga yang bermekaran tersebut, bahkan ada juga yang upload foto sedang tiduran di tengah bunga-bunga amarylis tersebut.

Sangat disayangkan hanya untuk terlihat narsis dan ingin dipuji, para jamaah selfie merusak keindahan alam yang seharusnya bisa bertahan sampai akhir tahun dan bisa dinikmati warga lebih bvanyak lagi. Kecaman untuk mereka pun tidak bisa dihindari, salah satu status teman di facebook membagikan berita yang ditulis oleh tribunenews dengan cover foto salah seorang perempuan yang sedang tidur di tengah hamparan bunga tersebut, bunyi statusnya berisi kecaman seperti ini, " Saya bantu share mbak ya fotonya, supaya semakin banyak yang lihat foto narsisnya di Taman Bunga yang indah ini", atau ada juga yang berisi umpatan-umpatan untuk para selfiers di taman bunga tersebut yang dikatakan "ndeso", bodonya gak ketulungan.

Ditilik secara realitas memang semua orang ingin menunjukkan eksistensi diri, lebih-lebih foto terbaik atau unik agar mendapatkan perhatian dari orang lain. Dalam teori psikologi Humanistik yang dikemukakan Abraham Maslow, hal inilah yang dikemukakan dalam salah satu hirarki kebutuhan yaitu kebutuhan untuk aktualisasi diri. Aktualisasi diri dalam bentuk selfie salah satunya yang cukup tenar saat ini, atau yang lainnya aktualisasi diri dalam bentuk pamer kelebihan (hal besar), semisal ketika menghadiri acara bergengsi, atau sedang berfoto dengan tokoh hebat atau pejabat, bahkan ada pula yang aktualisasi diri ketika mengisi ceramah, kajian atau seminar yang dia sendiri sebagai pemeran penting dalam acara tersebut. Hanya agar orang tahu bahwa inilah dirinya yang telah mampu dan mendapat keberuntungan menjajaki hal bergengsi tersebut.

Hal lainnya tentang aktualisasi diri yaitu ketika mampu menginjakkan kaki di suatu tempat yang kadang tidak semua orang di sekitarnya mampu untuk melakukannya. Semisal ketika mendapat kesempatan bepergian ke tempat-tempat besar, setiap menit update status di facebook sedang berada di suatu tempat, agar memunculkan komentar dari orang lain, entah untuk memuji atau sekadar mengucapkan keingintahuan, lebih-lebih doa dari mereka, untuk doa sepertinya itu hal yang cukup baik. Ada juga yang aktualisasi diri ketika mendapat kesempatan melanjutkan study lebih tinggi, sehingga merasa lebih hebat dari yang lain, lalu teori-teori keilmuan yang didapatkan dijadikan status agar terkesan jiwa intelektualnya tampak sekali, padahal kezuhudan akan ilmu pengetahuan sering kita dengar bahkan ucapkan tentang konsep ilmu padi, semakin merunduk semakin berisi.

Lebih ekstrem lagi banyak dari kita yang tidak sadar hanya untuk eksistensi agar dipuji, ibadah pun kita jadikan sebagai bahan untuk pujian tersebut. Seperti sering penulis temukan status di facebook, " Alhamdulillah dua rakaat di tengah malam terasa adem", atau " Menu buka puasa hari Ini apa ya?", yang lainnya "Dua rakaat dulu di pagi hari, semoga urusan lancar". Status-status tersebut seolah-olah memberitahukan bahwa penulisnya telah melakukan ibadah yang seharusnya hanya dia dan Tuhan yang tahu malah dipamerkan untuk sekedar ada yang suka statusnya atau ditahu sebagai ahli ibadah yang rajin. Padahal nilai Ihsan dari sebuah ibadah itu seolah-olah tidak ada yang tahu kita ibadah, bahkan Tuhan Pun tidak, dan itu sangat ekstrem karena Tuhan Maha Tahu ( Kutipan dari Ungkapan Emha A. Nadjib).

Kadang saja penulis termasuk dalam kategori aktualisasi diri dengan menonjolkan teori-teori tersebut. Terkadang niat kita berbagi pengetahuan semestinya menjadi tolok ukur bagaimana kezuhudan diri kita dalam menapaki kehidupan di usia yang masih labil ini. Seperti sebuah mahfudzat yang dikemukakan Umar bin Khattab " Ilmu itu ada tiga tahapan. Jika seorang memasuki tahapan pertama, ia akan sombong. Jika ia memasuki tahapan kedua, ia akan tawadhu'. Dan jika ia memasuki tahapan ketiga, ia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya". Karena memang begitulah konsep ilmu yang telah dijabarkan Tuhan dalam firmannya, " dan tidaklah kamu diberikan pengetahuan melainkan sedikit saja (Al Isra :85)". Dan banyak hal yang menjelaskan bahwa ketika merasa ilmu kita telah cukup, maka kita termasuk orang yang bodoh (Imam Syafi'i).

Sikap zuhud itu bukan hanya sebatas wacana, karena memang konsep zuhud dalam kesederhanaan lebih mendekati tuntunan hidup yang dicontohkan Rasulullah, maka secara perlahan hal itu bukan menjadi hal mustahil untuk kita jalani. Sikap pamer kelebihan, entah itu selfie atau status yang menonjolkan diri terkadang sulit untuk kita hindari. Sewajarnya sebagai makhluk yang masih menjajaki jati diri, hal tersebut sebagai ajang untuk mendapatkan apresiasi dari orang lain. Semata-mata agar mendapat pujian, aktualisasi diri yang berlebih banyak menimbulkan persepsi tidak wajar dari orang lain yang melihat atau membacanya.

Sebagai makhluk sosial yang normal dan membutuhkan orang lain, setidaknya kita harus menjaga sikap dan prilaku yang wajar,  baik di dunia nyata maupun dunia maya (Media sosial) di mana kita bergaul. Dan ketika ingin pamer kelebihan atau selfie sekalipun, setidaknya nilai kepatutan itu terpikirkan oleh kita sebelum persepsi orang lain terhadap kita dicap kurang tepat atau hal tidak wajar lainnya. Kelebihan itu pun tanpa dipamerkan akan tetap menjadi khazanah besar dalam diri kita, apalah arti pujian dari manusia,  sementara pujian dari Yang Maha Terpuji kita kesampingkan seolah Dia tidak pernah Memuji kita, padahal jelas-jelas dalam Firmannya memuji kita sebagai makhluk terbaik yang diciptakan dalam sebaik-baik bentuk (At Thin :4). Mungkin inilah salah satu cara sederhana menggapai kezuhudan dalam diri yang masih penuh dengan dunia dan berharap pujian sesama makhluk.
( Sleman, 29-11-15)

Menulis: Babak baru dalam Budaya Masyarakat




"Jika Kamu bukan seorang Kaya, bukan juga seorang Bangsawan maka menulislah, maka dunia akan mengenang Namamu (Imam Syafi'i).

Di era teknologi yang berkembang pesat dengan kehadiran ponsel pintar (gawai) yang kian hari semakin marak ragamnya, bisa dikatakan sebagai pendobrak yang menjadikan masyarakat kita sebagai masyarakat pembaca. Bayangkan di setiap momen kita melihat sebagian besar orang akan berkutat dengan ponsel pintarnya, entah itu membaca berita, atau sekedar membaca pesan atau membaca kabar berita di facebook. Bahkan ketika berkumpul bersama kawan-kawan yang seharusnya menjadikan kita untuk akrab mengobrol bersama mereka, kadang kita hanya sibuk sendiri membaca di ponsel pintar.

Ketika masyarakat kita yang telah gandrung membaca, maka sudah seharusnya juga menjadi masyarakat penulis sebagai penuangan dari isi bacaan yang telah diserap. Penyaluran minat menulis saat ini tidak terlalu susah untuk mendapatkan pembacanya. Media-media warga yang berbasis Online dengan kemudahan yang disajikan menjadi pilihan untuk publikasi tulisan. Budaya menulis saat ini sedang mengalami geliat di masyarakat kita terbukti dengan intensitas pengguna facebook update status yang berisi ungkapan hati, catatan perjalanan, kritik, tak jarang berbagi inspirasi atas apa yang telah mereka alami.
Jika kita menilik ke belakang beberapa puluh tahun lalu sebelum media Online bertebaran seperti saat ini, budaya menulis juga pernah menjadi trend dan mampu menghasilkan karya-karya besar melalui buku saku yang dikenal dengan "Diary". Sebut saja catatan perjalanan Nugroho Notosusanto ketika menjadi bagian dari tentara pelajar untuk perjuangan kemerdekaan, catatan tersebut menjadi buku kumpulan Cerpen yang berisi sejarah dan menginformasikan kepada pembaca bagaimana gerak perjuangan para pahlawan kita. Begitu pula dengan catatan perjalanan Agustinus Wibowo yang dibukukan menjadi Novel "Titik Nol" dan "Selimut Debu".

Selain itu budaya menulis masyarakat penuntut ilmu di waktu dulu juga sangat menarik untuk membaca diary mereka. Secara tidak sengaja ketika sedang mencari arsip untuk akte kelahiran di tumpukan buku-buku yang bahkan sebagian besarnya termakan rayap, saya menemukan Buku bersampul plastik yang tampak kusam, lembaran-lembaran di dalamnya pun hampir berubah warna. Dari lembar pertama tertulis nama pemiliknya disertai tanda tangan, ternyata itu buku harian Almarhum Bapak yang tertumpuk di antara buku-buku lama tersebut. Lalu pada lembar kedua berisi catatan beliau ketika mengikuti pengajian sewaktu di Pesantren dengan sistim Hauqalah (bersila). Tertulis tanggal 7 Maret 1961 di salah satu Mushalla yang disebut Al Abror, pada catatan tersebut beliau menulis poin-poin isi pengajian pada hari itu serta di akhirnya dibubuhkan Mahfuzhat (kata mutiara) yang menjadi penutup pengajian. Lembar demi lembar pada buku harian tersebut seakan bercerita bagaimana beliau menjadikan buku harian tersebut sebagai pengikat Ilmu yang telah didapatkan dari gurunya.

Salah satu mahfuzhat yang cukup berkesan saya baca pada buku harian tersebut yang kira-kira terjemahannya " Ilmu ibarat binatang buruan, maka ikatlah binatang buruanmu dengan kuat, yaitu dengan Tulisan". Karena dengan menulislah buku harian 50 tahun lalu masih bisa saya baca pada saat ini, isi tulisan itu pun sangat bermanfaat, tentang hukum-hukum fiqh disertai dalil yang kuat yang dirangkum oleh beliau. Tradisi tersebut terus berlanjut juga di antara saudara-saudara saya yang mendapatkan didikan di pesantren dengan sistim hauqalah ( salah satunya Mahad Darul Qur'an Wal Hadits), buku catatan harian mereka masih tersimpan, bentuk catatan tersebut persis seperti yang terdapat pada diary Almarhum Bapak. Dari segi isinya catatan harian saudara-saudara saya lebih update dengan kondisi zamannya ketika mengikuti pengajian tersebut, namun ketika membahas tentang hukum, dalilnya pun tetap sama.

Budaya menulis juga pernah menjadi penyumbang terbesar sebagai media inspirasi dalam berkarya. Buku-buku terbitan tahun 90-an sampai 2004 banyak kita temukan di sampul depannya tertulis "Milik Negara Tidak Diperjual Belikan", atau di dalamnya juga terdapat informasi bahwa buku tersebut merupakan Pemenang Sayembara Penulisan Naskah, atau Juara dalam lomba mengarang yang biasanya diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Buku-buku terbitan tersebut merupakan salah satu bentuk apresiasi karya yang secara langsung diterbitkan oleh pusat perbukuan sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan peserta didik. Maka tak jarang buku-buku seperti itu banyak kita temui di berbagai perpustakaan Lembaga Pendidikan, karena ketika sudah diterbitkan oleh pusat perbukuan maka akan didistribusikan langsung kepada lembaga-lembaga pendidikan, sekaligus sebagai sebuah promosi atas karya tersebut.

Salah satu media yang cukup inspiratif waktu dulu (sekitar tahun 95) sebagai tempat menyalurkan minat menulis yaitu majalah Asyik,  dengan tokoh utama si kucing. Majalah Asyik bisa dikatakan majalah Favorit yang selalu ditunggu-tunggu untuk setiap edisinya, lebih-lebih dengan sajian konten lokal yang sarat dengan nilai inspirasi, menjadikan majalah tersebut sebagai bacaan wajib untuk anak-anak sekolah dasar. Pada Rubrik sastra juga banyak diterbitkan kiriman-kiriman tulisan dari siswa-siswa yang menjadi kebanggan bagi suatu sekolah yang karya siswa mereka dimuat di majalah Asyik. Namun sangat disayangkan majalah tersebut tidak bertahan cukup lama, tergeser dengan budaya visual televisi, yang sempat menjadikan anak-anak sekolah menjadi malas membaca dan lebih gandrung dengan acara-acara televisi yang lebih banyak menjadikan karakter siswa kita menjadi hedonis dengan konten-konten yang ditampilkan di TV.

"Menulis adalah salah satu jalan mengabadikan nama kita untuk dikenang" ( Baim Lc),  setidaknya kata-kata inilah yang menjadi motto yang saya tuliskan dalam lembar motto dan persembahan skripsi. Jika saja filsuf-filsuf besar, Ilmuan Muslim, ataupun ilmuan besar lainnya tidak menulis, maka tidak ada yang akan mengenang mereka. Imam Gazhali dengan Ihya' ulumuddin yang tersohor sampai dijadikan rujukan oleh filsuf-filsuf besar lainnya, nama beliau masih tetap hidup sampai sekarang karena budaya menulis yang beliau tanamkan pada diri sendiri. begitu pula Ibnu Sina, al farabi, Ibnu Rusyd, Al kindi dan lainnya dapat kita kenal sampai saat ini karena mereka menulis dan mencatatkan nama mereka di antara jajaran Ilmuan muslim yang mempunyai karya besar dan relevan sampai sekarang. 

Bahkan Al Qur'an yang agung dapat kita kaji sampai detik ini dalam bentuk Utuhnya sebuah kitab, muncul karena budaya Menulis yang ditakutkan akan hilang jika tidak ditulis. Karena wahyu yang diterima Rasulullah bukan dalam bentuk tulisan akan tetapi ilham-ilham maupun bisikan  (lisan) yang langsung dapat dihapal oleh beliau. Barulah ketika masa khalifah Abu Bakar setelah terjadinya perang Yamamah (Perang melawan Nabi Palsu, Musailimah Al Kadzab), banyak di antara penghafal Al Qur'an yang wafat, ketakutan akan hilangnya Al qur'an inilah yang membuat Umar Bin Khattab tergerak untuk mengumpulkan para sahabat penghapal Al Qur'an untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Ilham untuk menuliskan Al Qur'an ini sudah pasti dari Allah SWT sesuai dengan firman-Nya " Sesungguhnya kami lah yang menurunkan Al Qur'an dan kami pula yang akan menjaganya (Al Hijr : 9). Secara tersirat penulisan al qur'an ini sebagai ibroh ( pelajaran) bahwa dengan tulisan sesuatu dapat bertahan bahkan dalam kurun waktu yang cukup lama.

Sebut saja penulis-penulis besar yang cukup berpengaruh di Indonesia dalam dunia kepenulisan, seperti Buya Hamka, Chairil Anwar, Pramoedya, A.A Navis dan lainnya, nama mereka sampai saat ini masih menjadi rujukan dalam kajian-kajian keilmuan, baik sejarah maupun semangat gerakan perjuangan yang digaungkan melalui tulisan mereka. Melalui Tulisan, Pramoedya membingkai sejarah revolusi bangsa kita yang sekarang telah dikenal luas,  sehingga melejitkan nama Pram dengan slogan,  Dari Indonesia Untuk Dunia. Dengan tulisan pula semangat perjuangan yang digaungkan para pahlawan bangsa kita dapat kita tahu dan tergerak untuk mengenangnya. Karena sejarah yang tidak dituliskan hanya akan menjadi ingatan yang hilang ditelan zaman.

Maka pantas saja salah seorang Budayawan NTB, Salman Faris, dengan novel budaya dan novel sejarah yang dibingkai dengan sastra pernah mengatakan, " Tulisan itu lebih abadi, bahkan melebihi anak kita sendiri", dan itu sudah terbukti, tulisan-tulisan ber-abad-abad lalu masih dapat kita nikmati sampai saat ini. Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa penulis sudah pasti orang yang berilmu, bukan orang bodoh, dan janji Allah sudah pasti bagi orang yang berilmu " Sesungguhnya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu beberapa derajat". (Al Mujadalah : 11), karena tulisanlah banyak orang-orang biasa yang bukan orang kaya atau pun bangsawan dapat dikenal luas, sebagaimana halnya mahfuzhat Imam Syafi'i di atas.

Menulis merupakan salah satu cara mengorganisir pikiran, maka tidak menutup kemungkinan menulis juga merupakan salah satu refleksi untuk menenangkan pikiran. Dengan menuangkannya melalui tulisan setidaknya pikiran yang menjadi beban akan terasa lebih ringan walaupun hanya dibaca oleh diri kita sendiri. Menulis bukan hanya untuk mendapatkan pujian, atau juga kepedulian dari pembaca, akan tetapi dengan menulis, pikiran maupun ide-ide yang tersimpan dalam otak kita mendapatkan ruangnya untuk ditumpahkan dan seakan lebih hidup dari pada hanya tersimpan di otak.

Salah satu Buku "menyikapi krisis Inovasi Daerah, yang merupakan buah karya dari seorang birokrat, mantan Wakil Gubernur NTB, Badrul Munir menuliskan tentang Inovasi-inovasi yang seharusnya dilakukan oleh daerah sebagai sebuah strategi dalam percepatan pembangunan, lebih khusus pada buku tersebut tentang pembangunan sosial dan pengentasan kemiskinan. Salah satu sub judul isi buku tersebut yaitu " Kaya sarjana Miskin Karya", setiap tahun kampus-kampus kita di daerah mengeluarkan ribuan sarjana, namun butuh bertahun-tahun menunggu satu orang yang mengeluarkan karya besar. Perguruan Tinggi pun hendaknya melakukan Inovasi untuk mencetak sarjana-sarjana yang menyumbangkan karya untuk daerah.

Jika dalam buku tersebut yang dibahas hanya inovasi dalam bidang sosial dan pengentasan kemiskinan, maka inovasi dalam bidang Pendidikan, Literasi dan Budaya hendaknya dipertimbangkan juga untuk tercapainya percepatan pembangunan. Salah satu Inovasi dalam bidang pendidikan dan Budaya yaitu budaya menulis yang seharusnya mendapat ruang apresiasi dan diakomodir oleh pemerintah Daerah yang notabenenya sebagai wakil dari Negara untuk membentuk sebuah lembaga sebagai wadah apresiasi suatu karya.

Penyediaan wadah apresiasi dari sebuah karya dapat dilakukan dengan menyediakan penerbitan berskala Nasional yang merupakan bagian dari lembaga Kepemerintahan Daerah, serta dengan diintensifkannya lomba-lomba penulisan karya. Secara sederhananya Pusat Perbukuan untuk daerah merupakan sebuah Inovasi yang cukup baik untuk membangun budaya Literasi. Banyak kita temukan penulis-penulis daerah yang  bertalenta berbagi inspirasi melalui tulisan menerbitkan karyanya pada penerbit-penerbit luar yang didominasi di pulau Jawa. Itupun kadang menggunakan Biaya sendiri dengan sistem penjualan pribadi dari karya tersebut, padahal kapasitas Pemerintah Daerah untuk mengelola penerbit sendiri yang berskala Nasional bisa saja digulirkan di bawah pengawasan lembaga Pemerintah Daerah seperti BAPPEDA, Perpustakaan Daerah, atau Kantor Bahasa yang membidangi Literasi.

Maka budaya menulis tersebut sangat representative sebagai sebuah Inovasi dalam berbagi Inspirasi yang sudah sewajarnya mendapat dukungan dari semua pihak, lebih-lebih pemerintah daerah. Pun, demikian dengan Media online di NTB yang digulirkan bertajuk Kampung Media, kadang tidak semua lapisan masyarakat mampu menikmati fasilitas untuk akses website tersebut yang memang banyak pula berbagi inspirasi di dalamnya. Untuk itu inovasi untuk pusat perbukuan daerah dengan penyediaan Penerbitan berskala nasional akan sangat banyak mendapatkan apresiasi dan antusias,  sehingga geliat masyarakat untuk membudayakan literasi dalam berbagi inspirasi akan menemukan titik temunya, dan melalui pusat perbukuan daerah dengan distribusi buku hasil karya warga daerah akan semakin membuka wawasan generasi muda daerah untuk gemar membaca demi tercapainya pemerataan pendidikan yang memadai di tiap daerah.

Di samping itu pengadaan Lomba/sayembara penulisan naskah merupakan sebuah wadah untuk apresiasi semangat literasi di daerah,  yang akan mampu mendobrak minat dan penekunan budaya menulis sebagai sebuah langkah awal dalam berbagi inspirasi. Untuk itu program Kelas Menulis, Bedah Karya atau Sekolah Menulis seperti yang telah dicanangkan BAPEDA termasuk sebuah Inovasi dalam membangun budaya. Hal ini sejalan dengan rancangan Peraturan Gubernur yang pernah digaungkan tentang habitus membaca sastra, karena melalui gemar membaca, keluasan wawasan masyarakat akan sangat membantu demi terwujudnya pendidikan yang baik. 

Apatah lagi sekarang ini kita tergerak membangun budaya Literasi, membaca saja bukan lagi hal menarik bagi generasi muda di tingkat pelajar, sebab banyak membaca akan tergerak pula ide untuk menulis. Lebih banyak kita temukan siswa-siswa kita lebih tekun duduk di tepan TV dari pada terpekur menikmati buku. Untuk itu dengan semangat Inovasi dalam membangun budaya baik ini, sudah sewajarnya digaungkan gerakan-gerakan kreatif seperti yang diungkap di atas demi terwujudnya tujuan ini.
(Lengkok, 10 November 2015)

Jalan Sunyi Si Pendidik

sumber :digaleri.com Baim Lc*  Dia tertegun, matanya tertuju pada amplop yang dibagikan oleh pihak komite tadi pagi. Nominal ya...